BAB 1 🍒 Pertemuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....
.
.
.
.

· Juli 2013

Sore itu, langit sangat mendung, terlihat menghitam. Waktu baru menunjukkan sekitar pukul empat sore, tapi nuansanya seperti menjelang magrib. Entah kenapa aku berharap akan turunnya hujan. Aku ingin langit menangis bersamaku. Jika alam mau berkonspirasi, maka aku tak akan merasa sendirian di sini. Duduk termenung dengan air mata yang terus saja mengalir, memandangi nisan dengan ukiran nama 'Harun Faisal'. Dia adalah seorang pria yang luar biasa. Dia adalah pria yang telah memberikan aku nama yang sangat cantik. Khayra Fayyola, kebaikan dan ketulusan. Dia, ayahku, pasti berharap bahwa kelak anak gadisnya menjadi wanita yang baik dan memiliki hati yang tulus. Aku tentunya hanya bisa berusaha menwujudkan keinginannya.

Dulu, dia sering dijuluki Dokter Komplet, karena semua orang merasa bahwa hidup Ayah sangat sempurna. Walaupun memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Hanya saja, orang-orang tak pernah melihat kekurangan Ayah. Mereka hanya melihat kelebihannya. Ayah sangat tampan, bahkan ketampanan wajahnya tetap terjaga meski sudah memiliki tiga orang anak. Ketampanan itu yang kemudian menular pada kakak dan adikku. Ayah juga merupakan dokter spesialis jantung yang sangat sukses dan disegani. Selain itu, Ayah memiliki seorang istri yang cantik dan juga berprofesi sebagai seorang dokter. Profesi Ayah dan Bunda yang menjanjikan, tentunya membuat hidup kami sangat berkecukupan. Sempurna sekali.

Namun, kesempurnaan hidup itu lenyap seketika ketika Ayah pergi secara mendadak. Pria yang sangat aku cintai itu pergi dengan cara yang sangat tidak adil. Saat itu, aku merasa bahwa hidupku tak berguna lagi. Semua kebahagiaan seakan hilang tak bersisa.

"Permisi." Suara seseorang tiba-tiba membuyarkan ingatanku tentang Ayah. Aku mendongak, seorang wanita cantik yang kira-kira seusia Bunda sedang berdiri di hadapanku.

Aku segera menghapus air mata, lalu berdiri dan langsung bertanya, "Tante cari siapa?"

"Kamu ... Ayra?" tanya wanita itu setelah sebelumnya memandang wajahku lekat-lekat.

"Tante kok tahu?"

"Kenalin, Tante Wilda," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Aku sempat terdiam beberapa detik, tetapi kemudian menyambut uluran tangannya. "Ayra."

"Ini makam suami sahabat Tante," ujar wanita itu seraya manatap makam Ayah, lalu kembali menatapku. "Kamu Ayra anaknya Lia, kan? Lia itu sahabat Tante sejak SMA, sampai kuliah malah. Setelah menikah, kami jarang ketemu. Pernah ketemu sekali waktu kamu masih masih umur tujuh tahun. Kamu pernah main sama putra Tante. Makanya Tante ingat pas lihat kamu. Kebetulan Tante lagi ngunjungin makam temen juga," lanjutnya berusaha menjelaskan panjang lebar, mungkin dia tak ingin membuatku kebingungan.

"Kok saya nggak pernah lihat Tante? Tante nggak datang melayat waktu Ayah meninggal?"

Tante Wilda menggeleng. "Waktu itu Tante di luar negeri, jagain ibu Tante yang lagi sakit," jelasnya. Aku pun manggut-manggut.

"Boleh Tante minta nomor Bunda kamu? Kontaknya udah hilang," pintanya seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.

"Oh, boleh, Tante." Aku yang kebetulan hafal nomor ponsel Bunda langsung membacakannya pada Tante Wilda.

"Oke. Makasih, Sayang. Maaf ya, Tante buru-buru. Anak Tante udah nungguin di mobil. Kapan-kapan kita ketemu, ya?"

"Iya, Tante."

Setelah itu, Tante Wilda berlalu meninggalkanku. Aku pun memutuskan untuk segera pulang karena hari semakin sore. Aku berjalan menuju parkiran di mana Pak Jono—supirku—telah menunggu. Sebelum aku masuk ke mobil, aku sempat melihat Tante Wilda dari kejauhan. Dia berjalan ke sebuah mobil berwarna putih diikuti seorang lelaki jangkung yang berjalan sedikit pincang. Lelaki itu masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi, sementara Tante Wilda duduk di sampingnya. Sepertinya lelaki itu adalah putra Tante Wilda. Mungkin.

***

Sebelum pulang, aku singgah di minimarket. Baru saja Bunda mengirim pesan bahwa dia membutuhkan beberapa barang.

"Tunggu ya, Pak," ucapku setelah mobil terparkir rapi.

"Siap, Non," sahut Pak Jono.

Aku memasuki minimarket dan langsung menuju tempat barang yang dibutuhkan Bunda. Biasa, masalah wanita, apalagi kalau bukan pembalut. Aku kembali membuka ponsel dan membaca kembali pesan Bunda, hendak memastikan merek apa yang dia inginkan. Ketika aku kembali mendongak, aku melihat seorang lelaki sedang berdiri seraya menggaruk-garuk kepala kebingungan. Sepertinya dia sudah datang lebih dulu dariku, tapi aku baru menyadari kehadirannya. Matanya menjelajahi semua merek yang sudah terlampau banyak. Aku tersenyum geli melihat tingkah lucu lelaki itu.

"Ck, yang mana sih maksud Ibu?" Dia menggerutu sendiri sembari matanya tetap menjelajah. Sampai akhirnya dia menyadari kehadiranku yang tengah berdiri memandangnya. Mata kami berdua saling bertatapan dan detik selanjutnya aku salah tingkah, entah kenapa. Lelaki itu menggaruk tengkuknya, wajahnya pun terlihat memerah. Aku kemudian berjalan perlahan mendekatinya seraya menggigit bibirku. Aku merasa malu, tetapi aku bisa memahami bahwa lelaki di depanku itu pasti lebih malu.

"Em ... ada yang bisa saya bantu?" tanyaku hati-hati setelah aku berdiri tepat di hadapannya.

"I-iya, sih," jawab lelaki itu, seperti orang yang gugup. Kemudian dia menyalakan ponselnya. Sebuah pesan dari ponsel Nokia X2 itu diperlihatkan padaku. "Ini SMS-nya. Saya nggak ngerti yang bagian sayap-sayap."

Aku terkekeh mendengar ucapannya. Aku pun segera membaca pesan itu dan seketika tersenyum. Aku mulai mencari barang yang dimaksud ibu dari lelaki manis itu. Hanya hitungan detik, aku menemukannya. "Ini maksud ibu kamu," ujarku seraya memberikan barangnya.

Lelaki itu tersenyum. Dia memiliki eye smile. Manis sekali.

"Alhamdulillah. Makasih, ya," ucapnya seraya memandangku.

"Iya, sama-sama."

"Oke. Saya permisi. Sekali lagi makasih." Aku mengangguk tersenyum. Selanjutnya, si Eye Smile itu pergi meninggalkanku yang masih terpesona dengan senyumannya. Entah kenapa, dari lubuk hatiku, aku berharap bisa bertemu dengannya lagi. Pertemuan kami sangat singkat, tapi sangat berkesan bagiku.

Aku pun segera menyelesaikan tugasku. Jika kelamaan pulang, Bunda pasti akan mengoceh. Lagi pula, aku juga harus cepat pulang karena harus beristirahat. Esok hari aku masih harus berkutat dengan para senior menyebalkan di sekolahku.

***

MOS hari terakhir SMA Tadulako sungguh menyiksa. Aku mengusap peluh di dahiku. Hari semakin siang dan semakin panas. Mentari Kota Palu benar-benar sulit dikalahkan, panasnya membuat banyak orang enggan keluar di siang hari. Beda dengan kota lain yang adem ayem.

Penampilanku dan teman-teman selama tiga hari itu pun tak kalah keren dari penampilan para peserta Miss Indonesia pada malam puncak. Topi dari pot bunga, papan nama dari kardus, dan yang paling menonjol adalah ikat pinggang tali rafia dengan kaleng susu di kanan dan kiri yang diisi kelereng. Gerak sedikit, bunyi. Keren, kan?

Aku dan kelompokku—kelompok 5—kini berada di pos terakhir. Sistem MOS kala itu menggunakan sistem pos yang setiap posnya dijaga oleh beberapa pengurus OSIS. Di setiap pos, kami akan diberi materi yang berbeda-beda. Namun, aku menyadari bahwa minim sekali materi yang diberikan. Kebanyakan dari mereka hanya memanfaatkan kesempatan untuk menyiksa siswa baru yang selalu dianggap tak berdaya.

"Hey! Kamu yang di belakang, maju!" Suara menggelegar salah satu anak OSIS itu membuatku terlonjak. Masalahnya aku berada di barisan paling belakang. Spontan saja aku dan gadis di sampingku saling bertatapan, berusaha mencerna siapa yang sebenarnya dipanggil.

"Kalian berdua!" teriaknya lagi. Aku dan gadis di sampingku berlari ke depan dengan cepat menghampiri salah satu pengurus OSIS itu. Kak Vela, dia adalah salah satu senior yang paling dibenci di sekolah ini. Aku sudah sering mendengar rumornya.

"Yumna Arista, SMP Pelita Jaya, hobi menyanyi." Kak Vela membaca papan nama gadis di sampingku. "Khayra Fayyola Harun, SMP Tunas Bangsa, hobi membaca," lanjutnya membaca papan namaku. Lantas manggut-manggut tak jelas.

Gadis bermata tajam itu lalu menatap Yumna. "Yumna Arista, kamu balik ke barisan sekarang! Saya pengen suruh kamu nyanyi, tapi pasti suara kamu jelek."

Kulihat Yumna mendelik kesal pada Kak Vela, tetapi dia mengubah tatapannya dengan cepat. Mungkin dia tak ingin mencari masalah. Gadis berambut panjang sepunggung itu pun bergegas kembali ke barisan.

Tatapan Kak Vela kembali padaku. "Kamu hobi membaca, membaca apa?"

"Puisi, cerpen, dan novel, Kak," jawabku asal.

"Oke. Sekarang kamu ceritakan satu cerpen yang pernah kamu baca. Singkat aja, nggak usah panjang-panjang," perintahnya dengan enteng.

Ah, sial. Padahal aku menulis hobi membaca untuk cari aman saja, berharap tak akan ada yang bisa mereka manfaatkan dari hobi ini. Seharusnya sejak awal aku jujur saja dan menuliskan bahwa hobiku adalah bernyanyi. Tetapi sepertinya itu akan menimbulkan dampak yang lebih parah. Bagaimana jika aku disuruh bernyanyi di depan semua orang? Mungkin aku bisa pingsan.

Aku menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Aku benar-benar merasa gugup, bahkan menelan saliva saja butuh kekuatan. Kakiku mulai gemetar. Ingin rasanya aku mengatakan pada semua orang bahwa diriku fobia berbicara di depan banyak orang. Bicara saja tak bisa, apalagi harus bercerita.

Tak lama kemudian, kelompok 6 tiba di pos terakhir. Mereka berbaris di samping barisan kelompokku.

"Oke. Sekarang udah dua kelompok di sini. Kalian nggak akan lolos kalau dia nggak cerita," ucap Kak Vela menatap ke arah kelompokku. Teman-teman sekelompokku hanya bergeming. Aku pun tetap diam dan menunduk. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak tahan lagi.

"Oke. Kalau nggak mau cerita, sekarang buka sepatu kamu!" titah Kak Vela. Aku langsung mendongak. Gadis bertubuh tinggi langsing itu menatapku tajam. Melihat tatapannya, aku pun menurut, membuka kedua sepatuku.

"Kamu lihat lapangan itu," ujar Kak Vela seraya menunjuk ke arah lapangan basket di depan kami. Mentari sangat terik dan di sekeliling lapangan banyak sekali para siswa non-OSIS yang sedang memperhatikan kami. Aku menggigit bibir. Peluh mulai membasahi pelipisku. Aku sangat takut. "Lari keliling lapangan sekarang! Berhenti kalau saya suruh berhenti!"

"Kak, mataharinya panas banget. Nanti kalau dia pingsan gimana?" ujar seseorang tiba-tiba. Dia adalah salah satu siswa di barisan terdepan kelompok 6.

Kak Vela mendelik tajam. Tatapan matanya mengarah pada papan nama si empunya suara, lantas menatap wajah lelaki jangkung itu dengan sinis. "Danadyaksa Hernando, kamu mau ikut lari sama dia?"

Lelaki itu tiba-tiba terdiam. Dia lalu menunduk, melihat ke arah kakinya.

"Kamu mau ikut lari juga?" tanya Kak Vela sekali lagi.

Lelaki dengan nama Danadyaksa itu menatap Kak Vela dan kakinya secara bergantian, sampai akhirnya menjawab, "Enggak, Kak."

Pada saat itu aku bertanya-tanya, apa yang terjadi pada lelaki itu? Kenapa dia terus memandangi kakinya? Pasti terjadi sesuatu. Mungkin kakinya sedang sakit? Keseleo? Atau bisa jadi dia hanyalah anak manja yang takut sinar matahari dan tiba-tiba ingin menjadi pahlawan kesiangan. Bisa saja, kan?

Namun, dari semua itu, ada hal yang lebih penting. Aku merasa wajahnya tak asing. Di mana aku melihatnya?

"Saya aja yang gantiin dia lari," sahut lelaki di samping Danadyaksa.

Aku menatap lelaki itu dengan intens. Mataku terbelalak saking kagetnya. Astaga! Aku memang tak ingat siapa Danadyaksa itu, tapi aku ingat siapa lelaki di sampingnya. Aku ingat jelas wajahnya, bahkan suaranya.

Itu kan ... si Eye Smile.

Kak Vela tak menggubris siapa pun yang bicara. Dia malah menatapku, memberi isyarat untuk segera berlari. Tak ingin dimarahi lagi, aku pun mulai berlari. Aku menahan malu disorak-soraki oleh para siswa di sekitarku. Pertanyaanku saat itu adalah ... di mana para guru? Kenapa tidak ada yang menghentikan pengurus OSIS gila ini? Dan juga, di mana ketua OSIS? Kenapa dia membiarkan anggotanya menjadi sangat tidak beretika seperti ini?

Aku telah berlari dua putaran, kakiku mulai tertatih. Kepanasan. Keringat di wajahku terus mengalir beriringan dengan air mata. Aku ingin berhenti, tetapi tatapan mata super tajam dari Kak Vela membuatku tak bisa berkutik. Kakiku benar-benar seperti terbakar. Aku menangis dan terus menangis.

Kumohon ... siapa pun tolong aku!

"Berhenti, woy!" teriak seseorang tiba-tiba.

Aku berhenti berlari dan memandang ke arah barisan dengan napas terengah-engah. Kulihat lelaki bernama Danadyaksa itu perlahan keluar dari barisan, jalannya sedikit pincang. Sepertinya benar, ada yang tidak beres dengan kakinya. Mungkin terkilir? Ah, aku baru mengerti kenapa dia tak berani untuk lari bersamaku.

"Kalian semua udah gila, ya? Kenapa kalian semua diam aja? Ini MOS atau penyiksaan?!" teriaknya dengan suara yang sepertinya sangat lantang, tetapi sayup-sayup di telingaku.

Kepalaku mendadak pusing, sakit luar biasa. Aku tak bisa lagi fokus mendengar apa saja yang lelaki itu katakan. Aku meringis sembari memegang kepalaku. Samar-samar kulihat dua orang berlari ke arahku. Tak bisa kulihat jelas siapa mereka. Tak lama kemudian, semuanya gelap. Aku tak merasakan apa-apa lagi.

***

Aku membuka mata perlahan. Masih ada rasa sakit di kepalaku. Aku mengucek mata untuk memperjelas pandanganku. Sayup-sayup kudengar suara dua orang yang saling berbincang. Ruangan bernuansa putih menyambutku ketika kedua mataku berhasil menangkap objek dengan jelas.

"Danadyaksa Hernando, panggil aja Aksa."

"Rafif."

Dua orang yang duduk tak jauh dari ranjang tempatku berbaring itu saling berkenalan. Sepertinya mereka belum menyadari bahwa aku sudah sadar. Dua lelaki itu ... apa mereka yang kulihat tadi? Lelaki bernama Danadyaksa dan si Eye Smile yang ternyata bernama Rafif. Apa sejak tadi mereka yang menjagaku?

"Tadi keren banget," ujar Aksa.

"Ya, kalau kamu nggak mulai, saya nggak akan berani," balas Rafif.

"Ah, abisnya saya nggak tega lihat cewek itu."

"Iya, sama."

Sumpah, aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Apa yang sudah dilakukan si Eye Smile itu sampai Aksa memujinya? Sepertinya aku sudah melewatkan sesuatu yang penting.

Baru saja aku ingin menegur dua lelaki itu, seseorang masuk dan menginterupsi obrolan mereka. Itu adalah Kak Ferdi, ketua OSIS SMA Tadulako. Ke mana saja dia sejak tadi? Sudah seperti ini baru muncul.

"Kalian berdua boleh keluar, bentar lagi ada pengurus UKS yang akan datang dan jagain dia," ujar Kak Ferdi.

Kulihat Rafif melirik Kak Ferdi dengan tatapan kesal, entah kenapa. Kemudian dia berlalu begitu saja. Bagaikan anak ayam yang mengikuti induknya, Aksa berjalan di belakang Rafif, masih sedikit tertatih.

"Eh, kamu udah sadar, Dek? Udah nggak apa-apa, kan?" tanya Kak Ferdi setelah menyadari bahwa aku sudah membuka mata. Sebenarnya aku juga kesal padanya. Dari mana saja dia? Kenapa baru muncul sekarang?

"Udah nggak apa-apa kok, Kak," jawabku dengan malas.

"Kamu mau makan nggak?" tanyanya lagi. Aku semakin kesal. Dia berbicara seolah-olah aku ini temannya.

"Nggak perlu!" sahut seseorang tiba-tiba. Aku menengok. Kulihat kedua sahabatku masuk ke ruang UKS. Tita dan Ratih. Mereka merupakan sahabatku sejak kecil. "Ayra harus pulang sekarang!" lanjut Tita dengan nada kesal.

"Kamu kenapa, sih?" tanyaku.

"Pengurus OSIS itu menyebalkan, terutama ketuanya. Nggak becus!" sambar Tita dengan suara keras, sepertinya dia sengaja ingin menyindir Kak Ferdi.

"Maaf ya, Dek. Tadi saya ngurusin hal lain. Makanya nggak ada di tempat kejadian tadi." Kak Ferdi berusaha menjelaskan.

"Nggak ada yang nanya!" seloroh Tita sarkastis. Aku hanya menghela napas. Kemudian berdiam diri. Tita memang orang yang blak-blakan. Aku tahu seperti apa Tita jika sudah kesal. Dia akan mencerocos sampai suaranya habis. Tak peduli siapa yang dia hadapi.

"Ayo pulang, Ra. Sini saya bantu," ujar Ratih lembut. Ah, iya. Untung saja ada Ratih yang sangat lemah lembut. Gadis berhijab itu merupakan salah satu orang yang sangat sabar menghadapi sikap Tita. Perangai kedua sahabatku itu benar-benar berkebalikan.

Tita dan Ratih pun membantuku keluar dari UKS. Pak Jono dan mobilku sudah menunggu di luar. Ketika berada di luar UKS, aku terperangah. Sekolah sangat sepi.

"Udah jam empat sore. Kamu pingsannya kelamaan," jelas Tita yang sepertinya langsung mengerti ekspresi keterkejutanku.

Aku hanya nyengir. "He he, maaf."

Tita dan Ratih kemudian membantuku hingga masuk ke dalam mobil. "Urusan Bunda kamu nggak usah khawatir, saya udah bilang hari ini kan hari terakhir, jadi kegiatan lebih banyak dan pulangnya lebih lama." Tita memulai pembicaraan setelah mobil melaju.

"Kamu bohong sama Bunda?!" pekikku.

"Nggak usah berisik, deh. Santai aja kali. Biar Bunda nggak khawatir," balas Tita dari jok depan. Dia lalu memutar kepalanya ke belakang, menatap aku dan Ratih. "Nih ada surat dari dewa penolong kamu hari ini. Tenang aja, saya dan Ratih belum baca. Heran deh, ini 2013. Ponsel udah ada, masih aja ngasih surat. Enakan juga ngomong langsung."

Aku menghela napas. Telingaku harus sabar mendengar celotehan Tita sampai tiba di rumah. Aku pun meraih dua lembar kertas dari tangan gadis bertubuh mungil itu, lantas bertanya, "Kapan mereka kasih ini?"

"Sebelum kita masuk ke UKS," jawab Ratih.

Aku tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya, tadi ada kejadian apa sih waktu saya pingsan?"

"OMG!" pekik Tita heboh. "Dua cowok itu, Aksa dan Rafif. Wah, saya yakin mereka bakalan jadi siswa baru yang paling terkenal. Udah ganteng, pemberani pula," lanjut gadis berambut pirang cokelat itu.

"Waktu kamu pingsan, Rafif langsung gendong kamu ke UKS," sambung Ratih. "Tapi, Ra, sebelum itu dia ditegur sama salah satu pengurus OSIS."

"Ditegur gimana?" tanyaku antusias. Aku benar-benar penasaran.

"Kakak itu nanya gini ke Rafif, 'kamu mau bawa dia ke mana?' Dan kamu tahu apa jawaban Rafif?" Ratih semakin membuatku penasaran.

"Gimana gimana?"

"Biar saya yang jawab!" sahut Tita. Gadis berambut panjang sepunggung itu berdeham. Lalu mencoba menirukan gaya bicara Rafif. "Ya dibawa ke UKS, Kak. Kan nggak mungkin dibawa ke toilet. Saya baru sadar, ternyata pengurus OSIS di sini parah, ya. Melakukan sesuatu seenaknya!"

"Nah, pas!" seru Ratih dengan jentikan jari.

"Dia ngomong gitu?" Aku mencoba memastikan.

"Iya. Dia ngomong gitu sambil gendong kamu, Ra. Terus kamu langsung dibawa ke UKS deh!" jelas Ratih.

"Yakin deh, dua cowok itu pasti langsung dapat fans, terutama cewek-cewek di sekolah," sambung Tita.

Aku pun manggut-manggut. Dalam pikiranku kini terbayang wajah dua orang itu. Aku melirik dua kertas di tanganku. Aku pun membuka kertas pertama.

Istirahat ya, Khayra. Semoga cepat sembuh. Jangan lupa obatin kakinya, pasti tadi kepanasan banget. Maaf tadi saya terlambat bertindak.

- Aksa

Aku tersenyum singkat membaca pesan itu. Makasih, Aksa, ucapku dalam hati. Aku lantas segera membuka kertas ke dua.

Cewek cengeng, balik lagi gih ke TK. Belajar ngomong. Biar orang lain gak semena- mena sama kamu. Udah bisa bedain pembalut kok masih cengeng.

- Hamba Allah

Aku terdiam sejenak setelah membaca kertas ke dua itu. Namun, detik selanjutnya tawaku pecah. Aku tertawa lepas. Astaga, kenapa dia menyinggung masalah pembalut? Si Eye Smile itu benar-benar berhasil menarik perhatianku.

Tita dan Ratih menatapku dengan penuh tanda tanya, tetapi aku tak peduli. Bagiku, pesan dari Rafif benar-benar lucu.

Setelah tawaku mereda, aku kembali menatap dua lembar kertas putih di tanganku. Dua lembar kertas putih dari dua orang yang berbeda. Dua orang yang tak mengenalku, tetapi hari ini mereka mau menolongku. Aku memang yakin bahwa di dunia ini masih ada orang-orang yang peduli, masih ada orang yang rela membantu orang lain walaupun tak pernah saling bertatap muka.

Tatapanku masih mengarah pada dua lembar kertas putih itu. Dua lembar kertas putih yang telah diberi tinta hitam oleh dua orang yang berbeda.

Aksa dan Rafif. Terima kasih untuk hari ini....

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro