Di Ambang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruang gelap ini, sudah lebih terang. Dan juga lebih hangat. Suhu dingin yang tadi menyerbu ku telah pergi. Alat bantu bernafas ku sudah enyah. Tapi aku tetap merasa tak nyaman.

"Pasien akan baik-baik saja. Tapi, hanya untuk jaga-jaga kami akan tetap memasang infus darah nya." Dokter yang tak ku kenal ini mengatakannya seolah ini masalah enteng.

Sekarang hanya ada kami bertiga. Aku, yang terbaring di atas ranjang. Dan kedua orang tua ku yang terlihat cemas.

"Laila, tak apa. Kau tak perlu takut. Kami akan selalu ada di sini." Mama terlihat lebih tegang dari pada aku. Tubuh ku tak bisa ku gerakkan. Lemas, dan berat sekali. Serasa seperti ada yang menahan ku.

Hari-hari ku jalani dengan penuh kebisuan. Hanya diam, dan diam. Kepala ku sudah sedikit bisa di gerakkan. Untuk menggeleng dan mengangguk. Itu sudah cukup. Selama bebehari aku tak makan dan minum. Hidup ku hanya bergantung pada infus yang menyakitkan ini. Jangan kan makan. Untuk bicara saja sakit nya tak tertahankan.

"Nanti, kalau Laila sudah sembuh. Mama akan masakkan makanan ke sukaan Laila." Air mata ku mengalir. Rasanya, kata-kata manis ini sering ku dengar. Namun juga jadi sangat jarang ku dengar. Bahkan beberapa waktu sebelum insiden ini, aku tak pernah lagi mendengarnya. Mama terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya.

Aku tak bisa berharap lebih. Satu-satunya yang bisa ku lakukan adalah berharap akan ada keajaiban. Tapi, darah ini terus mengalir, bukan karena keinginan ku.

Sekarang, aku sudah bisa duduk dan bicara. Mungkin sekitar 2 minggu aku terbaring di ranjang. Badan ku terasa pegal.

"Bagaimana? Apa yang kau rasakan?" Dr. Alin kembali ambil alih.

"Tak ada." Jawab ku dengan bingung. Apa yang harus aku katakan. Tubuh ku sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit ini. Seperti ribuan jarum menusuk setiap pori-posi kulit ku.

"Oh, syukurlah. Tapi, ku rasa kau belum boleh keluar dari rumah sakit." Dia mulai bersikap bijak sebagai seorang dokter lagi.

"Kenapa?"

"Eh?" Dr. Alin dan Mama bingung dengan pertanyaan ku.

"Kenapa ini bisa terjadi? Padahal aku sudah sembuh?! Aaarkh!" Aku tantrum lagi.

Dr. Alin segera menyuntikkan obat penenang. Aku tak suka. Tapi tak ada pilihan lain. Karena aku sudah dewasa, saat aku mengalami tantrum, aku bisa melakukan apa saja. Termasuk mencelakakan orang lain, dan diri ku sendiri. Bahkan bisa saja aku membunuh seseorang atau diri ku sendiri. Jadi, akan lebih baik kalau aku tidur saja. Memimpikan mimpi buruk adalah takdir.

~~

Satu bulan lebih. Aku sudah lebih sehat. Kata dr. Alin, aku sudah boleh keluar dari RS lusa. Meski lusa sudah boleh pegi, aku masih saja bergantung pada kursi roda dan infus. Jadi terlihat menyedihkan.

Saat ini aku sedang menatap ke luar jendela. Dari jendela ruang rawat inap ku ini, aku bisa melihat beberapa pemandangan yang tak asing. Tanah, tumbuhan, dan benda mati lainnya sudah wajar. Orang-orang sakit, dan para penjenguk juga sudah wajar.

Ada satu yang sangat ku suka. Udara segar di pagi hari adalah yang terbaik. Meski tak bisa di lihat, aku bisa mendengar suara nya. Aku bisa merasakan hembusannya. Semua ini membuat ku rindu akan kebebasan ku yang sudah lama hilang.

Aku ingin bisa berjalan. Aku ingin tangan ku bebas bergerak. Aku ingin bebas melangkah. Aku ingin lebih bebas dalam menjangkau. Aku sangat merindukan kebebasan itu.

Kriieeett.... Pintu kamar ini terbuka. Aku melihat ke belakang. Dr. Alin mendekati ku.

"Apa yang sedang kau lihat?" Dia terlihat ceria.

"Entahlah. Aku hanya ingin melihat apa yang masih bisa ku lihat. Sebelum semua gelap lagi. Bahkan dalam waktu yang tak terbatas..."

"Jaga bicara mu Laila. Aku yakin kau akan baik-baik saja." Dr. Alin menyela pembicaraan ku.

"Hm, ku rasa semakin hari semakin tak ada harapan."

"Selama kau yakin, harapan akan selalu ada."

"Kau tahu dr. Alin? Harapan adalah sebuah mimpi. Dan mimpi itu berasal dari kemauan. Dan kemauan berasal dari keyakinan. Semua langkah yang di ambil selalu bersumber pada keyakinan."

"Lalu bagaimana kalau kita tak yakin? Bagaiamana kalau bahkan kita meragukan keberadaan dan kehidupan diri kita sendiri? Kita, pasti hanya akan berserah diri dan biarkan kaki melangkah apa adanya. Tanpa keyakinan, tapi juga tanpa keraguan."

"Kita hanya perlu mengikuti arah anginnya bergerak. Kita hanya perlu mengikuti aliran airnya. Hanya itu. Dan setelahnya, kita akan lenyap di telan kegelapan."

"Apa sih yang kau bicarakan?! Jangan terlalu berlebihan!" Tak begitu membentak, tapi tetap saja tujuannya sama.

"Kau kan tahu, aku pernah mengalaminya."

"Apa sih? Aku tak tahu." Senyuman miris dr. Alin benar-benar menjadi lelucon.

"Haha~ Lucu sekali. Padahal, saat itu aku sedang dalam pengawasan mu. Aku tahu semuanya tanpa kau beritahu dr. Alin." Rasanya pelipis ku tak sanggup membendung air mata ini.

"Aku pernah mengalaminya. Mengalami kemarian yang sangat menyakitkan. Hiks hiks." Dr. Alin terperangah. Dia terlihat tak percaya dengan ucapan ku. Memang tak ada yang membri tahu ku kalau aku pernah mati. Tapi aku tahu. Karena aku, sudah tak memiliki apa pun saat itu.

"B-bagaimana k-kau b-bisa tahu?"

"Aku mengalaminya sendiri. Bodoh namanya kalau aku tak tahu." Aku menyeka air mata ku. Kembali pada tatapan nanar ke luar jendela.

Angin bertiup pelan. Tapi itu sudah cukup untuk membawa ku terbang. Jiwa ini terbang tanpa kemauan jasmani ku. Karena yamg ku ingin kan saat ini hanyalah kebebasan.

Aku bagaikan seekor burung kecil yang baru menetas. Tak tahu apa-apa, tapi tahu banyak hal. Membingungkan buka? Tapi begitulah hidup ku. Aku tak mungkin menolaknya, tapi aku juga tak bisa menerimanya.

Dunia ini terasa begitu adil (di baca tak adil) . Hingga sehelai bulu pun tak di izinkan terbang di terpa angin. Hingga daun-daun kering tak di izinkan berdiam mengabdi pada pohonnya.

Hingga aku pun hidup, tanpa aku tahu.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro