33. Firasat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari selanjutnya berjalan dengan normal. Baik Kyle maupun Susan kini sudah pulih sepenuhnya. Sarung tangan buatan Leo juga sangat membantu Talia untuk bisa berinteraksi dengan teman-temannya tanpa menimbulkan efek terlempar ke masa depan.

Tes bakat sihir sudah di depan mata. Meski begitu Talia merasa tidak tenang. Kyle berulang kali meyakinkan Talia kalau Ludwig mungkin tidak akan menjalankan rencana-rencana bodohnya lagi setelah berduel dengan Kyle tempo hari. Namun firasat Talia justru mengatakan sebaliknya. Ia tergoda untuk sekali lagi mengintip masa depan Ludwig agar bisa mendapat gambaran yang pasti mengenai ucapan Kyle.

Akan tetapi dua sahabat Talia yang lain turut meyakinkan Talia. Susan dan Leo juga mengatakan bahwa Talia tidak perlu cemas lagi karena sekarang ia sudah menguasai spirit api. Setidaknya kemampuan Talia tersebut bisa digunakan untuk melawan segala makhluk buas yang dikirimkan Ludwig.

Bahkan Susan juga mengesankan bahwa ia mungkin sudah melakukan sesuatu terhadap Ludwig. Talia curiga kalau Susan telah memanipulasi pikiran Ludwig sehinga orang itu tidak lagi berselera untuk menghancurkan Talia. Meski sebenarnya Talia tidak terlalu yakin kemampuan Susan bisa menembus kekuatan mental Ludwig yang begitu bengis dan penuh kejahatan.

Pada akhirnya, Talia pun memutuskan untuk menepis kecemasannya. Ia tidak ingin membuat teman-temannya khawatir. Terlebih karena ia juga harus fokus pada tes bakat sihir. Sejujurnya Talia lebih berminat untuk masuk ke kelas elemen air atau angin. Kedua elemen tersebut menyiratkan ketenangan dan kebebasan. Sayangnya hal itu sepertinya sedikit mustahil karena kini kemampuannya memanggil spirit api sudah diketahui oleh hampir seluruh sekolah.

Insiden serangan pterotos yang membuat Susan terluka membuat Talia terpaksa mengakui kemampuan tersebut. Ia diintrogasi selama berjam-jam di ruangan Profesor Theia, dan sekalipun sang profesor jelas tahu siapa pelakunya, tetapi tidak ada tindakan tegas yang dilakukan pihak Akademi kepada Ludwig.

Alih-alih Talia justru menjadi pusat perhatian karena sang profesor justru merasa bangga karena siswa departemennya ternyata bisa memanggil spirit api. Dengan kemampuan tesebut, Talia sudah dipastikan akan masuk ke kelas elemen api selama sisa masa studinya di Akademi.

Kyle berkata bahwa dia akan mengambil kelas yang sama dengan Talia. Toh karena elemen utamanya ada di luar empat elemen dasar, maka Kyle berhak untuk memilih kelas manapun yang dia inginkan. Berbekal keyakinan tersebut, Talia menjadi tidak teralu mengkhawatirkan Tes Bakat Sihir yang akan diadakan dua hari lagi.

Leo di sisi lain, masih dilemma dengan pilihan kelasnya. Akankah ia memilih kelas pembuat ramuan sihir atau benda sihir. Leo berbakat di kedua bidang tersebut dan memang tertarik untuk mempelajari keduanya. Hanya saja terlalu serakah untuk mengambil dua kelas secara bersamaan. Ia juga tidak bisa membagi tubuhnya menjadi dua untuk mengikuti jam pelajaran yang diadakan di waktu yang sama.

"Pembuat ramuan memang menjanjian pekerjaan yang mapan. Tapi sudah ada banyak ahli ramuan di kerajaan ini. Kau hanya akan menjadi salah satu di antara ratusan penyihir pembuat potion, Dean. Sebaliknya, membuat benda sihir itu sulit dan langka. Karena itu benda-benda sihir berharga sanga mahal. Kalau kau ingin menjadi kaya, sebaiknya pilih kelas pembuat benda sihir," nasehat Susan suatu kali saat mereka tengah sarapan bersama.

"Tapi keluargaku sudah kaya, Susan. Aku tidak ingin mencari uang. Aku ingin bersenang-senang. Menempa benda sihir itu panas dan melelahkan, meskipun cukup menyenangkan kalau hanya dilakukan sesekali," timpal Dean sembari menyuapkan sebutir anggur ke mulutnya.

"Yah, aku tidak bisa memaksamu. Tapi jangan menyesal kalau kelak istrimu menjadi lebih kaya darimu, lalu kau akan ditindas dalam rumah tangga," sergah Susan santai.

"Kenapa tiba-tiba membicarakan istri?" Leo memprotes dengan mulut penuh anggur.

Susan terkikik pelan. "Entahlah. Aku terpikir untuk bekerja di Pasukan Khusus. Menjadi bagian dari divisi investigasi. Seorang sahabat memberiku saran yang bermanfaat. Setelah kucari tahu ternyata pendapatan per bulannya sangat fantastis. Jadi kau harus bersiap-siap dari sekarang," ucap gadis itu sembari mengedip pada Talia.

Talia turut tertawa kecil, tetapi tidak ikut berkomentar apa-apa.

"Apa hubungannya kelas pilihanku dengan pekerjaan masa depanmu? Sebenarnya apa yang mau kau sampaikan?" seru Leo tampak frustrasi.

Susan mengangkat bahu dengan santai. "Pikirkanlah sendiri, Dean."

Leo hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sudah pusing memilih jurusan, kini harus ditambah dengan menerka maksud kata-kata Susan. Talia hanya tersenyum melihat interaksi dua sahabatnya itu. Mereka sudah semakin dekat dari hari ke hari. Bahkan Talia mendapai Susan dan Leo berduaan di ruang rahasia beberapa kali. Meski Talia yakin kalau Susan tidak menggunakan sihir manipulasinya pada pemuda yang dia sukai, tetapi entah mengapa ia merasa gemas karena Leo sama sekali tidak peka pada perasaan Susan.

"Kau sendiri, apa yang ingin kau lakukan setelah lulus dari Akademi?" tanya Kyle pada Talia.

Talia berpikir sejenak. Tidak ada yang spesifik sebenarnya. Ia masih ingin berkeliling benua sebelum nantinya menggantikan ayahnya mengurus wilayah Ortega. Secara tidak langsung, masa depan Talia memang sudah ditentukan.

"Aku akan kembali ke Ortega dan mulai belajar mewarisi pekerjaan ayahku sebagai Count," jawab Talia apa adanya.

Kyle tampak berpikir sejenak. "Yah ... sepertinya tidak buruk juga menghabiskan hidupku di kota dekat pelabuhan. Kita bisa menikmati pemandangan laut dan pantai setiap hari. Pasti sangat indah," ucap pemuda itu sembari tersenyum pada Talia.

Ucapan Kyle tersebut membuat Talia tersipu. Ia sama sekali tidak memikirkan masa depannya bersama orang lain, mengingat kemampuannya yang selalu bisa melihat masa depan. Jika ia bersentuhan dengan orang lain, maka dirinya akan terlempar ke masa depan orang tersebut. Bagaimana mungkin Talia bisa hidup dengan orang lain, bahkan menikah? Ia sama saja tidak bisa melakukan kontak fisik dengan siapa pun.

Belum lagi fakta bahwa di masa depan, kekuatan kegelapan Kyle mungkin akan meledak dan menewaskan banyak orang, bahkan menghancurkan kerajaan. Mengingatnya saja membuat Talia bergidik. Apakah sejauh ini ia sudah berhasil menggeser masa depan suram Kyle?

"Apa kau tidak suka dengan rencanaku?" tanya Kyle membuyarkan lamunan Talia.

Talia tersenyum canggung. "Aku ... hanya berlum berpikir sampai sejauh itu. Sebaiknya kita menikmati masa-masa sekarang saja daripada memikirkan masa depan yang masih belum pasti," gumam Talia berkilah.

Kyle hanya tersenyum samar. "Tidak apa-apa. Pikirkan saja pelan-pelan. Aku juga akan bersabar," ujarnya.

Sejujurnya Talia tidak tahu Kyle akan bersabar untuk apa. Apakah pemuda itu menunggu dirinya? Menunggu untuk apa? Pikiran Talia menjadi semakin kalut karena memikirkan hal tersebut. Padahal dulu Talia yang mendekati Kyle lebih dulu. Ia tak menyangka kalau Kyle akan menjadi begitu terikat padanya.

Talia menghela napas berat. Sebaiknya ia tidak memikirkan hal-hal yang rumit seperti itu dulu untuk saat ini. Ada banyak masalah lain yang menyita perhatiannya. Salah satunya adalah tentang anak laki-laki yang terus menatap tajam ke arah mereka sejak tadi: Ludwig Gothe. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro