Bab 36 | Lembaran Kisah Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Usiamu sudah 40 tahun dan usia kami sudah semakin tua. Ibu dan Ayah hanya ingin melihatmu menikah dan memiliki keturunan. Kami sangat ingin menggendong cucu."

"Tapi, Bu, aku sungguh tidak bisa. Aku tidak bisa menikah dengan wanita yang tidak aku cintai. Aku hanya mencintai Filistin."

"Ibu sangat mengerti perasaanmu. Tapi, mau sampai kapan kau menutup hatimu seperti ini? Usiamu sudah matang dan pekerjaanmu juga sudah mapan. Kau butuh pendamping hidup agar hatimu tentram. Beri kesempatan hatimu untuk jatuh cinta lagi. Kehidupanmu terus berjalan, Bert. Kau berhak menikmati hidup dan bahagia. Ibu tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami. Setidaknya, jika kau sudah menikah, hati Ibu dan Ayah akan tenang."

Bert mengusap wajah kala teringat akan percakapannya bersama Yasemin beberapa hari lalu. Pria itu terbaring di ranjang. Tatapannya lurus mengintai langit-langit kamar bercat putih. Entah sudah berapa wanita yang Yasemin dan Ismail kenalkan padanya. Namun, tidak ada satu pun wanita yang bisa mencuri hatinya. Bert memang sudah mati rasa. Ia tidak akan mungkin bisa jatuh cinta lagi. Sudah empat belas tahun kepergian Filistin berlalu. Namun, Bert masih belum bisa melupakan gadis itu.

"Yang telah pergi tidak akan mungkin bisa kembali, Bert. Menikahlah, maka kau akan menemukan kedamaian. Apa kau ingin menjadi perjaka tua? Menikah itu ibadah dan wajib bagi lelaki yang sudah mampu. Ingat itu!"

Bert menggulingkan badan saat perkataan Aaron terngiang-ngiang di benaknya. Kini Bert tidur tengkurap. Bantal putih yang empuk itu melesak saat Bert membenamkan wajahnya.

"Menikah?" Bert kembali mengubah posisi tubuhnya hingga telentang. "Apa iya, aku harus menikah?"

Bert mendadak sangat frustasi. Kedua matanya terpejam rapat. Mana mungkin Bert bisa menikah dengan wanita yang tidak ia cintai? Apalagi sampai mempunyai anak? Bert menggeleng.

"Tidak bisa! Aku tidak bisa!"

Bert membuka kedua matanya. Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Ia sadar, apa yang diucapkan ibunya dan Aaron memang benar. Tidak seharusnya ia terus meratapi kepergian Filistin dan terus terpuruk seperti ini. Bert tidak boleh egois. Terlebih lagi keadaan ayahnya yang sekarang sering jatuh sakit. Bert tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tidak bisa mewujudkan keinginan Ismail dan Yasemin yang sudah sangat ingin melihatnya menikah dan punya anak.

Bert melirik sebuah jam yang terpajang di nakas, di samping ranjangnya. Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam. Bert beringsut duduk. Ia diam sejenak, lalu segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk berwudhu.

"Mungkin sebaiknya aku salat istikharah dan meminta petunjuk pada Allah."

****

Bert melangkah lebar menuju halaman depan rumahnya. Di sana, Yasemin dan Ismail tengah duduk bersuah ditemani secangkir teh hangat dan beberapa toples kue kering.

"Ayah, Ibu." Bert duduk di sebuah kursi kosong yang berhadapan dengan ayah dan ibunya.

"Kau ingin meminum teh?" tanya Yasemin lembut.

Bert menggeleng. "Tidak, Bu. Hmm ... sebenarnya, aku ingin menyampaikan sesuatu."

Yasemin menaruh secangkir teh yang baru saja ia seruput. Ia balas menatap Bert dengan serius. Wajah wanita tua itu tetap cantik meskipun sekarang permukaan kulit wajahnya sudah mengendur.

"Katakanlah apa yang ingin kau sampaikan, Nak."

"A-aku ... aku bersedia untuk menikah."

Kedua mata Yasemin melebar sempurna. Mulutnya pun ternganga mendengar ucapan Bert barusan. Ia menoleh pada suaminya, sepasang mata Ismail pun berkilat senang.

"Be-benarkah? Kau tidak sedang bergurau, bukan?" Yasemin kembali menatap Bert, menelisik dalam sepasang iris hijau Bert yang indah.

"Aku serius, Bu. Aku sudah siap untuk menikah." Bert mengulas senyum manis.

Yasemin tak dapat menahan rasa harunya. Ia tersenyum lebar. Air mata menetes di pipinya.

"Alhamdulillah, Ibu sangat senang mendengarnya. Tapi, kau tidak terpaksa, bukan? Ibu dan Ayah tidak ingin memaksamu. Jika kau memang belum siap, kami akan menunggu sampai kau siap."

Bert tersenyum tulus saat Yasemin meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku sama sekali tidak terpaksa, Bu. Ini ... keinginanku sendiri. Aku ingin memulai kehidupan baruku."

Wajah bersih Yasemin semakin berseri. Senyumnya pun semakin merekah. "Syukurlah kalau begitu."

Hati Ismail berbunga. Setetes bening meluncur dari ujung matanya. Ia bersyukur karena akhirnya, Bert bersedia untuk menikah. Ismail hanya ingin melihat Bert bahagia dan memiliki keluarga yang harmonis. Ia tidak ingin putranya terus terpuruk dalam kesedihan.

"Tapi, Bu. Apakah Ibu dan Ayah sudah ada calon untukku?" tanya Bert serius. Raut wajahnya memerah dan jantungnya sedikit berdebar.

Yasemin menoleh pada Ismail sembari tersenyum, lalu kembali menatap Bert serius.

"Ada. Kami sudah memiliki calon untukmu. Ibu rasa, wanita ini akan sangat cocok untuk menjadi istrimu dibandingkan dengan wanita-wanita yang pernah kami kenalkan padamu."

Bert tersenyum samar mendengar perkataan Yasemin. Ia tidak mengerti kenapa ibunya bisa seyakin itu? Bahkan, Bert sendiri tidak yakin jika ia bisa jatuh cinta lagi. Bert mematung di tempat duduknya, menatap punggung Yasemin yang semakin jauh mendorong kursi roda suaminya meninggalkan taman. Bert mengembuskan napas panjang.

"Mungkin ini yang terbaik. Bismillah."

Ayah dan ibunya tampak sangat bahagia. Bert harus konsisten dengan keputusannya. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Mungkin ini sudah jalan takdirnya. Bert harus ikhlas menerimanya.

***

Seminggu berlalu begitu cepat. Bert lupa jika hari ini ia akan dipertemukan dengan calon istrinya. Sepertinya pria itu sedikit terlambat, sebab sore tadi ia ada meeting mendadak di kantor. Kedua alis tebalnya saling bertaut kala mendapati halaman rumahnya telah dipenuhi banyak mobil mewah. Ia terpaksa memarkirkan mobilnya di depan gapura. Bert merapikan dasi biru yang terikat di kerah kemejanya, lalu segera turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Kaki panjangnya berlari kecil melewati mobil-mobil mewah itu dengan hati bertanya-tanya.

"Ibu!" panggil Bert saat melihat Yasemin menyambutnya di depan pintu.

"Akhirnya kau datang juga. Semua tamu sudah menunggumu." Yasemin menggandeng tangan Bert.

"Tamu?" Kening Bert berkerut. "Kenapa banyak sekali tamu, Bu? Apa keluarga wanita itu sangat banyak? Kukira ini hanya petemuan biasa saja?"

Wajah Yasemin mendadak pucat. "Eumh ... begini, sebenarnya hari ini kau akan langsung menikah dengannya."

"APA?" Kedua bola mata Bert nyaris keluar dari tempatnya. "Me-menikah? Ba-bagaimana bisa Ibu dan Ayah tidak membicarakannya denganku terlebih dulu?"

"Maafkan Ibu, Ibu sengaja tidak bicara denganmu karena Ibu takut kau tidak akan setuju. Ini semua permintaan Ayahmu. Dia ingin kau menikah secepatnya. Ayahmu takut akan terjadi sesuatu padanya."

Bert terdiam. Memang beberapa hari terakhir ini, kondisi kesehatan Ismail kembali drop. Lelaki rupawan itu kehilangan kata-kata. Ia berusaha mengatur embusan napasnya agar kembali normal. Susah payah ia mengulas senyum untuk menenangkan Yasemin.

"Baiklah, Ibu. Bismillah aku siap menikah hari ini."

Yasemin mengembuskan napas lega. "Terimakasih, Nak. Sekali lagi maafkan ayah dan Ibu."

Bert mengangguk pelan. Ia merangkul pundak ibunya dan beriringan berjalan memasuki kediamannya.

"Tadinya Ibu ingin menyewa gedung untuk melangsungkan pernikahanmu. Tapi, karena kondisi Ayahmu yang tidak memungkinkan untuk berpergian. Ibu pikir, rumah ini tempat yang terbaik. Tidak masalah, bukan?"

"Tidak apa-apa, Bu. Aku juga tidak menginginkan pesta pernikahan yang mewah."

Bert memicingkan kedua matanya, memastikan jika ia sedang tidak salah melihat.

"Ibu Maria! Amit! Ze'ef!" Bert melebarkan senyum kala tiga orang yang barusan ia sebut namanya berjalan semakin dekat menghampirinya.

"Kejutan!" seru Maria, Yasemin, Ze'ef dan Amit serempak.

Semua orang terkekeh pelan, kecuali Bert yang masih shock dengan kehadiran Maria dan kedua sahabatnya.

"Kapan kalian datang? Kenapa tidak mengabariku?"

"Jika aku mengabarimu, kau tidak akan terkejut!" Amit terbahak seraya merangkul pundak Ze'ef.

Bert benar-benar speechless. Lidahnya mendadak kelu dan ia tidak bisa berkata-kata. Ia langsung menghambur memeluk Maria, Amit dan Ze'ef secara bergantian. Air mata yang bergumul di pelupuk matanya tumpah perlahan. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan mereka lagi. Beberapa tahun terakhir, Bert sempat tiga kali pulang ke Israel untuk mengunjungi mereka. Namun, tetap saja lelaki itu sangat merindukan ibu angkat dan kedua sahabatnya.

"Sudah ... nanti kita berbincang lagi. Prosesi pernikahanmu akan segera dimulai." Ze'ef mengingatkan.

Bert menyeka kedua pipinya yang basah. Ia tersenyum saat tangan hangat Maria meraih telapak tangannya, lalu menggenggamnya erat.

"Ibu sangat merindukanmu, Nak."

"Aku juga, Bu. Aku sangat merindukanmu. Terimakasih sudah datang."

Maria terharu saat Bert mencium pipinya.

Bert berjalan didampingi Maria dan Yasemin. Sedangkan Ze'ef dan Amit berjalan di belakangnya. Jantung Bert berdetak kencang. Ia merasa sedang bermimpi. Ia tidak menyangka akan menikah secepat ini. Hari ini. Detik ini juga. Bahkan Yasemin belum memberitahu siapa nama wanita yang akan dinikahinya. Bert merasa sangat konyol. Ia akan menikah dengan wanita yang belum ia ketahui dari mana asal usulnya dan bagaimana rupanya?

Namun, apapun itu, kali ini Bert akan menjalani pernikahannya dengan sungguh-sungguh. Karena ia telah meniatkan pernikahan ini sebagai ibadah dan semua ini demi kebahagiaan ayah dan ibunya. Bert sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima siapa pun wanita yang akan menjadi istrinya itu.

Bert sudah sampai di ruang tengah. Di sana sudah ada beberapa saksi, penghulu, wali nikah dan seorang wanita bercadar yang tampak menunduk. Sedangkan para tamu undangan berada di halaman belakang rumah karena resepsi pernikahan Bert akan berlangsung di sana.

Bert terpaku di tempat, menatap wanita bergaun putih yang sedari tadi menunduk dalam itu.

"Sebelum akad nikah dilangsungkan, Ibu ingin, kau melihat wajah calon istrimu terlebih dahulu. Apa kau bersedia?"

Bert mengerejapkan kedua matanya, lalu menoleh pada Yasemin dan menggangguk pelan.

Bert tidak mengerti kenapa degup jantungnya semakin kencang kala jarak di antara mereka semakin dekat?

Yasemin berjalan lamban sembari menggandeng tangan Bert menghampiri calon istrinya. Senyum manis setia menempel di bibirnya yang merah.

Kini jarak Bert dengan calon istrinya itu hanya sekitar setengah meter saja. Sangat dekat. Perlahan wanita yang semula terus menunduk itu mengangkat wajahnya.

Bert semakin membeku kala tatapannya beradu dengan sepasang mata wanita itu. Wanita itu memakai hijab dan cadar yang senada dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya. Kedua alis dan garis wajahnya tertutup cadar. Hanya terlihat lekukan hidungnya yang tampak mancung di balik kain putih yang menjuntai itu. Bert susah payah menelan saliva. Sepasang mata wanita itu berwarna biru.

Sebelumnya Yasemin sudah mengenalkan Bert dengan beberapa wanita yang juga bermata biru. Namun, tidak ada satu wanita pun yang berhasil mencuri hatinya. Bahkan Asima pun beriris biru dan tidak berhasil membuatnya berpaling dari Filistin.

Tetapi, sepasang mata wanita yang berada di depannya ini mampu memikat perhatian Bert. Bahkan pria itu tidak mengedipkan matanya barang sedetik saja. Wanita itu memiliki sepasang iris bisu yang sangat indah dan sangat jernih. Sebiru laut. Bert seperti pernah melihatnya.

****

Makasih buat kalian yang selalu setia nungguin aku update ♥️🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro