49. Akrab

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esok harinya, setelah prosesi upacara bertele-tele yang sangat panjang, Talia berangkat sekolah dengan mata menggantung. Rupanya upacara di dalam hutan itu selesai jauh lebih lama dari dugaannya. Talia kembali ke asarama setelah lewat tengah malam, nyaris menjelang dini hari. Gara-gara itulah waktu tidurnya menjadi sangat kurang. Sekarang ia harus berangkat sekolah sambil menahan rasa kantuk.

Kyle tampaknya mengalami masalah serupa. Wajah Kyle yang terkantuk-kantuk semakin mengonfirmasi bahwa pemuda itu juga mengikuti acara perkumpulan semalam. Talia tidak bisa berhenti merasa kesal pada Kyle. Ia mencoba menggali memorinya di masa lalu lagi, kapan tepatya Kyle terlihat mengantuk seperti ini di kelas.

Setelah dipikir-pikir Kyle tidak pernah seperti ini dulu. Pemuda itu selalu muncul dengan segar di kelas dan mengikuti pelajaran dengan penuh perhatian. Apa itu artinya Kyle di masa lalu memang tidak mengikuti Perkumpulan Taleodore?

Talia segera menggeleng keras. Semakin dipikirkan, Talia justru semakin pusing. Hal yang penting sekarang adalah fakta bahwa akhirnya Talia berhasil memanggil spirit apinya lagi. Entah dia harus berterima kasih pada Ludwig atau tidak.

“Pergi kemana saja kau semalam? Kenapa mukamu kacau begitu,” tanya Kyle tiba-tiba mengajak Talia bicara.

“Perhatikan dirimu sendiri, Ky … Gothe,” sahut gadis itu ketus.

Kyle mendengkus pelan. “Apa kau datang bersama orang itu?”

Talia menautkan kedua alisnya tak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Ludwig. Kau juniornya, kan?” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Kyle. Pemuda itu sekarang tengah mengamati Talia lekat-lekat.

Talia tercekat. Ia hanya bisa menelan ludah dengan kelu. Sebersit rasa bersalah terbit di hatinya. Meski begitu saat ini Talia tidak berteman dengan Kyle. Sekalipun hal itu tetap tidak mempengaruhi kenyaataan bahwa Talia juga membenci Ludwig.

Kyle mendengkus lagi. Kali ini terdengar penuh cela. Ia jelas marah pada Talia. “Memang tidak bisa dipercaya. Teman sebangkuku adalah kaki tangan orang itu. Apa kau juga sengaja mengatur agar bisa duduk di sebelahku?” sergah Kyle menatap tajam Talia.

Talia sungguh kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa menatap balik ke arah Kyle dengan mulut terkunci. Talia pikir Kyle pasti akan memusuhinya dan waspada terhadap kehadirannya. Namun, ketika menatap mata Kyle, Talia merasa ada kesedihan yang tersirat. Hati pemuda itu sepertinya terluka karena berpikir bahwa Talia telah menjadi junior Ludwig.

“Ka, kau sedih gara-gara hal itu?” tanya Talia akhirnya bisa membuka suara. Rasa penasarannya tergelitik ketika melihat ekspresi sedih Kyle. Kenapa ia harus sedih? Mereka bahkan tidak akrab di kehidupan ini.

Mendengar pertanyaan itu, sontak Kyle mebuang muka dan berpura-pura fokus pada pelajaran. “Tidak ada urusannya denganku. Aku hanya membencimu,” gumamnya tak jelas.

Talia menghela napas panjang. Ingin rasanya ia juga memarahi Kyle dan bertanya tentang kehidupan lalu mereka. Apakah Kyle juga mengikuti perkumpulan itu dulu? Sayangnya Talia tahu bahwa pertanyaan tersebut akan terdengar tidak masuk akal.

“Aku sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Ky … Gothe. Semua ini salah paham.” Hanya itu yang bisa diucapkan Talia. Meski tidak bisa menjelaskan secara gamblang, tetapi Talia tetap tidak ingin melihat Kyle sedih.

“Salah paham? Kau jelas-jelas tidak mengelak saat aku bertanya tentang hubunganmu dengan orang itu. Apa itu salah paham? Kenapa? Apa kau menyukainya?” desak Kyle yang kini tampak benar-benar kesal.

Kesabaran Talia pun ada batasnya. Ucapan Kyle tersebut benar-benar tidak masuk akal. Seharusnya dia tahu sebesar apa kebencian Talia terhadap Ludwig. Orang itu sudah empat kali berusaha membunuhnya! Dan sekarang Kyle malah bersikap kekanak-kanakan sementara dirinya sendiri juga menjadi junior dari seorang penyihir cantik dari tingkat tiga.

“Kau sendiri. Bukankah kau juga datang ke perkumpulan bersama gadis itu? Senior dari tingkat tiga yang mengenakan topeng merak. Apa dia pacarmu?” sergah Talia penuh emosi.

Kyle melotot marah. “Jaga bicaramu. Kau benar-benar sudah melewati batas, Talia Ortega. Lagipula kenapa hal itu membuatmu kesal? Kau bukan siapa-siapaku.”

Talia tak kalah kesal. Gadis itu melawan tatapan tajam Kyle dengan matanya yang nyalang. “Kau yang mulai menuduhku lebih dulu. Sebaiknya kau juga menjaga mulutmu agar tidak berbicara hal kotor seperti itu,” geramnya sembari mengepalkan tangan.

“Kau … .” Kyle mencoba melawan. Akan tetapi kata-katanya terpotong oleh suara Profesor Li dari depan kelas.

“Ortega! Gothe! Apa yang kalian lakukan di belakang sana?! Keluar dari kelas sekarang!” hardik sang profesor dengan marah.

Talia dan Kyle terpaksa keluar kelas dengan bersungut-sungut. Mereka berjalan berjauh-jauhan seperti menghindari virus mematikan.

“Semua gara-gara kau, Ortega,” geram Kyle setelah mereka berdua berada di luar kelas.

Talia berdecih pelan. “Orang yang mencari masalah biasanya bersembunyi dengan menyalahkan orang lain,” ujarnya sarkastik.

Talia lantas berjalan menjauhi Kyle. Daripada harus berduaan dengan Kyle dan berdebat tanpa henti, lebih baik Talia pergi ke perpustakaan. Toh Profesor Li biasanya lupa kalau sudah mengeluarkan murid dari kelas. Setelah beberapa saat profesor itu tidak akan peduli lagi pada Talia dan Kyle yang sudah dia usir.

“Kau mau kemana?” tanya Kyle sembari berjalan mengikuti gadis itu.

Talia menoleh dan melirik Kyle dengan sinis. “Jangan mengikutku,” sergahnya kesal.

“Aku harus mengawasimu mulai sekarang. Bagaimana bisa aku membiarkanmu luput dari penglihatanku. Kau mungkin akan melakukan hal-hal jahat bersama orang itu,” timpal Kyle beralasan.

Talia memasang ekspresi terganggu. “Apa kau sadar kalau sekarang sedang berbicara omong kosong?” ujar gadis itu sembari melipat tangan.

“Terserah kau mau berpikir seperti apa. Aku melakukan ini demi keamananku sendiri. Kalau kau memang tidak berniat buruk seharusnya kau bisa mengabaikanku saja,” tandas Kyle tidak mau kalah.

“Kau … .” Talia hanya bisa menghena napas lelah. Perdebatan ini tidak akan ada habisnya. Talia tidak pernah tahu kalau Kyle bisa menjadi keras kepala seperti ini. Padahal sebelumnya Kyle selalu mengalah dan lembut padanya. “Terserah kau saja.”

Talia berusaha untuk tidak mempedulikan Kyle. Ia berjalan lurus ke arah perpustakaan tanpa menengok lagi. Namun betapa menyebalkannya Kyle. Pemuda itu terus-terusan mengikuti Talia bahkan hingga duduk di sebelahnya.

“Masih banyak tempat lain di sana. Tolong jaga jarak,” desis Talia sembari mendoro Kyle menjauh.

“Dan membiarkanmu kabur saat aku tidak memperhatikan? Jangan harap. Mulai sekarang aku akan mengawasimu dari dekat setiap detik.” Kyle benar-benar tidak berniat untuk menyerah.

“Itu tidak masuk akal. Sebenarnya kenapa kau bersikap seperti ini, Kyle?” sergah Talia frustrasi. Namun detik berikutnya gadis itu segera menyadari kesalahannya lantas bedeham canggung dan melempar pandangan ke arah lain.

“Kenapa kau selalu memanggil nama depanku?” tanya Kyle kemudian.

“Aku … tidak sengaja. Ah, entahlah. Aku tidak akan melakukannya lagi. Itu kesalahan. Jadi tolong lupakan,” racau Talia tanpa berani menatap ke arah Kyle.

Kyle justru tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Lakukan saja. Aku tidak masalah kau memanggilku begitu,” kata Kyle dengan nada lebih lembut. “… Talia,” lanjutnya.

Talia tercenung sejenak. Sekali lagi ia kehilangan kata-kata. Namun tak bisa dipungkiri, gadis itu merasa senang karena bisa kembali akrab dengan Kyle. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro