Bab 7 - Terkenang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agni merebahkan kepala di atas bantal. Ia memandang Bianca di sebelah, yang sudah tertidur pulas. Kedamaian dan kemewahan yang selama ini dia cari. Sungguh nikmat tidur nyenyak tanpa memikirkan apa-apa seperti itu.

Sudah hampir tiga tahun ini penyakit insomnia Agni kembali kambuh. Ia tidak dapat memejamkan mata. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Saat ia belum mengenal Joong. Joong adalah malaikatnya. Ia tetap bertahan disisi Joong, mengikutinya kemana-mana, walau pria itu berusaha mengusirnya. Dia tidak punya tujuan lain selain Joong, yang baginya adalah seorang malaikat penolong. Tidak peduli kalau Joong sebenarnya adalah malaikat maut yang membunuh korban-korbannya dengan elegan. Tidak peduli kalau Joong bersikap dingin kepadanya.

"Pergilah dariku!"

"Kenapa kau masih mengikutiku?"

"Tolong, turuti aku. Hiduplah dengan tenang!"

Kata-kata dari Joong tak pernah menyakiti hatinya. Dia pernah berpikir kalau ia menganggap Joong sebagai seorang kakak. Namun debaran di hatinya menyangkal mati-matian. Perasaan itu bukanlah perasaan seorang adik terhadap kakaknya. Bahkan Joong sendiri diam-diam semakin menghindarinya, walau terkadang dia memperhatikan dan melindungi gadis itu.

Lalu ada satu masa, saat Joong meninggalkannya di tengah hutan. Hujan turun sangat deras saat itu. Baik Agni maupun Joong, tidak ada yang memakai payung. Mereka basah kuyup. Perasaan mereka hancur lebur. Itu adalah batas terakhir bagi Joong dan Agni.

"Jika kau tak menginginkanku, maka lebih baik aku mati disini," kata-kata itu terucap tanpa keraguan. Mata Joong sempat melebar. Jemarinya mengertak, menahan amarah.

"Kalau begitu, mati saja kau," kata Joong dengan dingin.

Pria itu sempat pergi. Ya, Joong melangkah tanpa memandang Agni sama sekali. Agni menangis sesegukan hingga merosot lalu berlutut di atas tanah. Suara hujan dan kilat menyambar-nyambar semakin menjatuhkan mental.

Agni sadar, mungkin inilah akhir hidupnya. Setelah perjalanan panjang ke berbagai negara. Setelah Joong beberapa kali berbelas kasihan dan bersedia membawanya. Dan sekarang, dengan tekad seteguh baja, pria itu akhirnya membuang Agni.

Namun berjam-jam kemudian, Agni melihat sosok itu lagi. Joong datang. Melihatnya masih bergeming dari tempat ia ditinggalkan. Tanpa bicara apa-apa, Joong menariknya. Merengkuhnya dalam sebuah pelukan. Kelelahan membuat Agni ambruk seketika, namun Joong menahannya. Seakan-akan memberi kekuatannya untuk melindungi Agni.

Joong meraup tubuh Agni. tanpa bicara apapun, dia membawa Agni pulang. Dia meletakkan Agni di sebuah bath tub. Tanpa berkata apa-apa, dia juga meletakkan handuk dan pakaian bersih di kamar mandi itu.

Setelah itu, Agni demam selama tiga hari. Joong yang merawat Agni. Tanpa mengatakan apapun. Dia memasakkan bubur, menyuapi Agni, memberikan obat, hingga mengompresnya di malam hari.

Saat itu mereka di India. Joong memilih tinggal sejenak untuk mengajak Agni berjalan-jalan. Mereka berjalan-jalan bagai pasangan biasa. Menikmati hiruk pikuk Bombay. Mengunjungi berbagai situs sejarah, hingga merasakan suasana sakral di Taj Mahal dan beberapa mausoleum.

Tidak ada pengalaman yang lebih luar biasa dari pengalaman itu. Agni masih ingat sari merah yang dipakainya berkeliling ke Taj Mahal. Bangunan yang dibangun mendiang Raja Shah Jhahan untuk mengenang istrinya. Sungguh luar biasa. Dari kolam-kolam berair mancur, mereka melihat bangunan megah yang dihiasi marmer dan bebatuan indah.

Agni sempat membayangkan betapa jelitanya seorang permaisuri yang membuat hati seorang raja besar terpikat, bahkan mempersembahkan sebuah kenangan yang indah untuk menemani tidur panjang Sang Permaisuri Hati.

"Pastilah dia raja yang sangat romantis," kata Agni saat itu.

Mendengar komentar Agni, Joong tertawa. Dengan nada bercanda, dia mengatakan kalau dia tidak akan melakukan hal-hal romantis.

. Agni tahu kalau Joong berbohong. Joong selalu bersikap layaknya gentleman. Agni bahkan mengetahui kalau Joong menyukai novel-novel romantis selain teori konfigurasi dan rumus-rumus rumit penemuannya. Beberapa kali, dia ketahuan membaca novel itu. Joong sering merasa malu, meski Agni malah mengagumi sifat manisnya itu.

Mereka tinggal di India hampir seminggu lamanya. Satu hari, Joong melihat ke salah satu tulisan di dinding kuil. Dia tersenyum. Dengan segera dia menarik tangan Agni, meminta gadis itu memperhatikan sebuah kaligrafi Hindi.

"Aku tak bisa membacanya. Apa itu?" kata Agni penasaran.

"Agni- The Fire," Joong tersenyum, "Nama ini cantik sekali. Seperti api dalam kehangatan kasih sayang yang tak pernah kumiliki..."

"Kalau begitu, biarkan aku menjadi milikmu."

Joong tersenyum. Tangannya merengkuh wajah Agni. Ditatapnya mata Agni yang kini berbinar-binar cerah.

"Bolehkah aku memanggilmu Agni?"

Mata Agni berserobok dengan mata Joong yang mempesona. Gadis itu merasakan getaran hebat pada tubuhnya. Ketakutan akan siksaan di masa lalu tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Ketakutan yang seketika hilang waktu Joong memegang pipinya.

"Aku adalah Agni. Lalu siapa kau?" tanya Agni dengan perasaan gamang, "Henry Lo? Charles Choi? Hideaki Fujiwara?"

Joong menggigit bibir, menahan senyum. Ternyata Agni mengingat semua nama penyamaran yang dia gunakan selama bersama gadis itu.

"Aku adalah aku. Apakah nama sangat berarti?" kata Joong, "Shakespeare pernah mengatakan, apalah arti sebuah nama? Walaupun kita menamai mawar dengan nama lain, mawar akan tetap harum mewangi."

Agni langsung mencebik sebal," Mungkin itu benar. Tapi bagaimana aku harus memanggilmu? Shadow? Kau ini manusia, bukan bayangan."

"Aku ini penggali makam."

"Kalau bercanda jangan kelewatan!"

"Itu benar, kok," Joong berkata seolah sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, "Akulah yang membuat makam-makam itu terbuka. Memasukkan orang yang kubunuh ke dalamnya."

"Aku tidak ingin memanggilmu bayangan atau penggali makam. Setiap orang kan harus punya nama!" protes Agni.

"Namaku Joong." Joong membisikkan namanya pelan di telinga Agni, "Tidakkah kau takut kepadaku, Agni?"

Gadis itu menggeleng, memejamkan matanya dan terlena. Agni merasakan kesejukan dari sentuhan Joong. Memusnahkan semua getaran di tubuhnya. Saat membuka mata, agni memutuskan, kenangan akan senyum Joong saat itu akan menemaninya seumur hidup. Joong adalah pria pertama yang menghapus kenangan buruk masa lalunya. Hanya dengan seulas senyuman di bibir dinginnya.

Dan setelah itu, setiap kali Joong selesai melaksanakan misinya, dia akan mengajak Agni berwisata bersama.

Tahun-tahun berlalu. Mereka telah berkeliling ke banyak tempat di dunia. Joong menyukai Eropa, namun Agni sendiri lebih menyukai tempat kering dan tropis yang mengingatkannya kepada Indonesia. Baik Menara Eiffel, kemewahan kotaLondon, butik-butik megah di Milan, maupun tempat-tempat romantis di Italia tidak semenarik membayangkan dirinya berjemur di sebuah pantai sunyi di daerah Lovina-Bali.

Kenangan indah itu tak pernah dilupakan Agni. Saat-saat paling menyenangkan dan tanpa mimpi buruk.

***

Agni mencoba menutup mata sekali lagi. Mengenang kelembutan Joong. Mencoba mencari kedamaian dari kenangan-kenangan yang takkan bisa diulang. Cintanya terlalu besar untuk Joong. Agni ingin mengenang kekasihnya itu setiap hari, setiap menit, setiap detik, setiap helaan nafas dalam hidupnya.

Sayangnya, kedamaian dan kenyamanan itu hanya sebuah ilusi. Agni sadar, apa yang dilakukannya malam ini, lagi-lagi tidak membawa hasil. Dia hanya bisa membayangkan beristirahat di pelukan Joong. Tidurnya tak pernah nyenyak. Dia bahkan lebih sering tak bisa tidur.

Agni melihat lampu ponselnya menyala. Ada panggilan masuk. Agni ingin membanting ponsel itu hingga rusak. Namun dia melihat kode angka yang merupakan identitas Fox ditampilkan di layar ponselnya. Dengan enggan, Agni meraih ponsel itu.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Jangan melakukan hal itu lagi," suara berat pria itu menyambutnya di ujung telepon. Fox. Lagi-lagi pria itu menemukannya.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu."

"Untuk apa kau mendekati pria bajingan itu? Ronny Suteja?"

Agni bangkit dari tempat tidur. Keinginannya beristirahat musnah sudah, "Bagaimana kau tahu?" Agni mengacak rambutnya sendiri. Kepalanya berdenyut seketika, "Apa kau yang membunuhnya?"

Fox menjawab pertanyaan Agni dengan sebuah helaan napas. Agni merasakan darah naik melewati ubun-ubun. Ini keterlaluan! Padahal Agni tidak ingin melibatkan penegak hukum dalam hal ini.

"Jangan mencampuri urusan yang bukan urusanmu," geramnya. Ia dapat mendengar Fox mendengus karena kesal.

"Dimana kau, Jagiya? Mengapa kau tak segera kembali?"

"Jangan pernah mengurusi aku, Fox." Agni berkata sengit, "Aku ini bukan salah satu koleksi pedangmu."

"Aku tak pernah menganggap begitu," suara Fox berubah lembut, "Kau adalah gadisku."

"Salah satu gadis simpananmu, maksudmu?" Agni berharap nada sengit itu akan menghentikan Fox.

Sayangnya dia salah. Dengan santai, Fox menjawab, "Aku akan menendang gadis-gadis di dekatku, jika kau menginginkannya."

Agni dapat merasakan dusta di dalamnya. Semua dusta yang membuatnya jijik. Dia tidak akan pernah menyuruh Fox melakukan sesuatu untuknya. Ini dikarenakan dia tidak akan bisa melakukan sesuatu yang selalu diminta pria itu.

"Pergilah selamanya dari kehidupanku," Agni berkata berang. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke dinding. Suara prak langsung terdengar, seiring hancurnya gawai itu.

Fox.

Orang inilah yang membunuh Ronny Suteja. Fox. Agni tahu jelas sebabnya. Namun Agni tak pernah tahu darimana laki-laki itu mengetahui semua langkahnya, juga keinginannya.

Seolah-olah ia akan merasakan kehadiran Fox di sekitarnya. Selalu. Agni mengakui, Fox memiliki daya tarik dan pesona yang sulit dihindari olehnya. Matanya terlalu gelap dan mempesona. Begitu pula sikapnya yang kejam di luar, dan menjadi lembut jika berada di dekat kekasih-kekasihnya. Tak heran jika banyak wanita berharap Fox akan melirik mereka.

Fox adalah pembunuh berdarah dingin. Seorang Deathlord yang ditakuti musuh-musuhnya. Namun juga menjadi pujaan wanita-wanita dunia hitam. Namun masalahnya, Agni tidak sedikitpun mencintai laki-laki itu.

Joong... hatiku hanya untuk Joong, Agni mengingatkan diri, Aku tidak menyukai Fox, tidak juga pria lain.

Agni mendesah. Mendadak pikirannya tercurah pada satu orang. Sosok tampan yang membuatnya merasa aman. Meski mereka bergandengan tangan, lalu jalan berdua bak sepasang kekasih.

Itu hanya penyamaran, bodoh! Agni memukul kepalanya sendiri berkali-kali. Mana boleh dia memikirkan Lee Shin, ataupun pria lain. Agni lagi-lagi mengingatkan diri kalau dia hanya boleh mengingat Joong.

Agni meraba dadanya sekali lagi, merasakan lompatan besar di jantungnya. Mengapa dia harus merasakan perasaan ini?

"Lee shin. Lee Shin. Aku tak boleh menyukaimu," Agni mengatakan hal ini berulang-ulang. Dan anehnya, setelah itu, dia berhasil tidur dan memimpikan Lee Shin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro