BAB 13 🍒 Ayra's Birthday

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading...
.
.
.
.

· Juli 2015

Hari pertama sekolah setelah libur panjang merupakan hari yang ditunggu-tunggu sebagian siswa. Namun, ada juga anak malas yang belum merasa puas dengan liburannya. Padahal kerjaannya di rumah hanya bermalas-malasan. Bagiku, hari pertama sekolah merupakan hari yang menyenangkan. Apalagi aku sudah menduduki kelas XII, kelas tingkat akhir yang akan segera disibukkan dengan belajar ekstra. Hanya saja, hari itu sedikit terganggu sebab aku sedang sakit flu. Ah, penyakit langganan itu selalu saja mengacaukan hari indahku.

Pagi itu belum ada pembelajaran. Bu Zahra, wali kelas kami yang baru, hanya masuk untuk mengatur tempat duduk dan melakukan pemilihan pengurus kelas. Hasilnya adalah aku duduk di bangku bagian ujung kanan, barisan ketiga, tepatnya di bangku Rafif yang lama. Aku duduk bersama Rosa, gadis pembuat onar yang satu komplotan dengan Dito. Siapa pula Dito? Aku tidak pernah menyebut namanya. Sebenarnya aku sudah sering sekelompok dengannya dalam tugas-tugas, termasuk saat kelas XI pada hari di mana aku bertengkar dengan Aksa karena Romi. Hari itu dia tidak datang dan memang selalu seperti itu. Hanya 'numpang nama' saja. Dan Rosa? Ya, sebelas dua belas dengan Dito. Ah, sial memang. Aku sangat tak menyukai gadis itu. Namun, apalah daya. Peraturan Bu Zahra tak bisa ditentang. Guru dengan hijab panjang itu memang terkenal penyayang, tetapi juga sangat tegas. Rata-rata siswa yang menjadi anak walinya selalu disiplin dan jarang berbuat masalah. Mengenai pengurus kelas, Rafif terpilih menjadi ketua kelas XII IPA 1.

"Wah! Deketan sama dua orang pintar nih!" seru Arman dari arah belakang. Lelaki berambut ikal itu mendapat tempat duduk di belakang Rosa, dan disampingnya adalah Rafif. Ya, Rafif duduk tepat di belakangku. Dan kenyataan itu membuat perasaanku tak menentu. Aku sudah cukup lama menjauh dari Rafif, dan sekarang kami malah didekatkan. Semoga saja tidak akan ada lagi kesalahpahaman. Ini adalah aturan Bu Zahra, dan aku bisa menjelaskan itu pada Aksa nanti.

"Ck, Bu Zahra ada-ada aja, sih!" keluh Rosa.

"Eh, Ros, seharusnya kamu senang. Entar kamu bisa nyontek sama Ayra kalau ujian," timpal Arman, membuatku mendelik tajam padanya.

"Ayra nggak seru, dia nggak bisa diajak main selama belajar," ujar Rosa seraya berdiri. "Ar, ikut saya ke kantin yuk! Saya mau nyusul Dito ke sana."

"Bentar lagi masuk lho, Ros." Aku mengingatkan.

"Ini hari pertama, Ra. Pasti belum belajar, santai aja," jawabnya sambil menatapku, lalu kembali menatap Arman. "Ayo, Ar. Saya traktir."

"Traktir?!" pekik Arman bersemangat. "Okay. Let's go!"

Kedua remaja itu pun segera keluar dari kelas, meninggalkan aku dan Rafif yang sekarang sedang geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.

"Ra," panggil Rafif. Aku langsung menoleh. "Boleh minta tolong nggak?"

"Tunggu!" cegahku, padahal Rafif belum bilang mau minta tolong apa. "Saya mau nanya, kenapa tadi kamu nggak ikut ke rumahku?"

Maksudku adalah ikut ke rumahku untuk memberi surprise ulang tahun. Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Aksa, Arman, Tita, Ratih, dan Yumna datang memberikan surprise padaku tepat jam dua belas malam, sama seperti yang kami lakukan pada Aksa dulu. Namun, ketidakhadiran Rafif membuatku bertanya-tanya.

"Emang teman-teman nggak bilang?" Rafif bertanya balik.

"Katanya, Ibu kamu nggak enak badan," jawabku.

"Terus? Kenapa nanya?" tanya Rafif tajam, membuatku akhirnya terdiam beberapa detik.

"Oke, lupakan," putusku. "Kamu mau minta tolong apa?"

"Saya hanya minta tolong kamu jawab satu pertanyaan," kata Rafif.

"Apa?"

"Em ... kalau misalnya kamu suka sama si A, tapi si A itu udah punya pacar, pacarnya itu si B. Nah, si B itu sahabat kamu. Apa yang akan kamu lakukan, Ra?" tanya Rafif seraya menatap mataku intens, membuatku terpaku. "Kamu bakalan mundur dan melupakan si A? Atau maju terus? Atau ... gimana?"

Entah kenapa, tapi aku merasa bahwa Rafif sedang membicarakan diriku. Si A adalah aku, sedangkan si B adalah Aksa. Entah dari mana asal tebakan itu, tapi itulah yang ada dalam otakku.

Aku menelan saliva dengan susah payah. Tubuhku mulai berkeringat. Bagaimana aku akan menjawab pertanyaan Rafif? Ah, kenapa juga Rafif harus bertanya seperti itu.

"S-saya nggak tahu," jawabku terbata-bata.

"Kan saya bilang misalnya. Misalnya kamu ada di posisi itu, kamu bakalan mundur?" Rafif masih mencoba bertanya.

"Tergantung," jawabku akhirnya.

"Tergantung apa?" Mata Rafif masih memandangiku.

"Ya, tergantung," jawabku lagi. Aku sudah kehilangan kata-kata.

"Oke. Udah, nggak usah dijawab lagi. Kamu udah keringetan," ucap Rafif, membuatku menghela napas lega dengan perlahan.

"Nih! Belum dibuka, masih baru," ujar Rafif seraya memberikan sebotol air mineral padaku. "Minum dulu, saya cuma nanya hal sepele, tapi seakan-akan saya mengintimidasi sampai kamu keringetan gitu."

"Nggak usah, makasih," tolakku halus.

Bukannya berhenti, Rafif malah membuka tutup botol itu dan memberikannya padaku sekali lagi. "Minum," suruhnya, "kalau nggak mau, saya bakalan maju terus."

Aku spontan menatap mata Rafif dengan sedikit membelalak. "Ma-maksudnya?"

"Ha ha ha...." Rafif malah tertawa. Eye smile yang sangat aku rindukan kini terlihat lagi di depan mataku. "Kamu kenapa sih, jadi orang panikan banget? Nih minum, kalau lagi flu itu harus bnayak minum air," lanjutnya masih dengan tawa kecil.

Aku pun meraih botol itu dan meneguk isinya. Sementara Rafif masih saja menatap wajahku dalam-dalam. Entah apa yang terjadi padanya.

"Ternyata ... memendam perasaan itu menyakitkan, ya," ujar Rafif tiba-tiba. Kontan saja aku tersedak sampai terbatuk-batuk.

"Ck, Ayra...." Rafif berdecak. "Udahlah, saya nggak bakalan ngomong lagi."

Aku hanya diam sembari mengelap mulutku dengan telapak tangan. Sungguh, aku sangat malu. Kenapa aku begitu kikuk di hadapannya? Dan yang paling menyebalkan adalah dia selalu berbicara hal-hal membuatku terkejut. Aku selalu merasa dia sedang membicarakanku.

Apa aku terlalu kepedean?

***

SELAMAT ULANG TAHUN AYRA

Senyumku mengembang indah melihat dekorasi di kamarku yang agak berbeda saat aku baru saja tiba di rumah. Balon warna-warni dengan tulisan 'SELAMAT ULANG TAHUN AYRA' berjejer rapi di salah satu sisi dinding kamarku yang didominasi warna merah muda itu. Bunda dan Afan berdiri memegang kue cokelat dengan angka tujuh belas.

"Bunda, kan tadi udah surprise-nya," ucapku sambil melangkahkan kaki mendekati Bunda.

"Tadi itu surprise dari sahabat-sahabat kamu, sekarang surprise dari keluarga," jawab Bunda dengan senyuman.

"Ayo, tiup lilinnya, Kak!" seru Afan heboh.

Aku tersenyum lebar, lantas mengangguk. Aku baru saja akan meniup lilin ketika suara seseorang tiba-tiba muncul dari arah pintu kamarku. "Mau tiup lilin tanpa Kakak nih!"

Deg!!

Suara itu....

Aku spontan berbalik badan saat mendengar suara yang sangat kurindukan itu. Seorang lelaki dua puluh tahun berdiri sembari melambaikan tangannya dan tersenyum lebar sampai deretan giginya terlihat.

"Kak Adit!" pekikku.

"Surprise lagi!" sahut Bunda.

Aku tersenyum ke arah Bunda dan Afan, lantas berlari ke arah Kak Adit dan memeluk erat kakakku itu. Meluapkan kerinduan setelah setahun tak berjumpa.

"Kakak kok nggak bilang sih mau datang?" tanyaku setelah kami berpelukan.

"Kalau Kakak bilang, itu namanya bukan surprise," jawab Kak Adit seraya mencubit hidungku. Aku langsung tersenyum hangat.

"Nanti aja kangen-kangenannya, ini lilinnya ditiup dulu," ujar Bunda, membuat putra-putrinya kembali tertawa ria.

"Makasih semuanya," ucapku haru. Air mata bahagia mengalir dari pelupuk mataku.

Walaupun Ayah sudah tidak berada di sisiku, setidaknya masih ada Bunda dan dua saudara yang setia mendampingiku. Mereka segalanya bagiku. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa mereka. Pasti akan sangat terasa hampa. Panjangkan umur mereka, Ya Allah....

***

Selepas acara kejutan itu, aku hanya menghabiskan waktuku di rumah. Sama sekali tak ada niat bepergian sedikit pun. Aku hanya ingin di rumah, bersama Kakak. Bercengkerama dan saling bertukar cerita.

Malam itu, masih di hari yang sama, tak terasa kami telah duduk selama lebih dari dua jam di taman dekat kolam renang. Ditemani oleh bulan sabit lengkap dengan ribuan bintang yang sedang bersinar terang di sekitarnya. Kami bercerita segala hal, sampai ujung-ujungnya Kak Adit membahas Aksa. "Oh ya, kenalin Kakak sama pacarmu, dong," goda Kak Adit dengan senyum jail.

"Kakak tahu?" tanyaku, sedikit terkejut.

"Tahu, dong. Diceritain sama Bunda, abisnya kamu nggak cerita sama Kakak," jawab Kak Adit dengan nada kesal yang dibuat-buat, dan lagi-lagi mengundang senyum di wajahku. "Orangnya gimana? Baik nggak?"

"Baik banget, Kak," jawabku singkat.

"Bilang ke dia, jangan nyakitin kamu, kalau sampai berani, dia berhadapan sama Kakak!" ujar Kak Adit seraya menepuk dadanya. Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya. "Hm, besok aja ya kita ngobrol lagi. Kakak ngantuk nih!" lanjutnya.

"Iya, Kak. Kakak istirahat aja."

Kami pun segera memasuki kamar masing-masing. Aku merebahkan tubuh di atas kasur dengan wajah berseri-seri. Bahagia sekali rasanya. Di hari ulang tahunku, Kakak akhirnya pulang ke rumah.

Namun, ada satu hal yang membuat perasaanku terganggu. Rafif belum mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Padahal di sekolah kami sempat mengobrol, bahkan aku sudah menyinggung masalah ulang tahunku, tapi Rafif seakan tak peduli. Dia malah bertanya tentang sesuatu yang membuatku merasa canggung. Ya, aneh memang jika aku merasa kecewa dia tak mengucapkan, karena Rafif bukanlah orang spesial. Namun, aku juga tak bisa menyangkal bahwa aku merasa ada yang kurang. Rafif termasuk sahabatku, seharusnya lelaki itu peduli padaku walau sedikit.

Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan dia.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA. Aku pun bersiap untuk tidur. Berharap hari esok akan lebih baik lagi.

***

Seperti sedang bermimpi, aku mendengar dering ponselku. Mataku perlahan-lahan terbuka. Hm, bukan mimpi? batinku.

"Ck, siapa sih nelfon malam-malam gini?" keluhku sembari meraba-raba di samping bantal, mencari ponselku dengan mata tertutup. Begitu ponsel dalam genggamanku, aku segera menggeser slide answer di layar dengan mata setengah terbuka tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Halo," sapaku dengan malas.

[Assalamualaikum.]

"Waalaikumsalam. Siapa?"

[Udah tidur, ya?]

Deg!!

Mataku langsung terbuka penuh saat menyadari suara dari seberang sana. Suara yang tak asing di telingaku. Aku beringsut duduk dengan tegap, kemudian manatap layar ponsel. Mataku yang sejak tadi sangat mengantuk mendadak melebar saat melihat nama 'Kahlil Gibran KW' di layar ponselku.

Astaga! Rafif?

[Halo, masih ada orang?]

"Eh, i-iya," jawabku gelagapan.

[Maaf, saya bangunin kamu tidur.]

"Nggak apa-apa. Ada apa, ya?" tanyaku seraya mengucek-ngucek mataku.

[Sekarang jam berapa?] Si Eye Smile itu bertanya balik.

Aku menatap ponselku sejenak, lalu kembali menempelkan benda pipih itu ke telinga. "Dua menit lagi jam dua belas," jawabku. Saat itu waktu memang sudah menunjukkan pukul 23:58 WITA.

[Selamat ulang tahun!]

"Hah?!" seruku spontan.

[Selamat ulang tahun. Cek tas kamu ya. Dah.]

Tiba-tiba saja sambungan telepon diputus secara sepihak. Aku masih melongo, ponselku masih menempel di telinga. Sampai akhirnya, getaran ponsel membuyarkan lamunanku. Aku pun membuka pesan dari Rafif yang baru saja masuk.

Jangan lupa cek di tas kamu.

"Tas? Ada apa?" gumamku heran. Aku pun langsung menyalakan lampu, lantas bergerak mengambil tas ranselku yang ada di atas meja belajar. Tanpa basa-basi, aku membuka tas berwarna merah muda itu dan menemukan sebuah amplop biru yang tidak pernah kusadari sejak kapan ada di dalam tasku.

Dengan perlahan, aku membuka amplop di tanganku dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya.

Aku mulai membacanya.

Aku, yang bahkan sudah lupa caranya tersenyum. Kini akan tersenyum setiap kali melihat wajahmu. Aku, yang bahkan sudah lupa rasanya bahagia. Kini akan merasa bahagia tatkala melihat senyummu. Aku, yang bahkan belum sempurna mengenalmu. Kini merasa hampa tanpa dirimu. Aku, yang tak pernah mengenal cinta. Kini dapat memastikan bahwa kamulah cinta pertamaku.

Selamat ulang tahun, Khayra Fayyola Harun.

Catatan: Jangan GR ya! Itu puisi yang saya buat untuk Ibuku. Saya cuma mau buktiin kalau saya bukan pencuri puisi Kahlil Gibran. Saya bisa bikin puisi sendiri walau abal-abal. Waktu itu saya pernah kirim puisi, tapi lupa nulis 'Oleh: Kahlil Gibran'. Nah, itu yang di atas...

Judulnya: Puisi Abal-Abal

Oleh: M. Rafif Sava

Oh ya, saya udah berhasil belum jadi orang terakhir yang ngucapin selamat buat kamu?

Bibirku langsung membentuk lengkungan indah tatkala selesai membaca surat dari Rafif. Aku bahkan kemudian tertawa, sampai air mataku sedikit keluar. Entah air mata apa itu. Wajahku memerah tanpa kusadari. Aku sempat berpikir bahwa Rafif tidak akan mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Ternyata aku salah. Dia ingin menjadi orang terakhir.

Aku kembali berbaring, kali ini sambil menatap surat itu tanpa menghilangkan senyum di wajahku. Walaupun kata Rafif itu puisi untuk ibunya, tapi aku yakin bahwa puisi itu memang dibuat khusus untukku. Hanya saja dia gengsi mengatakannya. Aku tidak kegeeran, kan?

Tanganku segera mengambil ponsel. Dengan jemariku, aku mengganti nama 'Kahlil Gibran KW' dengan nama 'Sang Penyair'. Senyumku belum juga pudar.

Astaga, kenapa di saat seperti ini aku tiba-tiba melupakan Aksa?

Tuhan ... bagaimana perasaanku yang sebenarnya? Kenapa aku belum mengerti juga?

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro