Bab 38 | Kiblat Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Al, sampai kapan aku harus menyimpan rahasia ini? Aku tidak bisa terus menyembunyikannya dari Filistin!"

Entah sudah berapa kali selama empat belas tahun terakhir, Asima selalu mendesak Al Quds untuk jujur pada Filistin jika Bert masih hidup.

"Sudah kubilang aku tidak akan pernah memberitahunya. Aku tidak ingin Filistin bersama lelaki Berengsek itu."

Tiba-tiba janin yang berada dalam kandungannya menendang kencang, seolah dapat merasakan kepedihan hati sang ibu. Asima mengusap pelan perut buncitnya dengan penuh kasih sayang. Saat ini dia tengah mengandung anak pertamanya setelah sepuluh tahun menikah dengan seorang lelaki dari Ramallah.

Selama belasan tahun, wanita itu selalu dihantui oleh rasa bersalah karena menyimpan rahasia tentang Bert dari Filistin. Hidupnya tidak tenang. Terlebih lagi, dia tahu jika sampai detik ini Filistin masih belum bisa melupakan Bert.

"Aku akan menjodohkan Filistin dengan seorang dokter bedah. Dia lelaki yang shaleh dan dari keluarga baik-baik. Aku yakin, dia pasti bisa menjadi suami dan imam yang baik untuk Filistin."

Asima sontak menganga. "Ternyata selama ini, kaulah yang egois, bukan Bert! Apa yang menurutmu baik belum tentu baik untuk Filistin! Sampai sekarang, Filistin masih sangat mencintai Bert. Bert adalah cinta pertamanya." Dada Asima naik turun seiring emosi yang meledak di hatinya. "Apa kau pikir Filistin akan bahagia jika menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya? Kau sangat egois! Kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Filistin."

Al Quds tersentak. Lidahnya menjadi kelu. Sebenarnya, dia pun selalu dihantui oleh rasa bersalah. Namun, dia tidak ingin Filistin sampai bertemu lagi dengan Bert. Dia ingin Filistin menikah dengan lelaki pilihannya.

"Filistin sudah menjadi seorang dokter gigi. Dia sudah mewujudkan cita-citanya. Dia sudah bekerja. Apa lagi yang kau takutkan? Kenapa kau sangat tega memisahkan mereka?" Asima menahan napas.

"Ja-jadi Bert masih hidup?"

Suara serak Filistin membuat Asima dan Al Quds menoleh. Mereka berdua membeku dengan mata melebar melihat sosok Filistin.

"Ti-tidak, Filin. Ka-kau salah paham. Bert sudah men-"

"Cukup, Kak! Aku sudah mendengar semuanya! Kenapa kau sangat jahat?" Filistin mengusap kasar air mata yang jatuh ke pipinya.

"Ja-jadi, semua ini adalah rencana si Kriting?" tanya Bert setelah Filistin selesai menceritakan semuanya.

Filistin mengangguk, lalu menyeka kedua pipinya yang basah. Hatinya tenang karena telah menceritakan semuanya pada Bert.

"Di mana si Kriting? Kenapa dia tidak datang ke sini? Aku harus memberinya pelajaran!"

"Kak Al dan Kak Asima tidak bisa datang ke sini. Mereka hanya menitipkan salam untukmu dan Kak Al Quds meminta maaf padamu atas semua kesalahannya selama ini. Apa kau bersedia memaafkannya?" Kedua iris birunya berbinar, menatap Bert sangat hangat.

"Tidak bisa! Aku ingin berbicara langsung dengannya! Apa kau bisa meneleponnya?"

Mulut Bert sudah sangat gatal ingin memaki lelaki sialan itu. Dia tidak habis pikir, kenapa Al Quds sangat tega mempermainkannya selama ini? Dia nyaris kehilangan semangat hidup karena kabar kematian Filistin. Ternyata semua itu hanya sandiwara si rambut kriting saja. Bert berdecih.

Filistin menggeleng. "Aku tidak bisa meneleponnya. Kak Al Quds sedang berjihad. Sudah lama dia menetap di Gaza dan menjadi anggota pasukan sayap militer Hamas. Dia hanya menemuiku sekali, sebelum dia mengizinkanku berangkat ke sini.

"Sudahlah, Nak. Jangan mempermasalahkan apa yang sudah terjadi. Yang terpenting, sekarang Al Quds sudah merestui hubungan kalian berdua."

Kening Bert berkerut saat Yasemin merangkul lengannya, mencoba untuk menenangkan. "Tunggu dulu. Apa Ibu tahu jika Filistin masih hidup dan Ibu ikut menyembunyikannya dariku?"

Yasemin menggeleng. "Selama ini Ibu tidak tahu, Bert. Ibu baru tahu saat Maria menghubungi Ibu dan menceritakan semuanya. Lalu, Ibu meminta Ze'ef untuk mengurus kedatangan Filistin ke sini. Itu sebabnya beberapa waktu lalu, Ibu mendesakmu untuk segera menikah. Kemudian Ibu dan Ayah menyiapkan semua ini. Karena kami semua ingin memberimu kejutan. Bagaimana, kau terkejut, bukan?" Yasemin mengulum bibirnya.

"Ya, aku terkejut. Sangat terkejut." Bert menipiskan bibir.

Semua orang di sana terkekeh geli melihat ekspresi Bert. Wajah lelaki itu semerah kepiting rebus.

Bert menggeram melihat Ze'ef terbahak sangat nyaring. "Ze'ef! Setelah ini, aku akan membuat perhitungan denganmu! Awas saja!"

Ze'ef membekap mulut untuk menahan tawanya. "Ayolah, jangan marah. Semuanya sudah berlalu, yang terpenting sekarang kalian akan segera menikah. Jangan marah, kita ini kan sahabat selamanya."

"Sahabat?" Bert mendesis. "Sahabat macam apa kau ini? Bisa-bisanya kau justru bersekongkol dengan si Kriting itu?"

Semua orang kembali terbahak nyaring melihat ekspresi wajah Bert yang masih tersulut emosi. Tak terkecuali Filistin, wanita itu pun mengulum bibir agar tawanya tidak pecah. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Bert.

"Maaf, apa prosesi akad nikahnya nya sudah bisa dimulai?"

Semua orang berhenti terbahak, menoleh pada seorang penghulu yang tampaknya sudah cukup lama menunggu.

"Oh, maaf. Tentu, kita akan mulai sekarang. Kedua mempelai sudah siap."

Bert dan Filistin saling menoleh, saling melempar tatapan hangat dengan senyum manis yang terukir di bibir keduanya.

Di kala semua orang tengah serius menyaksikan prosesi yang sangat sakral itu, seorang lelaki berkemeja putih masih fokus dengan benda pipih di tangannya. Sedari tadi ia berdiri di sudut ruangan, bersandar pada tembok. Jemari Amit sangat cepat menari-nari di atas keyboard ponselnya. Tak lama senyumnya melebar, memamerkan deretan giginya yang putih. Setelah sekian purnama berlalu, akhirnya Amit berhasil juga menyelesaikan novelnya dengan akhir yang bahagia.

"Akhirnya ... tamat juga. Aku memang sangat berbakat."

Amit menyeringai, lalu mengusap rambut hitamnya yang klimis. Tiba-tiba sesak menghunjam dadanya kala teringat akan Reda, cinta pertamanya. Kisah cinta yang bahkan belum sempat dia mulai, telah lama kandas di tengah jalan. Perempuan itu sama sekali tidak memberikan Amit kesempatan untuk memperjuangkan cintanya. Reda telah lama menikah dengan lelaki pilihannya.

"Kenapa nasibku sangat tidak beruntung? Apakah Tuhan tidak menciptakan satu wanita pun untuk menjadi jodohku?" Kedua ujung bibirnya melengkung ke bawah.

***

Halaman belakang kediaman Bert yang sangat luas telah disulap sedemikian rupa hingga tampak sangat mewah dan glamor dengan dekorasi stringlight di atasnya. Tatanan kursi dan meja dibungkus dengan kain sutra yang senada. Di atas meja para tamu undangan sudah tersedia beberapa hidangan dan minuman lezat yang menggugah selera. Di setiap sudut dihiasi oleh rangkaian mawar putih dan bunga kamomil kuning kesukaan Filistin.

Malam semakin larut. Namun, para tamu undangan dan kerabat masih asik menikmati resepsi pernikahan Bert dan Filistin. Alunan musik klasik menambah kesan romantis pada pesta malam yang bertabur bintang itu.

Bert dan Filistin berdiri di dekat sebuah tirai putih yang menari-nari karena tiupan angin yang lumayan kencang. Keduanya melambaikan tangan pada benda pipih yang Bert pegang. Mereka baru saja melakukan panggilan video dengan Letnan Aaron, Aisyah dan anak-anaknya.

"Sayang sekali mereka tidak bisa datang. Padahal aku sangat ingin mengenalkanmu langsung pada mereka." Bert memasukan ponsel itu pada saku kemejanya.

Filistin tersenyum manis. "Tidak apa-apa, mungkin mereka sibuk sehingga tidak bisa datang. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu dengan mereka."

Bert menggangguk diiringi senyum.

Filistin menjerit. Jantungnya hampir copot saat tiba-tiba Bert menggendongnya. Kedua pipinya memerah dan panas.

Bert terkekeh pelan saat wanita dalam gendongannya mendelik tajam. "Kenapa?"

"Kau membuatku kaget! Turunkan aku!"

Bert menggeleng, dia sengaja ingin menggoda istrinya.

Decakan kecil keluar dari bibir Filistin yang ranum karena Bert tidak mengindahkan ucapannya. Suaminya justru menatapnya semakin intens dan itu membuat Filistin mendadak lupa bagaimana cara bernapas. Kedua pipinya semakin memerah dan panas. Wanita itu cepat-cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Bert kau membuatku malu!"

Bert semakin terkekeh geli mendengarnya. Dia sangat senang menggoda Filistin seperti itu.

Filistin melebarkan mata saat Bert melangkahkan kakinya, melewati para tamu undangan dan keluarganya sembari menggendong Filistin.

"Bert turunkan aku! Kita mau ke mana?"

"Ke kamar pengantin!" ujar Bert sangat lantang.

"Hah? Ka-kamar? Ta-tapi kan pestanya belum selesai!"

"Aku tidak peduli. Aku sudah tidak sabar. Aku sangat merindukanmu!"

"Hah?"

Jantung Filistin semakin berdebar-debar. Dia kembali menutupi wajahnya saat sorakan serta godaan dari para tamu undangan silih berganti menusuk indra pendengarannya.

***

Sesampainya di kamar pengantin, Bert menidurkan tubuh Filistin di atas ranjang yang bertabur kelopak mawar putih. Aromanya yang semerbak dan suasana lampu yang temaram, membuat gelenyar aneh dalam dadanya semakin membuncah. Bert mengulum senyum melihat tangan Filistin masih setia menutupi wajahnya. Ia beringsut bangun, lalu berjalan tegas untuk mengunci pintu kamar. Jantungnya berdebar kencang.

"Aku dat-"

Bert kehilangan kata-kata saat melihat Filistin tengah sibuk melilit tubuhnya sendiri dengan selimut tebal berwarna putih. Hingga sebagian kelopak mawar berhamburan di lantai marmer kamarnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Bert sembari terkekeh pelan.

"Aku takut." Filistin tersenyum malu-malu.

"Jangan takut, aku akan melakukannya dengan lembut."

Filistin menelan saliva saat Bert berjalan menghampiri ranjang. Kasur empuk yang ditidurinya melesak kala Bert ikut berbaring di sisinya.

"Tapi, aku tetap takut."

Bert terbahak cukup kencang melihat ekspresi Filistin yang sangat lucu sekaligus menggemaskan di matanya. Wanita itu kembali melilit tubuhnya dengan cara berguling-guling di atas ranjang.

"Auch!" erang Filistin saat kepala yang dibalut hijab putihnya terbentur nakas di samping ranjang. Kini posisinya mentok dan tidak bisa menghindar ke mana pun.

Wanita itu persis seperti mumi dengan seluruh tubuh yang dibungkus seprei tebal putih, yang terlihat hanya bagian leher dan kepalanya saja. Bert menggeleng seraya terkekeh-kekeh.

"Kau ini ada-ada saja. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percaya padaku."

Filistin tetap bergeming saat Bert beringsut mendekati tubuhnya. Kali ini dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Sekujur tubuhnya membeku saat Bert membopongnya ke tengah ranjang.

Kedua insan itu saling terpaku dalam diam. Tatapan hangat mereka beradu dalam waktu yang sangat lama. Detak jantung mereka yang merdu saling bersahutan. Belenggu rindu yang sudah belasan tahun mencekik hati keduanya kini telah mencair dalam hangatnya sebuah pertemuan.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Bert mencairkan suasana canggung di antara mereka.

"Tentu saja." Filistin berdeham, lalu mengatur embusan napasnya agar kembali normal setelah Bert menjauhkan wajahnya dari wajah Filistin.

"Kenapa selama empat belas tahun ini, kau masih mencintaiku?"

Filistin mengulas senyum. "Karena kau adalah kiblat cintaku. Kau cinta pertamaku. Aku tidak bisa berpaling darimu. Meskipun, ada beberapa lelaki yang datang melamarku. Aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Entahlah ...." Filistin menghela napas panjang. "Entah kenapa, selama ini, aku selalu yakin jika kau masih hidup dan aku selalu berdoa agar suatu saat nanti kita bisa berjumpa lagi. Ternyata firasatku selama ini benar, kalau kau masih hidup."

"Ini sudah menjadi jalan takdir kita. Mungkin itu sebabnya, Allah menjaga hatimu agar tetap terpaut padaku dan tidak menerima cinta dari laki-laki lain. Aku sangat bersyukur, akhirnya kita berjodoh." Bert melempar senyum tulus.

Filistin menajamkan kedua iris birunya, menatap Bert serius. "Kenapa kau mau menerima perjodohan ini? Padahal, kau belum tahu jika wanita yang akan dijodohkan denganmu itu adalah diriku. Apa selama ini, kau sudah melupakanku karena menganggapku telah mati?" Raut wajahnya berubah sendu.

Bert menggeleng cepat. "Tidak, bukan begitu. Mana mungkin aku bisa melupakanmu. Walaupun seandainya, kau memang sudah tidak ada di dunia ini. Kau, akan selalu hidup dalam hatiku. Jika aku mudah melupakanmu, kenapa baru setelah empat belas tahun ini aku mau menerima perjodohan ini, bukan?" Bert menghela napas. "Aku menerima perjodohan ini semata-mata hanya demi kebahagiaan Ayah dan Ibuku. Demi Allah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengkhianati cintamu."

Bibir ranum Filistin kembali melengkungkan senyum manis. Hatinya berbunga-bunga mendengar perkataan Bert barusan. "Apa kau sudah bisa memaafkan Kakakku? Hidup Kak Al Quds tidak akan tenang jika kau belum mau memaafkannya. Kumohon jangan membencinya."

Bert tersenyum tulus. Sepasang iris hijaunya memancarkan kehangatan, menatap Filistin sangat dalam. "Aku sudah memaafkannya. Tadi, aku hanya shock dan terbawa emosi saja. Bagaimanapun, aku ingin berterimakasih pada Al Quds karena pada akhirnya, dia merestui hubungan kita. Meskipun aku harus menunggu dalam waktu yang sangat lama."

Filistin terkekeh pelan. Rasa canggung dan gugupnya perlahan mulai menghilang. "Iya sangat lama. Usiaku saja sekarang sudah tiga puluh. Aku sudah tua."

"Wajahmu tetap cantik dan terlihat sangat muda. Bagiku kau tetap seperti Filistin yang dulu. Gadis ingusan gila dengan tingkah aneh yang sudah mencuri hatiku."

Bert terkekeh saat Filistin melempar tatapan tajam padanya. Kemudian tatapannya tertuju pada tubuh Filistin yang masih bergelung di bawah selimut. Dia berdeham pelan. "Hmm, kau akan terus membungkus tubuhmu seperti itu?"

Filistin melebarkan matanya. Dia melihat tubuhnya sendiri, lalu menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku akan melepaskannya. Ini membuatku sesak dan gerah."

Wanita itu tetap bergeming saat tangan kokoh Bert membantu membuka selimut yang membalut tubuhnya dengan perlahan. Filistin akhirnya bisa bernapas lega setelah tubuhnya kini terlepas dari kain tebal itu.

Kedua netra hijau Bert berkaca-kaca saat teringat akan kecelakaan waktu itu. Dia mengusap luka jahitan pada wajah Filistin yang angat kentara. "Sekali lagi aku minta maaf, kau terluka semua gara-gara keegoisanku."

Filistin menangkap tangan besar Bert, menggenggamnya erat. Dia menggeleng. "Ini bukan salahmu. Aku mohon, jangan membicarakan tentang kecelakaan itu lagi. Aku ingin melupakannya. Aku tidak ingin membahasnya lagi. Berjanjilah padaku."

Bert menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, aku berjanji."

Filistin membeku kala ibu jari Bert mengusap bibirnya dengan lembut. Jantungnya berdebar kencang. Perlahan wajah tegas lelaki itu semakin mendekat. Kini Filistin bisa merasakan hangatnya napas Bert yang menyapu permukaan kulit wajahnya. Kedua pipi perempuan itu kian memanas dan semerah tomat. Filistin tidak kuasa menahan gelenyar aneh dalam dirinya, seolah ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Dia dengan cepat memalingkan wajah saat hidung mancung Bert nyaris menyentuh pipinya. Kemudian dia segera beringsut turun dari ranjang dan berlari cepat ke sudut kamar.

Tawa Bert kembali pecah karena ulah Filistin. Padahal nyaris saja dia akan mencium bibir istrinya itu. Bert mencoba untuk bersabar dan mengerti perasaan Filistin. Mungkin perempuan itu belum siap untuk dia sentuh. Bert menyadari jika pertemuan mereka memang terlalu singkat setelah belasan tahun berpisah. Mungkin itu salah satu alasan Filistin masih merasa canggung dan malu-malu padanya.

Akhirnya Filistin dan Bert justru bermain kejar-kejaran dalam kamar Bert yang sangat luas. Kali ini kedua insan itu berdiri di atas ranjang sembari saling memukul satu sama lain menggunakan bantal. Canda gurau mereka pun tidak bisa terelakkan. Tawa riang Filistin dan Bert terdengar sangat nyaring. Mereka berdua tidak tahu jika di balik pintu kamar ada beberapa pasang telinga yang sedang menguping. Mereka pun ikut tertawa kecil sembari menutup mulut.

Maria dan Yasemin sangat bersyukur akhirnya cinta Filistin dan Bert bisa bersatu dalam ikatan suci pernikahan.

"Mereka sangat menggemaskan," ungkap Yasemin lirih. "Ayo, waktunya kita tidur."

Maria menggangguk sembari terkekeh pelan. "Iya, ini sudah larut malam."

Akhirnya kedua wanita paruh baya itu saling bergandengan untuk menuruni anak tangga. Hati mereka sangat puas setelah mendengar tawa riang Bert dan Filistin dalam kamar.

"Kau ... sedari tadi tidak ingin memelukku? Memangnya kau tid--"

Bert tidak bisa melanjutkan ucapannya saat Filistin tiba-tiba menghambur dalam pelukannya.

"Aku sangat merindukanmu. Sangat." Filistin merangkul punggung Bert dengan sangat erat. Hatinya sangat damai karena dapat mendengarkan detak jantung Bert yang berdegup kencang. Dia membenamkan wajahnya pada dada bidang Bert yang kokoh.

Bert tersenyum manis. Dia pun balas mengeratkan pelukannya pada Filistin untuk melepas rindu yang selama ini mencekik hatinya. Diusapnya sangat lembut belakang kepala Filistin dan punggung istrinya itu. Dia mengucap syukur dalam hati sebanyak-banyaknya karena akhirnya Sang Khalik merestui cinta mereka dan mempertemukannya lagi dengan Filistin dalam ikatan suci ini. Bert berjanji, dia akan meratukan istrinya, menjaga dan membahagiakan Filistin di sepanjang hidupnya sampai maut memisahkan.

"Aku sangat mencintaimu karena Allah," ujar Filistin setelah melepas pelukan.

"Aku juga sangat mencintaimu karena Allah."

Filistin dan Bert kembali saling mengunci pandang dengan tatapan dalam. Sorot mata keduanya memancarkan kehangatan. Hati mereka diselimuti oleh kebahagiaan yang membuncah.

Filistin membeku saat Bert mengecup keningnya dengan lembut dan sangat lama. Kedua matanya terpejam rapat. Senyumnya mengembang saat merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Degup jantungnya semakin kencang.

Tatapan iris hijau Bert semakin dalam, menelisik iris biru Filistin yang sangat jernih dengan bulu mata lentiknya yang indah. Sepasang bola mata sebiru samudera yang selalu ia rindukan, kini terpampang nyata. Kini sepasang mata indah itu akan selalu ada di sampingnya dan menemani hari-harinya. Bert berdoa dalam hati, semoga cintanya dengan Filistin akan terus bersemi dan abadi hingga ke surga-Nya kelak.

Bert mengulum senyum saat Filistin tiba-tiba mengecup singkat pipi kanannya. Kemudian perempuan itu berlari kencang menuju ranjang sambil tertawa kecil. Bert terkekeh sambil menggeleng melihatnya.

"Bert, kemarilah!" ajak Filistin antusias. Tubuhnya sudah bergelung di bawah selimut.

"Baiklah, aku datang! Rupanya sekarang kau sudah siap, hmm?" Bert tersenyum manis. Jantungnya berdetak kencang.

Filistin tertawa riang saat suaminya beringsut menaiki ranjang. Wanita itu dengan cepat menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Filistin sangat bersyukur, akhirnya Sang Khalik memilih Bert untuk menjadi imamnya. Dia berjanji akan belajar untuk menjadi seorang istri yang baik dan shalihah untuk Bert. Filistin menghela napas panjang. Dia merapal doa, Filistin sudah siap untuk menyerahkan seluruh jiwa, cinta dan raganya malam ini untuk suaminya, Bert.

The End

***

Alhamdulillah akhirnya aku bisa tamatin cerita ini setelah sekian lama aku gantung. Sudah plong rasanya, karena aku sudah tidak punya utang lagi sama kalian.

Aku mau ngucapin makasih banyak buat readers setia aku yang sudah ngikutin cerita ini dari awal dan selalu nungguin aku update. Makasih ya semoga kalian bahagia dan sehat selalu amiin 🤲♥️

Aku minta maaf kalau endingnya tidak sesuai dengan ekspektasi kalian. Harap dimaklumi ya, jujur susah banget buat mikirin alur dan ngerangkai kata-katanya. Mungkin karena sudah terlalu lama aku tidak nulis wkwk.

Silakan baca cerita ini sebelum aku hapus ya. Soalnya nanti bakal dipindahin ke platform berbayar 🙏😂

Buat yang belum follow silakan follow ya biar tidak ketinggalan info aku update. Karena isnyaallah aku akan nulis cerita baru lagi yang berlatar di Palestina. Sudah banyak ide sih, tapi aku belum menentukan mau nulis yang mana dulu. Semua latarnya di Palestina kok, karena aku sangat cinta Palestina ♥️

Thanks for reading ♥️















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro