Bab 21 | Kosong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aisyah dan Aaron membeku di tempat mereka berpijak. Perempuan itu berdiri di depan ambang pintu kamarnya menghadap Aaron yang baru saja keluar dari arah dapur. Pria itu berhenti tepat di depan kamarnya.

Ada yang berbeda dari tentara Israel itu. Aisyah tidak melihat senyum menghiasi bibirnya. Senyum dengan lesung pipit yang biasa setiap hari menyambut paginya, meskipun tak pernah ia balas. Wajah tegas Aaron kini terlihat dingin. Tatapan netra elangnya pun tak sehangat dulu, kini sendu.

Aaron mengangguk pelan, lalu bergegas menyeret kedua kaki panjangnya untuk berlalu. Dia tak tahan lama-lama menatap sepasang iris hazel yang selalu membuatnya tak berdaya itu. Tak ada sepatah kata pun yang bergulir dari bibirnya. Ia sengaja mengunci mulut karena memang apa pun yang ia ucapkan seolah tak dihargai Aisyah.

Perempuan Gaza itu sudah berhasil mematahkan semua impian dan harapannya, melumpuhkan semangat hidupnya. Tetapi jalan kehidupan akan terus melaju. Kini ia bersumpah akan melakukan yang terbaik untuk negara dan agamanya. Aaron ingin menepi sejenak dari urusan percintaan. Hatinya sudah terlalu lelah dipatahkan untuk kedua kalinya.

Tatapan sendu Aisyah masih tertuju pada punggung lebar Aaron. Pria itu sudah rapi dengan seragam perwira Israel lengkap dengan senjata dan sepatunya. Aisyah tersentak saat derit pintu utama tertutup, menelan sosok Aaron dari jangkauan matanya.

Aisyah menghela napas panjang, lalu mengayunkan langkahnya menuju dapur. Sesampainya di depan meja makan, retina matanya mendapati sepiring sabich dan segelas susu sudah tersaji di atas meja makan yang ditutup tudung saji transparan seperti biasanya. Namun Aisyah tidak melihat surat cinta yang biasanya Aaron taruh di samping piring. Berulang kali pandangan Asiyah menyapu seluruh sudut dapur untuk mencari apakah Aaron menyimpan suratnya di tempat lain. Akan tetapi kosong. Ia kembali menatap nanar sepiring sabich buatan Aaron.

Aisyah terenyuh. Ia sungguh tidak menyangka Aaron masih tetap menyiapkan sarapan pagi untuknya, padahal kemarin Aisyah sudah banyak mengatakan kata-kata sinis pada pria itu. Dia meringis, hatinya sangat perih. Kedua matanya memanas hingga perlahan-lahan lelehan bening hangat menuruni kedua pipinya. Tangisan pilu sontak pecah dari bibir Aisyah.

"Kenapa kau masih menyiapkan semua ini untukku?"

Aisyah menahan napas. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangan, lalu beralih mengelus janin dalam perutnya yang bergolak. Dia sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi dan tidak mengerti ada apa dengan hatinya. Kehangatan sikap Aaron, surat cinta dari pria itu yang selama ini sangat dibencinya justru sangat ia rindukan. Ada bagian dari hatinya yang mendadak hilang dan menyisakan kekosongan di sana.

****

"Apa aku terlihat sangat buruk?"

Bert menghentikan akivitasnya. Ia menaruh senjata serbu Tavor yang baru saja ia lap di atas sebuah batu besar yang ia duduki. Napasnya berembus panjang saat iris hitamnya beradu dengan mata elang Aaron yang memerah, dahinya berkerut. Bert menebak pasti telah terjadi sesuatu dengan Aaron.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Jawab saja."

Aaron mengalihkan pandang pada rerumputan hijau liar di bawah kaki bukit. Angin senja yang menyapa sore itu terasa sejuk menyergap kulit wajahnya. Semburat jingga perlahan-lahan hampir sepenuhnya menyelimuti langit Jerusalem, Aaron terpukau sesaat melihatnya.

Saat ini mereka tengah duduk di atas puncak bukit yang tak jauh dari lapangan tempat para personel Unit Mistaravim latihan menembak dan melakukan serangkaian latihan perang lainnya.

"Bagiku, kau nyaris sempurna." Bert ikut memandang rerumputan rimbun di bawah sana. Senyum tipis menempel di bibirnya. "Kau tampan, kaya, berpendidikan dan ... karirmu di dunia militer pun sangat membanggakan. Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti ini?"

"Aisyah tidak mencintaiku. Dia mencintai lelaki lain."

Suara Aaron sangat berat dan serak. Ia terkekeh pelan, menertawakan kemalangan dirinya sendiri.

"Kenapa aku selalu tidak beruntung? Kenapa setiap wanita yang kucintai selalu mencampakkanku seperti ini? Padahal aku selalu tulus."

Bert tidak menyahut. Tatapannya mengintai wajah tegas Aaron. Ia dapat melihat air bening mulai bergumul di mata sang letnan. Tetapi Aaron bergegas mengusap wajahnya, lalu menegakkan punggung seraya membuang napas kasar.

"Ini cobaan untukmu, bersabarlah. Seharusnya kau jangan melibatkan hatimu terlalu dalam dalam urusan percintaan. Jika tidak, kau yang akan sengsara sendiri dan Aisyah ... terlebih lagi wanita itu seorang Muslim yang jelas-jelas sangat membenci kita. Terlalu banyak perbedaan di antara kalian dan kurasa itu sangat sulit." Bert ikut prihatin.

Aaron berdecih, ia menggeleng pelan.

"Jika saja aku dapat memilih, aku juga tidak ingin mencintainya. Kau tahu keluargaku pun sangat membenci mereka. Terlebih lagi Ayah." Sepasang mata elang Aaron menajam, dadanya semakin perih. "Tetapi cinta bukan perkara memilih dan dipilih kita akan menjatuhkan hati kita pada siapa. Buktinya aku bisa sangat mencintai wanita Palestina yang bahkan tidak kukenal sebelumnya. Tuhan sendiri yang menyemaikan perasaan ini di dadaku dan memilihnya untuk aku cintai."

"Kau benar, kurasa ini memang sudah garis takdir. Sudahlah, kau harus tetap semangat dan jangan berlarut-larut."

"Tentu saja."

Aaron tersenyum tipis saat pundaknya ditepuk pelan oleh Bert berulang kali. Dia berdiri dari duduknya. Sore ini Aaron harus pulang lebih awal untuk berkemas-kemas. Dia dan Jenderal Bolgen akan pergi ke perbatasan Rafah untuk memburu kawanan teroris yang melarikan diri ke sana.

****

Aaron mengetuk pelan pintu kamar Aisyah. Jantungnya masih berdebar-debar. Tak dapat dia pungkiri bahwa melucuti perasaan cinta tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang agar bisa sepenuhnya merelakan. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pintu kayu tersebut pun dibukakan dari dalam.

Degup jantung Aisyah meletup-letup ketika tatapan mereka bertemu dalam waktu yang cukup lama. Hingga atensi Aisyah tertuju pada seragam perwira Israel yang masih melekat di tubuh pria itu padahal waktu sudah larut malam. Ransel besar yang digendong Aaron pun tak kalah membuat hati Aisyah tersentak dan bertanya-tanya, ke mana Aaron akan pergi di jam seperti ini.

Semenjak tadi pagi hingga sekarang keduanya saling mengunci suara. Aisyah maupun Aaron sesunghuhnya merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Kecanggungan menyergap hati dua insan berbeda agama dan kebangsaan itu.

"Aku akan pergi ke perbstasan Rafah." Aaron menahan napas. "Mungkin untuk dua hari. Tinggallah di bawah selama aku tidak ada di rumah dan sebaiknya kau mengunci pintu dapur dari dalam."

Kedua mata Aisyah berkedip pelan. Mulutnya sedikit terbuka, ia ingin mengatakan sesuatu namun suaranya tersekat di kerongkongan hingga akhirnya bibirnya kembali mengatup. Lantas Aisyah hanya mengangguki perkataan Aaron.

"Pakailah ponsel ini. Di dalamnya ada kontak Bert dan kontakku. Jika ada sesuatu yang genting, kau bisa menghubungi kami."

Aisyah menatap nanar sebuah ponsel android yang Aaron sodorkan padanya, lalu ia kembali mengangkat wajah dan balas menatap sepasang netra elang Aaron yang sendu. Bibir tipis perwira itu masih membentuk garis lurus. Aisyah sungguh telah kehilangan senyuman yang sebelumnya selalu Aaron suguhkan untuknya.

Aisyah tak bisa lagi menahan air matanya untuk tidak tumpah ketika Aaron melapalkan doa-doa menggunakan bahasa Ibrani. Lelehan air hangat menuruni pipinya dengan sangat deras. Dia menyekanya dengan gerakan cepat, lalu memalingkan wajah ke arah lain saat tatapan elang Aaron mengintai wajah basahnya. Bahu Aisyah sedikit berguncang menahan perih di dadanya.

"Aku pergi."

Aaron membenarkan ransel besar di punggungnya. Kedua matanya berkaca-kaca, hatinya ikut pedih melihat wajah Aisyah banjir air mata. Ingin ia bertanya pada Aisyah kenapa dia menangis seperti itu. Namun Aaron rasa percuma saja, dia tidak ingin lagi membuat Aisyah tersinggung dan marah. Dia mengangguk pelan, lalu memutar badan dan menyeret langkah tegasnya meninggalkan Aisyah. Barusan dia mendoakan keselamatan untuk Aisyah dan anak dalam kandungannya. Aaron mendoakan agar Aisyah dan bayinya selalu dilindungi dari bahaya.

Letnan Aaron menghela napas panjang sesampainya di luar. Dia segera mengunci pintu utama rumahnya. Meskipun sangat berat hati meninggalkan Aisyah seorang diri di rumah, Aaron harus tetap melaksanakan tugas negaranya. Sepasang netra cokelat terangnya menajam, ia berharap perjalanan pasukannya akan dimudahkan dan bisa segera menangkap para teroris itu agar bisa secepatnya pulang ke rumah.

Ketiga lelaki berjas hitam itu tersenyum simpul melihat mobil Aaron melaju cepat meninggalkan kediamannya. Mereka bersembunyi dalam sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan, tak jauh dari rumah milik Aaron.

Sudah lama sekali Erez dan Baruch menunggu waktu yang tepat seperti ini. Baruch mendapat kabar dari mata-matanya jika Aaron akan pergi ke perbatasan Rafah malam ini. Ini akan sangat memudahkan aksesnya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Aaron sembunyikan dari Erez. Informasi yang diberikan anak buahnya memang sangat akurat, tentu saja karena dia merupakan salah satu personel Unit Mistaravim yang jelas-jelas mengetahui semua aktivitas Aaron di sana.

Baruch menarik satu ujung bibirnya ke samping. Sepasang matanya semakin berang, menatap kedua lelaki berjas hitam di kursi belakang. Dia menyuruh dua anak buahnya untuk turun dari mobil dan menggrledah rumah Aaron. Sementara dia memilih berdiam diri di mobil.

Kedua lelaki suruhan Baruch tersebut berjalan gontai menyeberangi jalan. Salah satu dari mereka sudah mengantungi kunci duplikat milik kediaman Aaron. Suasana malam itu sangat pekat dan terasa mencekam. Perumahan elit itu tampak sepi layaknya kota mati. Tidak ada lampu yang berpendar dari salah satu pun hunian megah yang berjajar rapi di sana. Salah satu anggota mafia bayaran berkepala plontos tersebut membuka pintu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kebisingan. Sedangkan temannya tampak mengedarkan pandangan ke sekitar untuk berjaga-jaga.

Kini keduanya sudah berhasil memasuki kediaman Aaron. Tidak ada lampu yang menyala, semuanya terlihat gelap. Salah satu dari mereka menggunakan senter untuk penerang hingga dia menemukan saklar lampu dan meyalakan ruangan hingga kini terang benderang.

"Periksa seluruh ruangan dan jangan sampai ada yang terlewat."

Lelaki bertubuh kekar itu mengangguk. Tatapannya menajam menyapu setiap sudut di ruang tamu.

"Aku pergi ke lantai atas dan kau mencarinya di bawah."

Sudah hampir dua puluh menit lelaki berkepala plontos itu menggeledah semua ruangan di lantai bawah dengan sangat teliti. Mulai dari ruang kerja, perpustakaan, kamar mandi tamu, dua kamar tamu hingga ruang keluarga. Tinggal satu tempat yang belum ia jamah.

"Dapur."

Peluh mengucur deras menuruni kedua pipi tegasnya. Lelaki itu mendesis. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Letnan? Kami akan segera mengetahuinya," ujarnya sambil memegangi kenop pintu dapur dengan tatapan sinis.

*****

Menuju ending kok aku yang was-was 😢

Mau sad or happy ending nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro