Bab 23 | Bolehkah aku memanggilmu Humaira?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat, kau sudah memenangkan cinta Aisyah."

"Terima kasih."

Bert terkekeh pelan. Ia mengambil duduk di sofa tunggal menghadap Aaron. Sejak tadi bibir sahabatnya terus merekah. Sersan Bert menggeleng melihatnya. Cinta sungguh telah membuatnya terlihat konyol.

"Eh, tapi bukannya dulu ... kau pernah bilang jika Aisyah sudah mencintai lelaki lain?"

Kedua ujung alis Bert saling bertemu. Dia mengambil sebuah majalah dari meja kecil yang berada di samping sofa, lalu memainkannya asal. 

Aaron menggeleng. Dia masih berbaring di ranjang. Setelah dua hari mendapat perawatan dari dokter pribadinya di rumah, kondisi Aaron sudah membaik. Dia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Jarum infus yang semula tertanam di lengannya sudah dilucuti. Kini hanya menyisakan cervical collar yang masih membungkus lehernya. Aaron sangat bersyukur karena goresan pisau itu tidak mengenai urat lehernya, hanya di lapisan kulit luarnya saja.

"Ternyata Aisyah hanya berbohong. Dia sudah menjelaskan semuanya padaku," ujar Aaron lirih.

"Lalu apa rencanamu setelah ini?"

"Aku akan tetap melindungi Aisyah. Setelah keadaanku benar-benar pulih, aku akan menemui Ayah dan menjelaskan semuanya."

"K-kau yakin?"

Aaron mengangguki pertanyaan Bert. Lambat laun semua rahasianya pun pasti akan diketahui Erez. Dia harus berbicara baik-baik sebelum terlambat. Aaron harus memastikan kejadian tempo hari tidak akan terulang lagi.

"Kalau begitu semoga saja hubungan kalian segera menemukan jalan terbaik. Semoga Paman Erez akan merestui kalian, walaupun ...." Bert menghela napas. "Itu sangat mustahil."

"Semoga saja. Tetapi apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Aisyah dan mempertahankannya."

Senyuman tipis menghiasi bibirnya yang pucat. Mata elang Aaron berkedip saat Bert menepuk pundaknya untuk pamit. Sudah tiga malam lelaki itu menginap di rumahnya demi berjaga-jaga. Ia sudah banyak berutang budi pada Bert.

Embusan napas panjang meluncur dari Bibir Aaron setelah pintu kamarnya ditutup Bert. Kedua netra cokelat terangnya berubah nyalang menatap langit-langit kamar. Sejujurnya kegelisahan masih menyelimuti hatinya. Dia tidak menduga ayahnya akan mengetahui tentang Aisyah semudah ini.

*****

Aaron sedikit terperanjat ketika pintu kamarnya kembali dibuka oleh seseorang. Bibir tipisnya kembali mengulas senyum dengan mata yang berbinar saat Aisyah menyembul di balik pintu.

Aisyah berjalan lamban sambil membawa nampah berisi semangkuk bubur, susu hangat, segelas air putih dan potongan buah apel merah di atas piring untuk sarapan Aaron. Ia menaruh nampah tersebut di atas nakas, lalu menarik sebuah kursi dan mendaratkan bokongnya di sana menghadap Aaron. Semangkuk bubur yang masih mengepul digenggamnya dengan erat.

"Bagaimana keadaanmu hari ini?"

"Sangat baik."

Aaron dan Aisyah saling mengunci pandang dan melempar senyum. Hati keduanya berdebar-debar. Semenjak Aisyah mengungkapkan perasaanya, entah kenapa suasana di antara mereka terkadang menjadi canggung seperti ini.

Terlebih lagi Aisyah yang sekarang lebih sering menundukan pandangan dan terlihat malu-malu jika di hadapan Aaron. Ia menjadi lebih pendiam dan selalu salah tingkah. Sesungguhnya ia malu pada Aaron atas semua sikap dan perkataannya yang dulu selalu kasar. Aisyah benar-benar sudah menjilat ucapan dan sumpahnya sendiri.

Astagfirullah. Hati Aisyah mencelus. Kini beban berat mendadak menghimpit dadanya hingga membuatnya sesak.

Ampuni dosaku, Ya Rabb. Sungguh aku tidak mengerti kenapa perasaan ini bisa tumbuh dalam dadaku untuk seorang pria Yahudi sepertinya. Hamba tidak pernah berharap dia menjadi jodohku dan juga tidak ingin mencintinya terlalu dalam. Aku berlindung pada-Mu dari perasaan ini dan jagalah imanku selalu di atas agama-Mu.

"Hei, kau melamun?"

Suara berat Aaron yang terdegar lembut membuat Aisyah mengerejapkan matanya. Dia bergegas membenarkan posisi duduk, lalu tersenyum kaku.

"Ma-maaf. Makanlah, buburnya sudah tidak terlalu panas."

Aaron tersenyum tipis, lalu ikut menegakkan posisi duduknya. Punggung lebarnya bersandar pada badan ranjang. Setelah merapal doa menggunakan bahasa Ibrani, mulutnya terbuka perlahan menyambut sesendok bubur yang Aisyah sodorkan padanya. Aaron mengunyahnya pelan-pelan. Hatinya sangat berbunga.

Tidak ada lagi raut masam yang melumuri wajah Aisyah. Senyuman yang wanita itu suguhkan pun sangat tulus untuknya. Tatapan mata yang dulu selalu sinis dan dingin, kini bagi Aaron bahkan sehangat mentari pagi. Tidak pernah dadanya sedamai dan senyaman ini berada di dekat seorang perempuan yang sangat ia cintai. Perjuangannya untuk memenangkan hati Aisyah sungguh telah berbuah manis.

Aaron terus mengunyah dengan penuh khidmat setiap sendok bubur yang Aisyah suapkan untuknya. Ia memandang wajah putih Aisyah dengan lekat, mendengarkan setiap kata yang mulai terlontar dari bibir penuhnya yang ranum. Ia tahu, Aisyah sedang berusaha untuk mencairkan kecanggungan di antara mereka.

Aisyah tampak sangat antusias menceritakan tentang kisah rumah tangga Nabi Muhammad saw. Hanya demi Aisyah, Aaron bertahan mendengarkannya. Padahal selama ini dia sangat membenci tentang hal apa pun yang berbau islam. Bahkan sesekali ia terbawa suasana ketika Aisyah mengurai senyum manis merayu bibirnya hingga ikut mengembang.

"Rasulullah SAW pernah bermain lari-lari dengan Aisyah. Beliau bahkan minum di bekas bibirnya dan ... Nabi Muhammad SAW juga memberi nama panggilan yang indah untuk setiap istri-istrinya."

Netra hazel Aisyah berkaca-kaca saat membayangkan betapa indahnya kisah rumah tangga Nabi Muhammad saw dan betapa manisnya beliau memperlakukan istri-istrinya dengan sangat adil, serta penuh kasih sayang.

Aisyah mengunci netra cokelat terang Aaron dengan serius. Hatinya berbunga-bunga.

"Kau mau tahu nama panggilan apa yang Rasulullah SAW sematkan untuk Aisyah?"

Aaron mengagguk cepat. Terpancar kekaguman dari sorot matanya. Bahagianya membuncah dalam dada melihat wajah bersih Aisyah berseri-seri. Bahkan semburat merah jambu kini melumuri kedua pipinya yang sedikit berisi. Aaron sangat gemas melihatnya.

"Humaira ...." Aisyah mengulum senyum, ia tersipu sendiri saat mengucapkannya di hadapan Aaron. "Nama itu diberikan padanya karena pipi Aisyah RA berona merah jambu. Bagimana menurutmu perjalanan rumah tangga mereka sungguh romantis, bukan?"

Aaron berkedip, lalu mengangguk diiringi senyum lepas yang ia pamerkan hingga lesung pipit di pipi kanannya sangat kentara.

"Sangat romantis," pujinya. Aaron berdeham pelan, lalu mengunci tatapan Aisyah lebih dalam. "Bolehkah aku memanggilmu Humaira?"

"Eh?"

Aisyah melebarkan matanya. Satu alisnya terangkat dan mendadak salah tingkah.

"Ke-kenapa ingin memanggilku seperti itu?"

Aaron mengulum bibirnya melihat ekspresi wajah Aisyah tampak tersipu.

"Karena sekarang kedua pipimu berona merah jambu. Sama seperti Aisyah yang kau ceritakan padaku barusan."

Sesaat pandangan netra mereka saling menumbuk dalam dan berbinar. Namun Aisyah segera menundukan pandangan, menatap bubur yang semakin erat dalam genggamannya. Dia bisa gila bila lama-lama balas menatap sepasang mata elang Aaron yang sangat tajam dan indah. Senyum menawan pria itu bahkan membuat jantungnya berdetak tidak normal.

Astagfirullah. Aisyah menahan napas. Hawa panas menjalar di kedua pipinya.

"Humaira ...," panggil Aaron sangat lembut, lalu ia mengulum senyum karena geli sendiri.

Aisyah semakin menundukkan pandangan tanpa menyahut. Ia susah payah menggigit bibir meresapi ribuan kupu-kupu yang seolah beterbangan di perut buncitnya. Cinta sungguh sudah membutakan akal sehat dan melumpuhkan egonya. Bagaimana bisa dadanya bergetar dipanggil Humaira oleh seorang tentara Israel yang dulu bahkan sangat dibencinya.

Ia menyuapkan sesendok bubur terakhir di tangannya pada Aaron tanpa mendongak. Aisyah sungguh tidak sanggup menatap wajah Aaron lagi.

"Aisyah, buburnya masuk ke lubang hidungku!"

Aisyah sontak melebarkan matanya dengan bibir yang ikut membola. Ia kelabakan dan bergegas meraih beberapa lembar tisu dari nakas, lalu segera memberikannya pada Aaron.

"Ma--maaf, aku tidak sengaja."

"Tidak apa-apa."

Aaron dan Aisyah terkekeh-kekeh menertawakan kekonyolan yang barusan terjadi. Keduanya saling mengunci tatapan. Aisyah sampai memegangi perut besarnya, sangat geli melihat nasi lembek yang memenuhi bibir dan sekitar hidung mancung Aaron.

"Kau tidak berniat membantuku untuk membersihkannya, hm?"

"Tidak!" sanggah Aisyah cepat, "kau bisa membersihkannya sendiri, bukan? Aku akan mencuci mangkuk dan ... buah apelnya kau makan sendiri saja."

Aisyah berdiri dari duduknya, menaruh kursi ke tempat semula lalu bergegas mengayunkan kakinya dengan gontai. Hatinya meletup-letup dan bibirnya kembali merekah dengan sangat lepas.

Aaron sendiri menggeleng sambil mengintai punggung Aisyah hingga menghilang di balik pintu. Kekehan pelan kembali bergulir dari bibirnya. Ia lantas menyeka area bibir dan hidungnya dengan tisu yang Aisyah kepalkan di tangannya barusan.

"Humaira ...."

*****

Hollaaa 😂 akhirnya aku gercep update lagi hari ini. Nulisnya buru-buru dan dadakan banget, tapi semoga tetap ngena yaaa. Kali ini pendek cuma 1200 kata😅

Oh, ya ... sekalian mau bilang, mungkin aku akan update cerita ini lagi bulan depan ya 😚 dikarenakan kuotaku habis hari ini. Sengaja enggak mau ngisi karena kalau punya kuota, aku selalu enggak fokus nulis dan malah keluyuran di IG dan YT. Pokoknya gitu lah.

Yaudah selamat menunggu.

Bab 24 | Kemurkaan Erez

Jadi di next part, Aaron mau ngomong nih sama bapaknya 😭

Kira-kira apa yang akan terjadi ya?

Dapatkah cinta menyatukan segala perbedaan di antara mereka?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro