Bab 29| Restu Al Quds

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa Kakak masih belum mau memberikan restu?"

Al Quds menghela napas saat tiba-tiba suara Filistin menusuk indra pendengarannya. Ia menoleh, menarik lengan Filistin untuk duduk di sampingnya. Keduanya menatap Asima yang tengah berbincang dengan bibi Khadijah.

"Sampai kapan pun Kakak tidak akan pernah menerima lelaki berengsek itu, Filin. Aku tidak bisa."

Al Quds mengusap wajah. Dia sangat bimbang dengan keputusan apa yang harus dia ambil. Bert terus saja menemuinya untuk melamar Asima. Di sisi lain, Asima sudah menerima cinta lelaki sialan itu dan Filistin terus saja mendesaknya untuk memberikan restu. Sebagai kakak tertua, ia sangat dilema menghadapi situasi ini. Al Quds tidak ingin menyakiti perasaan salah satu dari kedua adiknya. Jika saja Asima tahu kalau sebenarnya Filistin dan Bert saling mencintai, ia takut wanita itu akan shock dan mengalami guncangan mental kembali. Asima baru saja sembuh total dari trauma masa lalunya, ia tidak ingin mengulang penderitaan Asima. Tetapi, bagaimana dengan perasaan Filistin jika ia sampai memberi restu pada Bert dan Asima? Al Quds mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghela napas berat.

"Kakak jangan mengkhawatirkan perasaanku. Aku baik-baik saja. Sungguh a-aku justru sangat berharap mereka bisa menikah. Kak Asima pasti akan sangat bahagia bisa memakai gaun pengantin yang indah" Fistin tersenyum tipis, lalu menggigit pipi dalamnya untuk menghalau sesak di dada. Kedua iris birunya sudah basah.

"Kau bisa berbicara seperti itu. Tapi, kedua matamu tidak bisa membohongiku."

Al Quds sangat mengerti perasaan adik bungsunya. Begitu pun dengan Filistin yang sangat mengerti bagaimana jika berada di posisi Al Quds.

"Kumohon berikan mereka restumu." Filistin menyeka air matanya. "Apa Kakak tidak ingat apa impian terbesar Ayah dan Ibu?" Filistin tersenyum manis, meskipun dadanya berdenyut perih. "Mereka ingin melihat Kak Asima sembuh, bahagia dan menikah. Apa Kakak tidak mau mewujudkan keinginan terakhir Ayah dan I-ibu?!" desaknya sambil terisak. Bening hangat semakin deras mengaliri kedua pipinya yang tirus.

"Filin ...."

Al Quds kehilangan kata-kata. Ia menarik tubuh mungil Filistin dan memeluknya sangat erat. Tentu saja dia sangat ingat tentang keinginan kedua orang tuanya sebelum meninggal. Ia juga sangat ingin mewujudkannya.

"A-aku mohon. Lihatlah, sekarang Kak Asima sangat bahagia. Dia sudah menemukan cintanya. Biarkan Bert menebus semua kesalahannya. Dia harus bertanggung jawab. Dia harus mengganti penderitaan Kak Asima dengan kebahagiaan. Kak Asima pantas bahagia."

"Ka-Kakak tidak bisa, Filin. Bagaimana dengan perasaanmu?"

"Aku sudah ikhlas, Kak. Kau tenang saja. Dari dulu aku sudah berjanji untuk melupakannya." Filistin menghela napas. "Lagipula aku masih sekolah. Masa depanku masih sangat panjang. Aku ingin mewujudkan cita-citaku terlebih dahulu, Kak. Kebahagiaan Kak Asima lebih penting dari segalanya untukku."

Al Quds mengangguk. Sebulir bening terbit dari sudut matanya, ia segera menyekanya dan merengkuh tubuh Filistin dalam dekapan.

"Kakak sangat bangga padamu, kau sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ayah dan Ibu pasti sangat senang dan bangga padamu."

Hati Filistin menghangat saat Al Quds mengecup puncak kepalanya. Dalam hati ia terus merapal doa agar hatinya dikuatkan.

Angin sore itu berembus sangat sejuk. Filistin dan Al Quds kembali mengintai Asima dari kejauhan.

Semakin hari wajah Asima semakin berseri-seri dengan senyum yang terus menempel. Setelah sekian lama semenjak tragedi pemerkosaan itu, baru kali ini lagi wanita itu bisa tertawa lepas. Asima menjadi lebih semangat menjalani hari-harinya.

Filistin dan Al Quds menyeka wajah saat Asima datang menghampiri mereka.

Sesampainya di depan kakak dan adiknya, Asima menautkan kedua alisnya melihat wajah Filistin memerah dan kelopak matanya bengkak.

"Filin, apa kau baru saja menangis? Ada apa, Al?" Wajahnya sangat khawatir. Asima menoleh pada Al Quds untuk meminta jawaban.

Al Quds dan Filistin berdiri. Lelaki berambut ikal sebahu itu menegakkan punggung, lalu menghela napas. Bibir penuhnya mengembang sempurna, balas menatap Asima dengan teduh.

"Begini ...." Al Quds berdeham pelan. "Aku sudah memutuskan untuk men-menerima lamaran Bert untuk menikahimu." Al Quds menoleh pada Filistin. "Filin tadi ... dia menangis karena sangat bahagia untukmu, Asima. Dia ingin melihatmu menikah dan hidup bahagia."

Asima melebarkan matanya, mengintai wajah teduh Al Quds dan Filistin bergantian. Ia tersenyum manis serta mengucap syukur.

"Be-benarkah kau sudah memberikan kami restu?"

Kedua iris birunya berbinar. Asima masih sulit untuk percaya karena dulu Al Quds sangat membenci Bert dan berulang kali menolak mentah-mentah lamaran pria itu.

"Kau sudah mencintainya bukan?"

Asima mengangguk cepat sambil tersenyum hangat. Ia langsung menghambur memeluk Al Quds dan Filistin. Air mata bahagia mengalir menuruni pipinya.

"A-ayah, I-ibu, aku akan menikah!" seru Asima seraya mengusap wajah basahnya. Ia melepas pelukan, menangkup kedua pipi tirus Filistin dan mengunci tatapannya dengan dalam. Bibir penuhnya merekah. "Filin, aku akan menikah. Aku akan segera menikah."

"I-iya, Ka-kakak akan menikah. Kakak akan menikah! Eumh, aku ingin buang air kecil sebentar."

Filistin mengangguk sambil mengulas senyum. Air matanya berjatuhan semakin deras. Namun, ia segera mengusapnya dengan cepat. Kemudian gadis itu segera berlari ke belakang gua seraya membekap mulut.

"A-aku kuat. Aku harus ku-kuat. Aku i-ikhlas, Ya Allah," ujarnya sesampainya di belakang.

Filistin duduk bersandar pada dinding batu. Pepohonan serta rumput liar di belakang gua menjadi saksi bisu pengorbanan seorang Filistin. Gadis mungil itu memeluk lututnya erat-erat. Bahunya berguncang menahan sakit dalam hatinya.

Al Quds masih menemani Asima. Lelaki itu tidak dapat menahan air matanya yang turun dengan cepat melintasi rahangnya yang berbulu tipis. Ia sangat menghawatirkan perasaan Filistin. Namun, mungkin ini takdir dan jalan yang terbaik untuk semuanya. Ia berdoa semoga adik bungsunya bisa tabah menghadapi ujian ini.

"Kami bahagia melihatmu tersenyum seperti ini, Asima. Semoga kau selalu bahagia." Al Quds merengkuh tubuh Asima dalam dekapannya. Ia menahan napas saat perih justru melingkupi hatinya.

Maafkan Kakak, Filin! Maafkan Kakak.

****

Malam semakin larut. Al Quds duduk di depan gua ditemani secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Semilir angin meniup sebagian rambut ikalnya yang tidak diikat. Dia sedang menunggu kedatangan Bert. Lelaki itu meneleponnya, Bert akan datang terlambat karena masih ada kesibukan di restoran.

Setengah jam kemudian, lelaki yang sedari tadi ditunggu akhirnya menampakkan batang hidung. Al Quds mendesis saat Bert melangkah gontai menghampirinya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Duduk."

Bert menghela napas, lalu mendaratkan bokongnya pada kursi yang telah disediakan. Mereka duduk saling berhadapan. Ia tak habis pikir mengapa Al Quds tidak pernah memasang wajah ramah untuknya.

"Tumben sekali kau menyuruhku datang ke sini. Ada keperluan apa?" Tanpa basa-basi Bert memulai obrolan.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan."

Kedua alis tebal Bert menaut. Ia menelisik netra cokelat terang Al Quds yang tajam.

"Apa?"

"Aku menerima lamaranmu untuk menikahi Asima."

Bert menegakkan punggungnya. "Kau serius?"

"Aku tidak akan bercanda dalam urusan seperti ini." Al Quds mendengus. "Tetapi, ada satu syarat. Berjanjilah padaku untuk menjaga Asima. Jangan pernah menyakiti perasaannya dan Jangan pernah sekalipun kau bermain tangan padanya. Jangan pernah membuatnya trauma lagi seperti dulu!" tegas Al Quds seraya menajamkan tatapannya.

"Aku berjanji tidak akan pernah lagi menyakitinya." Bert tersenyum tipis. "Kau jangan khawatir. Aku akan menjaga Asima dengan segenap jiwa dan ragaku.
Aku akan membuatnya bahagia."

"Akan kupegang janjimu. Jika kau mengingkarinya, aku akan membuat perhitungan denganmu. Awas saja!"

"Aku tidak akan mengingkari janjiku, kau tenang saja."

Bert tersenyum miring, balas mengunci tatapan Al Quds yang berang. Bert sudah bertaubat sedari dulu. Bert benar-benar menyesali perbuatan kejinya pada Asima dulu, jelas dia tidak akan pernah mengulanginya lagi.

****

Dalam perjalan pulang, Bert melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Perasaannya campur aduk. Misinya untuk mendapatkan restu Al Quds su berhasil. Seharusnya ia senang. Namun, ia justru merasakan kehampaan dalam hatinya.

Setibanya di kota, Bert memarkirkan mobilnya di depan sebuah kelab malam yang dulu menjadi langganannya untuk sekadar minum dan menghilangkan penat.

Gemerlap lampu berwarna-warni menyambut retina matanya sesampainya ia di dalam. Alunan musik disko menggema nyaring. Lelaki jangkung itu berjalan lamban membelah kerumunan untuk menghampiri meja bar. Sesampainya di sana, Bert langsung disambut ramah oleh seorang bartender.

"Berikan aku segelas anggur."

"Baik, Tuan."

Bert meraih gelas kaca yang baru saja bartender suguhkan. Aroma alkohol tercium khas menembus cuping hidungnya. Bert tersenyum miring, lalu segera menenggak segelas anggur merah tersebut hingga tandas. Bert meminta bartender itu untuk memberinya segelas anggur lagi dan langsung dilayani dengan senang hati.

Entah sudah berapa gelas anggur yang telah Bert habiskan. Pria itu mulai kehilangan kesadarannya. Padahal setelah memeluk Islam, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh minuman haram tersebut. Tapi, kali ini ia justru melanggar janjinya sendiri.

"Persetan! Percuma aku menjadi seorang muslim jika pada akhirnya aku tidak bisa menikahimu, Filistin." Bert terkekeh pelan."Bodoh. Ini tidak adil."Berikan aku segelas lagi."

"Maaf, Tuan. Anda sudah mabuk berat. Sebaiknya Anda pulang, atau beristirahatlah sebentar."

Bartender jangkung itu prihatin melihat keadaan Bert yang tampak sudah sempoyongan dengan mata yang memerah.

Bert menggebrak meja, lalu membuang gelas kaca tersebut ke lantai hingga menimbulkan suara yang gaduh. Sontak sebagian orang yang tengah berpesta di sana menoleh pada sumber suara. Bert berdiri dari duduknya dan hampir terjatuh, ia menuding bartender itu dengan melayangkan tatapan tajam.

"Kau kira siapa dirimu, huh! Kau hanya seorang Bartender Bodoh! Berani sekali kau melarangku! Tenang saja akan kubayar! Kau kira aku tidak memiliki uang!"

Bert terus meracau, bahkan kini lelaki itu menarik kerah kemeja bartender itu hingga sebagian orang datang dan mencoba untuk melerai. Hingga akhirnya manager kelab datang, lalu memanggil sekuriti untuk membawa Bert keluar.

"Bodoh! Apa yang kalian lakukan! Aku ingin minum lagi! Aku ... hanya mencintainya. Aku hany-" Bert kehilangan kesadaran hingga akhirnya tumbang di lantai.

Dua orang berbadan kekar itu terpaksa membopong Bert hingga keluar. Lalu salah satu sekuriti mengambil ponsel Bert, mencari kontak yang bisa dihubungi.

***

"Astaga! Kau sangat menyusahkan! Kau sangat berat!"

Amit kesusahan memapah Bert hingga akhirnya sampai di ruang tamu. Napasnya berembus tidak beraturan.

"Bibi Maria! Kami sudah kembali!"

Wanita bertubuh gemuk itu sedang berada di dapur, ia segera berlari setelah mendengar suara Amit.

"Ya Tuhan! Ada apa dengan Bert?"

"Dia mabuk, Bi. Aku ditelepon orang kelab untuk menjemputnya."

Maria segera membantu Amit untuk memapah Bert hingga berhasil dibaringkan di sofa. Maria segera melepas sepatu Bert satu per satu. Lalu Maria melebarkan matanya saat melihat Amit yang hanya mengenakan baju piyama dan kolor berwarna hijau. Sontak ia terkekeh pelan karena geli.

Saat orang kelab meneleponnya, Amit memang sudah tertidur. Karena terburu-buru ia tidak sempat mengganti bajunya. Bahkan rambutnya pun masih acak-acakan.

"Kalau begitu aku pulang dulu, Bi. Besok pagi aku akan menjenguknya."

"Baiklah, Nak. Terima kasih banyak. Hati-hati di jalan."

Sebelum pergi, Amit menatap wajah Bert yang sangat memprihatikan. Ia menghela napas panjang, lalu menggeleng.

"Kasihan sekali kau, Bert. Kisah cintamu tidak berakhir indah seperti cerita di novel-novel."

Maria terdiam mendengar ucapan Amit. Ia tersenyum saat Amit akhirnya pamit pulang dan berjalan cepat menuju pintu utama.

"Ya Tuhan, Bert. Kenapa kau mabuk seperti ini lagi, Nak? Kumohon jangan lakukan ini lagi."

Maria terisak sambil mengusapi wajah serta puncak kepala anak angkatnya itu. Hatinya teriris melihat Bert sangat kacau. Ia sangat mengerti perasaan Bert. Ia tak menyangka Bert akan melampiaskan semua permasalahannya dengan mabuk seperti ini. Padahal sudah lama ia meninggalkan kebiasaan buruknya itu.

"Bu! Bu tanyakan pada Tuhan kenapa semuanya sangat tidak adil?" Bert membuka kedua kelopak matanya, menatap wajah teduh Maria dengan memelas. Sepasang iris hijaunya menyiratkan luka yang teramat dalam. "Sebentar lagi aku akan menjadi kakak iparnya, Bu." Bert terkekeh pelan. "Aku mencintainya. Tapi, aku akan menjadi kakak iparnya, Bu. CK! Bukankah ini sangat konyol! Hidupku sangat konyol! Hidupku sangat konyol."

Bert tak henti-hentinya meracau tidak jelas. Itu membuat Maria semakin terisak. "Sabar, Nak ... sabar." Hanya kalimat itu yang mampu ia ucapkan. Ia sendiri tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. "Tuhan, kuatkanlah hati anakku."








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro