BAB 3 🍒 Perjodohan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading...
.
.
.
.

Gerimis menghiasi langit Kota Palu selepas magrib. Untung saja aku dan teman-teman sudah tiba di rumah. Jika tidak, maka dapat dipastikan kami akan mendengar ceramah dari orang tua. Mereka akan menggeturu sepanjang malam karena takut kami terjebak hujan, lalu ujung-ujungnya sakit. Sebab tadi kami memang membawa motor, bukan mobil. Ya, namanya juga anak perempuan, pasti akan diberi pengawasan khusus melebihi anak laki-laki. Dan itulah yang aku alami sepanjang hidupku.

Aku telah duduk di balkon kamar sejak selesai salat magrib. Memandangi langit dan suasana kota di malam hari. Kendaraan berlalu lalang seiring desiran angin malam yang dingin. Langit gelap, sama sekali tak ada bintang yang menghiasi.

Tiba-tiba aku teringat kejadian sore tadi. Aku benar-benar merasa beruntung karena bertemu dengan Aksa. Berkat cowok jangkung itu, aku tak perlu berlama-lama menghadapi Kak Vela yang sangat menyebalkan itu. Ya, walaupun tak bisa dipungkiri bahwa akulah yang salah. Aksa, sejenak dia membuatku lupa tentang si Eye Smile.

***

"Tolong jelasin, ini ada apa?" tanya Aksa.

"Kamu nggak usah ikut campur!" seru Kak Vela sembari mendelik tajam pada Aksa.

"Kamu diam! Saya nanya karyawan saya, bukan nanya kamu." Jawaban telak dari Aksa membuat Kak Vela terdiam. Bukan hanya Kak Vela, tapi kami juga. Barusan dia mengatakan ... karyawan? Ah, aku baru sadar. Hernando adalah nama belakang Aksa. Sepertinya restoran ini milik keluarganya.

"Maaf, Den. Tadi Mbak ini lagi jalan sambil main hape," ujar pelayan itu seraya menunjukku. "Saya juga nggak terlalu fokus, jadi kaget dan hampir tabrakan. Saya berusaha menghindar biar minumannya gak tumpah, tapi akhirnya malah tumpah di baju Mbak yang ini," lanjutnya menunjuk Kak Vela.

"Ah, masalah gitu doang dibesar-besarin," respons Aksa santai, bahkan sambil tersenyum. "Hidup ini dibawa santai, jangan dibawa pakai emosi, nanti cepat tua." Aksa melirik Kak Vela saat mengatakan 'cepat tua'.

"Saya yang salah, Sa," ucapku.

"Nah, itu dia ngaku!" sahut Kak Vela.

"Dia udah minta maaf, kan? Terus kamu mau apa lagi? Ganti rugi? Memangnya berapa harga bajumu? Sini, saya ganti dua kali lipat." Aksa menatap Kak Vela, tajam.

"Rasain!" rapal Tita dengan suara kecil, nyaris berbisik.

"Ssstt!" Aku menegur. Sementara yang ditegur hanya cengengesan.

Kak Vela terlihat menyeringai. "Saya nggak akan pernah datang ke sini lagi. Saya doain restoran ini bangkrut!" ujarnya kesal. Gadis berwajah oriental itu langsung pergi meninggalkan restoran.

Aksa hanya tersenyum mendengar doa dari Kak Vela yang cukup menyeramkan. Lelaki bertubuh atletis itu lantas meminta maaf kepada seluruh pelanggan yang sejak tadi menyaksikan drama secara live. Dia juga menyuruh pelayan tadi untuk kembali bekerja. Pelayan itu tak dihukum sama sekali. Kemudian Aksa langsung menghampiriku. "Maaf ya," ucapnya singkat.

Aku langsung merasa tidak nyaman dengan ucapan maafnya. "Saya yang harusnya minta maaf. Maaf udah bikin restoran kamu kacau."

"Ralat, ini restoran Papa," jelasnya. "Mengenai masalah tadi, lupain aja, ya."

"Makasih, ya."

"Sama-sama."

"Oh, ya. Kenalin teman-temanku." Aku memperkenalkan Tita, Ratih, dan Yumna. Mereka saling berjabat tangan.

"Kamu sampai pucat gitu, Ra. Kenapa?" tanya Aksa.

"Ayra fobia keramaian," sahut Tita. "Em ... sebenarnya dia bisa sih di keramaian, walaupun sebenarnya memang lebih suka tempat sepi, asalkan jangan sampai dia jadi pusat perhatian," lanjut gadis berambut pirang itu.

"Ya, begitulah," ujarku membenarkan ucapan Tita.

Kulihat Aksa terdiam, kemudian berseru, "Oh, pantesan waktu MOS kamu gemeteran juga."

"Saya juga baru tahu lho, Ra." Yumna ikut memberi komentar. Aku hanya menanggapi mereka dengan senyuman.

***

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu kamar menginterupsi ingatanku tentang Aksa beserta kejadian sore tadi. "Ay, Bunda masuk, ya?" Suara Bunda terdengar nyaring dari seberang pintu.

"Iya, Bun," jawabku.

Bunda masuk dengan senyum khasnya. Senyum yang selalu menenangkan. Senyum yang tak pernah bosan kupandangi terus-menerus. Bunda mendekatiku, lantas berkata, "Sayang, jam tujuh nanti siap-siap, ya."

"Ke mana?" responsku cepat.

"Kita mau makan malam sama Tante Wilda, sama anaknya juga," jawab Bunda seraya mengelus rambut hitam sebahuku. "Pokoknya, dandan yang cantik, ya."

Alisku saling tertaut mendengar ucapan Bunda, sama sekali tak mengerti. "Emang kenapa?"

"Kan mau ketemu anaknya Tante Wilda," jawab Bunda lembut.

Aku mengernyit heran. "Bukannya tadi Bunda udah ketemu sama Tante Wilda? Kok mau ketemu lagi malam ini?"

"Tadi itu beda. Pokoknya kamu siap-siap, ya."

"Tapi Ayra malas keluar, Bun. Cuacanya nggak bagus," keluhku dengan lesu.

"Eit! Nggak ada alasan. Kita kan naik mobil, lagian ini cuma gerimis." Bunda tetap pada pendiriannya. Aku hanya bisa menghela napas. Terpaksa mengiakan.

Perasaanku mulai tak nyaman. Aku takut jika Bunda telah merencanakan sesuatu. Sumpah demi apa pun, sebenarnya aku sangat malas bepergian malam itu. Namun, melihat senyum permintaan Bunda, hatiku luluh. Aku tak sanggup menolak kemauan Bunda. Bunda sangat berharga dalam hidupku.

***

Mobil Avanza biru milikku yang dikemudikan oleh Pak Jono melaju menyusuri Jalan Tanjung Dako, meninggalkan Jalan Raden Ajeng Kartini, tempat di mana rumahku berdiri. Sayang sekali harapanku malam itu tak terkabul. Bukannya hujan deras, gerimis malah reda dengan cepat. Menyisakan rintik-rintik kecil yang perlahan mulai menghilang bersama kegelapan langit.

Akhirnya mobil tiba di Jalan Pemuda dan memasuki halaman Careto Resto and Cafe, satu salah restoran terkenal di Kota Palu. Suasana yang nyaman, makanan yang enak, pelayan yang ramah, serta letaknya yang tak terlalu jauh dari rumahku membuat restoran itu menjadi langganan keluargaku. Aku yakin pasti Bunda yang mengusulkan tempat pertemuannya.

Aku dan Bunda segera memasuki restoran. Malam itu aku menggunakan dress berwarna merah muda yang panjangnya sebatas lutut, beserta flat shoes cokelat yang bertengger di kedua kakiku. Rambut hitam sebahuku kubiarkan tergerai lurus. Sedangkan Bunda dengan gamis merah maroon dan hijab biru tua. Aku dan Bunda lebih terlihat seperti kakak beradik saat jalan bersama. Begitu kata orang-orang. Banyak sekali yang berkata bahwa Bunda terlihat seperti anak muda, padahal usianya hampir kepala empat.

Aku dan Bunda duduk di meja nomor sepuluh yang sebelumnya telah dipesan. Kami menunggu Tante Wilda dan putranya sembari berbincang-bincang ringan. Sebenarnya aku tak bersemangat, tetapi aku tetap berusaha tersenyum di depan Bunda. Sejak Ayah meninggal dunia, tujuan utama dalam hidupku adalah membahagiakan Bunda. Bunda adalah segalanya. Apa pun akan aku lakukan, termasuk jika hari ini aku akan dijodohkan seperti perkiraanku, aku pasti tak sanggup menolak. Ah, tapi membayangkannya saja sangat mengerikan bagiku. Ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya. Astaga!

"Lia! Ayra!" panggil seseorang tiba-tiba. Aku dan Bunda kompak memandang ke asal suara. Tante Wilda yang datang dengan dress ungu itu sedang melambai-lambai dari arah pintu restoran. Penampilannya seperti anak gadis yang masih berusia dua puluhan. Jika dia memperkenalkan diri sebagai dokter, pasti akan banyak yang mengira bahwa dia adalah dokter muda yang masih minim pengalaman. Padahal kini dia sudah seusia Bunda. Dia pun telah menjadi dokter selama dua belas tahun, sama seperti Bunda. Ya. Kira-kira itulah yang diceritakan Bunda saat dalam perjalanan.

Tante Wilda segera menghampiri aku dan Bunda. Seperti biasa, Bunda dan Tante Wilda cipika-cipiki ala ibu-ibu yang baru bertemu. "Kalian udah lama, ya?" tanya Tante Wilda seraya duduk.

"Belum, kok," jawab Bunda. "Mana anak kamu?"

"Bentar, masih markir mobil," jawab Tante Wilda. "Cantik banget sih, Ayra," lanjutnya memujiku.

Aku hanya tersenyum, kemudian berucap "Makasih, Tante."

Tak lama kemudian, seorang lelaki datang menghampiri meja nomor sepuluh. Mataku tiba-tiba membulat. Lelaki itu memakai celana jins hitam, kemeja kotak-kotak biru yang kancingnya terbuka dan lengannya digulung sampai siku, dalaman kaus putih polos, sepatu converse hitam putih, dan rambut hitam gaya spike seperti biasa. Melihat itu, aku seketika melongo, sampai mulutku sedikit terbuka.

Tidak. Bukan penampilannya yang membuatku melongo, tetapi wajahnya. Matanya, hidung mancungnya, dan yang paling khas dia memiliki tahi lalat di bibir bagian bawah. Aku tak salah lihat. Aku tak perlu mengucek mataku untuk membuktikan bahwa itu benar. Lelaki yang kini ada di hadapanku itu ... Aksa.

Aksa tak kalah terkejut melihatku. Kami berdua saling tatap beberapa lama, sampai akhirnya Tante Wilda bersuara, "Hei! Kalian berdua kenapa?"

Aku tersadar. Suasana tiba-tiba terasa canggung bagiku. Aksa memberi salam pada Bunda, lantas duduk di salah satu kursi. Lelaki jangkung itu memandang ibunya. "Namanya Khayra Fayyola Harun," ujarnya diikuti senyuman.

Bunda dan Tante Wilda saling tatap, selanjutnya menatap anak mereka masing-masing. "Kalian udah saling kenal?" tanya mereka bersamaan.

"Bunda udah tahu kalau kalian satu sekolah, tadi sore kan sempat ngobrol sama Mama kamu, Sa," ujar Bunda, "tapi nggak nyangka ternyata kalian udah saling kenal."

"Iya, Lia. Syukur deh kalau mereka udah saling kenal," imbuh Tante Wilda dengan wajah berbinar.

Aku hanya mengangguk pelan. Sementara Aksa berkata, "Kita udah saling kenal sejak MOS, Ma, Tante." Mendengar ucapan Aksa, Bunda dan Tante Wilda kembali tersenyum. Perasaanku mulai tidak enak. Ada hawa-hawa menyebalkan yang tiba-tiba merecoki pikiranku.

"Nggak usah panggil Tante, panggil Bunda aja, Sa." Aku langsung menatap Bunda dengan rasa tak senang, sementara yang ditatap hanya tersenyum lebar. Selama ini, seluruh temanku memanggil Bunda dengan sebutan Tante, kecuali Tita dan Ratih yang memang sejak kecil memanggil Bunda. Kenapa sekarang Bunda meminta Aksa memanggilnya Bunda? Aku tak suka ada orang lain selain Tita dan Ratih memanggil Bunda. Bagiku itu adalah panggilan kesayangan.

"Kamu kok nggak pernah cerita tentang Aksa?" tanya Bunda menginterupsi pikiranku.

"Ayra nggak tahu kalau Aksa anak Tante Wilda, Bun," jawabku tanpa basa-basi.

Kalau pun saya tahu dia anak Tante Wilda, ngapain juga harus cerita tentang dia? Dia kan cuma teman sekolah, batinku. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kesal.

Ah, iya. Aku baru teringat sesuatu. Pantas saja aku merasa tak asing dengan wajah Aksa ketika pertama kali melihatnya. Rupanya dia yang saat itu kulihat di pemakaman bersama Tante Wilda. Ya, pantas saja.

"Saya juga nggak tahu kalau Ayra anak Tante Lia," ujar Aksa. Padahal tak ada yang bertanya. "Eh, Bunda maksudnya," lanjutnya mengoreksi.

Obrolan pun berlanjut. Terus berlanjut bahkan sampai selesai makan. Aku menahan diri untuk tidak kabur dari pertemuan itu. Bunda dan Tante Wilda terus saja memuji putra-putrinya, mereka mengatakan bahwa aku dan Aksa sangat cocok. Obrolan itu membuatku muak. Dan aku berharap semuanya segera berakhir.

***

Aku dan Bunda akhirnya tiba di rumah. Selama di restoran, tak ada yang membicarakan masalah perjodohan. Syukurlah. Semoga pikiranku memang salah. Semoga mereka hanya ingin anak-anak mereka juga bersahabat. Tapi ... kenapa mereka terus-terusan mengatakan bahwa aku dan Aksa sangat cocok?

"Ay, di sekolah kamu dekat sama Aksa?" tanya Bunda ketika aku baru saja duduk di sofa ruang keluarga.

"Enggak, Bun. Sekolah juga baru mulai," jawabku singkat sembari membuka martabak manis yang kami beli di perjalanan pulang.

"Aksa itu baik lho orangnya," ucap Bunda lagi. Entah apa maksudnya. Sebenarnya, tanpa Bunda ucapkan pun aku sudah tahu bahwa Aksa adalah orang yang sangat baik. Sudah beberapa kali dia menolongku. Tapi, bukan berarti aku bisa langsung menyukainya, kan?

"Afaaan! Sini!" teriakku, tak peduli ucapan Bunda. Aku mengambil sepotong martabak manis spesial yang cokelatnya super tebal dan langsung melahapnya.

"Bunda lagi ngomong sama kamu, Ay!" Nada suara Bunda agak meninggi. Aku menghentikan aktivitas makanku.

"Maaf, Bun," lirihku. "Aksa emang baik banget, Bun. Waktu MOS Ayra pernah kesusahan, dia yang bantuin Ayra. Waktu di mal Aksa juga pernah nolongin Ayra," lanjutku sembari menatap mata Bunda.

Sungguh, aku mengatakan semuanya jujur dari hati. Namun, sebaik apa pun Aksa, aku tetap tak memiliki perasaan pada lelaki itu. Untuk sekarang. Entah bagaimana nantinya. Sekarang perasaanku tak mengarah pada siapa pun. Jujur saja, Aksa itu mengagumkan. Dia tampan, kelihatannya juga cerdas, baik hati pula. Selain itu, dia sudah bisa membantu ayahnya mengelola bisnis di usia semuda itu. Aku kagum. Hanya itu saja.

Bunda mendekatiku, lalu mengelus rambutku. "Perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Sayang. Rasa suka bisa tumbuh karena kebersamaan. Kalau kalian selalu bersama, siapa tahu nanti bisa suka," ucap Bunda. Mendengarnya berkata seperti itu, aku semakin yakin bahwa dugaanku benar. Ada maksud perjodohan di balik pertemuan tadi. "Ay, kamu memang masih sangat muda, tapi Bunda tetap aja mau yang terbaik untuk kamu. Ayah udah nggak ada, Adit lagi jauh di Bandung, Afan masih kecil. Bunda butuh orang yang bisa jagain kamu di luar sana. Bunda yakin Aksa bisa."

Semua yang Bunda ucapkan terserap dengan baik dalam pikiranku. Tak ada yang perlu diragukan lagi. Bunda memang ingin aku bersama Aksa. Aku tiba-tiba teringat Ayah. Aku langsung memeluk Bunda dengan erat, berusaha menyembunyikan air mata dalam dekapan Bunda. Perlahan aku berbisik, "Bunda, Ayra akan lakukan apa pun yang bikin Bunda senang."

***

Aku memasuki kamar setelah bicara dengan Bunda. Perasaanku sedang tidak baik. Bahkan martabak manis kesukaanku tak menarik lagi di mataku. Aku berbaring, lalu membuka ponsel. Ada sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.

Jangan kau anggap bahwa cinta itu datang karena pergaulan yang lama atau rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi.

Aku mengernyit membaca pesan itu. Kata-kata itu rasanya tak asing. Aku pun segera menjelajah internet dengan ponselku, mengetik sedikit kalimat dari pesan itu di kolom pencarian. Hasilnya, ternyata dugaanku tak salah. Benar saja, isi pesan itu merupakan kutipan puisi Kahlil Gibran yang berjudul 'Kisahku'. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa mungkin Aksa?

Tak lama kemudian, ada pesan dari nomor baru lainnya.

Hai, Ra.. ini saya Aksa.. besok ke sekolah saya jemput ya.. udah izin kok sama Bunda.. Sampai ketemu besok..

Aku menghela napas. Kebetulan yang luar biasa. Baru saja aku menebak si pengirim puisi itu, Aksa langsung mengirim pesan.

"Kalau ini Aksa, terus ini siapa?" gumamku sembari memandang dua nomor itu secara bergantian. Namun, walaupun aku penasaran, aku tetap tak membalas pesan-pesan yang masuk. Suasana hatiku benar-benar sangat kacau. Tapi anehnya, aku bisa tersenyum membaca puisi yang dikirim oleh orang asing itu. Aneh, bukan?

Aku akhirnya menyimpan kedua nomor itu di kontakku. Nomor Aksa aku simpan dengan nama 'Aksa X.B', sedangkan si pengirim puisi itu aku simpan dengan nama 'Kahlil Gibran KW'.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro