Black Rose

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulu, Rosanna adalah gadis kecil yang cantik dan lincah. Semua orang di desa itu mencintainya. Dia selalu bisa mencuri hati siapapun yang mengenalnya. Wajahnya yang imut dan menggemaskan, kulitnya yang putih, pipinya yang kemerahan, rambut hitamnya yang panjang dan ikal, serta celotehnya yang lucu selalu dapat membuat orang dewasa di sekitarnya jatuh cinta.

Namun kelucuan itu memudar perlahan seiring dengan prahara yang menimpa keluarganya. Di umurnya yang ke-10, Rosanna harus melihat Ayahnya jatuh bangkrut. Dia terlilit utang karena ditipu rekan bisnisnya. Ayahnya tak tahan menanggung malu lalu bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri di ruang kerja rumahnya.

Sejak saat itu, Ibunya harus banting tulang membayar utang yang tersisa dan menghidupi Rosanna. Dia menjual semua aset dan bekerja siang malam mengerjakan jahitan dan membuat makanan untuk dijual di toko-toko. Ibunya berusaha sebisa mungkin agar tak sampai menjual rumah karena itu satu-satunya harta yang masih tersisa. Sedikit demi sedikit utangnya terlunasi.

Namun, salah satu rentenir yang meminjamkan uang ternyata jatuh cinta pada janda muda yang memang masih cantik itu. Dia berusaha membuat agar Ibu Rosanna tak bisa membayar utang, sehingga mau tak mau akan menerima tawaran untuk menikah dengannya. Tapi Ibu Rosanna menolak. Dia tetap berusaha untuk mencicil utang. Pria itu tersinggung. Dia membayar orang suruhan untuk melakukan teror dan merusak rumah Rosanna.

Teror yang seharusnya hanya bersifat intimidatif itu berujung petaka. Orang-orang bayaran itu tanpa sengaja menyebabkan kebakaran besar di rumah Rosanna. Ibu Rosanna dan seorang wanita tua yang setia menemani keluarga itu tewas terpanggang dalam rumah mereka yang menjadi rata dengan tanah. Rosanna kecil yang malang mengetahui tragedi itu keesokan harinya, ketika ia baru pulang dari kegiatan perkemahan di sekolahnya. Sejak saat itu, Rosanna tak pernah jadi orang yang sama lagi.

*

Cerita itu sudah melegenda selama bertahun-tahun di kota kecil Sukamadu. Bahkan puing-puing bekas reruntuhan rumah dengan jelaga hitam itu masih teronggok di tempat yang sama. Dulu, cerita itu sangat manjur untuk menakut-nakuti anak kecil supaya mereka tak keluyuran setelah hari gelap. Tapi tentu saja hal itu berubah setelah mereka semakin besar. Termasuk bagi Fritz, yang kini sudah dewasa dan kuliah di kota besar.

"Gila, kenapa, sih, puing-puing ini nggak dibersihkan? Kan bisa dipugar, dibangun lagi rumah baru yang bagus. Pasti banyak orang kota yang minat. Lihat aja, view dari sini keren banget." Fritz mengomentari pemandangan di depannya. Sudah jadi kebiasaan Fritz setiap kali pulang kampung, yaitu berjalan-jalan santai atau sekadar lari kecil keliling kota kecilnya di pagi hari yang masih berembun. Sayangnya, kebiasaan itu sudah semakin jarang bisa dilakukan seiring dengan semakin jarangnya dia bisa pulang.

"Justru situs ini yang jadi ikon kota ini, Kak. Kalau puing-puing ini hilang, cerita Rosanna itu cuma akan jadi cerita biasa," jawab Ello, sepupu Fritz yang selalu menemani segala aktivitasnya setiap kali dia pulang. 

"Kak Fritz mau kemana lagi hari ini? Bakalan lama, kan, di sini?" tanya Ello lagi sambil meneruskan langkah.

"Belum ada rencana, sih. Paling besok baru mau ketemuan sama temen-temen. Hari ini aku mau santai dulu." Fritz memutuskan. Sudah dua tahun dia tak pulang. Selain karena kesibukan kuliah tahap akhir yang memang menyita waktu, dia juga mencoba bekerja sambilan di waktu luangnya. Fritz ingin punya pengalaman kerja ketika dia lulus kuliah nanti. 

"Kebetulan kalau gitu, Kak. Aku gak bisa nemenin hari ini. Ada acara di sekolah. Persiapan Pensi. Rencana bulan depan." Mereka melanjutkan perjalanan mengelilingi pinggiran kota kecil itu, memutar menyusuri jalan sepi yang di kanannya di pagari oleh tebing bukit yang tak terlalu tinggi dan di sebelah kiri adalah lereng rendah dengan sungai mengalir di bagian bawahnya. Di seberang sungai yang tak terlalu lebar itu ada lereng lagi yang melandai dan ditumbuhi pepohonan yang masih rapat, belum terlalu banyak dijamah penduduk. Beberapa ratus meter lagi, setelah mengitari bukit mereka akan sampai di perkampungan yang akan semakin padat menuju tengah kota.

Fritz berjalan terus sambil melayangkan pandangannya ke arah pepohonan di seberang sungai, mencoba membandingkan dengan pemandangan yang terekam dalam benaknya saat dia masih kecil. Tak banyak perbedaan.

Tiba-tiba sudut mata Fritz menangkap kepulan asap yang membubung agak jauh di tengah hutan di hadapannya. Asap itu tidak terlalu tebal, hanya seperti asap dapur atau pembakaran kecil, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Kak?" Ello memandang Fritz dengan heran. Dia mengikuti arah pandangan Fritz.

"Oh, itu ... sudah sering juga denger cerita soal itu. Beberapa orang lihat ada asap, atau ada cahaya di malam hari, bahkan ada yang datang ke sana dan lihat ada orang. Tapi gak ada yang bisa memastikan itu siapa, ngapain di sana, kenapa ada di sana, atau apapun." Ello bercerita dengan datar seolah fenomena itu adalah sesuatu yang wajar dan telah menjadi bagian dari kehidupan kota mereka.

Mereka melanjutkan perjalanan, namun pemandangan itu begitu menyita perhatian Fritz. Dia bertekat untuk mencari tahu lebih lanjut, bagaimanapun caranya.

*

"Mau pergi, Fritz?" tanya ibu Firtz ketika melihatnya mengenakan sepatu joggingnya sore itu.

"Iya, Bu. Sebentar saja." Fritz berbalik untuk mengecup pipi ibunya.

"Tapi katamu, kamu mau ajak seseorang buat makan malam bareng kita nanti?" Ibu masih tampak keberatan dan menahan lengan Fritz.

"Tenang, Bu. Nanti Fritz bawa pas makan malam." Fritz tersenyum menenangkan ibunya yang penasaran.

Fritz keluar dari halaman rumahnya yang luas dan ditanami berbagai bunga dan perdu cantik yang terawat rapi. Jelas sekali ada seorang pecinta tanaman yang bertangan dingin dan rela meluangkan waktu untuk mencurahkan cinta dan perhatian pada tanaman-tanaman itu. Dan menilik bangunan rumah yang berhiaskan ukiran tradisional di sana-sini, tak mungkin hanya ibu Fritz yang melakukan semua sendirian. Ayah Fritz juga mencintai keindahan. Tapi sejak beliau berpulang sekitar dua tahun lalu, ukiran-ukiran itu jadi kehilangan sentuhan orang yang menyayanginya.

Sebentar saja berlari ringan di sore yang cerah itu sudah cukup untuk membuat Fritz berkeringat. Dia sampai di tepi kota yang berbatasan dengan sungai dan hutan di seberangnya. Fritz menyeberangi jembatan titian dari bambu yang menggantung di atas sungai. Riak air bergemericik membentur bebatuan di bawah sana. Beningnya selalu membuat Fritz ingin segera melepas pakaian dan merendam tubuh dalam kesejukannya. Tapi saat ini sudah tak ada lagi yang berendam atau bermain di sungai seperti dulu. 

Fritz terus melangkah pasti mengikuti setapak berliku yang membawanya semakin jauh dari jalanan. Rimbunan pepohonan menghalangi cahaya matahari senja yang ingin menembus masuk ke dasar hutan, menyisakan beberapa berkas cahaya yang lolos menerangi tanah. Fritz akhirnya sampai di tempat tujuannya. Rumah mungil berdinding batu dengan ubin terakota yang memberi sedikit warna cerah di antara kelabu dan cokelat tua. Fritz mengetuk pintu kayu yang sekejap kemudian mengayun terbuka.

"Hai. Masuk." Seorang gadis menyambut dari balik pintu. Gadis itu sebenarnya cantik. Kulitnya putih, rambutnya hitam legam, ikal sepinggang. Namun kecantikannya itu disembunyikan di balik pakaiannya yang selalu berwarna gelap atau suram dan ekspresinya yang muram. Bila keluar rumah, dia selalu menyembunyikan wajah dan kepalanya di balik mantel bertudung hitam.

"Aku mau mencoba sekali lagi. Membujukmu untuk ikut ke rumahku. Cuma makan malam sama ibuku. Aku sudah janji akan mengajak dan mengenalkanmu padanya. Dia akan kecewa sekali kalau kamu tak jadi datang." Fritz memohon pada gadis di depannya itu.

"Sudah kubilang aku tak bisa, Fritz. Kau tahu sendiri aku tak pernah keluar jauh dari rumahku. Apalagi ke kota. Kalau aku bisa ke sana, untuk apa aku menyendiri di tengah hutan seperti ini?" Gadis itu melangkah menuju sebuah kursi bersandaran tinggi dan duduk dengan resah. Dia tak suka dipaksa meninggalkan rumahnya. Entah paranoid, atau fobia pada keramaian, yang jelas pikiran tentang hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya cemas.

"Kau percaya padaku, kan? Aku akan selalu menemanimu. Aku gak akan pergi dari sampingmu barang sedetik pun. Tak ada yang perlu kau takutkan di luar sana. Tidak semua orang itu jahat. Masih banyak orang-orang yang baik." Fritz menggenggam tangan gadis itu, berusaha meyakinkan sekali lagi.

"Aku janji, begitu kamu merasa nggak nyaman, aku akan antar kamu pulang. Janji." Fritz menekankan kalimatnya dengan tegas. Gadis itu menatap mata Fritz mencari kepastian. Setelah menemukan, akhirnya dia hanya bisa tersenyum pasrah. Fritz bersorak.

"Aku ganti baju dulu." Gadis itu masuk ke dalam sebuah kamar selama beberapa saat. Fritz menunggu di ruang tamu dengan sabar. Sejak menemukan rumah ini tahun lalu, Fritz tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa dengan penghuninya. Kepulan asap tipis dari tengah hutan yang dulu pernah dilihatnya, ternyata berasal dari rumah ini. Rumah kecil yang dihuni oleh seorang gadis yang unik. Gadis itu sangat tidak ramah pada awalnya. Tapi Fritz berusaha dengan gigih meyakinkannya bahwa dia tidak berniat jahat. Akhirnya gadis itu melunak, dan mereka berteman baik. Sejak saat itu, Fritz jadi lebih sering pulang kampung. Salah satu alasannya, tentu adalah gadis itu, yang sebentar lagi akan dikenalkan pada ibunya sebagai seorang gadis yang telah memikat hatinya.

Gadis itu muncul dari dalam kamar. Dia telah mengganti rok hitamnya dengan rok terusan warna abu terang. Dia juga merapikan rambutnya dan mengikatnya di belakang. Gadis itu tampak lebih segar walaupun wajahnya tetap polos tanpa riasan. Fritz tersenyum dan menyambut tangan gadis itu. Mereka bergandengan menyusuri jalan ke arah rumah Fritz. Langit sudah mulai gelap ketika mereka keluar dari hutan.

"Bu, ini dia, gadis yang ingin Fritz kenalkan pada Ibu," ujar Fritz ketika mereka sudah sampai di rumah. Ibu sudah menunggu mereka di ruang tamu. Ibu tampak agak terkejut melihat gadis yang diajak Fritz. Tak banyak gadis seumurannya yang berpenampilan sepolos itu hari ini. Kebanyakan pasti sudah pandai bersolek. Karena itu ibu Fritz heran melihat kesederhanaannya.

"Wah, cantik. Siapa namanya?" sambut ibu Fritz akhirnya, sambil mengusap bahu gadis itu.

"Ros ... Bu. Rosanna," lirih jawaban gadis itu, tapi sekali lagi sangat mengejutkan bagi ibu Fritz. Siapa yang tak kenal dengan nama itu. Nama gadis yang telah menjadi legenda daerah Sukamadu. Ibu Fritz menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran itu. Mungkin hanya kebetulan saja namanya sama. Mana mungkin ini Rosanna yang sama. Bukankah dia sudah lama menghilang sejak pagi setelah kematian ibunya waktu itu?

"Eh, ayo .... Ayo kita makan." Ibu Fritz mengajak Fritz dan Rosanna ke ruang makan. 

Di atas meja sudah tersaji beberapa macam makanan yang sangat menggugah selera. Mereka duduk bertiga mengelilingi meja. Fritz memulai obrolan ringan untuk mencairkan kekakuan yang muncul. Rosanna hanya menanggapi sekali waktu dengan senyuman dan anggukan. Bergantian mereka mengambil makanan ke atas piring masing-masing ketika tiba-tiba Rosanna terpaku. Fritz mengikuti arah pandangan Rosanna. Dia menatap lukisan besar berbinigkai keemasan yang terpasang di dinding belakang. Fritz mengamati perubahan wajah Rosanna.

"Boleh?" Rosanna menatap Fritz dan ibunya bergantian, meminta izin untuk melihat lukisan itu dari dekat. 

"Tentu saja," jawab Fritz, tanpa memperhatikan wajah ibunya yang perlahan pias.

Rosanna melangkah mendekati lukisan besar itu. Sebuah lukisan mawar hitam dengan semburat merah darah yang samar. Lukisan itu begitu nyata, menampakkan halus kelopak yang seperti beledu, dihiasi bulir-bulir embun yang berkilauan. Rosanna mengulurkan tangan dan menyentuh lukisan itu dengan ujung jarinya. Tubuhnya bergetar. Rosanna memejamkan mata, berusaha menahan gempuran perasaan yang membanjir. Fritz memegang bahu Rosanna perlahan. Rosanna mendadak lemas dan tak sadarkan diri.

*

Keesokan harinya, kota kecil Sukamadu yang tenang dihebohkan oleh berita yang menggemparkan. Telah terjadi pembunuhan di sebuah rumah, yang menewaskan dua penghuninya. Tidak ada barang yang hilang, kecuali sebuah lukisan yang tadinya terpasang di dinding belakang rumah itu. Tak diketahui siapa yang melakukan perbuatan keji itu, dan apa alasannya. Tapi, rumor menyebar bahwa pelakunya adalah Rosanna, atau arwahnya yang menuntut balas. Ternyata, kepala keluarga itu, Pak Tito yang telah meninggal dua tahun lalu terlibat dalam keributan yang menyebabkan kematian ibu Rosanna bertahun yang lalu. Pak Tito mengambil sebuah lukisan dari rumah keluarga Rosanna dan membawanya pulang sebelum membumi hanguskan rumah Rosanna beserta isinya. Rosanna tak pernah tahu bahwa lukisan itu selamat dari kebakaran sampai melihatnya di rumah Fritz. Lukisan dengan catatan cinta di baliknya.

"Dari F untuk R". 

Dari Frans untuk Rosalien, orang tua Rosanna.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro