Karma 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terik mentari di siang hari. Panasnya menyengat kulit kami. Musim kemarau tiba. Para siswa yang keluar gerbang sekolah. Bel pulang berdering beberapa menit yang lalu.

Seperti biasa, aku dan Shinta keluar saat suasana sudah tenang. Dengan kata lain seluruh siswa sudah keluar sekolah. Kami hanya berdua. Tapi Shinta terus mengeluh kepanasan.

"La panas banget. Pulang ntar sore aja biar ademan dikit." Pinta Shinta sambil mengusal keringat di wajahnya.

"Tanggung Shin. Lagian juga hari ini kita harus siap-siap kan. Jangan bilang kamu lupa besok hari apa?!" Tuduhku.

"Enak aja. Mana ada orang abad 21 lupa sama hari lahirnya sendiri. Maksud aku, kita kan nggak perlu turun tangan. Aku udah atur semuanya. Kita balik lagi ke kelas yuk. Bila perlu ke perpus yang ada AC nya." Kalimat terakhir itu menampakkan wajah Shinta yang ceria.

"Nggak. Aku tetap pada pendirian ku. Kita tetap pulang. Kamu terlalu percaya banget sih sama orang yang kamu suruh. Gimana kalau ada yang salah. Fatal akibatnya."

"Tapi La. Ini panas banget." Keluh Shinta lagi.

Jarak antara kelas dan gerbang sekolah kami cukup jauh. Mengingat sekolah kami yang bisa di bilang besar.

"Loh, emang Ayah kamu nggak jemput?"

"Ya jemput sih. Tapi kan masa nggak bisa di undur."

"Yang jemput itu ayah kamu. Bukan supir pribadi kamu. Hargain dong. Ayah kamu itu orang sibuk. Dia rela luangkan waktunya untuk menjemput putri kesayangannya."

Shinta sedikit menunduk. Sedetik kemudian dia mendongak. Memasang wajah cerianya. Seperti biasa.

"Baik, aku mengerti. Ayo kita pulang sekarang."

"Nah gitu dong. Lagian mobil mu kan ada AC nya. Ngapain jauh-jauh ke perpus."

Kami berjalan penuh dengan semangat. Bahkan dari jarak beberapa meter dari gerbang, kami dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam. Kaca mobilnya sedikit menerawang. Terlihat seseorang sedang duduk di depan kemudi yang bolak-balik melihat ke arah jam tangannya.

Sudah dapat di tebak. Itu ayahnya Shinta. Kami mempercepat langkah kami. Shinta sudah berlari duluan. Aku berusaha menyusul dengan lari kecil. Sampai satu langkah di depan gerbang, langkah kaki ku terhentikan oleh sebuah suara.

"Laila," Aku menoleh ke arah suara itu. Ada seseorang di balik bayangan dinding kokoh sekolah. Aku melihatnya baik-baik. Tapi tak terlihat wajahnya.

Orang itu berjalan mendekati ku. Namun dengan langkah yang sangat pelan. Aku menunggu. Sedikit demi sedikit setiap inchi tubuh orang itu terlihat. Seorang pelajar dari sekolah yang sama dengan ku. Siswa, bukan siswi. Satu langkah lagi, wajahnya akan terlihat. Tapi,

Tap, dia berhenti saat hanya wajahnya lah yang tak terlihat.

"Siapa?" Tanya ku ragu.

"Kau tak perlu tau. Hanya saja, aku berhutang banyak pada mu. Jika kau tak keberatan, aku ingin membayar hutang ku malam ini, pukul setengah delapan. Di taman pusat kota ini." Ku rasa aku kenal suara ini. Tapi,...

"Laila! Kenapa diem aja. Ayo cepat." Aku menoleh ke arah Shinta yang sudah siap duduk di samping ayahnya. Tangannya melambai-lambai. Kepalanya muncul dari kaca yang terbuka.

"Aku akan menunggu mu." Dia lagi. Aku segera menoleh ke arah pemuda itu. Tapi terlambat. Dia sudah hilang entah ke mana.

"Laila! Ngelamunin apa sih? Panas tau," Hm, ku rasa Shinta sudah kehilangan kesabarannya.

"I-iya." Aku segera berlari mendekat.

Di dalam mobil, tak ku lepaskan pandangan ku dari tempat orang itu pergi. Sampai sekolah tak terlihat, aku baru mengalihkan pandangan ke depan.

Di balik dinding tadi. Seorang pemuda menghela napas lega. Dia tak mengira akan melakukan hal konyol seperti itu. Bagaimana bisa sosok Doni merasa takut bahkan hanya untuk minta maaf?

~~

Hari semakin gelap. Pandangan ku juga semakin gelap.
Matahari semakin menurun. Bagitu juga kelopak mata ku.
Kantuk ini begitu tak tertahankan. Hingga sekitar pukul lima sore aku terlelap. Dalam tidur ku bermimpi. Tak bisa di bilang indah. Dan tak bisa juga di bilang buruk. Keduanya bercampur menjadi satu. Benar-benar terlihat seperti roda dunia nyata.

Terkadang kita menangis. Dan terkadang kita tertawa. Tapi, jika di bandingkan. Kau akan tahu. Dan pengetahuan mu itu akan berguna untuk menentukan takdir mu. Begitulah. Sampai pada akhirnya, kau hanya bisa menangis dalam diam.

Ceklek.... pintu kamar ku terbuka. Samar-samar mata ku juga ikut terbuka. Ku dengar derap kaki melangkah. Semakin dekat dengan ku. Terus begitu. Hingga sebuah tangan nan lembut membelai lembut pula rambut ku."

"Laila, bangunlah. Ini sudah malam." Suara Mama yang merdu berusaha membangunkan ku yang tenggelam dalam dunia mimpi.

"Laila, ini sudah malam nak. Makan dulu. Nanti baru tidur lagi." Jemari Mama menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah ku.

Aku mendengarnya. Ku dengar dengan jelas. Tapi rasanya otak ku tak mau bersahabat. Seakan kelopak mata ku ini sedang tertindih beribu-ribu kilo gram yang terpusat pada beberapa titik beban.

Tapi kemudian aku kuat. Aku bisa membuka mata ku sempurna. Sekarang, secara perlahan ku bangkitkan kesadaranku. Sungguh sukar. Aku hampir menyerah. Tapi suara dan belaian lembut Mama membuat ku berapi-api.

"Laila," aku tersentak. Segera ku alih kan pandangan ku menuju Mama yang sudah duduk di dekat ku.

"M-mama," ku kucek mata ku untuk mengurangi efek ke kaburan ini. Tubuh ku masih terasa sangat lemas. Wajar saja. Tadi siang aku bantu beres-beres di rumah Shinta untuk besok. Padahal rencananya sore-an. Tapi persiapannya dari sekarang.

"Makan dan mandi dulu nak. Mama akan siapkan untuk mu." Mama pergi meninggalkan ku yang tengah berusaha mengendalikan tubuh ku.

Aku ada pada posisi duduk di samping Mama. Jarak kami tak terlampau jauh. Ku sandarkan kepala ku di pundak Mama. Tubuh ku masih sedikit labil.

"Kalo masih ngantuk tiduran lagi aja. Tapi tiduran doang ya. Jangan tidur beneran." Mama membelai rambut ku lagi.

"Mandi ya sekarang. Mama udah siapin air hangat. Tapi di kamar mandi bawah. Atau kau mau makan dulu? Mama siapin sekarang ya makanannya?"

"Ma," Panggil ku lemas.

"Iya sayang?"

"Kalo aku sakit, apa yang akan Mama lakuin?" Tanya ku sedikit ragu.

"Eh, kamu sakit nak?(Mama mendongakkan ku) Tak panas (tangan Mama menyentuh kening ku). Atau kau pusing? Mual? Atau kau hanya merasa tak enak badan? Sebentar ya, Mama ambil kotak P3K." Mama bangkit. Tapi satu tangannya ku pegang. Hingga dia kembali duduk.

"Aku kan cuma tanya Ma. Aku nggak sakit kok."

Greep.. Mama langsung memeluk ku. Dia terisak dalam pelukan bahu dan tengkuk leher ku.

"Hiks, hiks, Mama akan selalu jaga Laila. Mama nggak akan biarin hal buruk terjadi pada Laila. Mama janji."

'Janji? Kenapa manusia selalu saja dengan mudah mengatakan janji?'  Batin ku.

"Laila nggak akan sakit kok. Tenang aja. Mama akan selalu ada untuk Laila. Laila nggak usah takut ya nak." Ibu lebih tenang dari sebelumnya.

Baru percobaan saja Mama sudah histeris. Apa lagi kalau ku beri tahu yang sebenarnya. Mama pasti akan pingsan.

Lagi pula, ibu mana yang tak sedih melihat anaknya menderita. Mama sudah tahu kalau aku tak suka di bawa ke rumah sakit. Aku selalu takut akan rasa sakit itu.

Mama adalah orang yang selalu menemani ku selama proses penyembuhan. Dalam waktu sepuluh tahun aku menderita sakit ___. Baru-baru ini aku mendapat kabar kalau aku telah sembuh total.

Meski pun begitu, rasa sakit selama 10 tahun itu tak hilang dalam sekejap. Sesekali aku masih merasa sakit. Dan selama kurun waktu sepuluh tahun itu. Aku merasakan sakitnya berada di ambang kematian sampai 7 kali.

"Iya Ma. Laila tahu kalau Mama akan selalu ada buat Laila. Tapi sekarang, Laila nggak apapa kok." Yakin ku pada Mama. Ya, hanya sekarang. Dan aku bahkan tak tahu bagaimana keadaan ku besok.

"Kalau begitu, Laila harus pilih salah satu. Mandi dulu atau makan dulu?" Mama terlihat sedikit lega. Wajah cerianya kembali tampil. Tapi tetap saja. Tatapan mata khawatir itu tak pernah luput.

"Mandi dulu ah Ma. Nanti keburu dingin."

"Ya sudah. Sana cepat ke bawah. Mama tunggu di meja makan ya?"

"Meja makan? Emang mejanya di mana Ma?"

"Ya di ruang makan lah sayang." Mengerikan. Kata 'sayang' itu gombal tingkat dewa.

"Dasar Mama. Ngelawak aja."

"Mama lucu ya? Makasih."

"Iya deh terserah Mama."

Kami turun bersama. Aku menuju kamar mandi, dan Mama menuju ruang makan. Airnya hangat. Di malam yang dingin ini berendam di air hangat adalah hal yang tepat.

Tik, tik, tik.... Bunyi hujan.(di atas genting 😅)
Malam ini hujan. Padahal ini musim kemarau. Tapi hujannya cukup deras. Tapi aku tetap tak peduli. Aku masih berendamkan air hangat.

Setelah mandi aku makan. Setelah makan, aku kembali ke kamar kesayangan. (padahal kamarnya cuma satu😷)
Aku mengecek ponsel ku. Hanya ada beberapa notifikasi dari berapa bagian dari sekian banyak aplikasi.

Kelihatannya, itu semua tidak penting. Jadi ku putuskan untuk tidur lagi. Besok akan ada pesta besar. Dan aku harus segera istirahat. Pasti besok aku akan sangat lelah. Tak ada salahnya kan mengisi power hingga penuh. Bahkan kalau bisa ada cadangannya.

Ku pejamkan mata ku. Berkali-kali. Tapi mata ku tak kunjung tertutup dengan sempurna. Aku tak bisa tidur. Seperti ada yang kurang. Jadi ku cek lagi semua perlengkapan tidur ku. Semua lengkap.

"Kalau tak ada yang kurang, jangan-jangan ada yang lupa." Aku menerka.

Ku pikir-pikir lagi. Usaha yang sia-sia. Ku putar otak ku sebisa mungkin. Kalau iya urusan penting, aku tak biasa melupakannya. Tapi apa? Kenapa aku tak tenang? Aku terus perfikir. Hingga tak terasa,

Tes.. Aku tersentak. Celana pendek yang ku kenakan terasa basah oleh satu tetes cairan. Ku lihat ke arah celana berwarna putih itu.

Mata ku membulat sempurna setelah tahu cairan apa yang jatuh ke celana ku. Setetes cairan kental berwarna merah. Aku tak mungkin melihat ke arah atap. Karena aku tahu, itu pasti, aku, mimisan.

Ku pegang bawah hidung ku. Terasa basah. Sedikit ku usap dan ku lihat jari ku yang sekarang terbasahi oleh darah. Aku melihat ke cermin. Semakin lama, alirannya semakin deras.

Padahal aku sudah minum obat dari dr.Alin. Tapi kenapa aku masih saja mengalami hal ini?

"Apa aku benar-benar akan ma...." aku terlelap di atas ranjang dengan posisi terlentang.

Darah yang keluar dari hidung ku tak sempat ku hapus atau ku tahan. Kesadaran ini hilang lebih cepat.

Dan pada akhirnya, bercak-bercak merah ini menyebar ke mana-mana. Aku tak ingin Mama atau siapa pun tahu. Jadi, bahkan sebelum ini, aku sudah pasang alarm agar aku bangun lebih pagi dari semua penghuni rumah ini.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro