BAB 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cassie terdiam, memandangi mata Eversly seolah mencoba untuk membaca pikirannya. Pikiran tentang bayangan hidup yang dilihatnya tadi kembali terputar. Ini pertama kalinya bagi perempuan dengan surai cokelat melihat bayangan hidup secara langsung, padahal selama ia di Shadowglass kejadian seperti itu tidak terjadi. Akan tetapi, Cassie yakin semua penghuni Shadowglass sudah tidak asing dengan makhluk bayangan hidup, sebab makhluk inilah yang mereka takutkan.

Eversly kembali bertanya kalau tamunya ini baik-baik saja, sayangnya Cassie sama sekali tidak berniat untuk menjawab. Jadi, gadis itu kembali ke dirinya semula, senyum merekah di wajah pucat, disertai suaranya yang bisa membuat siapa saja terpana. Berkat suara Eversly, Cassie kembali dari lamunan. Perempuan berambut cokelat pun mengambil dua keranjang dari tangan si gadis dan berpamitan.

"Apa mau aku temani, Nona Darwell? Aku khawatir Anda tersesat," tawar Eversly.

Cassie segera menggeleng. "Tidak usah, aku masih ingat jalan."

Namun, ucapan tidak sesuai kenyataan. Perempuan bergaun merah tua mengerutkan kening saat ia melihat hutan. Pagar pembatas yang membentang untuk menandai bagian dari rumah Eversly, seolah-olah memberitahu Cassie kalau ia bisa tersesat di hutan kapan saja.

"Nona Darwell yakin tidak mau diantar?" tanya Eversly saat melihat si perempuan bersurai cokelat tampak ragu.

Sebenarnya, Cassie ingin menolak, tetapi jika ia menolak maka kemungkinan dirinya tersesat di hutan juga tinggi. Dia merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya tidak ingat jalan yang ditempuh. Lagi pula, kalaupun si perempuan ingat, berjalan sendirian di hutan cukup membuatnya merinding. Cassie jadi teringat kembali soal makhluk bayangan hidup. Dia meyakini bahwa makhluk itu berkeliaran di hutan.

"Aku rasa berjalan di hutan berdua lebih seru," ujar Cassie tanpa menoleh. "Bu-bukan berarti aku takut, hanya—"

"Tidak ingat jalan," potong Eversly sembari melewati Cassie. Gadis itu memimpin jalan karena ia hapal betul tentang hutan di Shadowglass. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan lingkungan yang tidak bersahabat di kota kelahirannya ini.

Dua perempuan itu menyusuri hutan, pepohonan tinggi di sekeliling seakan memperhatikan gerak-gerik mereka. Selama berjalan, Cassie menengadah memperhatikan kabut yang menutupi ujung atas pepohonan tersebut. Setiap hari Shadowglass selalu seperti itu, kalau saja ia tidak membawa jam saku, mungkin Cassie tidak tahu waktu. Seketika ia terbersit sebuah pertanyaan. Kepala perempuan bermata hijau melirik Eversly di depannya.

"Hei, Eve. Pernahkah kau terpikirkan untuk melihat dunia luar?"

Sontak saja pertanyaan itu membuat Eversly menghentikan langkah. Netra birunya menatap lurus, seolah-olah jawaban yang ia butuhkan ada di kedalaman hutan.

Menyadari bahwa gadis itu tidak menjawab, Cassie berjalan mendekat. "Aku pikir semua penduduk kota lelah tinggal di tempat seperti Shadowglass. Sumber makanan terbatas, semuanya terbatas. Saat para pendatang muncul, kuyakin mereka iri karena para pendatang merasakan kehidupan yang berbeda."

"Aku tidak tahu," jawab Eversly pelan. Lalu, iris biru itu menatap Cassie dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak pernah memikirkan tentang dunia luar, Nona Darwell."

"Oh." Cassie mengalihkan pandangannya dari Eversly. "Mungkin karena kehidupanmu terpenuhi, jadi kau tidak pernah memikirkan seperti apa dunia luar."

"Mungkin saja." Eversly kembali berjalan. "Tapi aku selalu penasaran dengan musim-musim di luar sana. Aku pernah mendengar tentang benda langit yang bersinar terang, dan suhu panas."

Cassie yang mengekori di belakang terdiam. Dirinya mengasihani Eversly yang tidak pernah merasakan sinar matahari. Sudah bisa dipastikan bahwa gadis itu sejak lahir tak pernah mengetahui musim panas, birunya langit, melihat pelangi, atau mendengar suara serangga khas musim panas. Cassie juga sangsi jika Eversly tak pernah melihat bulan atau taburan bintang di malam hari, mungkin saja tidak tahu menahu soal permintaan pada bintang jatuh.

"Aku penasaran," ucap Eversly pelan yang langsung menarik atensi si perempuan berambut cokelat. "Seperti apa kehidupan di luar Shadowglass."

Seulas senyum merekah di wajah Cassie, ia lantas menjawabnya dengan ceria. " Well, percayalah, di luar sana kehidupan sangat jauh berbeda dari Shadowglass. Penduduknya lebih banyak, juga berbagai macam aktivitas yang bisa dilakukan. Oh, bahkan setiap musim berganti akan diadakan festival."

"Festival?"

Cassie mengangguk. "Misalnya, di musim panas seperti sekarang, ada festival kembang api dan di alun-alun kota ada banyak pedagang yang menjual kerajinan atau olahan buah segar. Kalau kau datang ke Eriwald, kau bisa mendapat berbagai macam aksesori."

"Wah, sepertinya menyenangkan ya." Wajah Eversly berubah antusias. Ia ingin mendnegar lebih banyak tentang kota-kota di luar Shadowglass.

"Saat musim gugur tiba, festival diadakan lagi. Biasanya orang-orang membuat pai atau kue-kue kering dari hasil panen, kemudian dibagikan. Ada juga kompetisi makan atau kompetisi hasil panen terbesar. Tapi, untuk kalangan bangsawan atau kelas atas, biasanya akan ada pesta dansa kostum."

Eversly tertawa pelan. "Sepertinya Nona Darwell lebih sering menghadiri pesta dansa kostum, ya."

"Tidak juga. Aku lebih sering menyelinap ke kota." Setelah mengatakan hal itu, Cassie tersenyum. Ia jadi ingat tentang kebiasaannya menyelinap ke kota demi bisa ikut kompetisi makan. Kadang, ia menghabiskan waktu seharian di kota hanya untuk menikmati festival. "Saat itu, rasanya menyenangkan sekali."

"Lalu, bagaimana dengan dua musim lainnya?" tanya Eversly yang penasaran.

"Saat musim dingin festival hanya diadakan selama dua hari. Kegiatannya bisa berupa pasar musim dingin, acara bernyanyi bersama saat malam hari, lalu berpesta sambil seluncuran es. Tapi, biasanya di ibukota kerajaan, keluarga kerajaan mengadakan Winter Ball. Bagiku, Winter Ball hanyalah ajang para bangsawan memamerkan kekayaan dan cari jodoh."

Sontak saja Eversly tertawa, membuat Cassie terkejut dan langsung tersenyum. Perbincangan mereka pun membahas tentang pengalaman si perempuan berambut cokelat selama menghadiri pesta di istana, kemudian berdansa dengan para bangsawan, dan malam saat ia menyelinap keluar hanya demi bermain seluncur es. Semua kisah yang diceritakan Cassie, membuat Eversly menjadi lebih antusias. Terlihat dari pancaran matanya.

"Andai saja aku bisa menikmati semua yang Anda ceritakan, Nona Darwell." Mata biru Eversly memandang ke atas. "Mungkin aku bisa melihat sesuatu yang indah di balik kabut itu. Tapi ... sayangnya tidak bisa."

"Tentu saja bisa!" seru Cassie yang sontak membuat si gadis pucat terkejut. "Kalau kau mau melihat dunia luar, ayo kita hancurkan perjanjian Shadowglass."

Eversly tercengang. Tak pernah ia mendengar seseorang dengan nada semangat mengatakan ingin menghancurkan perjanjian yang menyebabkan Shadowglass tertutup kabut. Ini pertama kalinya ada seseorang yang secara terang-terangan mengatakan hal tersebut, meskipun Eversly tahu banyak orang yang ingin menghancurkan perjanjiannya.

"Ba-bagaimana caranya? Anda bahkan tidak tahu di mana perjanjian Shadowglass berada, kan?" tanya gadis berjubah hitam dengan ekspresi tak yakin.

Cassie menggeleng. "Aku tahu di mana perjanjian itu tersimpan."

"Benarkah?"

"Iya, perjanjian Shadowglass disembunyikan di rumah keluarga Obumbratio. Masalahnya, aku tidak tahu di mana rumah keluarga Obumbratio."

Eversly sama sekali tidak terkejut, seolah-olah bahwa gadis itu sudah menduganya. Namun, wajah itu tidak dilihat oleh Cassie, sebab si perempuan sedang memperhatikan jalan sembari memikirkan rencana yang harus ia persiapkan. Cassie tahu kalau sepupunya mungkin saja menolak untuk ikut andil dalam rencana yang ia buat, jadi ia berniat untuk melakukannya sendiri.

"Aku tahu di mana rumah itu," ucap Eversly yang langsung membuat Cassie terkejut. Mata hijau cerah si perempuan berbinar penuh harap. "Aku bisa membantumu, Nona Darwell."

"Benarkah?" tanya perempuan berambut cokelat sembari menghentikan langkah. Diikuti Eversly yang sama-sama berhenti sejenak.

"Aku tahu banyak tentang Shadowglass. Kalau Anda butuh bantuan, beritahu aku saja, ya."

Mendengar kalimat itu, muncul rasa senang di hati Cassie. Akhirnya ia memiliki teman yang mau membantu rencananya untuk menghancurkan perjanjian yang membelenggu Shadowglass. Perempuan itu juga sangat berterima kasih pada Eversly, setidaknya Cassie berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai hadiah karena mau membantunya.

"Apa yang bisa aku bantu selain memberitahumu lokasi rumah keluarga Obumbratio, Nona Darwell?" Suara Eversly menyadarkan si perempuan bergaun merah tua dari lamunannya.

"Ah, itu ... sepertinya aku perlu mencari tahu di mana mereka menyembunyikan perjanjiannya. Kau tahu, ruangannya."

"Got it. Denah ruangan rumah keluarga Obumbratio dan lokasi perjanjiannya."

"Apa kau yakin bisa mendapatkannya?" Tiba-tiba saja Cassie penasaran. Bagaimana caranya Eversly akan mengabulkan keinginannya?

"Tenang saja, Nona Darwell. Aku bisa menggunakan kemampuanku untuk menyelinap ke sana. Lagi pula, aku juga punya banyak kenalan yang bisa diandalkan dalam misi ini."

Setidaknya, ucapan si gadis berjubah hitam membuat Cassie mengembuskan napas lega. Dengan begini, rencana untuk menghancurkan perjanjian Shadowglass sekaligus menyelamatkan sang ayah dan seluruh warga kota selangkah lebih maju. Meski dalam hati, Cassie sangat berharap bahwa sepupunya mau memberikan uluran tangan. Pria itu lebih baik daripada si perempuan dalam membuat rencana, tetapi akan sangat sulit untuk membujuknya. Dia yakin kalau Kyle sebenarnya menolak semua rencana yang dibuat, terutama saat pertama kali Cassie memutuskan untuk pergi ke Shadowglass.

Dua perempuan itu kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang sebelumnya mereka lewati sebelum ke rumah Eversly. Tempat Cassie memetik buah serupa berry pun dilewati saat perempuan itu menunjuk jalan ke timur, dia bilang di sanalah teman-temannya memancing.

"Setelah aku berhasil menemukan di mana perjanjiannya disembunyikan, dan denah ruangan di rumah keluarga Obumbratio, aku harus menemui Anda di mana?" tanya Eversly sambil membantu Cassie melewati jalan yang menurun.

Si perempuan dengan surai cokelat terdiam, memikirkan tempat yang tepat. Namun, ia tak mendapat ide, sebab ia sendiri tidak tahu banyak tentang tempat-tempat di Shadowglass.

"Bagaimana kalau di tempat Anda menginap saja, Nona Darwell?" usul Everlsy.

Tanpa ragu-ragu, Cassie langsung setuju. Meski dalam hati ia khawatir sepupunya tahu, lalu melarang dirinya untuk menjalankan rencana ini.

"Kalau begitu sampai bertemu lagi nanti," ujar Eversly sambil melambaikan tangan. Gadis itu tanpa menunggu jawaban Cassie langsung saja memutar badan, kembali berjalan menuju rumahnya.

Perempuan dengan netra hijau tentu saja bingung. Padahal, Cassie yakin kalau tempatnya Kyle dan yang lain memancing masih jauh. Dia juga yakin tak ada satu kata pun yang dilontarkannya mengarah ke 'pengusiran' secara halus karena sudah bertemu teman-temannya. selain itu, Cassie jadi lupa untuk berterima kasih pada Eversly, si gadis berjubah hitam sudah mengantarnya supaya tidak tersesat.

❇❇❇

"Cassie, ke mana saja kau?!" pekik Kyle begitu melihat sepupunya berjalan dengan santai. Mata cokelat si pria terpaku pada dua keranjang yang dibawa Cassie. "Darimana kau da—"

"Aku membelinya dari seorang kenalan," potong Cassie cepat sembari melewati Kyle, menuju Ace yang masih di posisi sama seperti setelah tercebur. Baik Ace maupun Roland memandang si perempuan bergaun merah tua dengan menganga.

"Wah, wah, kukira kau cuman mencari buah. Rupanya membeli makanan," pungkas Ace yang mencoba untuk melihat isi dari keranjang. Setelahnya, ia bersiul sambil menggeleng. "Luar biasa, mulai sekarang aku tidak akan kelaparan lagi."

Cassie memutar bola matanya, dalam diam ingin sekali perempuan itu menertawakan Ace. Dia membeli makanan ini tadinya untuk dirinya, Kyle, dan Roland sebagai pemilik penginapan. si pria dengan kulit kuning langsat sepertinya terlalu percaya diri akan mendapat jatah makanan, meskipun pada akhirnya Cassie mengalah karena kasihan.

"Kau pergi ke mana sampai membawa banyak makanan?" tanya Roland yang juga menghampiri si perempuan dengan pancing yang masih dipegang.

Cassie tersenyum bangga. "Well, tidak terlalu jauh. Aku hanya pergi mengikuti arahan Ace ke sana, lalu tak sengaja bertemu seseorang yang menjual bahan pangan."

Semua pria di sana saling bertukar pandang. Mereka semua khawatir saat Cassie tak kunjung muncul, dan Ace dengan wajah bodoh mengatakan kalau perempuan itu mencari buah untuk dijadikan camilan. Sekarang, perempuan itu kembali membawa makanan seolah ia baru saja diberi hadiah oleh ibu peri pengabul permintaan. Namun, setidaknya mereka bersyukur karena tangkapan ikan pagi itu tak cukup untuk makan seharian. Cassie benar-benar beruntung.

Roland dibantu Kyle merapikan barang-barang sebelum berjalan menuju rumah Roland. Hari ini mereka akan memasak bahan makanan yang dibawa Cassie, walaupun si perempuan sudah menduganya kalau masakan Roland akan hambar. Ia baru ingat kalau di Shadowglass, bumbu masakan tidak terlalu terasa dan hampir semuanya hambar. Tentu saja mengingat kota itu tak punya pasokan untuk bahan pangan, sebab hubungan dengan dunia luar saja terputus. Mereka sepenuhnya mengandalkan alam, dan mau tidak mau beradaptasi dengan masakan hambar. Hal ini juga yang memaksa Cassie untuk turut beradaptasi.

Si perempuan berambut cokelat menengadah, memperhatikan deretan pohon yang mulai jarang. Entah sudah berapa kali ia memperhatikan langit yang tertutup awan, rasanya tak membosankan. Meski begitu, kali ini Cassie memiliki sebuah harapan. Cepat atau lambat, Shadowglass akan kembali disinari cahaya mentari seperti ratusan tahun lalu, dan orang-orang di sana akan bisa merasakannya.

Tak terasa, bangunan milik Roland sudah terlihat di depan mata. Netra hijau milik Cassie jadi teringat akan rumahnya di Eriwald. Muncul rasa rindu yang amat, sampai tak sadar tangan kanannya menyentuh dada. Rasa sedikit tercubit muncul di hatinya jika ia mengingat rumah. Namun, ekspresi sedih yang terpampang jelas di muka si perempuan lenyap kala suara Ace terdengar bagai petir menggelegar.

"Tumben sekali kau kemari, Lilia!"

Lilia? Pikir Cassie. Perempuan berambut cokelat tersebut lekas melirik ke arah rumah Roland. Di sana, seorang wanita dengan jubah hijau lumut yang menutupi seluruh gaunnya berdiri dengan raut wajah khawatir. Muncul kerutan di dahi Cassie begitu Lilia berjalan menghampirinya, kemudian memegang kedua tangannya.

"Syukurlah kau baik-baik saja," kata Lilia sebelum memeluk si perempuan gaun merah tua.

"Lho? Kau tidak mengkhawatirkan rekanmu, huh?" imbuh Ace seraya menekuk wajah kesal.

Lilia lekas melepaskan pelukan, wajah oval si wanita bergerak cepat menatap Ace. Mata ungunya melayangkan tatapan tajam. "Kau bisa jaga dirimu sendiri."

"Nona Wilder? Jarang sekali kau keluar dari tempatmu kecuali membawa kabar buruk," ujar Roland sambil berjalan menuju rumahnya. Ia mengeluarkan sebuah kunci perunggu dari saku celananya.

"Kabar buruk?" tanya Cassie kebingungan.

Lilia mengembuskan napas pelan sebelum berkata, "Aku baru saja mendapat ramalan buruk tentangmu. Entah itu akan terjadi atau tidak, tapi aku melihat sesuatu yang menyeramkan akan mengikutimu di rencana yang telah kau buat."

❇❇❇

A/N
Thank you for reading this chapter, don't forget to support me by click vote or comment.

Sebelumnya, saya minta maaf karena chapter ini belum sempat dicek ulang. Nanti, setelah tamat kemungkinan akan saya revisi.

See you next chapter.

Wonderland, 20 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro