Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dimas : Sudah menerima paketan dari saya?

Inez mengernyit membaca pesan Whatsapp dari Dimas ketika dia mengayunkan kaki jenjangnya di sepanjang lorong lantai satu gedung C.  Mendecak tanpa membalas pesan dari lelaki yang mengajaknya menikmati semangkuk es teler Dempo kemarin, tidak menyangka bahwa Dimas akan menuruti omongan nenek Kusuma untuk menjadi 'agresif'. Meskipun Dimas adalah lelaki yang menyenangkan untuk dijadikan teman bicara, Inez merasa dia harus membentengi diri untuk tidak terlalu menyelami hubungan yang bisa saja hancur. 

Tubuh tinggi nan ramping itu memasuki lift bersamaan dengan beberapa orang termasuk lelaki dengan tatanan rambut klimis dan sorot mata tajam bak elang. Dengan jas putih dan aroma parfum maskulin yang tercium menggelitik hidung lancip Inez, dia melempar senyum seraya berkata,"Dokter Inez."

Inez mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis, menggeser diri ketika dokter Ruri menekan tombol angka delapan. Dia berbalik memandang netra cokelat hazel si dokter baru dengan tatapan penuh arti. "Gimana kerja di sini? Suka?"

"Ya, lumayan," jawab Inez. "Dokter sudah lama kerja di sini?"

"Ehm ... baru lima tahun," kata Ruri. 

Inez manggut-manggut tanpa menimpali kembali kalimat seniornya. Lift berdenting, kedua pintu besi itu terbuka di lantai delapan. Inez melangkah mendahului, diikuti Ruri di belakangnya. Sesekali Ruri mendekat, seolah ingin menggapai bau shampo yang dikenakan oleh gadis yang rambutnya di cat cokelat. 

Memasuki ruang Cempaka, Inez dan Ruri berjalan beriringan yang disambut oleh beberapa mahasiswa koas yang berdiri di depan nurse station. Mereka berbisik membandingkan kharisma Ruri dengan kecantikan Inez, bahkan salah satu dari mereka berpendapat bahwa dua dokter pintar itu cocok untuk menjadi sepasang sejoli. 

"Tapi, Dokter Ruri udah menikah tahu,"bisik salah satu koas. "Siang, Dok," sapanya kepada Inez dan Ruri. 

Salah satu perawat yang mengenakan seragam dinas berwarna biru tua mengambil barang titipan yang dibungkus dengan tas plastik putih dari atas meja di sisi kanan dekat lemari file, menyerahkannya kepada Inez yang duduk sambil membaca rekam medis pasiennya. 

"Ada titipan, Dok,"kata perawat itu. '

Inez menoleh, mengamati tiga kotak yang berwarna merah lalu berkata, "Buat saya? Dari siapa Bu?"

"Dari Pak Dimas, cucunya nenek Kusuma."

Oh, ini mungkin paketan yang dimaksud, pikir Inez menerima barang itu, membukanya dengan gerakan cepat. 

Di sana ada secarik kertas putih dengan tulisan yang lumayan bisa dibaca, walau ukiran dari bolpoin itu lebih mirip tulisan anak SD. Inez menahan tawa yang ingin keluar dari bibirnya, kala mata lentik gadis itu membaca isi surat dari pengirim. 

Tak kenal maka tak sayang, jangan dimakan kalau beneran sayang. 

-Dimas-

"Apaan sih, nggak nyambung banget dia," gumam Inez.

Perawat yang melirik surat itu tersenyum-senyum sendiri. "Buah manggis buah semangka, ada cinta yang manis di ruang Cempaka."

Sontak saja pantun yang dilontarkan oleh perawat membuat mahasiswa tertawa, Inez justru salah tingkah lalu melipat isi surat itu dan menyimpannya di baluk saku snellinya. Sedangkan Ruri melirik Inez yang tampak malu-malu, pandangannya bukan tertuju pada garis wajah oval Inez, melainkan pada kaki jenjang yang selalu mengenakan rok selutut dengan flat shoes. 

Ada sesuatu yang menggoda diri Ruri, bahkan dia begitu tidak bisa konsentrasi pada tumpukan rekam medis pasien yang ditanganinya. Ruri menghela napas, mencoba mengalihkan perhatiannya pada catatan perkembangan yang ditulis oleh rekan sejawatnya. 

Sialan, batin Ruri. 

###

Inez : Sudah beli kasur untuk nenek? dari kemarin saya minta kasur khusus orang dekubitus tidak segera kamu belikan. 

Satu pesan terkirim usai Inez melakukan kunjungan harian ke pasiennya. Kondisi nenek Kusuma berangsur membaik meski lukanya masih perlu ditangani lebih lanjut hingga beberapa minggu ke depan. Metode diet tanpa karbohidrat memang cukup berhasil membuat gula darah yang melonjak menjadi turun drastis, meski pada awalnya tubuh akan dibuat lemas karena tidak ada pemasukan karbohidrat dalam darah. 

Sayangnya, sosok Dimas tidak ada di samping neneknya tadi, bahkan perawat menyampaikan bahwa lelaki itu pulang untuk mengambil pakaian bersih. Padahal Inez ingin memberi saran agar nenek Kusuma dilakukan terapi hiperbarik--terapi menggunakan oksigen murni bertekanan tinggi--agar luka yang ada di tulang ekor nenek Kusuma segera memunculkan sel-sel baru. 

Satu panggilan dari nomor tak dikenal masuk, Inez yang akan melanjutkan kunjungan pasien di ruangan lain pun terhenti dengan jempolnya yang menggeser ikon hijau di layar ponsel. Suara bariton terdengar dari seberang ketika Inez mengucapkan salam. 

"Ini Dokter Ruri," ucap si penelepon. 

Kening gadis itu mengerut, menatap layar ponselnya dengan jutaan pertanyaan. Entah dari mana seniornya mendapatkan nomor ponsel Inez. 

"Halo, Dokter Inez?" suara Ruri terdengar memanggil. 

"Oh, i-iya, Dok, ada apa?" tanya Inez gelagapan, menempelkan gawai hitamnya di telinga kanan. 

"Dokter Inez sudah makan? Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" ajak Ruri. 

"Oh ... boleh, tapi saya mau ke ruang Melati dulu, Dok, ada dua pasien yang harus saya visite, " kata Inez. 

"Ya sudah, nggak apa-apa, saya tunggu di kafetaria lantai tujuh."

"Baik, Dok."

Sambungan telepon terputus, Inez kembali melanjutkan langkahnya menuju Ruang Melati yang masih satu lorong dengan Ruang Cempaka. Dalam hati, dia baru ingat tentang kelakuan mahasiswa koas, Putri, yang belum dilaporkannya kepada Ruri.  Sekalian saja, Inez akan berdiskusi tentang metode diet tanpa karbohidrat yang sering kali dilanggar oleh pasien dengan alasan belum kenyang jika tak makan nasi. 

Sekitar pukul setengah tiga, Inez keluar dari Ruang Melati dengan kepala pening setelah memberi ceramah panjang kali lebar pada salah satu keluarga pasien yang melanggar aturan dietnya. Dia berpikir bahwa tekanan darah dan gula darah yang tinggi akan berjalan beriringan jika tidak diimbangi dengan pola diet yang benar. Semua keluarga pasien yang cerewet selalu mengingatkannya pada sosok Dimas, lelaki berwajah baby face yang tersingkir oleh cambang tipis di rahangnya. 

Bungkusan berisi bakpao sayang aneka rasa masih dibawanya, tadi dia memberikan satu kotak kepada perawat yang berjaga di ruang Cempaka, satu kotak lagi dia berikan kepada mahasiswa koas untuk dimakan bersama-sama, sisanya Inez bawa pulang sebagai camilan. Kertas yang dikirim Dimas melalui perawat masih dia simpan di dalam saku snellinya. Diambil kertas itu sambil menuruni anak tangga menuju lantai tujuh yang berbatasan langsung dengan kafetaria rumah sakit. 

Inez kembali menyunggingkan senyum miring, gejolak aneh di perutnya seperti sesuatu yang menggelitiki ulu hati gadis itu. Inez menggeleng cepat, meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di sisi kanan anak tangga terakhir di lantai tujuh. 

Kedua matanya langsung menangkap sosok Ruri yang sedang sibuk dengan ponsel, tatapan mata elang dengan bibir tebal kemerahan itu menyiratkan bahwa Ruri sedang asyik dengan dunianya sendiri. Inez melangkah di atas kaki jenjangnya, berdehem di depan Ruri. Seketika, lelaki itu mendongak lalu berkata, "Saya nggak sadar kalo dokter Inez sudah datang."

Inez menarik kursi kayu di depan Ruri, mendaratkan pantat seraya menaruh barang bawaannya di atas kursi di sisi kirinya. "Dokter asyik sendiri sih."

"Lagi bales pesan saja. Oh ya, mau makan apa? Biar saya traktir karena kita belum sempat berkenalan dengan benar."

"Ah, nggak usah, Dokter, kayak sama siapa aja," kata Inez, "Ya udah deh, pesen nasi padang satu sama es teh manis."

Ruri tersenyum geli sambil menggeleng. "Malu-malu tapi mau." Ruri mengangkat tangan kanannya, memanggil salah satu kedai makanan nasi padang. 

Seorang perempuan bertubuh kecil pun menghampiri mereka sambil membawa kertas kecil dan bolpoin dengan tergopoh-gopoh. 

"Mbak, saya pesen nasi padang dua ya, sama es teh dua,"kata Ruri. 

"Oke, Dok," kata si perempuan mencatat di atas kertas kecil lalu meninggalkan Ruri dan Inez. 

Sepeninggal perempuan itu, mata Ruri beralih memandangi  Inez. "Pasiennya gimana? Aman?"

Inez menghela napas, melipat tangan di dada sambil menyandarkan punggungnya di kursi. "Aman, tapi saya sering ngasih ceramah ke pasien, Dok."

"Kenapa?"

"Ya begitu, saya tuh nggak suka kalau ada pasien yang gula darah dan tensinya naik nggak karuan, padahal usia mereka tuh masih terbilang usia produktif. Sayang banget kalau harus terbaring lemah di rumah sakit, Dok," ujar Inez panjang lebar. 

"Semua orang kan beda-beda staminanya, Dok, apalagi jaman sekarang banyak tuh makanan-makanan aneh yang dijual dan semua serba online, mau makan aja tinggal pesen di hape selesai. Orang jadi malas untuk bergerak, Dok."

"Iya bener. Terus saya punya metode diet tanpa karbo. Mereka banyak protes karena nggak kuat, padahal hidup tanpa karbo itu nggak bikin mereka mati, kan, Dok? Apa saya salah?"

Ruri menggeleng, bersamaan dengan si perempuan yang menghantarkan pesanan pelanggannya. "Makasih, Mbak," kata Ruri, "Oang Indo kalo nggak kena nasi, kayak nggak ketemu pacar, Dok, belum puas."

"Ya, bener. Oh iya, saya mau bilang, koas Dokter Ruri, si Putri tuh dia kemarin bikin saya jengkel, Dok,"kata Inez mengaduk nasi padangnya dengan sendok dan garpu. Melahap pelan nasi yang selalu memanjakan lidah dengan perpaduan rempah yang khas. "Waktu saya rawat luka, dia mual muntah di depan pasien dan keluarganya, lalu dia ijin ke kamar mandi tapi nggak balik-balik. Ya saya marahi, koas kok kayak nggak ada etikanya sama sekali, gimana mau jadi dokter?"

Ruri mengunyah makanannya di dalam mulut, dengan tatapan yang mengunci Inez. Mendengar omelan gadis itu membuat Ruri tertawa dalam hati. Inez terlihat sangat menggemaskan ketika melontarkan amarahnya, apalagi bibir tebal gadis itu sesekali mengerucut seolah sedang merajuk. 

"Oh, oke, nanti saya tegur si Putri. Terima kasih sudah memberitahu saya,"kata Ruri. 

"Sama-sama, dan saya minta maaf kalau harus menghukum Putri untuk merawat luka pasien saya seorang diri, Dok, biar dia terbiasa," ujar Inez. 

Ruri mengangguk. "Silakan, silakan, saya justru senang kalau dokter Inez bisa membantu saya membimbing mahasiswa saya." Dia melirik wajah tirus itu, tatapannya mendadak berkilat tertuju pada bibir penuh Inez yang dipulas lipstik berwarna kecokelatan. Bibir yang membuat siapa saja ingin menyesapnya dalam-dalam. 

Sialan, gerutu Ruri dalam hati. 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro