BAB 28 🍒 Melawan Kemungkinan Terburuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....

🍒🍒🍒

Pagi, Ra. Hari ini ada acara gak?

Pesan dari Rafif menyambut pagiku begitu aku membuka ponsel. Aku menghela napas, pesannya tak kunjung kubalas. Dia sudah mengirim pesan sejak semalam, bahkan menelepon sebanyak lima kali, tapi tak kuindahkan pula. Kalau begini, Rafif pasti merasa heran, sebab dia tak tahu apa-apa. Aku pun memutuskan untuk membalas pesannya.

Maaf, semalam ketiduran. Saya mau ke makam Ayah.

Hanya hitungan detik, Rafif membalas.

Oh, iya gpp. Saya anterin ya, tapi sebelum itu kita ke tempat lain dulu ya.

Aku mengernyit. Ke tempat lain? Apa Rafif akan segera memperkenalkan ayahnya?

Ke mana?

Aku berharap bukan itu. Aku belum siap.

Ada deh, nanti ikut aja.

Setelah janjian akan pergi jam sembilan, aku segera melakukan kesibukan untuk mengalihkan pikiranku. Membantu Bi Siti memasak, atau beres-beres rumah, atau apa saja. Aku butuh ketenangan untuk sejenak.

***

Panti asuhan. Aku menatap Rafif tak mengerti ketika kami tiba di salah satu panti asuhan yang berada di daerah Palu Timur. Sementara Rafif hanya tersenyum penuh arti. Panti asuhan itu tak terlalu besar, tetapi sangat bersih dan rapi jika dilihat dari luar. Aku belum tahu bagaimana keadaan di dalamnya.

"Jadi, kamu beli kue sebanyak itu buat anak-anak di sini?" tanyaku ketika mengingat beberapa menit yang lalu dia singgah untuk membeli kue yang lumayan banyak.

Rafif mengangguk. "Masuk, yuk!"

Aku mengikuti langkah Rafif yang mulai mendekati pintu depan panti asuhan itu.

"Assalamualaikum," ucapnya sembari menekan bel. Tak lama kemudian, seorang anak lelaki yang kira-kira seusia Afan muncul dari balik pintu.

"Kak Afif?" pekiknya senang seraya menghambur ke pelukan Rafif. Rafif berlutut untuk menyejajarkan tingginya dengan anak lelaki itu.

"Apa kabar, Jagoan?" tanya Rafif.

Anak lelaki itu tak menjawab, dia langsung berlari masuk sambil berteriak, "Kak Afif datang, Kak Afif datang!"

Tak kusangka, beberapa anak lain berlarian keluar dan memeluk Rafif satu per satu. Pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat. Rata-rata dari mereka seusia Afan, ada yang lebih kecil lagi, yang paling besar sepertinya masih SMP.

"Ada apa nih rame-rame?" Seorang wanita paruh baya berkerudung abu-abu serta seorang gadis bercadar datang menghampiri.

"Umi, Kak Nisa, Kak Afif datang!" seru seorang anak dengan semangat.

Rafif segera menyalami wanita yang dipanggil Umi itu, kemudian menyatukan kedua telapak tangannya dan tersenyum pada gadis bercadar itu. Gadis yang tadi dipanggil Nisa itu melakukan hal yang sama.

"Umi, kenalin, ini Ayra. Ayra, ini Umi yang punya panti, dan ini Nisa keponakannya. Nisa ini seumuran kita, baru lulus Madrasah Aliyah," ucap Rafif memperkenalkan. Aku menyalami Umi dan Nisa.

"Kak Ayra ini siapa? Pacar Kakak, ya?" tanya anak lelaki yang paling besar. Kira-kira usia lima belasan.

Aku menatap Rafif. Lelaki itu tersenyum. "Iya," jawabnya singkat.

Jawaban Rafif disambung dengan sahutan 'cie' dari anak-anak itu. Sementara Umi hanya tersenyum, dan Nisa ... aku tak tahu apa ekspresi yang dia tunjukkan di balik cadarnya.

"Nih, Kak Afif bawa kue. Makan di dalam, ya. Kakak mau ngomong sama Umi," ujar Rafif seraya mengangkat bungkusan kue. Anak-anak itu bersorak kegirangan. "Nis, tolong, ya," lanjut Rafif. Nisa yang langsung paham maksud Rafif segera mengambil bungkusan kue dari tangan pacarku itu dan mengajak anak-anak untuk masuk. Aku dan Rafif kemudian dipersilakan duduk di ruang tamu.

"Udah berapa bulan ya sejak terakhir kali kamu ke sini." Umi membuka pembicaraan.

"Udah hampir enam bulan kayaknya, Umi. Maaf ya, Umi, udah kelas dua belas, jadi agak sibuk," jelas Rafif.

"Iya, nggak apa-apa, Umi tahu. Nisa aja kemarin-kemarin sibuk banget. Gimana sekolah kamu? Lulus semua, kan?"

"Alhamdulillah, Umi."

Pembicaraan mereka terus berlanjut. Sementara aku hanya diam saja. Tahu sendiri kan, bagaimana aku di depan orang baru? Mulutku seakan terkunci meskipun aku berusaha untuk bersuara. Tak lama kemudian, Nisa keluar dengan membawa tiga cangkir teh. Gadis itu kemudian duduk di samping Umi.

"Diminum, Raf," ucapnya sopan.

"Iya, makasih, Nis."

"Diminum, Kak," ucapnya sembari menatapku.

"Iya, makasih. Panggil Ayra aja." Aku tersenyum padanya.

"Oh ya, Ra. Umi ini sahabat Ibu sejak kecil. Makanya saya bisa deket banget sama Umi," ucap Rafif.

"Oh, iya." Aku hanya manggut-manggut dan tersenyum. Sebab aku juga bingung harus memberikan respons seperti apa.

"Cantik ya pacar kamu, Raf." Umi memujiku, terdengar sangat tulus.

"Makasih, Umi," ucap Rafif. Kemudian dia menoleh padaku. "Ngomong dong, jangan diem aja."

Aku menatapnya tak suka. Anak ini, dia kan sudah aku seperti apa orangnya. Melihat reaksiku, Rafif seakan mengerti. Dia lalu berkata, "Maaf, Umi, dia memang pemalu, tapi aslinya bawel."

Spontan saja aku mencubit lengan Rafif. Membuat lelaki itu meringis. Sementara Umi terlihat tertawa kecil. Aku hanya tersenyum canggung. Rafif ini benar-benar!

"Gimana kabar Ibu dan Vika, Raf?" tanya Nisa tiba-tiba. Aku langsung menatap Rafif dan Nisa bergantian. Ibu dan Vika? Sudah sedekat apa Rafif dan Nisa sampai mereka saling mengenal keluarga?

"Alhamdulillah baik, Nis," jawab Rafif. "Kapan-kapan Umi dan Nisa main-main dong ke rumah."

"Iya, Nak. Maaf ya Umi belum sempat."

"Ayah kamu gimana? Kamu masih sering jenguk?" tanya Nisa lagi.

Ayah? Jenguk? Ah, sepertinya Nisa sangat mengenal Rafif. Dia bahkan tahu jika ayah Rafif ada di penjara. Apa itu artinya ... Nisa juga tahu apa penyebab ayah Rafif dipenjara? Apa dia bisa menjadi sumber informasiku?

Aku menatap Rafif. Lelaki itu terdiam dan tak kunjung menjawab.

"Maaf, Raf. Saya nggak bermaksud," ujar Nisa yang sepertinya menyadari keadaan. Sementara aku hanya membisu karena tak tahu apa-apa.

"Nah, sekarang kalian masuk gih, main sama anak-anak." Umi terlihat mencoba mencairkan suasana.

Rafif mengangguk dan mengajakku untuk masuk. Ekspresi wajahnya mendadak tak bersahabat. Seperti ada beban yang kini menyangkut di pundaknya. Aku diam saja. Aku akan bertanya jika waktunya sudah tepat. Lagi pula, aku yakin bahwa Rafif pasti memikirkan pertemuan kami yang tak terduga di kantor polisi kemarin. Anehnya, dia sama sekali tak mau membahasnya, padahal aku sudah menunggu dia menyinggung hal itu.

Beban di wajah Rafif sirna begitu dia bertemu dengan anak-anak panti. Apalagi setelah kami bermain bersama, senyumnya semakin mengembang. Bahkan tak sungkan-sungkan mengeluarkan tawa. Aku turut bahagia. Anak-anak di sini sangat menyenangkan. Melihat senyum mereka merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira. Para anak yatim piatu yang sangat sabar dan tegar, tak pernah mengeluh, dan selalu menyebarkan cinta kasih.

Pagi itu, aku belajar bahwa bahagia bisa ditemukan di mana saja.

***

Sesuai janji sebelumnya, aku dan Rafif tak langsung pulang. Rafif akan mengantarku ke pusara Ayah. Jika membicarakan tentang Ayah, aku selalu berpikir, bagaimana rasanya memiliki Ayah di usia remaja sepertiku? Ayah hanya ada dalam kehidupanku hingga usia ke empat belas. Kendati pun demikian, Ayah akan selalu hidup di hatiku. Beliau selalu abadi dalam jiwaku. Aku mencintainya.

Aku dan Rafif mulai menelusuri jalanan Kota Palu yang ramai lancar seperti biasa. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam karena pikiranku sedang dipenuhi banyak hal. Aku teringat pembicaraan Rafif dan ayahnya di kantor polisi, dan aku juga teringat pembicaraanku dengan Nisa sebelum pulang. Hanya aku dan Nisa. Tanpa Rafif ketahui, aku bertanya sesuatu pada gadis itu ketika aku bertemu dengannya di dapur panti.

"Kamu nanya karena kamu bener-bener nggak tahu? Kamu nggak tahu kenapa ayah Rafif ada di penjara?

Aku hanya bisa mengangguk saat Nisa bertanya balik padaku. Gadis itu terlihat menghela napas. Dia menunduk. "Sebaiknya kamu dengar langsung dari Rafif. Saya nggak punya hak untuk cerita. Kalau dia belum cerita ke kamu, pasti ada alasannya. Maaf, saya nggak bisa membantu."

"Kesalahan ayah Rafif ... bukan membunuh, kan?"

Mata Nisa membelalak. Tubuhnya tiba-tiba menegang. Tidak, dia tidak perlu mengatakan apa pun. Aku sudah bisa menebak dari reaksi yang dia tunjukkan.

***

"Ra!" Aku tersentak. Kami telah tiba di tempat pemakaman. Aku segera turun dan Rafif langsung memarkir motornya. "Kamu kenapa?" tanyanya kemudian.

"Nggak apa-apa," jawabku. Lantas aku berjalan perlahan menuju makam Ayah, Rafif mengikuti dari belakang.

"Kamu ingat nggak kita pernah ketemu di sini? Waktu mobilmu dicuri," ujar Rafif mencoba mengajakku bicara.

"Iya, Raf," jawabku singkat sembari terus berjalan. Hingga akhirnya kami tiba di pusara Ayah. "Di sini," ujarku. Rafif mengangguk dengan senyum tipis.

Seperti biasa, aku membersihkan makam Ayah, menyiramnya, dan tentu saja yang terpenting adalah berdoa. Air mata adalah hal yang tak bisa aku tahan ketika berada di pusara Ayah. Setetes demi setetes air mata membanjiri kedua pipi tirusku. Aku memegangi nisan Ayah dengan sesenggukan.

"Ra...," panggil Rafif tiba-tiba. Aku menoleh. "Ayahmu meninggal 17 Maret 2012?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Selanjutnya kembali mengusap nisan Ayah. "Ayahmu ... meninggal kenapa?" tanya Rafif lagi, terlihat lebih hati-hati.

Aku mengusap air mata di kedua pipiku. Lalu menatap Rafif. "Pulang, yuk! Nanti aja saya ceritain," ajakku. Aku enggan membahas tragedi kelam itu.

Rafif pun mengagguk. "Oke."

Kami kemudian berjalan meninggalkan makam Ayah setelah aku puas mengucap rindu. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, bentar!" cegahku menghentikan langkah.

"Kenapa?" tanya Rafif seraya ikut menghentikan langkahnya.

"Waktu itu ... kamu ngapain di sini?"

"Waktu itu?" Rafif mencoba memperjelas.

"Waktu mobilku diambil sama preman-preman," jelasku.

"Oh itu...." Rafif manggut-manggut. Selanjutnya dia menatapku dengan ekspresi seperti berpikir.

"Raf!" panggilku setelah beberapa saat Rafif tak kunjung bersuara.

Lelaki itu tersentak. Kemudian diam beberapa detik hingga akhirnya ia berkata, "Ikut saya, Ra." Dia menarik tanganku dan membawaku berjalan melewati satu per satu makam. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah makam yang membuatku terkesiap.

Makam Dimas.

"Ini...." Aku kehabisan kata-kata. Aku menatap Rafif dan makam Dimas secara bergantian. Tak mengerti.

"Ini makam almarhum Dimas," ujar Rafif.

"Kamu kenal Dimas?" tanyaku langsung.

"Kamu?" Rafif malah bertanya balik.

"Dimas ini temanku sejak SMP," jelasku. "Gimana kamu bisa kenal Dimas?"

Rafif terdiam, mulut bahkan tubuhnya. Cukup lama. Namun, akhirnya dia terlihat mulai menarik dan mengembuskan napasnya secara perlahan. "Saya nggak kenal sama dia," jawab Rafif akhirnya.

"Terus?" Aku merasa sangat penasaran.

"Tiap bulan saya ke makam ini untuk berdoa. Karena rasa bersalah yang besar." Rafif mulai menjelaskan dengan suara lirih dan tatapan mata nanar.

Aku diam menunggu penjelasan selanjutnya.

"Tentang ayahku yang pernah kamu anya ... dia dipenjara." Rafif mengatakannya. Dia akhirnya mengatakannya. "Kamu udah tahu, Ra. Waktu itu kamu ngikutin saya ke kantor polisi," lanjutnya.

"Maaf," lirihku, "waktu itu saya nggak sengaja lihat kamu, saya beneran nggak ada niat ngikutin kamu." Rafif hanya manggut-manggut saja. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tetapi mulutku seakan terkunci.

"Dia pembunuh, Ra. Ayahku pembunuh."

Deg!!

Bagai petir di siang bolong, ucapan Rafif membuatku tercengang. Apa aku tidak salah dengar? Pembunuh?

Aku terdiam membatu di tempatku. Tak bisa berbicara, bahkan bergerak. Mataku melihat mata Rafif yang sudah berkaca-kaca. "Dimas ini ... korban dari Ayahku. Ayahku ketua kelompok begal," ucapnya terlihat susah payah.

Aku terperanjat. Mataku membelalak. "Be ... gal?" Aku sampai tidak mampu berbicara dengan baik. Rafif menghela napas. Air matanya yang sudah keluar segera diusapnya hingga tak terlihat lagi.

Rafif ... Ayahku juga meninggal karena dibunuh sekelompok begal, batinku. Tetapi aku tak mampu mengucapkannya. Entah kenapa.

Aku tahu pikiranku kini sedang tidak baik. Pembunuh ayahku, aku tak tahu siapa. Tapi aku berharap, bahkan sangat berharap, bahwa pembunuh ayahku adalah orang asing. Orang asing yang tak kukenal, tak berhubungan denganku, dan tak berhubungan dengan orang-orang yang aku cintai.

"Ayra!"

Aku terkesiap. Entah sudah berapa kali Rafif memanggilku. Pikiranku terbawa entah ke mana. Ah, apa yang aku pikirkan? Itu tidak mungkin!

"Ra, kenapa? Kamu sekaget itu?" Suara Rafif bahkan hanya terdengar samar-samar di telingaku.

"E-enggak, Raf," jawabku bingung.

"Kamu marah ya, Ra? Maaf ya saya baru cerita hal ini ke kamu. Jujur, Ra, saya takut kamu mikir macam-macam. Ayra, saya berani jamin bahwa saya, Ibu, dan Vika benar-benar berbeda dari Ayah."

"Iya, Raf. Saya percaya. Antar saya pulang ya, Raf. Saya pusing, tiba-tiba nggak enak badan." Aku melangkah lunglai menuju motor Rafif yang sedang terparkir. Otak dan hatiku kini tidak sedang sinkron. Aku mendadak merasa pusing. Kepalaku seperti mau meledak.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus meneriaki diriku sendiri: Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin! Nggak mungkin!

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro