BAB 15 (Part B)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cassie sama sekali tidak bergerak, kepalanya kembali memutar ingatan mimpi dengan sang ayah. Rumah mengerikan, lantunan musik, perabot dan dinding dalam rumah yang gelap, Krigg berubah jadi Shadows, juga Shadows yang berusaha menariknya. Semua memori tersebut membuat Cassie sakit kepala, tanpa disadari ia jatuh terduduk.

"Cassie. Cassie. Kau baik-baik saja?" tanya Kyle sambil memegangi kedua lengan sepupunya. Raut wajah pria itu menunjukkan kepanikan, sementara Eversly di belakangnya memasang ekspresi khawatir.

"Kyle, tempat ini ... tempat ini ...." Telunjuk kanan Cassie menunjuk bangunan.

"Ada apa?" sahut Kyle.

"Tempat ini yang ada di mimpiku saat ayah berkunjung." Kalimat yang lolos dari bibir si perempuan bermata hijau langsung membuat Kyle dan Eversly terbelalak. Mereka berdua tak percaya jika Cassie pernah ke tempat ini di mimpinya.

Eversly orang pertama yang kembali ke mode normal, gadis itu langsung saja menarik si perempuan berambut cokelat untuk berdiri. "Kita tak punya waktu banyak, Anda bisa menceritakan sisanya nanti."

Ucapan Eversly benar, mereka seharusnya tidak membuang waktu. Bisa saja penghuni rumah itu mengetahui kehadiran mereka kalau tidak hati-hati. Ketiga orang itu pun langsung kembali berjalan mengendap-endap menuju taman samping rumah. Di taman samping hanya diisi oleh pohon-pohon besar dan kursi kayu. Sama seperti sebelumnya, Eversly kembali memimpin jalan. Rumah keluarga Obumbratio benar-benar besar, Cassie bahkan sempat salah mengira kalau rumah itu lebih layak disebut kastil seram. Dalam hatinya dia memang mengatakan itu.

Eversly berhenti di dekat sebuah dinding bangunan. Dari jauh, dinding itu tampak biasa saja, tetapi begitu didekati rupanya ada patahan yang terlihat rapi seperti memang sengaja dibuat demikian.

"Ini pintu rahasianya. Kita bisa aman jika melalui pintu ini. Di dalamnya ada lorong panjang rahasia yang nantinya keluar di bawah tangga menuju lantai atas." Tangan pucat Eversly meraba-raba balok bata yang ada di sana. Setelah menemukan yang ia cari, barulah gadis itu menekannya. Dalam sekejap, dinding tersebut terbuka sedikit. Jadi, Eversly pun mendorongnya.

Hal pertama yang mereka lihat adalah lorong gelap dengan hawa mencekam. Lagi-lagi Cassie teringat dengan mimpinya. Interior bagian dalam rumah Obumbratio yang menyeramkan membuat nyalinya ciut. Mendadak saja si perempuan bermata hijau enggan untuk memasuki lorong. Dari ekspresinya yang benar-benar terlihat jelas, berhasil membuat Kyle dan Eversly paham. Jadi, gadis pucat itu masuk terlebih dahulu.

"Aku akan menyalakan obornya," ucap Eversly sembari mengeluarkan korek api dari balik saku gaun.

"Kau punya korek api?" tanya Kyle dengan raut terkejut. Akan tetapi, pertanyaannya tidak dijawab.

Eversly yang sudah menyalakan satu obor memberi isyarat pada Cassie dan Kyle untuk masuk. Kepala pria berambut cokelat menatap sepupunya, dan dengan gerakan lembut langsung menggenggam tangan si perempuan. Senyum yang terlihat menenangkan berhasil memberikan suntikan keberanian untuk Cassie.

"Baiklah, ayo kita lakukan ini. Setidaknya kita sudah sejauh ini, kan?" ujar Cassie mencoba menyemangati dirinya sendiri.

"Jangan khawatir, aku akan melindungimu," bisik Kyle seraya berjalan menuntun sepupunya ke dalam lorong.

Lorong itu gelap, persis seperti lorong bawah tanah dalam cerita-cerita horror dan thriller. Dinding yang tadinya menjadi pintu kembali tertutup saat Eversly mendorongnya. Sekarang cahaya dari luar benar-benar lenyap, tergantikan oleh api obor. Suara yang terdengar selain deru napas mereka adalah cicitan tikus. Kyle dan Cassie sudah menduganya, sesekali mata mereka memperhatikan tanah yang dipijak. Jaga-jaga jika tikus melewati mereka.

"Nona Darwell bawa denah yang kemarin kuberikan, kan?" tanya Eversly. Netra birunya menatap Cassie dengan sorot sulit diartikan, walau begitu senyuman tetap merekah di wajah pucatnya.

Menggunakan tangan kanannya yang tidak digenggam Kyle, si perempuan segera merogoh saku gaun. Lipatan kertas itu keluar dari sana, lalu dibuka. Hanya menggunakan pencahayaan minim, mereka memperhatikan denah rumah keluarga Obumbratio yang kelewat detail. Cassie dan Kyle tak habis pikir. Bagaimana bisa Eversly mendapatkan denah seperti itu?

"Jalan keluar dari lorong ini ada di sini." Telunjuk kurus juga pucat milik si gadis menunjuk sebuah tempat di denah. "Dari bawah tangga menuju lantai dua. Nanti, kita akan mengendap-endap naik ke atas. Ruangan yang dituju ada di sini." Kini telunjuk Eversly bergerak ke tempat lain.

"Baiklah, aku mengerti," kata Cassie disertai anggukan.

Setelah itu, kertas tersebut dilipat dan dimasukkan kembali ke dalam saku gaun. Eversly berjalan terlebih dahulu dengan obor di tangan, sementara Cassie dan Kyle mengekori mereka. Sebenarnya, si perempuan dengan rambut cokelat sedikit ketakutan. Bayangan tentang makhluk bayangan di dalam rumah itu menghantui dirinya.

Apa yang harus kulakukan kalau berhadapan dengan makhluk itu?

Namun, cepat-cepat ia mengenyahkan pikiran tersebut. Tekadnya untuk menghancurkan Perjanjian Shadowglass sudah bulat. Ia ingin menyelamatkan ayahnya dan seluruh penghuni kota, jadi Cassie tahu tidak ada yang namanya mundur. Dalam hatinya, ia meyakini bahwa dalam menggapai impian tidaklah boleh setengah hati. Genggaman tangannya pada Kyle menguat seiring si perempuan memantapkan hati.

Sementara itu, Kyle tengah memikirkan berbagai kemungkinan yang akan mereka hadapi. Firasat buruk itu tak kunjung hilang, seolah-olah memang mengikutinya. Atau mungkin sebenarnya dialah yang menghampirinya.

"Kita sampai. Sudah siap?" tanya Eversly sembari memperhatikan satu per satu orang dewasa yang ikut dengannya. Cassie dan Kyle sempat bertukar pandang sebelum mengangguk kompak.

Eversly lantas meletakan obor tersebut di tempat obor yang menggantung di tembok. Tangan kirinya lantas menekan sebuah batu yang menonjol di samping obor. Kemudian, patahan dinding tersebut bergerak, dan si gadis pucat menarik perlahan sembari mengintip pelan ke bagian dalam rumah. Iris biru cerah itu memperhatikan sekitar, berjaga-jaga jika ada orang yang mungkin saja berada di sana. Setelah dirasa aman, Eversly memberikan kode melalui gerakan tangan.

Dengan langkah yang sangat pelan dan penuh kehati-hatian, mereka bertiga berhasil keluar dari lorong rahasia yang berada di bawah tangga. Begitu mata Cassie mulai beradaptasi dengan minim cahaya di rumah itu, dia bisa melihat interior dalam rumah, seketika perempuan itu membelalak. Semuanya ternyata persis seperti di dalam mimpinya. Dinding berwarna hitam, perabot-perabot berwarna gelap pula, tetapi bingkai lukisan berwarna emas mengilap. Satu-satunya pencahayaan yang ada hanyalah dari lilin-lilin di atas meja. Api lilin itu kecil, bahkan batang lilinnya sudah berukuran jempolnya. Kali ini perapian yang ada di sana tidak menyala.

Cassie menengadah, ingin memastikan bahwa lampu gantung di sana mirip seperti yang ada di mimpinya. Iris hijau cerah itu melihat bahwa lampu gantungnya benar-benar mirip. Walau ia tak bisa melihat secara jelas warna dari kristal yang menggantung di atas sana, tetapi ia yakin kalau warnanya pastilah sama seperti di mimpi.

Ketika Eversly memberi kode lagi untuk menaiki tangga, Cassie terbelalak saat melihat tangganya. Karpet merah menyala, dan sepertinya satu-satunya benda yang memiliki warna cerah.

"Rasanya aku seperti menginjak darah," bisik Kyle yang dibalas pelototan dari sepupunya.

"Aku merasa tidak asing," ujar Cassie sembari menaiki anak tangga satu per satu.

"Ini aneh," kata Kyle pelan dengan kening mengerut. "Terlalu sepi, seakan-akan rumah ini tidak berpenghuni. Padahal aku tahu tempat ini ada penghuninya."

"Mungkin saja penghuninya sedang tidur." Cassie berusaha berpikir positif, meski ia juga merasa ada yang janggal.

"Atau jangan-jangan ini bukan rumah keluarga Obumbratio," imbuh Kyle yang langsung menghentikkan Cassie menaiki anak tangga selanjutnya.

Netra hijau cerah si perempuan memandang sepupunya dengan kernyitan di dahi. "Maksudmu kita salah rumah? Apa kau ingat kalau keluarga Obumbratio yang paling kaya di Shadowglass, dan rumah ini satu-satunya yang lebih besar daripada bangunan lain." Terdapat nada kesal di setiap ucapannya.

"Aku tahu. Hanya saja ini terasa ... janggal," tukas Kyle pelan.

Namun, pembicaraan mereka dipotong oleh suara Eversly yang terdengar memperingati mereka. "Pssttt, Nona Darwell, Tuan Kyle, ayo naik. Cepat!"

Keduanya langsung menaiki tangga dengan terburu-buru, tanpa memedulikan mungkin suaranya akan terdengar. Setelah itu, Eversly kembali menjadi pemandu, membawa mereka menuju koridor yang kanan kirinya terdapat lukisan dengan bingkai emas. Bukan hanya lukisan, tapi ada juga cermin berbingkai emas yang buram. Sepertinya memang jarang dibersihkan.

Ruangan yang mereka tuju ada di depan mata, dan mereka dengan semudah itu bisa memasukinya tanpa rintangan apa pun. Kyle semakin waswas, sebab ia pikir masuk ke sarang iblis pastinya sulit. Namun, yang ia alami justru seperti memasuki rumah sendiri saat ia khawatir pulang larut malam, dan ibunya bisa saja mengamuk. Iris cokelat milik Kyle memperhatikan gerak-gerik Eversly dengan curiga, walau dirinya tak bisa menemukan petunjuk apa pun dari gadis itu.

Pintu ruangan rupanya tidak dikunci, sehingga memudahkan Eversly untuk membukanya. Di dalam sana banyak rak-rak buku berdiri berjajar. Di tengah ruangan terdapat meja yang juga terdapat buku-buku ditumpuk, dengan empat kursi kayu. Seperti ruangan yang tidak pernah dibuka, bau apek menyeruak. Debu-debu di sana menggelitik hidung, sampai-sampai Cassie ingin bersin. Untung saja ditahan sebab ia khawatir suara bersinnya bisa menarik perhatian penghuni rumah.

"Perjanjian itu mungkin ada di lemari kaca, cobalah cari di sana. Aku akan menjaga pintu," ujar Eversly yang diangguki Cassie.

Perempuan dengan iris hijau cerah langsung melepaskan genggaman tangan Kyle sebelum berlari menuju lemari kaca yang menampilkan banyak barang termasuk patung-patung kayu kecil. Di sana terdapat sebuah gulungan perkamen dengan pita berwarna hitam. Kunci lemari kaca menggantung di sana, benar-benar semudah itu untuk dicuri.

Sementara Cassie sibuk mengambil gulungan perkamen, Kyle justru melihat-lihat barang yang ada di sana. Netranya terpaku pada sebuah benda kecil tetapi tajam, pisau pembuka surat tergeletak di meja. Diam-diam, pria itu mengambil pisau kecil. Kemudian lanjut melihat-lihat benda lain termasuk menghampiri perapian. Tongkat panjang terbuat dari besi berada di sana, tongkat yang biasa digunakan untuk mendorong kayu-kayu di perapian. Kyle mengambilnya dengan niat awal berpura-pura melihat desain ujung tongkat.

"Aku sudah mengambilnya, ayo kita pergi!" ujar Cassie dengan senyum merekah.

Si perempuan berambut cokelat langsung berjalan ke tengah ruangan, dan saat itu juga Eversly bertepuk tangan. "Hebat, kau mendapatkannya, Nona Darwell."

Iris cokelat Kyle membelalak kala ia menyadari inilah firasat buruk yang terus menghantuinya. Pria itu pun semakin kuat memegang tongkat besi, tangannya kemudian menyembunyikan tongkat itu di balik punggung selagi ia mendekati sepupunya.

"Sekarang, kita hanya perlu menghancurkannya," ucap Cassie masih dengan wajah senang.

Eversly dengan senyum merekah mengangguk. "Benar, tapi tidak semudah itu." Gadis itu mundur, lalu menjentikkan jarinya. Tiba-tiba sihir bayangan miliknya muncul, menyerang Cassie dan Kyle. Mengikat kaki mereka. "Kalian pikir aku akan membiarkan kalian menghancurkan perjanjiannya?"

Cassie terbelalak, napasnya mendadak seperti tertahan di tenggorokan bersamaan dengan mulutnya yang terasa kelu. Saat itu juga, eksptesi si perempuan bermata hijau dijatuhkan. Orang yang selama ini ia percayai dengan mudahnya, ternyata menusuknya dari belakang. Kesalahan Cassie karena mempercayai orang asing yang wajahnya terlihat ramah. Rasanya, perempuan itu ingin marah. Tanpa sadar, dirinya dilingkupi kerlap-kerlip hijau. Semakin lama membentuk pendar hijau besar dan melesat cepat ke arah Eversly. Namun sayang, gadis itu terlebih dahulu menghalau mana milik Cassie dengan sihir bayangan.

Sulur hitam yang mengikat kaki Kyle langsung ditusuk menggunakan tongkat besi, lalu menghilang layaknya asap yang ditiup. Dia tahu jika gadis pucat itu akan menyerangnya lagi, jadi Kyle langsung saja berlari cepat menusuk sulur-sulur hitam. Ingatan tentang jurnal Krigg yang mengatakan kalau bayangan lemah terhadap cahaya, memberikan pria itu ide. Ketika ia sudah lebih dekat dengan Eversly, Kyle mengeluarkan pendar cahaya seukuran telapak tangan. Dilemparkannya pendar itu ke arah Eversly sebagai pengalih, lalu dia melesat untuk menusuk si gadis. Sayangnya, ia salah prediksi. Sebelum tongkat besi itu mengenai tubuh Eversly, sebuah anak panah melesat dari belakang si gadis pucat. Panah itu langsung menancap di paha kiri Kyle, membuat pria itu langsung limbung.

"KYLE!!"

Teriakan Cassie yang menggema di rumah itu, membangunkan makhluk bayangan. Sebab, setelahnya makhluk-makhluk itu bermunculan. Mengelilingi Cassie dan Kyle yang panik. Walau rasa sakit menyelimuti dirinya, si pria berambut cokelat tetap mengeluarkan sihir cahaya demi melindungi sepupunya. Makhluk bayangan itu menjauh dengan cepat, suara desisan seperti ular tertangkap indera Kyle dan Cassie.

"Argh, dia pemanggil cahaya. Panah tangannya!" perintah Eversly pada seorang pria tua berjanggut dengan pakaian serba hitam.

Saat itu juga, si pria yang disuruh Eversly langsung menembakkan anak panah tepat ke telapak tangan Kyle yang kala itu sedang mengeluarkan pendar cahaya putih. Tatkala panah itu menancap di telapak tangan si pria berambut cokelat, pendar mana pun turut hilang dan makhluk bayangan mulai mengelilingi mereka seakan mencoba melahapnya bak makan malam.

❇❇❇

Thank you for reading this chapter. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau komentar sebagai bentuk dukungan untuk penulis ≧∇≦

See you later next chapter.
Psstt, udah hampir ending nih (σ≧▽≦)σ

22 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro