70. Hati Nurani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasca kejadian di hutan, Kyle terus-terusan menghindari teman-temannya, baik itu Talia bahkan Leo dan Susan. Dampak dari peistiwa tersebu tampaknya sangat mempengaruhi Kyle sehingga pemuda itu merasa tidak layak untuk berteman dengan siapa pun.

Perubahan sikap Kyle ini langsung menjadi pertanyaan besar, terutama bagi Leo. Talia akhirnya menjelaskan perihal kejadian di hutan hingga akhirnya Leo dan Susan pun mengerti alasan Kyle menjauh dari mereka. Talia tentu saja tidak ingin Kyle menjadi seperti itu. Bergitu pula dengan Leo dan Susan. Mereka semua terus berusaha mendekati Kyle, tetapi pemuda itu selalu menghilang setiap jam makan atau pun jeda di jam pelajaran.

Leo bahkan bersaksi kalau ia juga kesulitan menemui Kyle di asrama. Bahkan Talia yang duduk sebangku dengannya saja sama sekali tidak digubris. Pemuda itu menghilang dengan cepat begitu pelajaran usai, tanpa Talia sempat untuk menyusulnya. Gadis itu merasa seperti kembali ke titik nol lagi.

Beruntung insiden di hutan terlarang bisa ditutupi berkat kekuatan Ludwig. Pengawas hutan yang menemukan bekas-bekas kehancuran tidak melakukan investigasi lebih lanjut setelah mengetahui bahwa Ludwig juga terlibat. Talia benar-benar tidak habis pikir pada kekuasaan keluarga Gothe di seluruh kekaisaran, hingga berpengaruh sampai di Akademi. Meski begitu Talia kini merasa cukup lega karena rupanya Ludwig tidak sejahat seperti yang dia pikirkan sebelumnya.

Pemuda itu beberapa kali mendatangi Talia untuk menanyakan luka-lukanya. Selama dirawat di ruang kesehatan, Ludwig juga rutin menjenguk Talia hingga sembuh total. Keakraban mereka berdua kini tidak lagi ditutup-tutupi, dan seluruh sekolah sepertinya tahu bahawa Talia dan Ludwig sekarang berteman.

Leo dan Susan awalnya menentang fakta tersebut dan masih menganggap Ludwig sebagai orang yang berbahaya. Akan tetapi, setelah Talia menceritakan semuanya, mereka berdua pun menjadi lebih menerima keberadaan Ludwig. Leo juga mendukung usaha Talia untuk memperbaiki hubungan dua bersaudara itu, entah bagaimana nanti caranya.

"Cobalah untuk menemui adikmu, Lu. Dia menghindariku seperti kuman penyakit," keluh Talia siang itu. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama di perpustakaan.

Ludwig menghela napas panjang sambil masih berkutat dengan buku tebal tentang pengobatan pascatrauma. "Apa lebammu sudah menghilang?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Pemuda itu lantas mengecek leher dan kedua lengan Talia yang masih menyisakan bekas lebam berwarna biru ungu samar.

"Sudah lebih baik, meskipun belum terlalu nyaman untuk bergerak. Undine banyak membantuku untuk membuat tubuhku lebih baik," ungkap Talia terus terang. "Kau sendiri juga banyak terluka, Lu. Apa kau baik-baik saja?" tanya gadis itu kemudian.

"Ini hal yang biasa bagiku," sahut Ludwig ringan.

"Meski begitu kau membaca buku pengobatan trauma. Apa kejadian kemarin mempengaruhimu begitu dalam?"

Ludwig lantas melirik buku yang dibacanya sembari berdecak pelan. "Aku membacanya karena khawatir padamu, Ortega," tukasnya sembari menutup buku tebal itu. "Tapi melihat kau sudah bisa mencemaskan orang lain, sepertinya keadaan mentalmu baik-baik saja."

"Aku memang terkejut. Tapi tidak sampai membuatku trauma," kata Talia yang dalam hati kecilnya mengingat serangan-serangan Ludwig di masa lalu. Kejadian itulah yang justru sempat membuat gadis itu mengami gangguan kecemasan. Namun Talia tidak bisa membahasnya sekarang. Ludwig tidak mungkin tahu kejadian di kehidupan Talia sebelumnya.

"Maaf." Sekonyong-konyong Ludwig mengucapkan rasa penyesalannya.

Talia tertegun sejenak, tidak menyangka kalau pemuda itu kan meminta maaf padanya. "Hah? Kenapa?" tanya gadis itu tanpa sadar.

"Karena membuatmu terlibat dalam kejadian memalukan di keluarga kami," ucap Ludwig sungguh-sungguh.

Talia tersenyum tipis sembari menatap Ludwig. Ia menggeleng pelan seraya berkata. "Aku sendiri yang memutuskan untuk ikut campur. Awalnya aku memang hanya ingin mengubah masa depan Kyle demi kepentinganku sendiri. Tapi setelah berteman dengannya, dan mengenalmu seperti ini, rasanya aku menjadi benar-benar peduli pada kalian. Aku tidak ingin kalian berdua menderita lagi," ungkap gadis itu.

Ludwig menatap Talia dengan hangat lantas mengusap puncak kepala Talia. "Kau anak yang baik, Ortega," ucapnya sembari tersenyum kecil.

"Sampai kapan kau mau memanggilku seperti itu? Apa kita tidak cukup akrab setelah selama ini berteman?" protes Talia kemudian.

Ludwig mendengkus kecil. "Baik, aku akan memanggilmu Talia mulai sekarang," sahutnya ringan.

Talia tersenyum puas menanggapi. "Kalau begitu kapan kau berencana menemui Kyle?" tanyanya kembali ke topik pembicaraan awal mereka.

Ekspresi Ludwig langsung berubah lelah. Ia mengalihkan pandangannya dari Talia ke rak-rak buku tinggi yang berjajar di hadapan mereka.

"Oh, ayolah, Lu. Kau adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Kyle merasa lebih baik. Kunci dari hubungan kalian adalah kalau kau mau meminta maaf padanya. Jangan keras kepala dan akui kalau perbuatanmu padanya selama ini memang salah," bujuk Talia melanjutkan.

"Memangnya masalah kami bisa selesai hanya dengan kata maaf," sergah Ludwig terdengar malas.

"Itu adalah langkah awal. Kenapa begitu sulit bagimu untuk mengakui kesalahan. Apa sampai sekarang kau benar-benar tidak merasa kalau perbuatanmu itu kelewatan?" kecam Talia serius.

Ludwig menghela napas berat lantas menyandarkan punggungnya ke tempat duduk di meja panjang. "Aku tahu. Jangan mengulang-ulang itu terus. Justru karena aku tahu kalau tindakanku sudah kelewatan jadi aku semakin tidak bisa meminta maaf pada Kyle. Mungkin permintaan maaf saja tidak cukup. Dan bagaimana dia bisa mengerti kalau aku melakukan hal itu selama ini adalah demi dirinya," keluh Ludwig panjang lebar.

"Tidak. Tidak. Kau salah paham. Karena kau bersalah, jadi jangan berharap Kyle memahami tindakanmu. Bahkan aku pun tidak mengerti kenapa kau menjadi begitu picik menghadapi kekuatan adikmu sendiri," omel Talia tegas.

Ludwig menatap Talia dengan pandangan sayu. "Apa kau juga membenciku?" tanyanya muram.

Kalau mengingat kembali peristiwa-peristiwa di masa lalu ketika Ludwig beberapa kali menyerangnya dengan monster buas, rasanya Talia juga tidak bisa memaafkan pemuda itu dengan mudah. Akan tetapi Ludwig juga sudah membayar perbuatannya pada Talia dengan dua kali menyelamatkan nyawa gadis itu. Ludwig sudah hampir mati karena Talia dan hal itulah yang membuat Talia akhirnya bisa menerima Ludwig saat ini.

"Kau sendiri tahu kalau aku memang pernah sangat membencimu. Tapi kau akhirnya bisa membuktikan padaku kalau kau bukanlah orang yang benar-benar jahat. Mungkin isi kepalamu saja yang pernah sedikit bermasalah," ucap Talia sembari berkelakar.

Ludwig tidak marah sekalipun Talia menyebutnya demikian. Alih-alih pemuda itu hanya tersenyum lega menanggapi.

"Karena itu, Lu," lanjut Talia kemudian. "Kuharap kau juga bisa melakukan hal yang sama pada Kyle. Kau pasti bisa membuktikan padanya kalau kau menyesali perbuatanmu selama ini, dan bahwa kau sebenarnya sangat peduli padanya. Apa kau bisa melakukan itu?" tanya gadis itu.

Ludwig tampak berpikir sejenak. Wajahnya yang muram kembali menatap Talia lekat-lekat. "Entah kenapa aku selau patuh pada kata-katamu sekalipun sebenarnya aku tidak ingin melakukannya. Apa kau juga punya semacam charmspeak?" Pemuda itu balas bertanya.

Talia hanya tersenyum tipis. "Katakanlah aku membangkitkan hati nuranimu, Ludwig Gothe," sahutnya pendek. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro