BAB 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasar di kota Shadowglass tidak seramai pasar-pasar di daerah lain, tentu saja karena jumlah penduduknya yang sedikit. Selain sepi, kondisi pasar itu bisa dibilang seperti daerah kumuh. Jalanan di sana tidak terbuat dari batu-batu yang disusun, melainkan langsung tanah. Di beberapa sudut pasar, sampah menumpuk dan bau menyengat menguar. Lalat-lalat sampai berpesta di sana, mungkin saja ada larva-larva yang hidup. Beberapa bangunannya tidak layak digunakan, bahkan ada yang tinggal puing. Walau begitu, masih ada penjual yang setia menjajakan dagangan.

Cassie, Kyle, dan Ace berjalan saling bersisian dengan posisi si perempuan di tengah. Mereka menyusuri pasar sambil membicarakan makan malam yang akan disantap nanti. Sebetulnya, Cassie tidak terlalu memedulikan soal makan malam, baginya itu urusan Roland sebagai pemilik penginapan, lagi pula pria itu dibayar. Namun, bayang-bayang soal sosis hambar saat sarapan, membuat perempuan bersurai cokelat ingin membeli sesuatu. Ia pikir camilan atau buah bisa mengganjal rasa lapar nanti malam.

Sedari tadi, Ace terus mengoceh tentang pasar dan dagangan yang dijual. Ia bilang kalau harga barang di sana tidak bersahabat di kantong. Yang dijual di pasar kebanyakan makanan, barang-barang seperti baju, sepatu, buku, dan lainnya tidak dijual atau harganya melebihi kata wajar. Cassie dan Kyle hanya mengangguk saat pria itu menjelaskan, tak ingin berkomentar lebih banyak. Setibanya di sebuah bangunan yang memiliki kanopi persegi panjang berwarna putih, mereka langsung disapa oleh penjual botak. Terdapat meja di sana, lalu dua keranjang yang berisi ikan. Tidak banyak, tetapi kelihatannya masih segar.

"Tuan, tolong ikan segarnya tiga," ucap Ace seraya mengangkat tiga jemari kiri.

"Wah, wah, mimpi apa aku semalam sampai seorang Acheron membeli ikan," timpal si penjual sambil membungkus.

"Kebetulan sekali mereka yang bayar." Ace menunjuk Cassie dan Kyle dengan jempol kiri, membuat perempuan netra hijau membelalak.

"Hah? Aku sudah membayarmu tadi pagi!" gerutu Cassie sambil mengepal.

Ace terkekeh pelan, ia mendekatkan wajahnya ke arah si perempuan sembari tersenyum. Jari telunjuknya terangkat di samping wajah. Lantas pria itu berbisik, "Bayaran untuk tour guide belum."

Cassie berdecak sebal, tetapi sebelum mengambil tas kecil berisi uang di saku gaunnya yang terhalangi jubah, Kyle menarik pundak si perempuan. Pria itu melayangkan tatapan peringatan pada Ace untuk tidak terlalu dekat dengan sepupunya. Sebagai respons, pria berambut hitam hanya tertawa geli.

"Protektif sekali," pungkas Ace sembari bersedekap.

Cassie memutar bola mata malas, tanpa berkata apa pun langsung mengambil tas kecil untuk mengambil uang. Otomatis Ace terbelalak, mengingat kalau ia sempat lupa memberitahu dua orang itu tentang pasar di Shadowglass.

"Hati-hati, di sini banyak co—"

Belum selesai Ace berbicara, secepat kilat tas kecil yang tadinya dipegang Cassie langsung dirampas oleh seorang bocah lelaki. Bocah itu berlari kencang, dan tanpa pikir panjang si perempuan berteriak keras sampai semua orang yang ada di sekitar mereka menoleh. Cassie juga tanpa ragu-ragu langsung mengangkat roknya dan berlari mengejar bocah pencopet.

"KEMBALI KE SINI, SIALAN!"

Sontak, Kyle dan Ace menganga. Beberapa detik kemudian ia langsung menarik kerah kemeja Ace dengan dua tangan. "Bodoh, kenapa tidak bilang daritadi?!"

Tanpa wajah penyesalan, sebab hanya tersisa cengiran lebar, Ace mengangkat kedua tangan. "Maaf, aku lupa."

Kyle melepaskan si pria rambut hitam, kemudian mengejar sepupunya untuk menangkap si pencopet. Akan tetapi, larinya terhenti saat menyadari pencopet dan Cassie tidak terlihat sepanjang jalan utama pasar. Jadi, pria itu memutar tubuh, melihat Ace yang berjalan menghampiri dengan satu tangan memegang bungkusan kertas berisi ikan.

"Larinya cepat juga, ya," kata Ace dengan mata memperhatikan sekitar. "Well, sepertinya mereka melewati gang, bukan jalan utama. Ayo kita cari mereka."

❇❇❇

Lari si bocah pencopet begitu lincah, sampai Cassie nyaris tertinggal jauh. Rok panjang yang harus ia angkat saat berlari agak menyusahkan, dan kakinya yang mulai kelelahan membuat perempuan tersebut tak punya pilihan lain. Dengan cepat, tangan kanan Cassie terulur ke depan, sementara tangan kirinya memegang kuat rok panjang agar kakinya tak menginjak ujung gaun. Pikirannya mulai fokus untuk mengeluarkan sihir dari telapak tangan. Detik berikutnya, titik-titik cahaya mulai bermunculan, membentuk sebuah pendar hijau cerah. Setelah merapalkan mantera andalan, sihir itu langsung melesat cepat ke arah si bocah. Namun, tidak langsung mengenai tubuh sebab bukan itu tujuan Cassie. Bola sihirnya melewati kepala bocah pencopet, kemudian langsung menghantam tanah beberapa meter.

Ketika si pencopet mendekat, muncul akar-akar tanaman berwarna hijau dari tanah. Bergerak meliuk-liuk layaknya ular, lalu menyambar ke arah si bocah. Sayangnya, dengan sigap bocah tersebut menghindar. Ia terkejut karena tiba-tiba ada sihir di hadapannya. Si bocah terus menghindar sampai ia menemukan jalan lain yang menghubungkannya ke jalan utama. Merasa berhasil menghindari kejaran akar sihir, bocah itu menoleh sambil menjulurkan lidah pada Cassie.

"Dasar bocah! Awas saja kau, copet!" teriak Cassie kesal sambil terus mengikuti lari.

Sekali lagi, perempuan itu melemparkan mana, akar-akar magis itu kembali mengejar si bocah, tetapi tak bertahan lama karena sihir Cassie belum terlalu kuat. Akhirnya, kaki perempuan itu berkhianat, ia kelelahan. Mau tak mau, dia harus berhenti di pertigaan dengan napas tersengal-sengal. Sambil salah satu tangan bertumpu ke dinding bangunan, tangannya yang lain diarahkan ke bocah pencopet. Begitu pendar-pendar hijau bermunculan dari telapak tangan, netra hijau itu membesar. Bukan karena sihirnya, tetapi si bocah tiba-tiba menjerit akibat tubuhnya diangkat ke atas oleh sesuatu yang tak kasat mata. Beberapa orang yang ada di sana langsung ketakutan, mereka memilih untuk berlari menjauh dari lokasi. Sementara itu, Cassie berjalan pelan beberapa langkah. Keningnya mengerut, jantungnya berdetak kencang, dan suaranya seakan tertahan di tenggorokan.

Seketika, iris hijau cerah milik Cassie menangkap sosok seorang gadis. Tangannya terangkat ke atas sembari bibir bergerak seolah berbicara pada bocah itu. Cassie yakin gadis di sana pernah ditemuinya, tetapi ia tidak terlalu ingat. Dengan langkah pelan, perempuan rambut cokelat menghampiri si gadis.

"Selamat siang, Nona. Akhirnya kita bisa bertemu lagi." Gadis itu menoleh dengan sneyum ramah.

"Ba-bagaimana bisa kau—eh, apa kau pengguna sihir pengendalian?" tanya Cassie dengan wajah penasaran.

Gadis itu hanya menggeleng pelan. "Tidak, sihir punyaku hanya mengendalikan bayangan. Aku mengangkat dia melalui bayangannya."

Cassie mengangguk, lalu menatap bocah yang kini tak lagi meronta. Wajah bocah itu begitu pucat dengan gemetar hebat. Alih-alih meminta untuk menurunkan bocah pencopet, Cassie malah merogoh saku di baju si bocah. Setelah berhasil menemukan tas kecil miliknya, dia langsung memeriksa jumlah uang yang ada di sana.

"Syukurlah masih utuh," ucap Cassie sambil bernapas lega. Kemudian, mata hijau cerah itu melayangkan tatapan tajam ke arah si bocah. "Dasar bocah sialan. Untung saja tidak kucincang!"

Gadis muda yang memakai jubah hitam di samping Cassie langsung menurunkan si bocah. Tanpa berkata apa-apa, copet cilik itu lari terbirit-birit. Sementara itu, si gadis hanya melambaikan tangan seraya memamerkan senyum. Namun, yang Cassie lihat bukan senyuman tulus, sebab di balik mata biru cerah yang indah, tampak tersembunyi sesuatu yang mencurigakan. Seakan ia baru saja merencanakan untuk berbuat jahat.

"Nona harus berhati-hati. Banyak copet berkeliaran di pasar, dan mereka sangat lincah." Gadis itu mendongak, sebab Cassie lebih tinggi darinya. "Ngomong-ngomong, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Eversly, panggil saja Eve."

Gadis berjubah hitam sedikit membungkuk, dua tangannya mengangkat sisi rok berwarna hitam. Eversly memberikan hormat ala perempuan-perempuan dari kelas bangsawan.

"Aku Cassiopheia Darwell. Banyak orang memanggilku Cassie," balas Cassie.

"Darwell?" Ekspresi Eversly berubah terkejut, tetapi dengan cepat kembali ke semula. Senyum yang menghiasi wajah pucat seperti kedinginan. "Kalau begitu, aku memanggilmu Nona Darwell saja. Apa yang Anda lakukan di pasar?"

"Tadinya aku membeli makanan sebelum bocah tengik itu mengambil tasku. Kau sendiri, Eve?"

Eversly melirik sebuah bangunan yang tak jauh dari posisinya. Telunjuk kiri ramping gadis itu menunjuk tempat dengan tulisan TOKO SERBA ADA. "Aku baru saja dari sana. Oh iya, kalau Nona Darwell ingin mencari barang gratis, tempat itu solusinya."

Cassie mengernyit bingung. Untuk pertama kalinya ia mendengar ada toko yang memberikan barang gratis. Seumur hidupnya, si perempuan tak pernah menemukan tempat semacam itu. Shadowglass memang unik sekaligus menyeramkan. Karena diliputi rasa penasaran, Cassie berjalan mendekati toko. Dari depan ia bisa melihat jendela besar yang menampilkan buku-buku juga topi.

"Ayo, ada banyak barang menarik. Siapa tahu Nona Darwell tertarik." Eversly berjalan lebih dulu, dan Cassie mengekori.

Saat pintu toko dibuka, mata hijau cerah Cassie membesar. Toko itu dipenuhi oleh barang-barang seperti buku, mainan, jam saku, pakaian, koper, dan masih banyak lagi. Rak-rak tinggi dijajarkan rapi dengan dipenuhi barang dan sepatu. Terdapat sebuah kotak besar dari kayu yang berisi pakaian, topi, bahkan sapu tangan. Di dekat meja kasir, terdapat rak kayu berisi aksesori. Langkah perempuan bersurai cokelat terhenti di dekat kotak besar.

"Selamat datang. Kalau kau suka, ambil dan bayar semampunya," ucap seorang wanita tua yang duduk di balik meja kasir sambil merajut. Netra wanita itu tidak menatap Cassie, melainkan rajutan di tangannya.

"Aku pikir semua ini gratis," sahut Cassie yang sontak mendapat balasan berupa kekehan dari si wanita tua.

"Kalau kau mampu bayar, maka bayar barang itu." Si wanita kembali berbicara tanpa menatap lawannya. "Kalau tidak, ya sudah."

Cassie hanya menoleh pada Eversly yang kini berdiri di dekat rak aksesori. Gadis itu hanya tersenyum sembari mengedikkan bahu. Suara embusan napas keras terdengar, si perempuan rambut cokelat akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat ke rak buku. Kebanyakan buku di sana berdebu, tidak terlihat baru. Saat tangan Cassie menarik satu buku dengan sampul ungu, dibukalah halaman pertama. Netranya membulat saat melihat nama pemilik buku yang tertera di sana.

Dengan perasaan terguncang, perempuan itu kembali mengambil buku yang lain. Ia selalu melihat halaman pertama, dan rata-rata buku yang ada di sana memiliki nama pemilik. Muncul rasa penasaran yang membuat Cassie gelisah. Ketika ia menghampiri ujung rak buku, dua buku terakhir itu memiliki nama pemilik yang sama dengan buku pertama dilihatnya. Tiga buku itu milik Krigg Darwell.

Darimana mereka mendapatkan buku-buku ayah? batin Cassie.

Perempuan itu hendak menanyakannya pada Eversly, tetapi gadis itu tidak ada di posisi tadi. Jadi, Cassie hanya berjalan melihat-lihat barang sekitar untuk memastikan bahwa barang-barang ayahnya tidak ada di sana. Namun, harapan itu langsung pudar begitu ia melihat jam saku dengan simbol keluarga Darwell di atasnya. Tanpa berkata apa pun, kaki Cassie langsung bergerak meninggalkan toko. Ia tak mau mencari lagi sebab ia yakin semua barang ayahnya ada di sana.

Sambil berjalan tergesa-gesa dan tiga buku dalam dekapan, Cassie memikirkan pertanyaan tentang barang-barang ayahnya yang berakhir di toko serba ada. Pikirannya kalut sampai ia tak melihat bahwa Kyle dan Ace berjalan menghampirinya. Cassie terlonjak kaget begitu Kyle menyentuh lengannya.

"Ya Tuhan, kau baik-baik saja, kan?" kata Kyle dengan wajah khawatir.

Perempuan itu mengangguk, netranya beralih menatap Ace. "Apa kau tahu toko itu?" telunjuk kanannya menunjuk toko serba ada, dan Ace mengangguk. "Kalau begitu kau tahu darimana toko itu dapat barang-barang bekas?"

Perkataan Cassie terdengar dingin dengan sorot mata tajam, tetapi hal itu tidak membuat Ace ciut. Justru, pria itu malah menjawabnya dengan nada ceria. "Oh, semua barang-barang di sana memang bekas, dan berasal dari para pendatang yang sudah mati."

❇❇❇

Thank you for reading this chapter. Don't forget to click vote or comment. See you later.

11 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro