BAB 7 🍒 Jadian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading...
.
.
.
.

· Januari 2014

Menjelang detik-detik pergantian hari, yaitu dari delapan belas Januari ke sembilan belas Januari, semua orang terdekat Aksa telah bersiap-siap di lantai satu rumah lelaki pecinta makanan manis itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:50 WITA. Sebentar lagi ulang tahun Aksa yang ke enam belas dan kami ingin memberikan surprise. Aku dan Bunda, orang tua Aksa, serta Tita, Ratih, Yumna, Rafif, dan Arman. Kami semua telah bersiap sejak Aksa tidur pukul sepuluh tadi.

Ruang tengah rumah Aksa telah didekorasi sedemikian rupa dengan warna dominan hitam putih, warna kesukaan Aksa. Tinggal satu langkah, yaitu masuk ke kamar dan membangunkannya. Akhirnya, tepat pukul 23:55 WITA, Tante Wilda naik ke lantai dua dan memasuki kamar putra semata wayangnya itu. Kami sudah merencanakan bahwa Tante Wilda akan berbohong pada Aksa dengan mengatakan bahwa ada maling yang masuk ke dalam rumah.

Kurang dari sepuluh menit, kami mendengar langkah kaki yang menuruni anak tangga. Kami pun segera bersiap-siap. Terlihat bayangan Aksa yang sedang mengendap-endap, menuruni anak tangga satu per satu dengan perlahan. Begitu dia menginjakkan kakinya di lantai satu, Arman langsung menyalakan sakelar lampu, dan kemudian....

"Surprise!!" seru kami serentak.

Aksa sempat terlonjak, melongo menatap kami yang kini tersenyum padanya. Selanjutnya, lelaki itu tertawa. Aku maju mendekati Aksa, membawa kue dengan lilin angka enam belas.

"Happy birthday, Aksa," ucapku. Teman-teman lainnya ikut mendekat. Tante Wilda pun telah turun dari lantai dua.

"Mamaaa...," ucap Aksa mengarahkan tatapannya ke Tante Wilda.

"Bohong dikit, Sa. Biar kamu mau bangun," balas Tante Wilda sambil terkekeh.

"Ayo tiup lilinnya!" tukas Tita heboh. "Make a wish dulu."

Aksa mengangguk, tetapi tiba-tiba Rafif menyahut, "Langsung tiup aja lilinnya."

"Kenapa, sih? Orang mau make a wish dulu," balas Tita agak sewot.

"Make a wish-nya nanti aja, pas kamu salat. Doa yang banyak. Lilin nggak bisa mengabulkan harapan," ujar Rafif santai, memandang Aksa.

Aku mendengar Tita berdecak pelan. Gadis itu terlihat kesal. Sementara aku, lagi-lagi aku dibuat terkesima oleh Rafif, alih-alih kesal seperti Tita. Suasana mendadak terasa agak canggung sejak Rafif berbicara.

"Tiup aja lilinnya, Sa," pinta Om Arif tiba-tiba. Ayah Aksa itu berhasil memecah keheningan yang terjadi.

Aksa pun meniup lilinnya diikuti tepuk tangan dari kami semua. Satu per satu memberi selamat kepada Aksa. Tante Wilda memeluk putranya itu. "Selamat ya, Sayang. Nggak terasa anak Mama udah besar."

"Hadiahnya nanti Papa tunjukin, kalau udah pagi," ujar Om Arif. Tante Wilda dan Aksa melepas pelukan mereka dan memandang Om Arif.

Tatapan Tante Wilda kembali ke Aksa. Wanita itu menatap putranya sambil tersenyum. "Iya, Mama dan Papa udah siapin hadiah buat kamu," imbuhnya.

"Ah, jadi penasaran nih!" ujar Aksa diikuti tawa kami.

Kami lalu melanjutkan acara dengan memotong kue, makan, dan minum bersama. Untung saja ulang tahun Aksa tepat di hari Minggu, sehingga kami tak perlu khawatir akan terlambat ke sekolah karena begadang. Kami semua duduk di ruang tengah rumah Aksa yang begitu luas. Bersenda gurau dan saling bertukar cerita satu sama lain. Hingga satu jam berlalu, tak terasa sudah pukul 01:00 WITA.

"Kalian semua nginep aja di sini, ya. Ini udah tengah malam lho kalau pulang, bahaya di jalan," saran Tante Wilda.

"Iya, pulangnya nanti aja. Di sini banyak kamar, kok," tambah Om Arif.

"Bener kata Mama sama Papa, nginep aja, ya," lanjut Aksa meyakinkan.

Kami semua akhirnya sepakat untuk menginap di rumah Aksa. Bunda segera menelepon Bi Siti untuk memberitahu bahwa kami belum bisa pulang dan memintanya menjaga Afan di rumah. Aku dan Bunda juga tidak akan pernah berani keluar di tengah malam. Trauma jika akan bertemu begal, preman, atau sejenisnya. Karena orang-orang itu telah membuat kami kehilangan sosok ayah dan suami. Aku benar-benar tidak ingin mengingat kejadian itu.

"Makasih ya, Mama, Papa, Bunda, Ayra, dan teman-teman semua. Makasih banyak," ucap Aksa, "tapi sebenarnya saya juga punya surprise."

Semua mata kontan saja fokus menatap Aksa. Penasaran dengan surprise yang dia maksud.

"Surprise?" tanya Tante Wilda, diikuti anggukan dari Aksa.

"Wah! Kamu mau kasih hadiah ke kita?" timpal Arman asal, yang langsung mendapat jitakan dari Tita. Lelaki berkacamata itu langsung mengeram kesal.

"Surprise apa, Sa?" tanya Yumna.

Tak menjawab pertanyaan teman-temannya, Aksa malah memutar badannya ke kanan, tepatnya mengarah padaku. Dia menatap mataku dalam-dalam. Tatapan Aksa yang tiba-tiba itu membuatku sedikit gugup.

Apa yang akan Aksa lakukan?

"Kenapa?" tanyaku bingung, sekaligus gugup.

"Ayra, kamu...," ucap Aksa, membuatku semakin berdebar, "kamu mau nggak jadi pacarku?"

Deg!!

Mataku seketika membeliak. Aku melongo, terdiam. Sama sekali tak menyangka bahwa Aksa akan menembakku hari ini. Bahkan pikiran tentang itu pun tidak ada sama sekali. Aku terpaku. Tak tahu harus berkata apa, atau berbuat apa. Keringat mulai mengucur di pelipisku, padahal udara malam itu terasa dingin.

Ya ampun, kenapa dia berani sekali? Banyak orang di sini dan aku benar-benar malu. Kenapa harus sekarang? Maksudku, kenapa harus di depan keluarga seperti ini?

Kini semua mata tertuju pada kami berdua. Aku menatap Bunda dan orang tua Aksa, mereka menunjukkan binar mata kebahagiaan melihat apa yang baru saja Aksa lakukan. Begitu juga dengan teman-teman lainnya.

"Jawab, Ra!" sahut Arman memecah keheningan.

"Ssstt ... diam!" titah Ratih. "Ayra udah mau jawab, tuh."

Aku masih bergeming. Aku tak tahu harus menjawab apa. Ya ampun, bagaimana ini? Apakah harus kuterima? Jika memang aku suka pada Aksa, bukankah seharusnya aku senang dan dengan mudah menerima? Namun, kali ini aku merasa ada yang aneh. Aku mendadak bimbang. Lalu, apa maksud dari debaran jantungku di dekat Aksa selama ini? Apakah itu bukan rasa suka?

Pernahkah kalian bertanya-tanya tentang perasaan kalian sendiri?

Pernahkah kalian sulit menebak perasaan kalian sendiri?

Sungguh, itulah yang aku rasakan.

Bola mata hitamku memutar ke arah Rafif. Entah kenapa aku ingin menatapnya, ingin melihat ekspresinya. Lelaki itu tertangkap basah sedang menatapku. Namun, tatapan itu segera dia alihkan saat aku ikut menatapnya. Dia langsung menunduk. Kenapa aku merasa sakit ketika menatapnya?

Selanjutnya, aku kembali menatap Bunda. Wanita kesayanganku itu sedang tersenyum ke arahku seraya mengangguk. Aku membalas senyumnya dengan susah payah. Aku tahu maksud dari tatapan Bunda, sangat tahu.

Mataku kembali pada Aksa, lelaki yang kini sedang menunggu jawaban dariku. "Kalau belum mau jawab sekarang gak apa-apa kok, Ra," ucapnya.

Aku masih diam. Aku memejamkan mata sejenak. Bunda. Aku tidak boleh memikirkan orang lain selain Bunda. Semoga ini yang terbaik. Semoga Bunda akan bahagia karena hal ini. Aku hanya ingin Bunda bahagia.

Aku membuka mataku kembali, menghela napas pelan, lalu mengangguk pada Aksa.

Mata Aksa langsung melebar. "Ma-maksudnya?" tanyanya agak terbata-bata.

"Iya, saya mau jadi pacar kamu."

Mata Aksa berbinar seketika. Bibirnya menampakkan senyum yang sangat lebar. "Makasih, Ra. Makasih," ucapnya. Terdengar nyata dari suaranya bahwa dia sangat bahagia dengan jawabanku.

Bunda dan Tante Wilda saling berpelukan. Usaha mereka mendekatkan aku dan Aksa tidak sia-sia. Mungkin itulah yang mereka pikirkan. Semua orang terlihat bahagia. Mataku kembali menangkap sosok Rafif. Lelaki itu tersenyum padaku. Senyumnya tiba-tiba berbeda. Aku tidak tahu apa arti senyumannya.

Hingga beberapa tahun kemudian, aku baru menyadarinya arti senyuman itu.

***

Setelah momen dramatis Aksa menembakku, kami semua masuk ke kamar masing-masing yang telah Tante Wilda siapkan. Aku tidur sekamar dengan Bunda. Aku membungkus diriku dengan selimut, perasaanku sedang tidak nyaman.

"Sayang...," panggil Bunda. Aku sedikit terkejut karena aku pikir Bunda sudah tidur.

"Kenapa, Bun?" tanyaku tanpa berbalik ke arah Bunda yang berbaring di sampingku.

"Makasih udah mau terima Aksa, Sayang," ucapnya lembut. Aku hanya menggumam.

"Apa sekarang kamu udah suka sama Aksa?" tanya Bunda. Pertanyaan itu merupakan jenis pertanyaan yang menjebak bagiku. Segala pertanyaan tentang perasaan, tentu saja sangat menjebak, karena aku tak pernah mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku tak pernah suka pada seseorang sebelumnya, tak pernah pacaran, sehingga aku tak mengerti. Aksa adalah pacar pertamaku, tapi ... apakah Aksa juga cinta pertamaku?

"Hm...," gumamku singkat. Aku tak tahu harus menjawab apa.

"Ya udah, tidur aja, Sayang," ucap Bunda akhirnya.

Aku segera menutup mata. Berharap mendapat mimpi indah sehingga aku bisa bahagia sejenak tanpa beban apa pun. Karena ... terkadang mimpi itu lebih indah dari kenyataan.

***

Berita berpacarannya aku dan Aksa langsung tersebar seantero sekolah. Entah dari mana awal mulanya. Aku menebak, pasti ulah Arman, Tita, atau Yumna. Pasti tiga keran bocor itu yang menyebarkan. Siapa lagi?

Satu hal yang aku sadari sejak berpacaran dengan Aksa; penggemar Aksa ternyata lumayan banyak dan masih bertahan. Terbukti banyak yang sinis padaku sejak berpacaran dengan lelaki jangkung itu. Mereka yang sinis padaku pasti para penggemar Aksa yang terlalu 'alay'. Namun, ada juga yang berbahagia dan memberi selamat. Bahkan mereka berkata bahwa pasangan Ayra-Aksa merupakan pasangan yang sangat cocok. Cantik dan tampan, sama-sama cerdas, dan sama-sama dari keluarga berada, pasti tak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungan kami. Begitulah orang-orang memandang. Mereka hanya melihat dari satu sisi saja dan mengabaikan sisi yang lain. Sisi di mana perasaan tak bisa dijelaskan. Apa pun itu, tak mempengaruhi diriku sedikit pun. Perasaanku masih tetap mengganjal. Entah apa yang terjadi.

Satu hal yang juga membuatku kesal, yaitu orang-orang yang berkerumun padaku dan menanyakan tentang Aksa. Aku tak bisa berkata satu kata pun karena bibirku seakan terkunci di depan orang banyak. Hal itu memaksaku harus kabur dengan kaki gemetar setiap kali itu terjadi. Benar-benar menyebalkan.

Pagi itu aku berangkat sekolah diantar oleh Pak Jono. Aksa menyuruhku berangkat duluan karena kemungkinan dia akan terlambat. Mamanya sedang tak sehat di rumah. Aku berjalan dengan tenang di koridor menuju kelas, sampai tiba-tiba seseorang menabrak tubuhku dari belakang.

Brukk!!

"Aduh!" Aku menjerit.

"Sorry," ucap gadis yang menabrak. Gadis kurus berkacamata itu, aku tak mengenalnya, tapi aku tahu gadis itu merupakan anak X.F.

"Iya, nggak apa-apa," jawabku sembari mengusap bahuku. Gadis berkacamata itu pun segera pergi. Aneh. Aku merasa dia seperti sengaja mendorongku. Atau hanya perasaanku saja?

Sudahlah, aku tak ingin berburuk sangka. Aku pun melanjutkan perjalanan ke kelas. Namun, mendadak ada yang aneh. Semua siswa yang telah aku lewati menatapku sembari tertawa, seperti ada hal lucu dari diriku yang memang pantas ditertawakan. Mereka membuatku bingung setengah mati. Sial, sekarang tubuhku mulai gemetar lagi.

Brukk!!

"Aw!!" Lagi-lagi aku bertabrakan dengan seseorang karena sibuk melihat para siswa yang menertawakanku.

"Jalan itu lihat ke depan, bukan ke samping," ucap lelaki yang bertabrakan denganku.

Aku mendongak. Bola mataku melebar begitu melihat Rafif kini berdiri di hadapanku. "Maaf," ucapku. Sementara siswa-siswi di sekitar koridor masih tertawa. Rafif ikut menunjukkan ekspresi heran.

"Ini orang-orang kenapa, sih?" gerutu Rafif.

Rasanya aku ingin berteriak, tetapi tentu saja aku tak bisa. Aku pun berusaha tak peduli. Aku menatap Rafif sejenak, lalu berjalan melewatinya. Baru beberapa langkah aku menjauh, tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mendorongku dari belakang.

Deg!!

Aku hampir saja terjatuh jika orang itu tidak memegang tanganku. Aku lantas berbalik menatap orang yang ternyata adalah Rafif. Aku menatapnya heran sekaligus terkejut. "Ka-kamu kenapa dorong saya?" tanyaku dengan ekspresi tak menyangka. Apa yang dia lakukan? Dia mendorongku, tapi dia juga menahan tanganku agar tak jatuh.

"Sebelum ketemu saya, kamu ketemu sama orang lain?" tanya Rafif, alih-alih menjawab pertanyaanku.

"I-iya. Tadi saya tabrakan sama cewek. Anak X.F," jawabku apa adanya.

"Ck, dasar bego!" Rafif berdecak dan mengumpat, membuatku semakin bingung. Aku lihat wajah Rafif memerah, seperti orang yang sedang marah. Tangannya mengepal. Namun, ada sesuatu dalam genggamannya. Seperti sebuah kertas?

"Siapa yang bego?" tanyaku polos.

"Kamu!" jawab Rafif. Lelaki itu lantas berbalik dan pergi meninggalkanku.

Aku masih diam di tempat. Masih tak mengerti dengan sikap Rafif yang mendadak berubah. Lelaki yang sebelumnya sangat lembut padaku, kini bersikap agak jutek. Apa dia berubah karena aku sudah berpacaran dengan Aksa?

Ah, sudahlah. Aku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan segera menuju ke kelas. Tidak ada lagi yang menertawakanku. Aneh.

Aku tiba di kelas, dan keanehan kembali terjadi. Apakah hari ini adalah strange day?

Yumna sedang duduk sambil membaca sebuah komik. Namun, dia tidak duduk di tempatnya. Dia pindah di bangku barisan ketiga, di tempat Mila. Sementara Mila pindah di tempat Yumna. Aku menghampiri Mila dan bertanya, "Kenapa pindah, Mil?"

"Yumna yang minta saya pindah. Saya males berurusan sama dia. Galak banget," jawab Mila tanpa basa-basi.

Aku segera menyimpan tasku di atas meja dan menghampiri Yumna yang tak menatapku sama sekali. "Kenapa kamu pindah, Yum?" tanyaku langsung.

Yumna bergeming. Tetap membaca komiknya dan pura-pura tak mendengarku. "Yumna!" seruku kesal.

Prakk!!

Deg!!

Yumna membanting komiknya di atas meja, membuatku dan semua teman yang ada di kelas terlonjak kaget. Dia lantas berdiri, menatap sinis ke arahku. Tatapannya sama seperti siswa lain yang tiba-tiba membenciku hari ini. Padahal sebelumnya hubungan kami sudah membaik sejak terakhir kali Yumna curhat padaku.

"Ra, kalau kamu nggak mau saya benci sama kamu, duduk aja sama Mila dan jangan ganggu saya!" jawabnya tegas. Gadis itu segera melangkah pergi, tetapi bel yang berbunyi nyaring menghentikan langkahnya.

Astaga! Kenapa hari ini semua orang berbeda? Rafif, bahkan Yumna.

Aku kembali ke kursiku. Berpikir keras tentang sikap Yumna. Bola mataku melebar tatkala aku mengingat sesuatu. Beberapa bulan yang lalu, Yumna pernah curhat bahwa dia menyukai seorang lelaki. Apa mungkin lelaki itu ... Aksa?

Astaga! Iya, pasti Aksa!

Aku segera membuka ponsel, lantas mengirim pesan kepada Tita. Aku tak mungkin keluar kelas sekarang dan pergi ke kelas Tita, karena sebentar lagi pasti guru akan datang.

Kamu tau Yumna kenapa? Dia kayaknya marah sama saya.

Tak butuh waktu lama, Tita membalas pesanku.

Kenapa apanya? Dia baik-baik aja kok. Tadi saya sama Ratih berangkat bareng Yumna.

Hatiku bergetar membaca pesan balasan dari Tita. Rangkaian kalimat dalam pesan itu semakin memperkuat dugaanku bahwa Yumna hanya kesal padaku saja.

Aksa. Iya, pasti lelaki itu Aksa. Dan gadis yang dia maksud itu aku.

***

Pendaftaran calon ketua dan wakil ketua OSIS SMA Tadulako sudah dibuka. Setelah ketua dan wakil ketua terpilih, akan diadakan pendaftaran untuk pengurus. Aku dan teman-temanku berencana mendaftarkan diri nantinya. Namun, kami harus menunggu pesta demokrasi tingkat sekolah itu berakhir. Aku sedang berada di ruang guru ketika mataku tak sengaja menangkap sosok yang menyebalkan sedang berbicara dengan Pak Amri, pembina OSIS. Kebetulan aku sedang mengantarkan tugas teman-teman sekelas ke meja Pak Sisno. Aku berdiri di dekat meja guru matematika itu, menunggu beliau yang katanya masih ke toilet.

"Jadi kamu belum nemu wakil?"

"Belum, Pak. Masih bingung."

"Nggak mau coba gandeng kelas sepuluh?"

"Enggak, Pak. Saya mau ambil wakil dari kelas sebelas aja."

Aku mendengar percakapan antara Pak Amri dan Kak Vela. Wakil? Wakil apa? Gadis menyebalkan itu mau jadi ketua OSIS? Fix, aku akan batal mendaftarkan diri sebagai pengurus jika dia ketuanya. Memangnya ada siswa yang akan memilih dia?

"Jangan salah, Kak Vela itu populer, pasti banyak suara," bisik seseorang tiba-tiba. Aku sedikit terkejut dan langsung menoleh. Seorang gadis telah berdiri di dekatku. Teman sekelas Tita dan Ratih, namanya Anggun.

"Kamu bisa baca pikiran, ya?" tanyaku iseng.

"Ha ha, kelihatan dari tatapanmu. Saya juga nggak suka sama dia. Emang sih dia cantik dan pintar, tapi menyebalkan." Anggun masih berbisik. Aku hanya tersenyum seraya mengangguk setuju.

"Semester kemarin dia juara satu lagi di kelasnya, belum terkalahkan sejak kelas sepuluh," lanjut Anggun.

"Oh, ya?" Aku sungguh tak mengetahui bahwa gadis berwajah oriental itu merupakan salah satu siswi cerdas di sekolahku. Anggun mengangguk. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku kemudian.

"Tadi nganterin tugas," jawab Anggun. "Kebetulan ketemu kamu di sini, saya mau bilang sesuatu." Wajah Anggun berubah serius.

"Khayra, tugasnya sudah?" Pak Sisno tiba-tiba datang menginterupsi.

"Iya, sudah, Pak," jawabku cepat.

"Saya tunggu di luar," bisik Anggun. Gadis itu pun segera keluar dari ruang guru.

"Ini, Pak, yang mengumpulkan tugas sebanyak tiga puluh orang, sesuai jumlah yang hadir." Aku menaruh tumpukan buku itu di meja guru berkepala botak itu.

"Oke. Terima kasih ya, Khayra," ucap Pak Sisno.

"Sama-sama, Pak. Saya permisi."

"Oke."

Aku segera keluar dari ruang guru dan menyusul Anggun. Aku penasaran apa yang ingin dia bicarakan. Wajahnya terlihat serius sekali. Anggun sedang berdiri bersandar di pinggir tembok dekat tangga yang tak jauh dari ruang guru.

"Ada apa, Gun?" tanyaku langsung.

Alih-alih menjawab, Anggun malah mengeluarkan sebuah kertas yang sudah lecek dari saku bajunya. Kertas itu dia berikan padaku. Aku mengambilnya dengan tatapan bingung.

"Ini apa?" tanyaku tak mengerti.

"Itu kertas yang dibuang Rafif setelah dia ketemu kamu tadi pagi," jawab Anggun, membuatku semakin bingung. Namun, aku memang ingat bahwa Rafif sedang menggenggam kertas setelah mendorongku.

Aku segera membuka lipatan kertas lecek yang kini ada di tanganku itu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat isinya. Bukan hanya terkejut, tapi juga bingung.

Saya Ayra, pacar Aksa yang paling cantik!

Kira-kira begitulah isinya. Aku langsung menatap Anggun yang sepertinya sudah tak sabar untuk berbicara.

"Gini, Ra. Tadi pagi, waktu saya di toilet, saya dengar Kak Vela ngomong sama salah satu anak kelas sepuluh. Saya nggak tahu namanya, yang jelas anak itu kurus, hidungnya mancung, dan berkacamata." Anggun mulai menjelaskan. Pikiranku langsung teringat sesuatu. Gadis itu adalah gadis yang sama dengan gadis yang menabrakku.

"Bentar. Jadi, cewek berkacamata itu sengaja nabrak buat nempel ini di tas ranselku? Dan itu atas suruhan Kak Vela?" tebakku.

Anggun langsung mengangguk. "Iya, gitu, Ra. Saya ngikutin cewek itu dan dia beneran ngelakuin apa yang Kak Vela suruh. Makanya banyak yang ngetawain kamu. Saya mau nyamperin kamu, tapi kamu keburu ketemu Rafif. Rafif sengaja dorong kamu dengan maksud ambil kertas itu tanpa sepengetahuan kamu. Makanya, dia sampai nggak biarin kamu jatuh," jelas Anggun secara detail.

Jadi, Rafif ... menolongku?

"Sebelum ketemu saya, kamu ketemu sama orang lain?"

"Iya. Tadi saya tabrakan sama cewek. Anak X.F."

"Ck, dasar bego!"

"Siapa yang bego?"

"Kamu!"

Jadi, maksud Rafif seperti itu? Ah, pantas saja!

"Hey!" seru Anggun membuyarkan lamunanku.

"Eh! Maaf, Gun. Pantesan aja tadi Rafif agak aneh," ujarku.

"Kamu punya masalah sama Kak Vela?" tanya Anggun, terlihat penasaran.

"Enggak, kok. Mungkin dianya aja yang nganggap punya masalah sama saya." Aku berusaha tak acuh. Padahal pikiranku sudah liar ke mana-mana. Hm, mungkin Kak Vela masih kesal karena kejadian di restoran Aksa? Ya, mungkin saja.

"Maaf ya, Ra, saya nggak bermaksud ikut campur urusan kamu," ucap Anggun.

"Jangan minta maaf, saya justru berterima kasih karena kamu udah mau cerita ini ke saya."

"Ya udah, kamu hati-hati, ya. Tapi tenang aja, Kak Vela nggak bakal bikin masalah besar, kok. Kata sepupuku yang sekelas sama dia, sebenarnya dia itu baik, cuma ya kalau udah kesel sama orang dia udah nggak bisa kontrol. Lagi pula kalau dia bikin masalah, itu akan berpengaruh ke reputasinya," jelas gadis bertubuh tinggi semampai itu.

"Oke. Makasih ya, Anggun."

"Sama-sama. Saya ke kelas dulu, ya."

"Oke."

Setelah Anggun pergi, aku juga segera kembali ke kelas karena bel pelajaran kedua telah berbunyi sejak aku dan Anggun masih bicara. Sebelumnya, aku merobek kertas yang sejak tadi ada di tanganku, lalu membuangnya di tempat sampah.

Aku baru saja akan menaiki anak tangga menuju kelasku yang berada di lantai dua, tetapi langkahku terhenti begitu melihat seseorang yang sedang turun dengan langkah yang sangat tergesa-gesa. Langkah lelaki itu juga terhenti kala melihatku. Mata kami saling bertatapan beberapa detik.

"Ini belum jam istirahat, kenapa kamu di luar?" tanyanya memecah keheningan.

"Habis nganterin tugas ke meja Pak Sisno," jawabku.

"Pelajaran kedua biologi, bukan?" Aku mengangguk mengiakan. "Gurunya udah ada tuh!"

"Oh, iya." Entah kenapa, canggung sekali rasanya.

Tanpa berkata apa pun lagi, Rafif melanjutkan langkahnya. Mataku terus mengikutinya sampai lelaki itu masuk ke ruang guru dan menghilang dari pandanganku. Padahal aku ingin mengucapkan terima kasih atas kejadian pagi tadi, tapi aku malah mati kutu di depannya.

Ah, sudahlah, nanti saja. Aku mempercepat langkahku karena Bu Nini telah masuk. Guru biologi yang terkenal sangat killer itu pasti tidak akan menerima alasanku. Mana ada orang mengantar buku sampai hampir setengah jam?

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro