15. Let's Get Closer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ngapain kamu deketin Zoya lagi?" Bae menolak melepaskan cengkeraman tangannya di kerah baju Peter.

"Sebentar, Bro. Aku bisa jelasin semua, kok. Ini nggak seperti dulu lagi." Peter berusaha membela diri. Hebatnya, ia tak terprovokasi untuk membalas perbuatan Bae yang mulai emosional. Pria itu lebih banyak menahan diri. Seolah dia sadar bahwa ia memang pernah salah.

"Udah dong, ah." Aku berusaha memisah dua pria tersebut tapi selalu saja gagal.

"Ini ada apaan, sih? Serius nanya, nih." Daniel menyahut lagi tetap dengan ekspresi bingung.

"Nggak sama seperti dulu apanya? Aku yakin tabiatmu nggak bakal berubah!" Bae mengeratkan cengkeraman.

"Baeeee...." Aku berteriak.

"Kamu pikir aku bisa lupa atas apa yang kamu lakukan ke Zoya?!"

"Iya, Bro. Aku tahu waktu itu aku salah. Aku udah minta maaf secara tulus pada Zoya." Peter kembali berusaha bersikap tenang.

"Aku nggak percaya!"

"Aku tulus."

"Baeee...." Teriakanku tak digubris.

"Ini ngeributin apaan, sih? Helloooww ...." Daniel bersuara, lagi.

"Pokoknya aku nggak bakal lupa. Kamu nyaris membuat Zoya cedera parah. Kamu buat dirinya babak belur, bibirnya robek, hidungnya nyaris patah. Lelaki macam apa yang tega memperlakukan wanita kayak gitu, hah?!" Bae nyaris hilang kendali lagi.

"Aku minta maaf." Peter menjawab pasrah.

"Wait, dia tadi bilang apa? Zoya diapain?" Kali ini suara Daniel terdengar kaget bercampur geram.

Aku menoleh ke arahnya, terlihat pria itu melempar bunga yang ia pegang ke sembarang arah lalu berjengit maju. Duh. Manusia satu ini kenapa lagi?

"Pria ini ngapain Zoya? Bikin dia ... cedera?" Ia menunjuk ke arah Peter untuk memastikan. "Serius?" Ia seolah meminta kepastian pada Bae.

Peter memutar bola mata lelah. "Itu dulu sekali ketika diriku masih muda. Dan aku sadar itu salah."

"Who the hell are you? Ini bukan urusanmu, kan? Ngapain ikut campur?" Kali ini Bae berujar sewot ke arah Daniel.

"Bro, kalo ini ada hubungannya dengan Zoya, aku bakal ikut campur." Daniel menjawab jengkel.

"Nggak ada yang minta kamu untuk ikut campur." Bae menjawab ketus.

"Bodo amat. Lagian aku nggak minta ijin dari kamu, kok."

"Teman-teman, please...." Peter mengerang.

"Kami bukan temenmu!" Bae dan Daniel kompak berteriak.

Entah bagaimana mulanya ketiga pria di hadapanku ini ribut sendiri-sendiri. Mereka saling berbalas kalimat ketus, lalu diakhiri saling dorong.

Kepalaku dilanda rasa puyeng. Menghimpun seluruh tenaga, akhirnya aku berteriak, "KALAU KALIAN TERUS RIBUT, AKU PULANG!"

Ajaibnya, keributan di antara mereka reda. Ruangan yang tadinya dipenuhi adu argumen seketika hening.

"Duduk sana!" perintahku.

***

"Gaes, ini aku lagi kerja, lho. Jangan ribut kayak anak kecil gini, dong." Aku berucap geram sembari menatap ketiga pria dewasa di ruanganku.

"Kita ini bukan anak abege yang pantes ngeributin hal-hal ginian, ya Gusti...." Aku mengerang lagi.

Daniel duduk di sofa, meletakkan bunga di sisinya. Kelopak bunga sudah nyaris berhamburan di mana-mana. Peter duduk di sofa yang berada di seberang dirinya. Sementara Bae, pria itu berdiri di samping jendela sambil bersedekap. Raut mukanya terlihat tak bersahabat. Sudah lama aku tak menemui ekspresi seperti itu.

Membayangkan keadaanku sekarang, seperti seorang ibu yang tengah memarahi ketiga putra remajanya.

"Aku cuma berkunjung." Peter berujar duluan.

"Aku juga." Daniel menanggapi.

"Aku udah janjian dulu, lho." Peter menimpali.

Kali ini Daniel mengangkat bahu. "Aku emang biasa datang dadakan, kok." Ia membela diri.

Aku mengeram ke arah dua pria yang kini tengah adu argumen lagi.

"Ngomong-ngomong, jadi beneran dulu kamu pernah ngapa-ngapain Zoya?" Daniel menatap Peter dengan tatapan tak terima. Yang ditatap mengangkat tangan frustrasi.

"Oh God, harus berapa kali aku bilang." Ia mengeluh.

"Berarti emang iya, kan?"

Peter menggigit bibir. "We were in relationship. Few years ago, okay? And, yeah, dulu aku emang salah dan aku udah sadar kesalahanku itu. Aku udah minta maaf secara tulus ke Zoya, kok. Dan aku juga udah janji untuk berubah."

Daniel menggigit bibir gemas. "Nggak kebayang kamu melukai Zoya. Pengen rasanya ngajakin kamu berantem," ucapnya.

"Kamu siapa, sih?" Peter tampak emosi sekarang.

"Penting banget untuk tahu siapa aku."

"Ya iya dong. Tiba-tiba aja kamu nongol dan sok ikut campur."

"Kalau soal Zoya, emang wajib banget bagi aku untuk ikut campur lah."

Ketegangan di antara Peter dan Daniel terhenti ketika Bae beranjak.

"Aku pergi." Dan ia melenggang keluar dari ruanganku, begitu saja.

Peter dan Daniel berpandangan. Seolah menyadari bahwa keributan mereka sia-sia, Daniel menarik napas. "Sorry, Bro. Aku tadi emosi." Dan ia ikut bangkit lalu menatapku. "Aku juga pergi dulu, ya. Lain kali aja datang lagi kalo udah janjian." Ia pun melangkah pergi meninggalkan ruanganku.

Aku dan Peter bersitatap. Menarik napas lelah, aku bergerak duduk di sofa yang tadi diduduki oleh Daniel. "Maaf atas semua keributan ini," ucapku penuh penyesalan.

"Sudah kuduga. Fansmu selalu banyak, dan barbar." Ia tergelak. Dan mau tak mau, aku pun itu terbahak.

Untuk beberapa detik berikutnya, kami menertawakan kekonyolan-kekonyolan yang barusan kami alami.

"Yang satu emang fans, tapi yang satunya lagi bukan. Aku dan Bae masih tetep temen baik," ralatku kemudian.

"Bae akan selalu jadi penggemarmu nomor satu. Tak diragukan lagi." Peter terkekeh. Dan entah kenapa kalimat itu membuat pipiku bersemu merah.

"Well, sepertinya aku juga harus segera undur diri. Terima kasih atas sambutannya. Aku nggak nyangka bahwa kamu bakal seramah ini padaku mengingat masa lalu kita yang buruk."

"Udah deh, Pete. Itu masa lalu. Nggak usah dibahas. Yang penting sekarang kita bisa sahabatan lagi." Aku menimpali.

"Lain kali semoga kamu masih memperbolehkanku berkunjung lagi."

"Tentu saja. Melanjutkan obrolan kita yang sempat terputus karena dua pria itu." Aku mengangkat bahu.

"Ngobrol sambil minum kopi, mungkin?"

Aku mengangguk. "Tentu."

Peter tersenyum lega lalu bangkit. Sebelum benar-benar pamit, ia berujar, "Mohon kamu nggak salah sangka ya, Zoya. Aku nggak ingin kamu merasa nggak enak hati kalau suatu saat nanti aku pengen ngajakin kamu keluar untuk sekadar minum kopi. Sungguh, nggak ada niatan untuk mengulang cerita masa lalu. Setelah apa yang terjadi dulu, aku nggak pantes untuk ngedeketin kamu lagi. Aku bener-bener berengsek. Jadi, bisa temenan lagi aja, aku udah bersyukur."

Aku kembali tersenyum tulus mendengar ucapannya. Mantap aku mengangguk sambil berujar, "Tentu. Kita akan berteman lagi. Seperti dulu."

Dan kami mengakhiri pertemuan hari itu dengan pelukan hangat sebagai sahabat.

***

Aku terlonjak kaget ketika pria itu sudah berdiri di ambang pintu. Saking kagetnya, peralatan Make Up yang tadinya hendak kurapikan kini malah berhamburan ke lantai.

Sumpah. Keberadaan Bae sekarang bikin aku grogi.

"Ngapain malem-malem gini---"

"Tante!" Dan sosok mungil itu muncul dari balik badannya. Senyumnya semringah.

"Hai, Lea," sapaku.

"Dia minta dianterin maen ke sini," ujar Bae.

Lea mendongak ke arah papinya.
"Kan Papi yang ngajakin ke sini duluan," ujarnya.

Bae terbatuk. "Udah, maen sana sama Tante Zoya." Ia mendorong lembut tubuh Lea hingga dalam hitungan detik, bocah itu sudah berpindah tempat di sisiku. Aku yang sempat menatap Bae dengan bingung, akhirnya teralihkan dengan tingkah bocah tersebut.

Lea antusias membantuku merapikan peralatan Make Up sambil berceloteh riang, menanyakan nama dan kegunaannya. Sementara Bae, ia melenggang santai ke arah sofa lalu duduk di sana.

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku bingung.

Bae menggigit bibir, lalu menjawab, "Uhm, nemenin Lea."

"Nggak usah, kan dia sama aku. Kamu pulang aja. Ntar biar aku yang nganterin pulang." Aku berujar.

"Iya, Pi. Papi pulang dulu aja. Lea mau maen lama sama tante Zoya." Lea menambahkan.

Bukannya nurut, Bae malah menyandarkan punggungnya dengan sikap santai. "Nggak apa. Papi temenin kamu di sini aja." Ia menjatuhkan tatapannya ke arahku.

Aku menelan ludah.

Bagaimana aku bisa asyik bermain dengan Lea kalau pria itu ada di kamarku, mengawasi.

Ketika Lea minta rambutnya ditata, ia mengawasi.
Ketika Lea minta diajari dandan, ia juga terus mengawasi.
Ketika aku dan Lea asyik mencoba sepatu dan baju, ia ikut mengamati.

Iya kalau yang ditatap cuma anaknya, lah, aku juga dilirik-lirik gitu. Kan aku gugup terus!

Sumpah, ini tak nyaman!

"Kamu pulang aja deh," ujarku kemudian, gerah.

Bae menatapku bingung. "Kok sewot?"

"Habisnya kamu---" Kalimatku tertahan, tak mampu menemukan kosa kata yang pas untuk mendeskripsikan keadaan kami saat ini.

"Terusin aja mainnya. Aku cuma duduk-duduk di sini, kok. Aku nggak bakal ganggu. Janji." Ia membela diri.

Tatapanmu itu yang mengganggu!
Aku merutuk dalam hati.

Aku nyaris saja mengusirnya ketika tiba-tiba terdengar suara tante Tricia.

"Bae, ada tamu tuh." Beliau muncul dari pintu.

"Siapa?"

"Maya."

Bae tak langsung bangkit. Ia menatap ke arahku lalu ke arah Lea secara bergantian. Sejurus kemudian ia baru beranjak dari kursi. "Papi pulang dulu ya, Lea. Mau nemuin tamu sebentar." Ia melangkah keluar kamar, kali ini tanpa melihat ke arahku.

"Lea mau di sini apa pulang bareng eyang?" Tante Tricia menawarkan. Lea buru-buru menggeleng.

"Di sini dulu, Eyang. Lea masih mau main-main." Ia menjawab.

Tante Tricia manggut-manggut. "Ya udah, eyang pulang dulu ya. Zoya, ntar kalo Lea minta pulang, tolong dianterin ya."

Aku mengangguk.

"Aku maunya dijemput Papi." Lea menyahut.

"Ya udah, nanti biar dijemput Papi kalo tamunya sudah pulang ya," ujar Tante Tricia. Setelah beliau pergi, raut muka Lea terlihat bete. Dan aku yakin ekspresi wajahku juga tak jauh berbeda.

Terlebih ketika nyaris larut, Bae tak juga menampakkan batang hidungnya untuk menjemput Lea. Bahkan ketika gadis itu terlelap di ranjangku.

Akhirnya aku memutuskan untuk menggendong dan mengantarkannya pulang. Ketika sampai sana, terlihat Bae masih asyik mengobrol dengan perempuan itu, kali ini di ruang tamu. Ada banyak kertas berserakan di meja. Aku diderasa dongkol seketika.

Masa iya malam-malam gini masih ngurusi kerjaan? Kek gak ada hari lain aja.

Melihat diriku yang tengah kepayahan membawa Lea, Bae buru-buru bangkit. Awalnya ia ingin menggantikan menggendong bocah itu namun aku menolak. "Nggak usah. Biar langsung kubawa ke kamar aja. Takut ntar dia kebangun." Aku menjawab.

Bae manggut-manggut lalu memilih duduk kembali ke sisi Si Tamu.

Melihat penampilannya yang seksi, rok di atas lutut dan blouse yang kerahnya rendah, ingin selalu aku melemparkan selimut ke arahnya.

Setelah selesai meninabobokan Lea di ranjangnya, aku buru-buru pamit. Terdengar Bae mengucapkan terima kasih, tapi aku tak menanggapi.

Menatap ke arah mereka pun ogah.

°°°

Paginya, ketika hendak berangkat kerja, aku berpapasan dengan Bae. Pria itu baru saja keluar dari rumah dengan setelan rapi ketika diriku baru saja masuk ke mobil.

"Pagi." Ia menyapa.

Aku menatapnya sejenak. Teringat kejadian semalam, rasa sebal kembali mendera. Tanpa menjawab sapaannya, aku melengos dan langsung tancap gas.

Sebel, sebel, sebel.

◦◦◦

Aku sampai di kantor masih dengan perasaan jengkel. Tas berisi buku sket berhasil kulemparkan ke kursi ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar dan pria itu muncul dari sana dengan napas terengah.

Aku ternganga.

Bae?

Ngapain dia di sini?

Kenapa napasnya terengah? Apa ia habis berlarian di sepanjang lorong?

Aku mengerjap bingung dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Baru tadi pagi kami berpapasan di depan rumah dan tiba-tiba saja ia sudah di sini?

"Iya, aku nyusulin kamu ke sini." Ia berujar seolah memahami pertanyaan yang berseliweran di kepala.

Nyusulin ke sini?

"Iya, nyusulin kamu. Kamu nyetir kek orang kesetanan." Ia menambahkan.

Aku makin bingung. "Ngapain kamu nyusulin aku ke sini?"

Bae meletakkan kedua tangan di pinggang sembari mengatur napas.

"Sebenarnya aku salah apa, sih? Kok kamu kayak sebel banget gitu sama aku?"

Lagi-lagi aku terngaga. Heh?

"Aku punya salah apa sampai-sampai membalas sapaanku aja nggak mau! Akhir-akhir ini kita bahkan ngga bisa ngobrol kayak biasanya karena kamu selalu saja menghindar. WHAT'S WRONG WITH YOU?!" Emosinya meluap.

Aku tertegun. Tak mampu menjawab. Serius, pagi-pagi begini aku tak sanggup untuk adu argumen. Apalagi dengan Bae. Karena sesungguhnya aku sendiri tak tahu dengan sikapku.

"Karena aku bilang bahwa aku mencintaimu? Karena aku bilang bahwa selama ini kamu selalu ada di hatiku?"

Aku menelan ludah, lalu menggeleng perlahan.

"LALU APA, ZOYA?!" Seolah pria itu sudah kehilangan kesabaran. "Apa mengakui perasaanku selama ini adalah kesalahan sampai-sampai kamu memperlakukan aku kayak gini? Aku salah ya? Aku salah karena aku jatuh cinta sama kamu?"

"Bukan gitu."

"Lalu?"

"Aku nggak suka kamu deket-deket sama sama perempuan itu. Perempuan yang sering main ke rumahmu."

"Maya?"

"Maya atau siapa lah itu namanya."

"Kami cuma temen. Dia datang untuk urusan pekerjaan."

"Urusan pekerjaan kok lengket kek lem lalat. Mana datangnya selalu malem-malem." Aku mendengkus.

"Kamu kenapa sih?" Bae menatapku, makin bingung.

"Dulu aku bodo amat, Bae. Tapi sekarang aku nggak bisa. Aku nggak suka kamu deket-deket sama perempuan lain. Aku cemburu."

Sudah, aku hilang kontrol sekarang. Aku tak ingin menutupi perasaanku lagi. Faktanya, memikirkan Bae dekat perempuan lain yang berpotensi sebagai Mami barunya Lea, aku tak suka.

"Kami cuma temen." Ia kembali berujar tegas.

"Temen apaan. Aku lihat kalian berduaan terus."

"Zoya ...."

"Kamu bilang kamu nggak mau nikah lagi!"

"Siapa bilang?!"

"KAMU SENDIRI!" teriakku. "KAMU BILANG SISCA ITU NGGAK TERGANTIKAN, MAKANYA KAMU NGGAK BERENCANA NIKAH LAGI!"

"MAKSUDNYA AKU NGGAK MAU NIKAH LAGI KALO NGGAK SAMA KAMU!"

Setelah luapan emosi tersebut, keadaan hening.

Kami bersitatap.

Krik krik krik.

Sebentar, tadi dia bilang apa?

Bae hendak berkata-kata lagi, namun kalimatnya tertahan ketika pintu terbuka. Elsa datang dengan secangkir kopi seperti biasanya.

"Mbak Zo ... ya ...." Menyadari ketegangan antara aku dan Bae, Elsa tersenyum kaku. "Anu, nanti saja kopinya kuantarkan lagi." Ia buru-buru menutup pintu dari luar, membawa serta kembali kopi di tangannya.

Aku dan Bae kembali bersitatap.

"Baiklah, ayo lanjutkan yang tadi," ucapku. "Kamu tadi bilang apa? Bilang nggak mau nikah lagi kalo ...."

Bae menyisir rambutnya dengan jemari. Walau begitu, rambut itu tetap saja terlihat rapi.

"Aku sudah mengutarakan perasaanku padamu. I told you everything, about you. Dan kamu belum ngasih aku jawaban tentang cinta sepihak yang selama ini kurasakan."

"Ya kan kamu bilang nggak mau nikah lagi. Buat apa ngasih jawaban?"

"Aku nggak mau nikah lagi kalo nggak sama kamu." Kali ini ia mengulanginya kembali, dengan emosi lebih stabil, hingga aku bisa mendengar jelas per kalimatnya.

"Setelah apa yang kualami dengan Sisca, aku nggak bisa membayangkan hidup berdampingan lagi dengan perempuan lain, selain sama kamu." Kalimat itu lembut, menyihir. Ia melangkah pelan menghampiriku, tanpa melepaskan tatapan kami. Dan mata itu seolah menguarkan mantra pengikat hingga aku tak mampu bergerak.

"Denganmu, Zoya. Atau enggak sama sekali." Ia berujar lembut. Kedua tangannya bergerak menangkup wajahku. Seolah meminta ijin, ia mempertemukan bibir kami. Lembut, dan ringan.

Awalnya itu ciuman biasa. Hanya ujung bibir yang bertemu. Entah bagaimana mulanya ketika tangan Bae beralih ke pinggang, menarikku ke pelukannya, lalu kendali itu lenyap.

Aku lebur dalam dekapannya.

Ciuman Bae berubah panas dan membara. Ia memagut, menuntut. Dan aku tak mampu menahan diri untuk tak membalas. Bibirku menyambar tak kalah panas. Dalam waktu singkat, erangan-erangan dan suara desahan tercipta di ruangan. Kami larut dalam pelampiasan hasrat yang seolah tertahan sekian lama.

Dan sungguh.

Bibir Bae, terasa ... nikmat.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro