Bab 4| Gadis Aneh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Toloooonggg ...! Toloooong aku! Aku tidak mau! Turunkan aku! Turunkan! A---Ayah, I--Ibu! Kakaak! Filin takuuuut!"

Filistin kehilangan tenaga. Dia memukuli punggung keras polisi itu dengan kedua tangan mungilnya yang sangat lemah. Bening hangatnya menetes-netes membasahi punggung polosi bejad itu. Dia dibawa melewati lorong yang sangat gelap hingga berhenti di depan sebuah ruangan di ujung lorong.

Pintu besi berderit setelah polisi itu menendangnya dengan sangat kasar hingga terbuka lebar. Dia menurunkan Filistin dengan kasar hingga tubuh mungilnya terpelanting ke lantai.

Filistin menjerit. Sepasang netra birunya berkilau di tengah ruangan yang minim penerangan tersebut. Dia merangkak mundur hingga punggungnya membentur tembok. Tubuhnya menggigil. Ia memeluk kedua lututnya mana kala polisi itu melangkah lebar semakin mendekat.

Polisi berkumis tipis itu menyeringai melihat Filistin ketakutan. Dia sudah tak sabar ingin segera menyantap mangsanya. Tangannya sangat gesit membuka sabuk yang melingkar di pinggang dan menjatuhkannya ke lantai, lalu bersiul seraya memainkan kumisnya berulang kali.

"Bersiap-siaplah, Manis. Malam ini akan menjadi malam pertamamu."

"Tolooong! Ya Allah kumohon lidungi aku! Ibuuuuuu!" jeritanya sangat memilukan.

"Jangan mendekat! Ku--kumohon jangan! Ayaaaah!"

Filistin semakin merapatkan kedua lututnya dan memeluknya erat-erat. Matanya terpejam sempurna dan bibirnya bergetar hebat saat lelaki itu sudah berjongkok di depan matanya. Bahkan wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Filistin. Dapat tercium bau alkhohol menyengat dari napas berat polisi bejad itu. Filistin mendadak mual karenanya.

Dalam hitungan detik, ruangan remang tersebut menjadi terang benderang. Seseorang telah menyalakan saklar lampu. Filistin melebarkan mata melihat sosok yang tengah berdiri tegak di ambang pintu sambil bersidekap. Begitu pun dengan polosi itu yang tak kalah tercengang.

"Berengsek! Berani sekali kau mengganggu urusanku!" Polisi itu melempar tatapan bengis.

Lelaki berpengawakan tinggi kekar di sana tampak sangat santai dengan senyum miring yang menghiasi wajah rupawannya. Celana jeans dengan atasan jaket navy army membuatnya terlihat sangat gagah malam ini. Kedua tangan kokohnya setia terlipat di dada. Sepasang netra hijaunya berbinar. Dia bersandar pada kusen pintu.

"Lepaskan gadis itu!" Suara bariton Bert menggema.

"Hei, Bung! Jika kau ingin bersenang-senang, di dalam masih banyak tahanan yang bisa kau pilih!"

"Apa kau tuli? Kubilang, lepaskan gadis itu! Aku menginginkannya." Bert berdecih, tatapannya berubah berang.

"Ck! Kau pikir aku akan menurut padamu! Aku telah lebih dulu memilihnya."

Bert mendesis setelah berhasil menangkap tangan lelaki kerempeng berkumis tipis itu yang mencoba menyerang wajahnya.

"Payah. Punya tenaga kecil saja ingin coba-coba melawanku ha?"

Polisi itu tidak berkutik. Tenaga Bert sangat kuat, dia meringis saat tangan kananya dipelintir ke belakang hingga menimbulkan suara gemertak tulang. Seketika tubuhnya mengejang menahan sakit.

"Masih ingin melawan?" Bert menodong pelipis polisi itu dengan relvover hitam kesayangannya.

"Aa--ampun! Kumohon lepaskan aku!"

"Pecundang!"

Bert melepaskan cengkeramannya dan menghempaskan polisi tersebut hingga dia sempoyongan. Bert mendesis seraya melempar tatapan garang pada polisi kerempeng tinggi itu yang sedang merangkak memungut sabuknya, lalu berlari terbirit-birit.

"Berani melawanku sama dengan menjemput ajal."

Bert berdecih, lalu ia mengalihkan pandang pada gadis kecil di pojok ruangan yang sedang menggigil ketakutan. Sepasang iris biru gadis itu terus meluruhkan air mata. Dia mengayunkan langkah tegas menghampirinya. Jantungnya kembali berdebar-debar sama saat seperti dia melihatnya dua hari yang lalu. Bert benci itu.

"Aku mencari gadis yang ditangkap karena kasus pencurian dompet."

Bert menyapu seluruh sudut sel tahanan. Namun retina hijau terangnya sama sekali tak menemukan batang hidung gadis itu.

"Di mana dia? Aku ada urusan dengannya."

Seorang gadis yang semula terus menunduk, perlahan mengangkat wajah basahnya. Bibirnya menipis, dia menghapus jejak air mata di pipinya dengan kasar, lalu berjalan menghampiri Bert. Dia mengenali wajah lelaki itu, Filistin sudah memperlihatkan fotonya dan menceritakan semuanya.

"Polisi jaga telah membawanya entah ke mana! Kumohon selamatkan dia! Dia sama sekali tidak mencuri dompetmu!" teriak Hala sambil menahan isak. Sepasang netra kelabunya penuh harap.

Rahang tegas Bert mengeras. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi pada gadis tahanan jika telah dibawa keluar sel. Jelas saja, dulu perwira Israel itu sering melakukannya. Ekor matanya melirik Hala sekilas, lalu ia segera berbalik badan meninggalkan sel dengan langkah gontai tanpa mengucapkan sepatah kata pun padanya. Bukan hal yang sulit bagi Bert untuk mencari tempat di mana para gadis tahanan itu akan diperkosa.

"Ja---jangan."

Satu alis tebal Bert terangkat sebelah. Sudut bibirnya tertarik ke samping melihat gadis kecil itu terpejam seraya memeluk lututnya erat-erat. Apa gadis itu berpikir jika Bert benar-benar akan memperkosanya? Demi Tuhan, Bert bukanlah seorang pedofil. Dia tidak tertarik pada gadis di bawah umur. Bahkan Bert ragu jika gadis ini telah mengalami menstruasi atau, belum. Tapi sialnya entah kenapa degup jantungnya justru semakin meletup-letup. Bahakan desiran aneh menyergap hatinya.

Aroma maskulin begitu lembut menembus cuping hidungnya. Filistin menelan saliva. Jantungnya berdebar. Dia tidak menyangka jika pria yang ia kagumi parasnya itu akan memperkosanya. Filistin sangat kecewa. Dia perlahan membuka mata, tubuhnya membeku kala tatapannya terkunci dengan sepasang iris hijau tajam milik Bert yang berjarak hanya satu meter dengannya. Sudah cukup lama, tetapi lelaki itu tidak menyentuhnya sama sekali dan justru terus menatapnya tajam.

"Ka--kau tidak jadi memperkosaku?"

"Kau sangat ingin diperkosa?"

Filistin menggeleng cepat. "Ti--tidak."

Bert membuang wajah, lalu kembali menatap tajam gadis itu. "Kembalikan fotoku!"

"Fo--foto?"

"Jangan berpura-pura bodoh. Kau sungguh sangat merepotkan." Bert mendesis. "Aku harus bolak-balik ke sini semua karenamu. Kau yang telah mencuri fotoku, bukan? Berikan fotonya."

Filistin berkedip. Ia memilin ujung baju tahanannya. "Fotomu ada dalam perutku."

"Kau memakannya?" Mata Bert melebar.

"Ti--tidak, bukan begitu. Fotomu ada di balik bajuku."

Bert semakin ternganga. Dia tidak habis pikir dengan gadis di depannya ini, entah apa yang gadis itu lakukan dengan fotonya. Bibir tipisnya membentuk garis lurus.

"Ambil fotonya."

"Aku akan mengambilnya, tapi kau jangan mengintip."

Bert mendesah berat. Raut kesal melumuri wajah putihnya. Dia sungguh jengkel dengan kelakuan gadis ini. Dia segera memalingkan wajah, membiarkan gadis itu mengambil fotonya di balik baju.

"I--ini fotomu."

Bert menoleh, lalu segera menyambar foto miliknya dari tangan mungil gadis itu dengan kasar. Dia berdiri dan menatap foto di tangannya yang sudah sangat kusut. Bert merinding.

"Kau benar-benar gila dan jorok sekali."

Bert menggeleng, lalu mengusapkan foto itu pada celana jeans-nya sebelum ia memasukkanya ke dompet.

"Tunggu!" teriak Filistin kala Bert melenggang pergi meninggalkannya.

Filistin berlari dan mengejar langkah panjang Bert keluar dari ruangan. Dia berhenti kala Bert berhenti dan memutar badan menghadapnya. Netra hijau lelaki itu menyorot dingin.

"Aku mohon bantu aku keluar dari sini! Bukankah dompetmu sudah kembali dengan utuh! Bayangkan jika bukan aku yang menemukannya, mungkin saja semua isi dompetmu akan hilang."

"Kau mencuri fotoku."

"Ta--tapi aku sudah mengembalikannya."

"Itu karena aku sendiri yang mendesakmu." Bert mendesis.

"Aku mohon bantu bebaskan aku dari sini! Kumohon!" Filistin terisak. Air matanya kembali berjatuhan hingga saling bertemu di ujung dagunya yang lancip. Iris birunya menatap Bert penuh harap. "Aku mohon. Aku ingin pulang. Keluargaku pasti sangat bersedih. Aku ingin pulang. Aku ingin sekolah. Bantu aku Demi Allah. Aku tidak mencuri dompetmu. Kau bisa mengatakan pada mereka jika aku hanya menemukan dompetmu! Aku tidak mencurinya!"

Rengekan gadis kecil itu benar-benar membuat Bert tidak tahan dan membuang napas berat. Memang benar apa yang gadis aneh itu katakan, dia tidak mencurinya.

"Aku sama sekali tidak peduli dan itu bukan urusanku."

Bibir Bert menipis kala tangan mungil gadis itu menarik ujung jaketnya dan kembali merengek.

"Aku mohon! Aku mohon bantu bebaskan aku dari sini!"

Suara Filistin nyaris hilang. Wajah basahnya sudah memerah dan panas. Bibir tipis kemerahannya bergetar.

"Aku mohon bantu aku!"

"Aku tidak mau. Apa kau tidak mendengarnya? Lepas!"

Bert menepis tangan Filistin dengan kasar, berani sekali gadis itu berbuat lancang padanya. Dia segera menyeret langkah panjang meninggalkan gadis itu. Baru sekitar dua meter dia menjauh, Bert menghentikan langkahnya. Hampir saja dia lupa dengan pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan pada gadis itu. Bert berdecak kesal, lalu memutar badan dan berjalan cepat menghampiri gadis itu lagi.

"Beri aku alasan kenapa kau mencuri fotoku?" tanyanya sesampainya di depan gadis itu.

Filistin menyeka laju air matanya menggunakan punggung tangannya yang putih. Tinggi badannya hanya sebatas bawah dada bidang Bert, ia mendongak untuk balas menatapnya lebih dalam. Jantungnya berdebar.

"Karena ... ka--karena kau tampan."

"APA?"

Bert membeku.

****

😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro