BAB 10 🍒 Berbaikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading...
.
.
.
.

Fajar baru saja tiba. Aroma embun pagi dan embusan angin begitu menyejukkan. Damai, tenteram. Terdengar suara ayam berkokok, burung bersahut-sahutan, serta dedaunan yang menyapa melalui lambaiannya. Bukankah itu pagi yang sangat indah? Seharusnya begitu. Namun, pagi itu sungguh tidak menyenangkan. Suasananya sama seperti semalam; canggung. Karena pertengkaran konyol itu, liburan kami menjadi berantakan. Kini kami bertujuh duduk di ruang tengah, saling berdiam diri, tak tahu harus melakukan apa.

"Sa, maafin Rafif, ya. Kamu pasti salah paham," ucapku memberanikan diri. Aksa hanya diam mengutak-atik ponselnya, tak mengacuhkan aku yang sedang mengajaknya berbicara.

"Kita pulang aja sekarang," saran Arman, "nggak ada gunanya liburan kayak gini."

"Sepakat!" sahut Aksa seraya bangkit dari duduknya. "Ayo, semuanya siap-siap. Kita pulang sekarang."

"Kenapa liburan kita jadi berantakan gini, sih? Baru hari pertama udah ada masalah," keluh Tita dengan suara bergetar, seperti menahan tangis. Gadis bertubuh mungil itu adalah salah satu orang yang paling bersemangat dalam liburan kali ini. Jadi, wajar saja dia merasa kecewa. Liburannya tidak sesuai ekspektasi. Maaf ya, Tita. Ini semua salahku.

"Udahlah, Ta, beresin barang sana!" titah Arman. Lelaki berkacamata itu kemudian pergi menuju kamarnya, diikuti teman-teman lainnya yang ikut pergi membereskan barang-barang.

Tersisa aku dan Rafif. Kami saling memandang sejenak, hanya beberapa detik. Kemudian aku berdiri hendak ke kamar, tetapi kalimat Rafif menghentikan langkahku.

"Saya yakin kamu percaya sama saya."

Hanya satu kalimat, tetapi berhasil menggetarkan hatiku. Iya, saya percaya, batinku. Aku ingin mengutarakannya. Namun, bibirku seakan terkunci. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan langkahku, pergi begitu saja.

Setelah sarapan, kami pamit pada Pak Ari. Untung saja saat ketika Aksa dan Rafif bertengkar, pria empat puluh tahun itu tidak ada di villa sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi. Rencana liburan kami yang awalnya lima hari, membuat kami harus mencari alasan agar bisa pulang tanpa membuat Pak Ari dan Bunda curiga. Kami pun beralasan bahwa ada satu tugas khusus selama liburan yang belum kami kerjakan, dan tugas itu harus dikumpulkan di hari pertama sekolah. Untunglah Pak Ari percaya dan segera menelepon Bunda untuk mengabarkan bahwa anak-anaknya akan segera pulang.

Tak seperti perjalanan menuju villa yang penuh senda gurau, perjalanan pulang terasa mencekam. Tak ada lagi canda dan tawa. Masing-masing hanya berdiam diri. Aksa fokus menyetir, aku diam memandang ke luar jendela mobil. Ratih, Tita, dan Arman lebih memilih untuk tidur. Sementara Rafif kulihat memejamkan mata sembari mendengar musik melalui earphone. Adapun Yumna, kulihat dia hanya termenung. Entah apa yang dia pikirkan.

***

"Memangnya itu tugas apa? Kenapa nggak diselesaikan sebelum kalian liburan?" tanya Bunda begitu kami telah sampai di rumahku.

"Em ... itu ... seluruh kelas sepuluh dapat tugas, Bunda," jawab Aksa ragu-ragu. "Kalau masalah kenapa belum dikerjain, itu karena kita lupa, Bun," lanjutnya berusaha membuat alasan masuk akal.

"Iya, Bun. Karena terlena dengan liburan, akhirnya lupa tugas deh," imbuh Tita.

"Untung aja semalam ada teman yang ngingetin," sambung Arman meyakinkan.

"Libur kenaikan kelas ada tugasnya juga, ya? Kalian kan udah naik kelas dan kelasnya aja belum dibagi, kan? Siapa yang masuk IPA, siapa IPS, siapa Bahasa. Tugasnya apa kalau Bunda boleh tahu?"

Pertanyaan telak dari Bunda membuat kami semua terdiam. Aku bilang juga apa, mereka tidak percaya bahwa bundaku adalah orang yang teliti. Terutama mendeteksi kebohongan. Sebut saja seperti itu.

"Bunda...." Aku mengambil alih pembicaraan. "Tugasnya nanti Ayra lihatin ke Bunda, kok. Teman-teman baru sampai, gimana kalau mereka istirahat dulu?"

"Oh, iya. Maaf ya, Bunda kebanyakan nanya." Akhirnya Bunda berhenti bertanya. Teman-temanku menghela napas perlahan, jangan sampai Bunda curiga.

Maaf, Bunda. Maaf karena bohongin Bunda.

Aku benar-benar tak tega membohongi Bunda. Namun, itu semua permintaan teman-temanku. Kemauanku juga. Tujuannya juga demi Bunda. Kami tak ingin membuat Bunda khawatir, atau bahkan marah sebab pertengkaran tak jelas itu.

"Ya udah, sekarang kalian istirahat di sini dulu, ya," ucap Bunda akhirnya.

"Nggak usah, Bun" tolak Aksa.

"Iya, Tante. Kita semua udah mau pulang," sambung Arman.

"Ya udah kalau gitu. Mobil dan motor kalian ada di garasi, ya," ujar Bunda diikuti anggukan dari sahabat-sahabatku itu. Mereka semua pun pamit pulang.

Satu kalimat untuk menggambarkan mereka hari itu; raga sedang bersama, tetapi hati tercerai berai.

***

Senin. Hari di mana segala aktivitas dimulai. Hari yang mungkin menyebalkan bagi sebagian orang. Hari yang menjadi awal untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Seperti halnya Senin kala itu, hari pertama sekolah setelah libur panjang selama lebih dari sebulan. Hari yang aku tunggu-tunggu karena aku sudah sangat bosan berada di rumah. Apalagi seminggu itu aku hilang komunikasi dengan teman-temanku, kecuali Aksa tentunya.

Aku mempersiapkan segalanya sejak selesai salat subuh. Mulai dari menyetrika seragam, menyiapkan sepatu dan kaus kaki, sampai menyiapkan tas yang baru saja dibelikan oleh Bunda. Aku hanya memasukkan dua buku ke dalam tasku, sebab aku yakin pasti belum ada pembelajaran di hari pertama sekolah. Terlebih lagi MOS masih berlangsung. Mungkin hanya pembagian kelas dan pembagian jadwal pelajaran saja. Aku berharap bisa sekelas dengan Tita, Ratih, dan Yumna. Sebelum liburan tiba, kami sama-sama memilih jurusan IPA pada saat dilakukan pemilihan jurusan. Aku yakin bisa lolos sebab nilaiku di semester satu dan dua sama sekali tak mengecewakan.

Satu hal yang lupa aku sampaikan; Kak Vela terpilih menjadi ketua OSIS. Wakilnya adalah teman seangkatannya dari kelas XI IPS 1. Seperti janjiku, aku tidak akan mendaftarkan diri menjadi pengurus OSIS jika dia ketuanya. Teman-temanku pun tentunya sepemikiran denganku. Jika aku mendaftar, mungkin aku tidak akan bisa liburan lama karena harus mengurus siswa baru. Tetapi harus kuakui, melihat kinerjanya sekarang, Kak Vela memang orang yang bertanggung jawab. Sampai sekarang aku masih heran, kenapa dia memperlakukanku dengan cara tidak baik ketika masih MOS kala itu.

Lamunanku buyar ketika kudengar suara motor memasuki pelataran rumahku.

"Wah, tas baru nih!" seru Aksa dari atas motor.

"Ck, nggak usah diomongin. Kayak anak SD aja," gerutuku sembari mengambil helm dari motor Aksa. Aksa hanya cekikikan melihatku.

Kami pun segera berangkat dengan laju motor yang lumayan pelan, karena hari memang masih sangat pagi. Kami begitu bersemangat berangkat di hari pertama.

"Sayang...," panggil Aksa di tengah semilir angin yang berembus saat kami berada di atas motor. Aku hanya menjawab dengan menggumam. "Peluk, dong. Dingin nih!" lanjutnya dengan senyum jail. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca spion.

"Dingin apanya? Tuh matahari udah ada," jawabku yang sejak tadi berpegangan pada jaketnya.

Aksa berdecak. Wajahnya menunjukkan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. Hal itu membuatku terkekeh pelan. Aku kemudian melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya, kemudian menyandarkan daguku di bahunya.

Aksa seketika tersenyum lebar. "Nggak malu peluk-peluk?" tanyanya.

"Kan kamu yang suruh peluk," jawabku polos.

Lagi-lagi Aksa tersenyum. Lelaki itu melepaskan tangan kirinya dari setang motor, kemudian memegang tangan kananku yang sedang melingkar di pinggangnya. Dia menggenggam erat tangan kecil itu, membuat jantungku berdebar hebat.

Aksa kemudian memberikan kecupan manis di tanganku, dan berkata, "I love you, Ayra."

Aku yang sebelumnya sempat melongo, seketika tersadar. Aku pun langsung menyandarkan kepalaku ke punggung Aksa dan memeluk lelaki itu lebih erat. Aku memejamkan mata, lantas berkata dengan lirih, "Love you too, Aksa."

Untuk sejenak, aku merasa damai. Tenang.

***

Kalau kata Arman, Dewi Fortuna telah berpihak padanya. Namaku, Tita, Ratih, Rafif, dan juga Arman terpampang di antara barisan nama XI IPA 1. Kami berjingkrak-jingkrak kegirangan, kecuali Rafif seperti biasa dengan sikap santainya. Sementara Aksa diam terpaku menatap kertas di mading itu. Matanya seakan tak berkedip. Dia berkali-kali menelusuri daftar nama XI IPA 1, tetapi tak menemukan nama Danadyaksa Hernando di sana. Justru namanya ada di XI IPA 3, bersama dengan Yumna Arista.

"Wah, ini hebat! Raf, Tuhan memang sudah menakdirkan kita untuk selalu bersama, kita sekelas lagi, Bro!" ujar Arman dramatis.

"Untung aja Yumna di IPA 3, saya nggak bisa bayangin keran bocor ngumpul dalam sekelas," kata Ratih, dengan tatapan mata masih ke arah mading.

"Jadi, kamu bersyukur nggak sekelas sama saya, Rat?" tanya Yumna, pura-pura mengambek.

"Eh, enggak, Yum. Bukan gitu maksudku," jawab Ratih yang langsung menatap Yumna.

"Jangan percaya, Yum. Ratih emang nggak mau sekelas sama kamu," timpal Tita memanas-manasi.

"Enggak. Apaan sih, Ta? Yumna, jangan percaya dia," ucap Ratih sembari mendekati Yumna. Tita dan Yumna spontan tertawa melihat sikap polos Ratih.

Yumna kemudian merangkul kedua sahabatnya itu di kanan dan kirinya. "Saya sama Tita bercanda kok, Ratih sayang," ucap Yumna.

"Ih...." Ratih mencubit pipi Yumna dan Tita dengan gemas, membuat kedua gadis itu meringis. "Rese!"

"Jangan cubit-cubih, ih!" keluh Tita sembari mengusap pipi kanannya.

Aku yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara, "Jadi, udah baikan nih kalian?"

Tita dan Yumna saling bertatapan, seakan-akan tahu bahwa mereka yang kumaksud. Selanjutnya, mereka tersenyum bersamaan. "Iya, Ra. Yumna datang ke rumahku buat minta maaf. Saya emang udah salah paham sama dia," jelas Tita.

"Masa dia nuduh saya manas-manasin Aksa? Kurang kerjaan banget, kan?" timpal Yumna. Gadis berponi itu mencubit pipi Tita.

Aku hanya tersenyum seraya manggut-manggut. Aku juga sempat berpikiran seperti itu setelah mendengar cerita Ratih. Namun, mereka sudah berbaikan. Aku tidak boleh lagi curiga pada siapa pun. Sekarang hanya tersisa Aksa dan Rafif yang harus kembali disatukan.

"Lihat tuh!" Yumna mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk lantai dua di gedung bagian kanan. Kami sontak mengikuti arah telunjuknya, "IPA satu dan IPA tiga hanya dipisahkan oleh IPA dua. So, gampang kalau saya mau main ke kelas kalian, dan sebaliknya," lanjut Yumna menjelaskan.

Aku kembali manggut-manggut. Tatapan mataku kemudian beralih ke Aksa. Di tengah kesibukan Tita, Ratih, dan Yumna yang membahas kelas, serta Arman yang sedang mengoceh pada Rafif, kulihat Aksa masih mematung di depan mading. Aku pun menghampirinya. "Sa, kamu kenapa? Bukan masalah kan kalau kita nggak sekelas?"

"Kamu sekelas sama Rafif," jawab Aksa datar, masih memandang mading.

Aku menghela napas, lantas memegang pundak Aksa. "Kamu masih mikirin kejadian di villa?" tanyaku, tetapi Aksa tetap bergeming.

Sudahlah. Percuma bicara dengannya jika keadaan mood-nya sedang tidak baik. "Saya harap kamu segera selesain salah paham kamu sama Rafif. Kalau enggak...," ucapku, berhenti sejenak saat Aksa langsung memandangku, "kalau enggak, saya nggak bakalan mau ngomong sama kamu."

Setelah mengucapkan itu, aku berlalu begitu saja. Meninggalkan Aksa dengan segala pikirannya yang tak kuketahui isinya.

***

Aku berada di rumah Aksa sampai waktu ashar tiba. Selain diajak Tante Wilda main ke rumahnya, aku juga ingin mengembalikan mood Aksa agar tidak kesal lagi. Dan hasilnya, aku sukses. Aku berhasil membuatnya kembali tertawa. Namun, itu semua tak berlangsung lama. Tepat saat kami sedang bermain playstation di ruang tengah, asisten rumah tangga Aksa datang memberi tahu sesuatu.

"Den Aksa, di luar ada Den Rafif," ujar Mbak Ayu.

Setelah mendengar kalimat itu, ekspresi wajah Aksa langsung kembali kusut. Persis seperti pakaian yang belum disetrika. Sebelum Aksa berkata, aku lebih dulu bersuara, "Temuin aja dulu, nggak ada salahnya, kan? Mau sampai kapan musuhan?"

Aksa bergeming, tetap fokus memainkan stik di tangannya. Aku pun menggenggam tangannya dan fokusnya langsung teralihkan. Dia menatapku dan aku langsung memberikan senyuman terbaikku untuknya. Memberi isyarat agar dia segera menemui Rafif.

"Oke, fine!" ujar Aksa akhirnya. "Kamu tunggu di sini, ya."

"Iya. Jangan berantem," titahku.

Aksa pun segera keluar untuk menemui Rafif. Namun, diam-diam aku mengikutinya. Jujur saja aku ingin menguping pembicaraan mereka.

"Oke, langsung aja!" ujar Aksa pada Rafif. Kini mereka berdua duduk di tepi kolam renang rumah Aksa. Mungkin mereka pindah dari ruang tamu agar pembicaraan mereka tak terdengar olehku. Padahal mereka tak tahu aku telah berdiri di balik pohon dekat pintu untuk menguping. Aku hanya bisa mendengar suara mereka tanpa bisa melihat ekspresi mereka dengan jelas sebab mereka duduk membelakangi posisiku. "Kamu mau bahas masalah di villa, kan?" lanjutnya tanpa memandang Rafif. Kulihat kepalanya lurus ke arah kolam.

Tanpa ba-bi-bu, Rafif langsung berbicara secepat kilat. "Waktu itu Ayra berenang, saya juga mau berenang. Tapi karena saya lihat ada Ayra, saya nggak jadi berenang. Saya nunggu sampai dia pergi, pas dia mau pergi malah kepeleset, jatuh, saya tolongin, saya bawa ke tepi, saya tepuk-tepuk pipinya. Terus kamu datang dan salah paham," jelas Rafif dengan sangat cepat. Istilahnya 'bicara tanpa titik koma' dan hanya beberapa kali tarikan napas. Hal itu membuat Aksa melongo seketika, memandang Rafif. Aku pun ikut melongo dibuatnya.

"Woy!" seru Rafif dengan jentikan jari tepat di depan wajah Aksa. Lelaki itu langsung tersadar.

"Ah, penjelasan apaan tuh! Saya nggak bisa nyimak kalau kamu jelasin secepat itu," protes Aksa. "Jelasin lagi pelan-pelan."

Rafif pun menceritakan kajadiannya sejak awal. Mulai dia datang ke kolam renang sampai Aksa datang. Aku menyimak dengan saksama. Ternyata Rafif memang ada di dekat kolam kala itu. Dia juga ingin berenang, tapi urung karena ada aku di sana. Wajar saja jika dia menjadi orang pertama yang menolongku.

"Jadi, gitu kejadiannya?" tanya Aksa, yang dijawab anggukan oleh Rafif. "Ternyata kakinya keram, makanya nggak bisa berenang," gumamnya seraya manggut-manggut.

"Jadi, gimana? Urusan kita selesai, kan?" tanya Rafif.

"Tapi, yang dibilang Yumna beda!" sahut Aksa kemudian.

Rafif langsung duduk tegap dan menatap Aksa dengan serius. Aku pun ikut menajamkan pendengaranku. "Yumna? Dia ngomong apa?" tanya Rafif.

"Dia bilang kamu berenang bareng Ayra," jawab Aksa.

Kulihat Rafif terdiam, ekspresinya tak begitu jelas di mataku. Tak lama kemudian, dia berkata, "Ah, mungkin Yumna salah paham."

"Salah paham gimana?" tanya Aksa terlihat tak mengerti.

"Ya, mungkin aja dia lihatnya pas saya nyelamatin Ayra. Kita kan sekolam tuh, dan awalnya kan Ayra belum pingsan. Mungkin dia salah paham dan ngira saya lagi berenang berdua sama Ayra," jelas Rafif. Namun, aku melihat ada yang aneh dari ekspresinya, walaupun samar-samar. Apakah mungkin dia ikut curiga pada Yumna? Tapi dia tidak mau menunjukkannya pada Aksa. Mungkin.

"Kalau Yumna lihat kamu pas lagi nyelamatin Ayra, dia pasti tahulah Ayra tenggelam. Model orang tenggelam kan beda, nggak masuk akal banget, Raf!" Aksa terlihat ragu.

"Mungkin aja dia ngomong gitu karena panik. Ayolah, jangan berpikiran negatif sama orang lain, Sa," titah Rafif. "Kamu udah berpikiran negatif sama saya, sekarang kamu mau berpikir negatif lagi sama Yumna? Lagian coba kamu pikir, kalau memang Yumna sengaja ngarang cerita, sengaja manas-manasin, tujuannya buat apa coba? Dia kan sahabat kita. Masa mau ngerusak hubungan kita, sih?"

Kata-kata dari Rafif sepertinya membuat Aksa yakin bahwa ini semua hanyalah kesalahpahaman. Dan akhirnya Aksa mengucap kata maaf lebih dulu. "Maaf ya, Raf," ucapnya, "saya udah salah paham."

"Iya, nggak apa-apa. Saya juga minta maaf," balas Rafif tersenyum.

"Oke. Masuk, yuk! Di dalam ada Ayra. Saya mau bilang kalau kita udah baikan," ujar Aksa bersemangat.

Sontak saja aku terkejut. Dengan cepat aku mengendap-endap ke dalam rumah. Untunglah aku berdiri di dekat pintu. Aku harus kembali ke posisi semula sebelum Aksa mencurigaiku.

***

Malam telah tiba dan aku hanya duduk di balkon kamar sembari memetik gitar asal. Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika dering ponselku memecah keheningan. Nama Aksa terpampang di layar. Aku langsung menggeser slide answer.

"Halo," sapaku.

[Halo, Assalamualaikum.] Suara Aksa terdengar dari seberang sana.

"Waalaikumsalam," jawabku. "Kok nelfon?"

[Kenapa? Nggak boleh?]

"Bukan nggak boleh, kita kan baru ketemu sore tadi. Kamu nggak bosen ngobrol sama saya?"

[Kalau tentang kamu mah saya nggak pernah bosan.] Seperti biasa, dia menggombal. [Saya nggak gombal, kok. Beneran.]

Kontan saja aku tertawa. Sepertinya dia sudah bisa menebak isi pikiranku. Ah, menebak isi pikiran ... mengingatkanku pada seseorang.

Ah, mikir apa kamu, Ra! Aku geleng-geleng kepala untuk mengembalikan fokusku.

Baru saja aku ingin kembali bersuara, terdengar teriakan seseorang yang memanggil Aksa. Sepertinya suara Mbak Ayu, asisten rumah tangga Aksa.

[Den, ada telepon dari Non Yumna.] Suara Bi Ayu semakin jelas dengan aksen jawanya yang sangat kental, sepertinya dia sudah berada di kamar Aksa.

Hm, Yumna menelepon Aksa?

[Iya, Mbak, tunggu bentar. Ah Mbak Yu gangguain aja.] Aksa terdengar cukup kesal.

"Udah, bicara aja sana. Mungkin dia coba telepon ke nomor kamu, tapi kan sibuk. Makanya ke telepon rumah. Pasti penting." Aku mencoba memberi pengertian padanya.

[Kamu tunggu, ya. Jangan dimatiin.]

"Siap!"

Tak lama kemudian, hening. Tak terdengar suara apa pun. Aku menunggu Aksa sambil sesekali bersenandung ria. Di sisi lain aku juga sangat penasaran, apa yang Yumna bicarakan dengan Aksa.

[Sayang!] Akhirnya Aksa kembali selang beberapa menit.

"Hm...." Aku hanya menggumam.

[Maaf, ya, kamu jadi nunggu.]

"Nggak apa-apa, santai aja," jawabku.

Aksa kemudian menjelaskan apa yang dia bicarakan dengan Yumna. Baguslah, aku tak perlu repot-repot bertanya. [Yumna kesel gitu bicara sama saya, dia nuduh saya bicara macam-macam sama Rafif.]

"Kok bisa gitu?" tanyaku antusias.

[Katanya, tadi sore Rafif datang ke rumahnya dan bahas masalah di villa gitu. Nggak tahulah, saya nggak ngerti.]

Tuh kan, bener, Rafif pasti juga curiga sama Yumna. Dia pura-pura aja di depan Aksa tadi.

[Halo, kok diam?]

"Eh, enggak, kok. Em ... tapi mereka nggak berantem, kan?"

[Enggak kayaknya, soalnya kata Yumna, si Rafif datang nanya-nanya gitu. Emang sejak kapan Rafif bisa marah sama perempuan? Paling juga cuma kesel.]

"Ooh ... ya udahlah, ya. Yang penting nggak ada yang berantem lagi." Aku mencoba membersihkan pikiran-pikiran negatif yang ada di kepalaku.

Hal terpenting adalah semuanya telah kembali seperti semula. Semuanya sudah berbaikan. Sudah beres. Tentunya ... tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, bukan?

Malam itu, aku mengobrol dengan Aksa sampai jam sepuluh malam. Bercerita banyak hal tanpa ada rasa bosan. Aku sungguh berharap; semoga semuanya akan baik-baik saja.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro