Setra Giris

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan keluar sore-sore, nanti diculik Wewe Gombel."

Seharusnya gadis itu mendengar nasihat orang tuanya. Bukan malah berlari hingga terengah di tengah hutan. Menghindari sesuatu yang mengejar.

Kaki si anak yang terus mengayun cepat makin melemah. Keringat di keningnya kian banyak bercucuran. Tenaganya sudah hampir habis. Namun, bila dia berhenti bergerak, nyawa menjadi taruhannya. Dan saat satu batu kecil menyandungnya sampai jatuh menelungkup, gadis kecil itu tahu riwayatnya telah tamat.

"Kemarilah, Anak Manis." Suara lirih tanpa wujud berdesir seperti angin yang membuat bulu kuduk meremang.

Si gadis mengangkat kepala awas, mencari-cari sumber suara di antara cahaya yang telah lenyap. Jantungnya berdegup semakin kencang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.

"Akan kuantar engkau pada keluargamu," bisiknya lagi seperti seorang nenek.

Dari dalam kegelapan hutan, mata bulat merah muncul, diiringi taring panjang yang mencuat. Rambut gimbal makhluk itu menjuntai sampai ke tanah. Tubuhnya kelabu tinggi besar dengan payudara yang menggantung bergoyang-goyang. Langkahnya yang lebar menggetarkan tanah.

Sambil menyeringai menampakkan geligi kekuningan, makhluk itu mengulurkan tangannya yang berkuku tajam. "Sini, Manis, ihihihihi!"

Dari kedalaman hutan, teriakan menggema sampai menerbangkan burung-burung yang ada di pepohonan ke langit malam.

...

Larik-larik cahaya menembus kaca patri setinggi dinding batu sampai menggapai langit-langit yang menjulang. Tiang-tiang andesit berjajar di beberapa sisi menopang dengan kokoh. Di sisi terujung ruangan, berdirilah arca putih nan indah setinggi 3 meter, disinari kristal-kristal dari lampu gantung yang menjuntai dari langit-langit berbentuk kubah. Di tengah ruangan yang menjadi pusat kegiatan, berkumpullah orang-orang di sekeliling meja kayu panjang dengan seorang wanita berpakaian serba hitam di sisi paling jauh memimpin rapat.

"Maharani, ada laporan baru," ujar seorang pria sambil membuka lontar. "Seorang gadis berusia 8 tahun hilang di hutan sebelah selatan. Saksi mata menyebutkan bahwa dia mendengar teriakan diiringi gemuruh saat sandhikala. Dia juga mengatakan sempat melihat bayangan hitam yang besar saat mencari kayu bakar."

Bisik-bisik bergaung di seantero ruangan.

Dari balik topeng hitamnya, Maharani hanya mendesah. Tangannya bertaut gelisah.

Maharani menegakkan punggung. "Bagaimana dengan wabah penyakit? Apa tabib kita sudah menemukan obat yang mujarab?" tanyanya tenang. Sang ratu memalingkan wajah pada pejabat istana yang lain.

Pria dengan pakaian serba hijau yang dilihat Maharani menggeleng. "Belum, Maharani. Obat yang ada hanya bisa meringankan gejala yang diderita. Kami masih berusaha sebisa mungkin meracik obat yang manjur agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan," balasnya dengan nada sesal yang bergetar.

Sang ratu menunduk. "Lagi," bisiknya. "Kanca, apa kau yakin ini hanya sekadar wabah biasa atau ada sesuatu yang lain?" Penculikan, wabah. Tidak aneh bila semua ini ada kaitannya dengan hal di luar nalar. Hilangnya anak-anak saat senja kala. Penyakit yang tersebar di seantero negeri. Maharani tidak heran bila ini adalah suatu upaya lain untuk menggulingkannya, mengingat kejadian 8 tahun lalu saat terjadi kudeta yang dipimpin putra sulungnya sendiri.

"Sampura ingsun, Maharani." Seorang pria tua beruban dengan jubah putih seperti biku mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Para pandit telah menyimpulkan, bahwa ini adalah ... teluh."

"Teluh?" ulang Maharani memastikan yang disambung suara dengung tak percaya. "Apa—"

Pertanyaan Maharani terhenti ketika terdengar suara gaduh di balik pintu ganda ruangan. Semua yang hadir saling memandang heran, sampai seseorang berinisiatif melihat keadaan.

Pintu ganda membuka, membuat sang pejabat istana terkejut, disusul seorang gadis yang merangsek masuk.

Putri Gana, penerus takhta berbalut kain batik yang melilit dada sampai ke paha dengan selendang yang melambai-lambai di antara kakinya, berteriak, "Ibunda!" dengan langkah lebar yang membuat rambut hitamnya yang dikepang berlenggak-lenggok.

Seorang dayang berlari menyusul sang putri di belakangnya dengan panik.

"Ada apa ini, Adinda?" tanya Maharani sambil berdiri. Sang ratu lantas keluar dari meja pertemuan dan menemui anak gadisnya.

"Sampura ingsun, Maharani Iswari," sesal sang dayang sambil menangkup kedua tangan di depan dada. "Hamba sudah bilang, tetapi Putri Gana tidak mau mendengarkan."

Maharani Iswari berlutut agar matanya bisa sejajar dengan sang putri. Topeng dia lepas menampakkan wajahnya yang putih agar bisa melihat raut muka pewaris satu-satunya dengan lebih jelas. "Kenapa, Dinda?" ulang sang ratu lembut.

Pipi Putri Gana yang gembil semakin menggembung. "Aku hanya ingin bermain di luar istana dengan teman-teman! Kenapa tidak boleh?" tuntutnya sambil mengentak-entak kaki.

Sang ratu mengangguk mafhum. Dia bukannya melarang sang pewaris untuk berinteraksi dengan rakyat biasa, hanya saja keadaan di luar sana sedang tidak baik-baik saja. "Ibunda hanya ingin melindungimu. Sudahkah Dinda mendengar banyak teman-teman yang sudah hilang diculik Wewe Gombel?"

Putri Gana menaikturunkan kepala lemah. "Tapi, aku bosan!" rengek sang putri. "Lagi pula Wewe Gombel keluar saat senja! Ini kan, masih siang."

Maharani Iswari tersenyum simpul. "Bagaimana kalau Dinda belajar mantra dan mandala perlindungan agar tidak bosan? Nanti kalau sudah bisa boleh keluar bermain."

Gadis kecil berambut kepang itu melihat ibunya dengan mata berbinar. "Baiklah! Aku akan membuat Ibunda bangga!" katanya seraya berbalik dan berlari ke pintu keluar.

Maharani Iswari mengangguk pada dayang yang menemani Putri Gana sebagai tanda untuk terus menemaninya yang disambut dengan tangan yang menangkup di depan dada, lantas menyusul sang putri yang sudah tidak terlihat.

Sang ratu kembali memasang topengnya. "Kita lanjutkan—"

"Maharani!" Seorang dayang lain merangsek masuk dengan napas yang terengah-engah. Rambut yang disanggul dan wajahnya basah oleh keringat. "Pasukan Pencari telah kembali! Mereka mendapat informasi yang penting."

Mata Maharani membulat di balik topengnya. Informasi ini pasti sangat penting untuk kelangsungan investigasi. "Kanca-Kanca, kita tunda dulu pertemuannya." Sang ratu berbalik pada dayang yang menjura hormat pada dirinya. "Mari, antarkan aku. Ada di mana mereka?"

Sang dayang mengangguk sambil menemani ratunya di samping. "Mereka ada di Balai Pengobatan, Maharani."

"Kenapa? Ada apa dengan mereka?"

"Hamba tidak tahu, Maharani."

"Anak-anak yang diculik? Bagaimana mereka?" Maharani Iswari dan sang dayang melewati lorong yang penuh dengan arca-arca di kiri dan kanan beserta prajurit yang berjaga.

"Sayangnya, tidak ada anak kecil bersama mereka."

Maharani mengetatkan rahang.

Mereka melewati ruang-ruang yang tertutup rapat. Berbelok ke kiri di pertigaan lorong, keluar menuruni tangga. Tiang-tiang batu dan arca dwarapala gemuk bergada mengantarkan mereka melewati undakan andesit. Di seberang keduanya, orang-orang hilir-mudik membawa para prajurit yang terluka dan obat-obatan dalam kendi.

Orang-orang berhenti seketika dan membuka jalan ketika Maharani Iswari masuk ke Balai Pengobatan. Dia langsung masuk ke salah satu kamar terdepan yang berisi banyak prajurit dan tabib-tabib istana. Aroma amis dan rempah-rempah berpadu menyesakkan seketika. Namun, semua itu terus dia tahan sekuat tenaga.

"Apa yang terjadi?" tanya Maharani Iswari. Dia mengambil tempat di kursi yang langsung disediakan oleh salah satu dayang istana, menghadap salah satu prajurit yang telah selesai diobati.

"Kami diserang," jawab si prajurit pria lemah dengan rempah-rempah tumbuk yang dibalut dengan kain di dada yang telanjang, kaki, tangan, dan wajah. Matanya yang bergetar melotot trauma seolah dia masih menjalani tragedi tersebut.

"Bisakah kau ceritakan, Prajurit?" pinta sang maharani. Dia tidak ingin menekan, tetapi keadaan mereka sekarang mendesak dan harus ada tindakan yang segera diambil.

"Mereka ... keluar dari kegelapan ...."

Si pria bercerita terbata, tetapi di setiap kata-katanya tergambarkan bagai mantra. Maharani Iswari seolah berada di sana, di tengah gelapnya Alas Wana.

Burung hantu berkukuk. Angin dingin berdesir menggesek daun-daun di pepohonan. Geraman tak kasat mata sesekali terdengar dari balik batang-batang kayu.

Langkah prajurit menggema disertai derap sepatu kuda. Mereka terus menyusuri jalan yang mengarah ke puncak gunung, tempat yang diyakini para korban dibawa. Namun, geraman yang sedari tadi hanyalah sayup-sayup belaka, kini terdengar jelas disertai mata-mata merah yang muncul di antara kegelapan hutan.

Para prajurit berhenti seketika. Mereka menelaah sekitar dengan waspada.

Sang kapten yang ada di barisan paling depan memberi aba-aba. "Bersiap untuk serangan!" teriaknya lantang membelah suara-suara di dalam pepohonan. Akan tetapi, serangan itu lebih cepat dari yang mereka duga.

Kelebat bayangan keluar dari semak-semak, menerkam satu per satu prajurit yang bersenjatakan lengkap. Panah-panah tak mengenai apa pun selain kehampaan yang diiringi teriakan lain. Pedang dan tombak berayun ke udara kosong. Raungan dan jeritan bersahut-sahutan. Amis darah menguar dari luka-luka karena makhluk tak terlihat.

Serangan semakin mengerikan ketika makhluk-makhluk kepala buntung dengan organ yang masih menempel menerjang. Tangan-tangan termutilasi keluar dari dalam tanah dan merayapi para kuda. Jabang bayi dengan pusar masih melilit, kaki-kaki tanpa tubuh, dan manusia tanpa kepala dengan lubang di leher seperti mulut keluar seperti kumpulan semut.

"Semuanya mundur!" perintah sang kapten. Derap kuda bergema menuruni lereng gunung. Perjalanan yang memakan waktu sehari harus dibatalkan. Namun, dia tahu bahwa mereka telah di jalur yang tepat. Para makhluk-makhluk itu berbeda dengan makhluk biasa yang menghuni banyak alas. Mereka seperti penjaga yang diberi tugas untuk menghalau siapa pun agar tidak mendekat.

"Setra Gandamayit," si prajurit mengingat. Tangannya memegang kepala seolah akan pecah. "Kapten yakin sumber teluh dan penculikan anak-anak itu mengarah ke sana. Petunjuk dan penyelidikan mengarah ke sana. Akan tetapi, kami tidak tahu apa yang ada di atas sana." Pria tersebut melihat Maharani Iswari penuh harap. "Engkaulah harapan terakhir kami, Maharani. Engkau dan Hyang Adi adalah harapan terakhir kami."

Kedua tangan Maharani Iswari terkepal di atas paha. "Demi rakyat, akan aku usahakan apa pun. Terima kasih sudah bercerita, Prajurit. Beristirahatlah."

Sang ratu berniat kembali ke ruang pertemuan ketika seorang dayang yang celingukan tergopoh-gopoh mendatangi Maharani Iswari.

"Sampura ingsun, Maharani, hamba membawa kabar buruk." Kedua tangan si dayang yang berguncang mengatup di depan dada. Bibirnya bergetar ragu, tetapi tetap harus disampaikan. "Putri ... Putri Gana hilang," katanya dengan suara tidak stabil. Matanya terpejam tidak sanggup melihat reaksi sang penguasa.

"Apa?! Hilang? Bagaimana bisa?" Tangan Maharani Iswari mengepal.

"Hamba pun tidak yakin, Maharani. Awalnya kami para dayang telah mencari Putri ke seluruh tempat, tapi tidak ada tanda-tanda darinya."

"Awalnya?"

"Ada saksi mata yang melihat kalau Putri Gana dibawa oleh sesosok bayangan hitam besar saat menyusup keluar istana—"

Mata Maharani melotot di balik topengnya. "Kenapa bisa? Ini bahkan belum senja?" Sang ratu menggeleng tidak peduli. "Kumpulkan para prajurit dan cari dia sampai ketemu!" perintahnya sambil meninggalkan si dayang. Langkahnya kembali bergerak cepat menuju ruang pertemuan untuk melanjutkan rapat yang tertunda.

Bisik-bisik bergema dari balik pintu ganda ruang pertemuan. Maharani Iswari segera membukanya dan mendapati para pejabat istana dan perwakilan pandita tengah berdebat. Sang pandit yang berpakaian serba putih menghadap ratunya dengan waswas.

"Maharani, patik baru ingat ketika berbincang dengan para menteri. Kasus penculikan dan teluh ini bisa saja berhubungan. Maharani harus segera menyelamatkan para korban sebelum mereka dijadikan tumbal, apalagi katanya Putri Gana telah hilang."

"Apa ... apa maksudmu, Kanca?" Maharani Iswari seolah ditusuk dengan tombak di bagian dada. Putrinya bisa jadi tidak terselamatkan?

"Saat patik belajar Dharma di suatu desa, ada peristiwa yang hampir mirip dengan ini. Penculikan di mana-mana, wabah penyakit merajalela. Semua demi satu tujuan, untuk memperoleh kesaktian dengan mengorbankan para korban pada bulan purnama."

"Malam ini bulan purnama," Maharani Iswari membalas ngeri.

"Betul, Maharani."

...

Derap langkah kuda menggema di lereng gunung Alas Wana. Sang kapten yang telah memimpin Tim Pencarian kini kembali memimpin Tim Penyelamatan dengan anggota pasukan yang berbeda. Lebih sehat. Lebih berani. Lebih percaya diri karena ada Maharani Iswari sendiri di sisi mereka. Sang ratu dengan karunia Sang Hyang Adi bisa melakukan apa saja, melawan kekuatan astral sekalipun.

Angin malam berembus seiring kuda yang berlari. Dinginnya udara tidak menyurutkan semangat para prajurit yang siap terluka. Jalan berbatu dilalui dengan mudah. Gemeresik dedaunan yang terkena embusan para hewan tunggangan menemani mereka menyusuri senyapnya suasana.

Namun, sang kapten mesti memperlambat laju kuda dengan tiba-tiba. Ringkik hewan-hewan di belakangnya bersahut-sahutan. Kaki-kaki mereka ribut bergesekan dengan tanah berbatu. Kepala dari setiap orang dalam pasukan menoleh ke sana kemari.

Burung hantu berkukuk bersamaan dengan bola-bola api yang menyala dalam kegelapan.

"Ba-banaspati!" teriak salah satu prajurit.

Maharani Iswari dan Kapten mengeluarkan keris sebesar pedang dari sarungnya. "Bersiap untuk serangan!" perintah sang kapten. Seiring dengan gema suara yang mereda, makhluk-makhluk lain menampakkan wujudnya.

Jerit dari barisan belakang mengaum. Sesosok makhluk setengah anjing menyeret seorang pria masuk ke hutan. Tidak ketinggalan tangan-tangan buntung dan bangkai bayi bertali pusar melompat dari atas cabang-cabang pohon dan menerkam para prajurit yang lengah. Dari atas mereka, wanita berpakaian putih berambut hitam panjang melayang seperti burung pemakan bangkai mengelilingi bulan.

Sang kapten menatap awas pada ratu di sampingnya. "Maharani, kita harus mundur—"

"Jangan! Kita sudah sejauh ini." Maharani Iswari melihat sekeliling sebelum akhirnya memberikan perintah, "Semuanya maju! Siapkan senjata! Abaikan gangguan!"

"Tapi, Maharani, prajurit kita satu per satu hilang dan gugur."

"Ini perintah!" seru Maharani penuh tekanan.

Sang ratu memecut tali kekang. Kuda berderap meninggalkan lelembut, bersama rombongan di belakang. Prajurit-prajurit yang tersisa mengikuti dengan pedang dan tombak yang disiagakan.

Banaspati yang menerangi jalanan menyerang. Maharani Iswari menebaskan pedangnya cepat. Makhluk itu menghilang seketika, tetapi kepala buntung pananggalan, bangkai bayi bajanggkrak , dan hantu tatangan menyerang bergantian. Sang ratu terus melindungi diri dibarengi doa pada Sang Hyang Aditunggal.

Gapura setra dari batu melengkung kokoh di puncak jalan. Maharani Iswari, Kapten Tim Penyelamatan, dan para prajurit berbondong-bondong memasuki pelataran kuburan. Para makhluk secara ajaib lari tunggang langgan.

Dalam setra, nisan-nisan batu kelabu tersebar acak. Di depan mereka, sebuah candi tinggi besar menjulang, disertai seorang wanita berambut putih acak-acakan yang hanya terlihat punggungnya menghadap sebuah altar batu segienam.

Maharani Iswari turun dari kuda diiringi sang kapten.

"Wah, wah, lihat siapa yang datang? Aku tidak menyangka sang maharani sendiri yang akan datang." Wanita tua dengan kemben sedada itu berbalik. Suaranya serak dan melengking saat tertawa. "Saatnya menambah tumbal yang harganya sama dengan semua orang-orang di sini," lanjutnya sambil melihat sekeliling yang membuat bulu kuduk merinding sekaligus membuat murka.

Tiang-tiang pancang yang mengelilingi area setra dipenuhi oleh orang-orang yang terikat. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang tak sadarkan diri. Di antaranya bahkan ada yang sudah tak bernyawa dengan kulit menghitam dan bau busuk yang menguar.

Maharani menggeram. "Kenapa kau melakukan semua ini? Apa yang kau inginkan?!" serunya murka. Sang ratu sudah mempersiapkan keris dan dapat menebas orang di depannya kapan saja.

Si wanita tua tertawa. "Tentu saja untuk membangkitkan Rangda, sang ratu yang lebih pantas memerintah daripada dirimu!"

"Maharani, bersiaplah!" Sang kapten memperingati.

"Ya, Rangda, beri hamba kuasa atas para atma yang sengsara!"

Asap keluar dari tubuh si wanita tua. Dalam sekejap mata, dia berubah menjadi makhluk dengan mata bulat merah, taring mencuat seperti babi rusa, lidah menjulur sampai ke tanah, dan rambut gimbal yang berantakan. Tangannya berkuku tajam siap mengoyak siapa saja sampai ke organ.

"Leak!" Salah satu prajurit berteriak.

Sang wanita leak meraung memekakan telinga. Makhluk-makhluk halus kembali berdatangan. Wewe Gombel setinggi 2 meter, bola-bola api banaspati, kepala-kepala buntung berorgan dalam.

"Kapten, kalian lawan para antek-anteknya. Aku akan habisi sumbernya!"

Tawa mengerikan si leak menggema. "Setra dwara amerta. Getih rani ing bentala. Ya, Maharani, engkau akan binasa!"

Maharani Iswari menerjang, sang leak menangkis dengan kuku yang tajam. Mereka mundur hanya untuk menerjang lebih ganas. Denting pedang dan kuku bergema bersama tusukan tombak dan senjata tajam lainnya di langit malam.

"Di mana Putri Gana?!" tuntut Maharani.

"Maksudmu tumbal utama sebelumnya? Dia ada di sana." Si leak menunjuk tubuh di altar di belakangnya.

Sang ratu geram. Dia mengoyak, lidah si leak melilit tangan Maharani Iswari. Kuku tajam si makhluk menyerang wajah lawannya sampai topeng yang dikenakan terlepas, memperlihatkan wajah Maharani yang keras penuh nafsu membunuh.

"Tak ada pengadilan untukmu," bisik Maharani Iswari penuh tekanan. Dia mencengkeram lidah dan menusukkan kerisnya.

Si leak berhasil berkelit, tetapi Maharani Iswari cepat berputar dengan keris terhunus. "Demi Sang Hyang Aditunggal yang memegang atmaku, binasalah engkau bagai abu!"

Dalam satu sayat, dada musuhnya terkoyak. Dengan sekali tebas, kepala si leak terpenggal. Jerit menggema di seantero setra sampai ke luar hutan. Makhluk-makhluk halus yang tidak lagi diperintah kabur tunggang-langgang. Sorak-sorai menggantikan kesunyian hutan.

Maharani Iswari jatuh berlutut sebelum akhirnya mendekati Putri Gana yang terbaring di atas altar. Dengan kesedihan mendalam dia mengguncang tubuh pewaris satu-satunya.

"Bangun, Adinda," katanya.

Mata sang putri terbuka lemah. "Ibunda," balasnya lirih yang langsung diberi pelukan. "Maafkan aku."

"Tidak apa, sekarang sudah baik-baik saja."

~~oOo~~

Diterbitkan: 02/11/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro