EPILOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....



· Januari 2019

Aku baru selesai berdoa di makam Ayah. Kini aku duduk diam di pusara itu, menatap nisan Ayah dalam keheningan. Tatapan mataku nanar, kerinduanku sudah mencapai ambang batas. "Ayra, baik-baik aja, Yah," ucapku seraya mengusap nisan Ayah.

Air mataku masih tak bisa berhenti mengalir sejak tadi. "Waktu kejadian gempa dan tsunami beberapa bulan yang lalu, Ayra pikir Ayra bakalan nyusul Ayah. Tapi ternyata Allah masih memberikan Ayra keselamatan. Maaf Ayra baru datang sekarang, Yah. Ayra baru balik dari kampung nenek."

Pada bulan September 2018, semua orang mungkin tahu. Terjadi bencana yang sangat mengerikan di kotaku. Kejadian yang sampai kapan pun mungkin tak akan kulupakan. Kejadian yang membuatku sadar, bahwa hidup ini hanyalah sementara. Selama ini aku terlalu memusingkan urusan dunia dan sering kali mengabaikan urusan akhirat. Aku bahkan seperti orang tak waras ketika mengetahui siapa pembunuh Ayah. Aku anggap ini sebagai teguran. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik lagi. Insya Allah. Selama beberapa bulan aku mengungsi di kampung nenek. Kuliahku juga diliburkan. Semuanya memang butuh menenangkan diri. Syukurlah, keluarga dan teman-teman terdekatku semuanya selamat. Rekan sejurusanku ada beberapa yang meninggal dunia. Ribuan orang meninggal, menciptakan duka yang mendalam.

Lebih lega lagi ketika aku mendengar kabar darinya. Rumahnya yang sederhana itu untungnya tak runtuh, hanya retak di beberapa bagian. Beberapa hari setelah bencana, dia menghubungiku lewat messenger facebook. Dia bertanya keadaanku, dan mengatakan bahwa dia khawatir padaku. Anehnya, aku merasa sangat bahagia. Apakah dia masih memiliki rasa padaku? Mengingat saat reuni dia sama sekali tak menyampaikan apa pun. Kami hanya bertemu dan bicara seadanya. Lalu kembali terpisah lagi. Ah, apa yang sebenarnya akan terjadi?

"Yah, Ayra lagi kesel sama diri sendiri. Ayra benci karena Ayra nggak bisa lupain dia, Yah." Aku mengoceh sendiri di samping pusara Ayah. "Gimana sih cara lupain dia?"

"Mau sampai kapan, Ra?" sahut seseorang tiba-tiba. Aku terkejut, menoleh. Aku lantas berdiri begitu melihat orang yang baru saja menyahut. Aksa.

"Aksa? Kok kamu bisa...." Aku tak melanjutkan kalimatku dan malah manggut-manggut sendiri. "Kamu ngunjungin Dimas, ya?"

Aksa mengangguk cepat.

"Maksud kamu tadi apa?" tanyaku.

"Mau sampai kapan kamu bohongin perasaan kamu sendiri? Saya tahu kamu masih sayang sama Rafif, dan Rafif pun begitu," ujar Aksa. Tatapan mata lelaki itu mengarah ke nisan Ayah. "Ra, Ayah kamu pasti nggak suka lihat kamu kayak gini. Dia pasti ingin kamu bahagia."

"Saya bahagia, kok."

"Bohong!"

Aku bergeming. Sesungguhnya aku juga tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan Aksa. Lelaki jangkung itu kemudian menatapku. "Ra, Rafif pernah janji sama saya kalau dia bakalan jagain kamu. Tapi karena kamu mutusin hubungan, kamu bikin Rafif ingkar janji sama saya."

"Justru karena saya dan Rafif sudah putus, janji kalian itu udah nggak berlaku."

"Ra—"

"Udahlah, Sa. Mending kamu urusin aja pacar kamu. Fokus bahagiain Yumna, jangan sampai sahabatku itu kamu kecewain, oke?" Aku sudah melangkah meninggalkan pemakaman. Tetapi Aksa mencekal tanganku.

"Lepas!" Aku menepis tangan Aksa.

"Sebentar aja, Ra. Saya mau nanya," ucapnya.

Aku diam saja. Menunggu pertanyaan yang akan dia lontarkan.

"Ra, apa salah Rafif? Apa dia salah karena dia adalah putra dari seorang pembunuh? Bahkan walaupun dia punya sifat dan sikap sebaik malaikat. Kalau dia anak pembunuh, dia tetap salah? Apa dia bisa memilih siapa ayah dan ibunya?" Aksa mencecarku dengan sejumlah pertanyaan yang tentu saja tak mampu aku jawab. "Jawab, Ra. Apa Rafif salah karena dia sayang sama kamu, yang merupakan putri dari orang yang dibunuh ayahnya, apa itu salah? Bagaimana bisa hal itu jadi kesalahan, Ra? Bukannya yang salah itu ayahnya? Kalau ayahnya salah, anaknya juga salah? Jawab, Ra!" teriak Aksa geram.

Alih-alih menjawab, aku malah menangis. Pertanyaan Aksa sungguh membuatku tak bisa berkata-kata. Apa yang bisa aku katakan? Aku bahkan tak tahu bagaimana dan apa yang kurasakan sekarang.

"Saya tahu kamu sakit, menderita, tapi pikirin juga Rafif." Suara Aksa kembali melemah. "Kamu tahu, kan? Rafif menanggung beban rasa bersalah terhadap dua keluarga. Keluarga Dimas dan keluarga kamu, rasa bersalahnya nggak akan pernah hilang, Ra. Selamanya dia akan dihantui rasa bersalah. Terlebih lagi rasa bersalah ke kamu, Ra."

Aksa menghela napas. Dia lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan secarik kertas putih. "Ini, Ra." Aksa memberikan kertas itu kepadaku.

Aku menghapus air mataku, lantas mengambil kertas itu.

"Itu nomor Rafif. Semoga kamu ngerti maksudku. Rafif sayang banget sama kamu, Ra."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Aksa pergi meninggalkanku. Dengan sejuta perasaan yang membuatku dilema setengah mati. Apa yang harus aku lakukan?

Aku menatap pusara Ayah dan kertas di tanganku secara bergantian. "Ayra harus apa, Yah? Ayah mau Ayra melakukan apa?" lirihku. Air mataku kembali menetes.

***

· Juli 2019

Aku telah siap dengan pakaian kasual, rok cokelat dan baju merah muda lengkap dengan flat shoes favoritku. Rambut hitamku yang sudah lebih panjang kubiarkan terurai. Aku pamit pada Bunda yang kini sedang mengatur obat-obatan di ruang tengah. "Jadi ketemu Rafif?" tanya wanita kesayanganku itu.

"Jadi, Bun," jawabku dengan wajah berseri-seri. "Ayra berangkat, ya." Aku menyalami Bunda dan mencium keningnya.

"Hati-hati ya, Sayang."

"Iya, Bun."'

Aku berlari kecil keluar rumah. Lantas berjalan kaki ke arah gerbang rumahku. Menyapa Pak Ali dengan wajah ceria. Seceria hatiku kini. Aku dan Rafif janjian di taman yang tak jauh dari rumahku. Jadi, aku lebih memilih berjalan kaki, berhubung di hari Minggu yang indah ini cuaca begitu bersahabat.

Butuh enam bulan.

Butuh enam bulan aku mencerna kata-kata Aksa, merenunginya, dan membuat keputusan. Aku sempat curhat dengan Bunda, juga dengan sahabat-sahabatku. Semuanya berharap yang terbaik untukku dan Rafif. Tak lupa pula aku merenungi perasaanku dari hati yang terdalam. Sampai akhirnya aku sadar, bahwa aku benar-benar mencintai Rafif. Bersama Rafif, aku merasa Ayah juga berada di dekatku. Perasaanku akan damai, tenang, dan nyaman.

Aku tak tahu apakah keputusanku kali ini tepat atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu. Satu hal yang pasti: aku ingin bahagia. Dan kebahagiaanku ada pada Rafif.

Aku akhirnya tiba di taman. Di sana, seseorang telah menungguku. Dia menyapaku dengan senyum. Senyuman dengan eye smile yang selalu aku rindukan. Rafif. Apakah dia jodohku atau bukan, lagi-lagi hanya Tuhan yang tahu. Aku dan Rafif hanya akan menjalaninya. Jika Tuhan berkehendak, suatu saat kami pasti akan dipersatukan dalam ikatan yang lebih suci.

Aku percaya, bahwa setiap kisah menyimpan hal baik dan hal buruk. Semuanya akan tersimpan dalam ingatan yang akan membentuk kenangan. Lantas, kamu mau mengingat yang mana? Hal buruk yang bisa membuatmu semakin kuat? Atau hal baik yang membuatmu bahagia? Kurasa ... dua-duanya harus tetap ada di dalam memoriku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro