BAB 19 🍒 Curahan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....

🍒🍒🍒

"Jadi ... kamu putus sama Aksa dan sekarang Bunda marah sama kamu?" respons Tita setelah aku curhat panjang lebar. Aku mengangguk mengiakan.

Pagi-pagi sekali Tita, Ratih, dan Yumna datang ke rumahku untuk mendengarkan segala ceritaku. Mereka telah berpakaian sekolah lengkap. Mengingat hari itu adalah hari Senin, maka akan menjadi masalah besar jika kami datang terlambat.

"Baikan aja, Ra," saran Tita. Ratih dan Yumna tak ikut berkomentar, mereka diam saja. Mungkin Ratih memikirkan curhatanku tempo hari saat dalam perjalanan ke sekolah, maka dari itu dia enggan berkomentar banyak. Adapun Yumna, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran gadis pecinta ungu itu.

"Enggak, ah! Saya yang mutusin masa saya yang minta balikan," ujarku masih tetap pada pendirian.

"Ya, terus gimana, dong? Kamu mau terus-terusan marahan sama Bunda?" tanya Tita, yang sejak awal paling aktif mengeluarkan pendapat.

"Btw, kenapa ya Bunda kayak maksa banget kamu sama Aksa? Memangnya udah ada perjanjian apa gimana?" Ratih akhirnya membuka suara.

"Katanya mereka udah rencana jodohin saya sama Aksa sejak kecil," jawabku.

"Tapi kayaknya Bunda bukan tipe orang yang suka maksa deh, Ra," timpal Tita yang memang sudah mengenal Bunda sejak kecil. "Selama ini kan kamu dibebasin mau ngapain aja, asalkan positif," lanjutnya.

Ratih mengangguk setuju. "Emang perasaan kamu sebenarnya gimana sih, Ra? Kamu masih sayang nggak sama Aksa?" tanya Ratih. Sepertinya gadis ini sedang mencoba memancingku agar jujur terhadap perasaanku sendiri.

Aku diam seribu bahasa. Mulutku tak bergerak sedikit pun. Tita dan Yumna menatapku dengan mata menyelidik.

"Jangan bilang ... kamu memang udah nggak suka sama Aksa?" serang Tita.

"Kamu suka sama Rafif?" Yumna menimpali. Aku semakin merasa terintimidasi, manik mataku mendelik tajam pada Ratih yang sedang cengengesan.

"Ratih kok ketawa? Kalian sembunyiin sesuatu, ya?" tanya Tita kesal.

"Oke, oke, saya cerita deh!" Aku akhirnya pasrah, mengalah dan menceritakan semua perasaan yang pernah aku utarakan pada Ratih.

Setelah mendengar ceritaku, mata Yumna berubah sendu, tetapi bibirnya tersenyum. Aku sama sekali tak bisa menebak maksud dari ekspresi wajahnya itu. Tiba-tiba saja dia memelukku. Tindakannya itu membuat kami bertiga melongo.

"Yum, kamu kenapa?" tanya Tita dengan alis tertaut.

Yumna langsung melepaskan pelukannya dariku diikuti cengiran. "Pelukan persahabatan untuk menguatkan," jawabnya santai.

Kami semua tersenyum mendengar jawaban Yumna, lantas berpelukan seperti teletubbies. Setelah bercerita pada mereka, perasaanku lumayan lega. Memang tak baik memendam masalah sendirian, sebab masih banyak orang di sekeliling kita yang peduli.

"Kamu selesaikan secara baik-baik deh, Ra. Bicara pelan-pelan sama Bunda. Saya yakin banget, Bunda pasti bakal ngerti," ujar Tita mengakhiri percakapan. Kami harus segera berangkat ke sekolah jika tak ingin dihukum membersihkan toilet.

***

Bel istirahat berbunyi nyaring. Semua siswa XII IPA 3 berhamburan keluar kelas. Aku kebetulan lewat di depan kelas Aksa dan Yumna saat itu. Ketika semua siswa bergerombol keluar bagaikan ternak yang baru dilepas dari kandang, Aksa justru duduk diam di bangkunya. Bangku paling belakang pojok kanan, tempat duduk strategis bagi anak-anak bandel. Namun, di XII IPA 3, para siswa berprestasi termasuk Aksa lebih memilih duduk di belakang. Aku menatapnya dalam diam dari balik jendela. Ah, kenapa sekarang aku jadi tak tega melihatnya tak bersemangat seperti itu?

"Aksa!" sapa Yumna, yang tanpa persetujuan langsung duduk di samping lelaki jangkung itu. Aku semakin mendekat dengan jendela, penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan. Ya, bisa dibilang aku sedang menguping.

"Apa?" respons Aksa, cuek bebek.

"Masih galau, ya? Ke kantin, yuk! Saya yang traktir." Celotehan Yumna keliatannya tak menarik bagi Aksa.

"Pergi aja sana! Saya nggak mau ke mana-mana," sahut lelaki berhidung mancung itu. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dan menyandarkan kepalanya pada lipatan tangan itu.

Yumna mengesah kesal. "Aksa...," ujarnya pelan, "kamu ngapain sih mikirin orang yang sama sekali nggak mikirin kamu?"

Aksa masih bergeming. Tak tertarik. Sementara aku semakin menajamkan pendengaran. "Dia nggak mikirin kamu, Sa. Dia mikirin Rafif," lanjut Yumna.

Deg!!

Apa maksud Yumna berkata seperti itu pada Aksa? Ini malah akan semakin memperburuk keadaan. Dan benar saja, kalimat terakhir Yumna rupanya berhasil menarik perhatian Aksa. Lelaki itu langsung duduk tegap. "Maksud kamu?

"Saya bakal cerita, tapi kamu harus makan, ya," ujarnya bernegosiasi.

"Kamu kenapa sih, Yum?" tanya Aksa heran.

"Nggak kenapa-napa. Saya cuma mau hibur kamu aja, sebagai sahabat yang baik hati dan tidak sombong," jawabnya enteng.

Aksa menghela napas, dan akhirnya mengangguk. Senyum di bibir Yumna terbit seketika. "Tadi pagi saya, Tita, dan Ratih ke rumah Ayra." Yumna mulai menjelaskan. "Dia curhat soal hubungannya sama kamu, sama Rafif, sama bundanya juga."

"Terus?" Aksa terlihat sangat penasaran.

Astaga! Yumna benar-benar menceritakan itu? Bagaimana bisa ada sahabat yang menceritakan rahasia sahabatnya? Apa sebenarnya maksud Yumna?

"Intinya, dia cerita kalau bundanya marah karena dia putus sama kamu. Tapi dari semua ceritanya ada yang paling penting dan saya sama sekali nggak nyangka. Kamu mau tahu apa?"

"Langsung aja deh! Nggak usah muter-muter," protes Aksa kesal.

"Ternyata selama ini Ayra nggak pernah suka sama kamu, dia suka sama Rafif!"

Deg!!

Mataku membelalak diikuti ekspresi Aksa yang juga terlihat terkejut setelah mendengar ucapan Yumna. Tangannya mengepal kuat. Napasnya naik turun tak beraturan. Reaksi yang ditunjukkan Aksa persis seperti perkiraanku.

Apa yang dikatakan Yumna mungkin benar, tapi sebenarnya aku tak pernah berkata seperti itu. Apa yang aku ceritakan pagi tadi, sama seperti apa yang aku ceritakan pada Ratih tempo hari: aku bimbang dengan perasaanku sendiri. Aku tak pernah mengatakan siapa yang aku sukai. Aku hanya bingung, itu saja. Namun, Yumna mengambil kesimpulan sendiri, yang sebenarnya kesimpulannya sama seperti Ratih. Tetapi Ratih dan Yumna adalah dua orang yang berbeda. Jika Ratih mengutarakan kesimpulannya langsung padaku, tidak dengan Yumna. Dan yang paling buruk dari itu semua adalah ... dia memanfaatkan kesimpulannya itu untuk semakin memperparah keadaan.

Apa sebenarnya tujuan kamu, Yumna?

***

Bunda sedang memasak untuk makan malam bersama Bi Siti ketika aku menghampirinya. Namun, Bunda bereaksi seakan-akan tak melihat kedatanganku. Aku memberi kode pada Bi Siti untuk segera meninggalkan kami berdua. Untung saja Bi Siti langsung paham.

Setelah Bi Siti izin ke toilet—padahal sebenarnya entah ke mana—aku mendekati Bunda. Tanpa disuruh, aku membantu Bunda memotong-motong kentang dan wortel, sembari menunggu saat yang tepat untuk bertanya.

"Mau buat sup ya, Bun?" tanyaku basa-basi. Tentu saja tak direspons.

"Em ... Bunda ingat nggak, Ayra pernah buat sup waktu SMP, tapi diawasin sama Bunda." Nada suaraku terdengar melemah. Aku bukan basa-basi lagi, aku serius. Aktivitas potong memotong itu kuhentikan. Mataku lurus ke depan, sendu. "Waktu itu Ayah bilang, 'Enak banget, ternyata putri Ayah udah bisa masak'," lanjutku dengan senyum getir.

Bunda masih bergeming di tempatnya. Tangan dan seluruh tubuhnya membatu. Aku menatap Bunda, lantas melanjutkan, "Padahal waktu itu Bunda yang buat bumbunya, Ayra cuma masuk-masukin aja, itu pun diawasin sama Bunda."

Tanpa aba-aba, Bunda langsung memelukku dengan erat. Air mata seorang ibu dan seorang putri ini tak bisa dihindari. Masing-masing berderai dalam dekapan. Bunda mengelus lembut rambut hitamku dengan penuh cinta.

"Kenapa harus Aksa, Bun?" tanyaku langsung. Bunda kemudian melepaskan pelukannya dan menatap mataku. "Kenapa harus Aksa? Kenapa harus anaknya Tante Wilda? Kenapa Bunda maksa aku sama dia?" lanjutku menggebu-gebu.

Aku menghela napas, sejenak mengalihkan pandangan. Setelah perasaanku terkendali, aku kembali menatap Bunda. "Ayra menemukan sosok Ayah pada diri seseorang. Sengaja atau tidak, mungkin itu yang bikin Ayra suka sama dia." Aku mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan. "Ini pertama kalinya Ayra bilang suka sama dia, karena sekarang Ayra udah yakin."

"Rafif?" tebak Bunda, langsung dan tepat sasaran. Aku membeliak, kaget dengan prediksi Bunda yang tak meleset. Melihat air mukaku, Bunda tersenyum tipis. "Pertama kali Bunda ketemu dia, Bunda juga langsung ingat Ayah, Ay. Perilakunya, jalan pikirannya, kebiasaannya. Kenapa orang yang sama sekali nggak berhubungan darah bisa semirip itu?"

Mendengar ucapan Bunda, aku melongo. Heran. Tak menyangka. Atau apa pun itu yang bisa menggambarkan ekspresiku. "Terus, kenapa Bunda bersikeras Ayra sama Aksa?"

"Karena Aksa juga orang baik!" jawab Bunda cepat dan mantap. "Walaupun dia beda dari Ayah, tetap aja dia baik. Nggak ada aturan kan nyari jodoh harus mirip sama orang tua?"

"Tapi Ayra nggak suka Aksa, Bun. Sebaik apa pun dia," lirihku.

"Mereka berdua sama-sama baik, tapi Aksa punya nilai plus," jelas Bunda. "Nilai plusnya adalah dia anak Dokter Wilda, sahabat Bunda. Sahabat yang selalu ada untuk Bunda, dia datang untuk menghibur di saat Bunda jatuh, dia bahagia di saat Bunda sedang berada di atas. Tante Wilda itu ... kalau kamu sudah kenal dia, dia bisa seperti malaikat. Itu hanya pengandaian. Karena nyatanya dia memang baik, Ay.

"Dia bantuin Bunda habis-habisan, sampai ditawarin jadi dokter. Nggak lama setalah itu, Bunda dikenalin sama senior Tante Wilda. Namanya Harun. Kalau cerita Bunda ketemu Ayah kamu udah dengar, kan?"

Aku yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama masih diam mematung di tempatku.

"Inti dari semuanya ... Tante Wilda berjasa dalam hidup Bunda, dan itu nilai plus dari Aksa," ucap Bunda mengakhiri penjelasannya. Selanjutnya wanita kesayanganku itu kembali sibuk dengan kentang dan wortel. Mengabaikanku yang sedang dihantui sejuta perasaan.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro