Senyum Palsu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

30 November 2013. Tinggal beberapa hari sekolah ku akan mengadakan study tour. Mungkin akan menyenangkan. Tujuannya adalah Bali. Objeknya sepertinya sudah bisa ditebak. Apalagi kalo bukan Pantai Kuta. Itu baru objek utama. Belum lagi yang lain. Kurang lebih ada 3-4 objek. Hanya untuk persiapan, banyak siswa, termasuk aku sendiri memperkirakan apa yang akan kami lakukan. Sementara aku berkhayal, Shinta bolak-balik menelpon. Krriiingng.... kringg.... Lagi.

"Halo La. Gimana keadaan kamu hari ini? Jangan lupa siap-siap buat akhir pekan ya. Juga, hmm, hmm, nanti aku telpon lagi deh. Oh iya, hampir lupa. Jaga kesehatan. Pamit dulu ma keluarga besar kalo udah mau berangkat. Udah ya. Daah...."

Tuuut.... tuuut....
Eh, gitu aja? Aku bahkan nggak dikasih kesempatan buat ngomong. Mungkin karena dia lagi sibuk banget. Lagian juga masih 3 hari lagi. Masih lama. Nggak perlu secemas itu. Lagian pas SMP juga kan udah pernah. Jadi persiapannya lebih matang. Kulanjutkan saja berkhayal sambil tiduran di atas kasur tebal nan empuk ini.

'Pamit dulu ma keluarga besar kalo udah mau berangkat.'

Deg- Aku bangun dari tidurku. Saking terkejutnya, Apa itu? Aku tiba-tiba teringat dengan kata-kata Shinta.

'Keluarga besar'?

'Kamu kan juga keluarga kami.'

Kata-kata Tante waktu itu. Apa yang..? Apa aku harus pamit sama keluarganya Doni.

'Tante menganggap Laila sebagai anak Tante sendiri.'

Anak? Apa itu artinya, aku benar-benar harus ke rumah Doni? Tapi, belakangan ini aku nggak ngobrol sama sekali sama Doni. Apalagi, mengingat kejadian tempo hari. Apa aku kuat datang ke sana?

'Ampuuuuun..... Pusing banget. Seneng sih pertamanya. Tapi karena obrolan nggak penting waktu itu,..., lagian kenapa aku harus tanya sih?'

Gerutuku sendiri sambil memukul-mukul kepala. Mungkin saat itu, karena aku terlalu polos, aku jadi tak bisa memikirkan apa-apa. Mungkin, karena aku terlalu labil, aku jadi tak bisa menentukan apa-apa. Mungkin, karena aku terlalu bodoh juga, aku jadi tak tahu apa-apa. Aku tak tahu apa-apa. Sampai tirai itu tersibak oleh waktu.

~~

Besok. Besok aku berangkat. Apa yang harus kulakukan. Apa aku sungguh-sungguh harus main ke rumah Doni. Aku harus melakukannya. Setelah aku melarikan diri waktu itu. Konyol. Ini tidak mungkin.

"Laila? Laila? Kamu dimana nak?"

Mama?

"Laila?"

"A-aku di sini Ma. Laila di kamar."

"Oh, kamu di sini?" Tanya Mama sembari masuk ke kamarku.

"Sedang apa?" Lanjut Mama.

"A-aku... lagi istirahat Ma. Persiapan buat besok sore."

"Oh, kamu nggak pamit sama Tante Mary dan Om Rand?"

Mama, kenapa???

"I-iya Ma. Nanti. A-aku mandi dulu deh Ma." Jawabku yang tengah terburu-buru masuk kamar mandi. Aku lihat Mama hanya tersenyum.

Tak kusangka aku harus melakukan ini.

Apa aku bisa?

Sambil menatap cermin, ku lihat wajah ragu ku tak luntur sama sekali. Apa aku bisa bertahan. Ku ingat-ingat dan ku bandingkan lagi apa yang baru-baru ini terjadi dengan yang lampau.

#Flashback : ON#

Pasca SMP

Sabtu malam. Lebih cocoknya malam Minggu. Sepi. Seprti biasa. Aku hanya mendengarkan lagu kesukaanku. Yang biasa aku dan Doni nyanyikan. Ya, judulnya Hero. Lagunya SuperCell. Biar nyanyiinnya gampang. Cari lagunya yang simple aja. Biasanya Doni yang memtik gitar. Dan aku yang nyanyi. Tapi terkadang kami juga menyanyikannya bersama. Sambil SMS-an sama best friend ku Shinta, aku masih saja terlarut dalam lantunan musik nan merdu ini. Tentu saja membangkitkan ingatanku akan masa indah 'kami'. Meskipun masih SMP kelas 2, tapi Doni lumayan pandai memainkan lebih dari 2 alat musik. Aku semakin mengaguminya.

'Ping' !!!

"Oh, SMS." Bukan dari Shinta." Aku buka percakapan pesanku.

"Ah, Doni. Kenapa dia SMS. Tumben." Ku buka pesannya. Ternyata seperti biasa. Dia hanya mengingatkanku tentang janji besok.

'Hai La. Jangan lupa besok ya. Jam 5.30 aku jemput. Bangun pagi ya. 😫😫🙏'

Membacanya, aku jadi tergelitik sendiri. Terlalu berlebihan. Padahal biasanya kan emang gitu. Setiap Minggu pagi kami berdua jogging bareng. Kalo nggak pasti sepedaan. Itu selalu terjadi. Bahkan sejak kami SD. Tak berubah. Bahkan gayanya yang selalu mengingatkan ku ini juga. Tapi caranya berbeda. Saat kami belum punya ponsel, Doni menelpon lewat telpon rumah. Dia menelpon cuma untuk mengingatkanku untuk pasang alarm. Fuuh~ Ngece banget. Padahal aku selalu bangun pagi. Dasar.

'OK. Nggak usah khawatir. Aku akan tunggu kamu.'

Kira-kira begitu. Dan selalu begitu. Bahkan sampai kami SMA. Tapi, tak bertahan lama. Hanya sampai kelas 1 semester dua. Sejak saat itu, Doni lebih sering menghabiskan waktunya dengan Mona, pacarnya. Mona adalah pacar pertamanya Doni. Jadi wajar kalo Doni perhatian banget sama Mona.

Pasca SMA

Karena Mama ku buka klinik, aku juga sering main dan sedikit membantu di sana. Mama mengijinkanku karena sekarang aku sudah besar. Dulu saat aku masih SD, aku hanya boleh main kalau sedang sepi. Hihi~ mungkin karena waktu itu aku terlalu merepotkan. Hari ini, Mama sedang pergi sebentar. Katanya ada obat yang belum dibeli. Jadi Mama mau beli di apotek sebelah. Dan pasti nggak akan lama-lama banget. Sementara aku jaga klinik. Minggu siang, lumayan panas. Yang dateng ke klinik selama aku yang jaga juga nggak ada. Mungkin mereka yang sakit udah pada sembuh kali ya karena Mama yang ngobatin. Hehe~.

"Siang Mba." Suara seorang pria. Mungkin seumuran denganku. Bisa ditebak karena sepertinya tidak terlalu berat. Tentu mengejutkan ku yang sedang membaca buku sambil musikkan. Aku menoleh. Dan benar. Dia seumuran denganku. Gimana nggak, orang dia Doni.

"Eh Doni. Ngapain sih panggil Mba?! Emang aku lebih tua apa."

"Iya maaf."

"Ada apa? Kamu sakit?"

"Iya nih. Sakit. Sakit banget." Katanya sambil berpura-pura sakit sambil menahan dadanya dengan satu tangannya. Pura-pura meringis pula.

"Ih, aku bukan tipe orang yang gampang ketipu tau."

"Aku beneran. Aku sakit. Sakit hati." Deg- Doni, sakit hati. Sejenak aku tererangah. Menatap Doni heran.

"Hehe~ Bukan sakit hati. Tapi sehat hati. Aku gila Laila. Aku lagi gila. Kyaa~" Dia gila. Iya lah teriak sekencang itu. Mana mungkin dia nggak gila.

"Eeh, jangan teriak gitu dong. Ntar dikira diapa-apain lagi."

"Ah iya. Maaf. Tapi aku beneran gila La. Aku lago tergila-gila sama seseorang."

"Biar ku tebak. Pasti Mona." Tebak ku sambil menunjuk Doni dengan satu jari.

"Lah, kok tau sih." Ekspresi Doni berubah drastis.

"Tau lah. Laila gitu loh." Jawabku sambil menyombongkan diri.

"Haha~ Iyalah orang aku udah cerita."

"Enak aja. Kapan kamu cerita. Aku tau karena instink-ku bagus tau."

"Haha~ Ya udahlah terserah." Jadi benar. Mungkin bibirku tersenyum. Tapi, aku merasakan sesuatu yang luar biasa seakan mendorong ku. Membuat dada ku terasa sedikit sesak. Apa ini.

"Bayangkan. Bagaimana mungkin. Aku bisa jogging sama Mona. Itu adalah hal yang luar biasa bukan?" Deg- Apa yang,,? Aku ternganga mendengar apa yang baru saja Doni katakan. Senyumku hilang negitu saja. Sakitnya,semakin terasa. Mengingat tadi malam, ... , benar. Doni SMS aku bukan untuk mengingatkan ku akan kebiasaan kami. Tapi memberi tahu kalau pagi ini Doni tak bisa jogging denganku. Dia bilang ada urusan lain. Ada janji dengan orang lain. Aku kira Doni ada janji dengan Gilang. Ternyata Mona. Dia korbankan waktuku hanya untuk pergi bersama gadis yang bahkan Doni sendiri baru kenal. Kenapa. Kenapa bisa, Doni.

"O-oh. Sungguhkah?" Kataku sambil berusaha tersenyum. Tali tentu terlihat kaku. Jadi seperti senyum palsu.

"Iya sungguh. Kau tau kan. Banyak cowok yang suka sama dia. Tapi aku adalah satu-satunya yang berhasil mendekatinya. Ini sebuah pencapaian." Tentu. Ini sebuah pencapaian. Mona adalah gadis pujaan semua pria. Kudengar dia sangat cantik. Berasal dari keluarga terhormat. Dia sekolah di sekolah khusus putri. SMA Kartini Pertiwi. Meskipun namanya 'Kartini Pertiwi', ku dengar seluruh bagian sekolahnya lebih menonjol ke budaya luar.

"Benar ka. Aku bisa melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain bisa melakukannya."

"Ya tentu. Semua orang bisa melakukan itu. Hanya satu kuncinya. Yakin. Jika kau yakin kalau kau bisa, pasti kau akan bisa. Jika gagal, itu bukan masalah. Kita bisa mencoba lagi. Dan jadi lebih baik melakukannya." Ada arti lain di balik itu. Apa kau tak mengeti. Doni, apa kau tak mengerti sama sekali apa yang coba ku sampaikan. Aku yakin, senyum palsu ku kini lebih baik dari yang pertama. Karena aku yakin akan hal itu. Dan aku sudah punya pengalaman untuk melakukan senyum palsu. Dalam benerapa detik lalu. Kau tak lihat. Dan hasilnya, senyum palsu ku lebih baik dari beberapa detik yang lalu.

#FlashBack : OFF#

Jika dibandingkan, memang cukup jauh. Apa bisa. Menghapus semua yang telah ku alami. Sungguhkah aku bisa? Bisa. Bisa, bisa, bisa. Aku pasti bisa. Bukankah aku sudah sering melakukannya. Di depan Doni, Tante, Paman, bahkam Mama dan Papa. Aku sudah terbiasa meluapkan emosiku lewat senyum palsu. Aku pasti bisa.

Depan pintu. Tekan bel, atau ketuk pintu. Kyaa~ ini membingungkan. Apa aku langsung masuk aja. Aa, jangan-jangan. Ntar dikira maling. Kalau aku tekan bel, ntar bunyinya nyaring. Malah dikira bikin bising. Kalau aku ketuk pintu, suaranya sampe nggak ya ke dalem rumah. Aaaaaah, aku nggak tau harus gimana. Mungkin, aku coba ketuk pintu dulu. Aku angkat tangan kananku. Setengah menggenggam. Sedikit, sedikit lagi. 0,1 cm lagi. Dan, ..... . Ceklek! Deg-

"Ah, Doni! Bikin jantungan aja." Segera ku tarik kembali tanganku yang tadi hampir mengetuk pintu.

"Loh Laila. Kamu mau main?"

"I-iya."

"Oh, tuh Mama ada di dalem."

"Iya."

"Aku pergi dulu ya."

"Don, Kamu mau kemana?" Tanyaku lirih.

"Aku mau le rumah Mona. Mau main bentar. Eh, tapi jangan bilang Mama ya. Soalnya, ... , kamu tau lah." Iya benar. Bahkan sampai sekarang Doni belum ngasih tau Tante kalau dia sudah punya pacar.

"Iya tenang."

"OK." Doni sudah akan pergi. Tapi langkahnya berhenti. Dia berbalik dan, cup. Satu kecupan ringan mendarat di keningku.

"Makasih ya La. Kamu temen terbaik yang nggak ada duanya." A-apa itu. Dia...

"Donii!!!" Suara Tante sedikit panik. Sepertinya dari dalam rumah.

"Ih, aku pergi dulu ya La. Daah."

"D-daah." Tadi, aku sempat berhenti bernafas. Kenapa Doni lakukan itu. Sejenak wajahku terasa panas. Mungkin memerah. Tapi sudahlah. Yang sudah terjadu biarkan saja. Mugkin malam ini aku tak akan bisa tidur.

"Doni!" Eh, Tante. Aku sampai lupa. Aku berbalik bermaksud menemui Tante. Tapi ternyata Tante sudah di pintu.

"Laila. Kamu di sini. Kok nggak bilang-bilang sih. Kamu liat Doni?" Aduuh. Apa yang harus ku katakan.

"I-iya. T-t-tadi Doni bilang dia ada urusan bentar." PLAKK. Alasan basi.

"Oh, dia selalu saja begitu. Padahal Tante baru aja mau ngajak dia belanja. Dasar cowok. Nggak pernah peka. Padahal ini untuk kepentingannya sendiri. Oh iya. Mumpung kamu di sini, Tante minta tolong ya. Temenin Tante belanja ke mall. Mau ya, ya??" Bujuk Tante manja.

"A-aku..."

"Bagus. Ayo kita pergi sekarang." Sela Tante sambil menarik satu tanganku menuju mobil. Padahal aku belum selesai bicara. Huuuh, tapi nggak apapa deh. Lagi pula aku mau jawab apa. Nggak mungkin nolak. Tapi aku juga nggak suka. Ah, serba-salah.

Dalam perjalanan, tak sekalipun aku memulai percakapan. Mungkin karena topiknya estafet jadi aku tak sempat memikirkan topik selanjutnya. Haha~ Sudahlah.

"Doni itu emang kaya Papanya. Suka nyelonong gitu aja kalo disuruh yang dia nggak suka. Nggak nyangka Doni mirip banget. Padahal kali ini Tante belanja kan buat dia. Buat jajan dia pas study tour. Haah, Doni, Doni." Celetus Tante sambil menyetir.

"Emang Om Rand suka gitu ya?"

"Eh, kamu panggil 'Om' ?" Heeh? Emang salah ya?

"Tumben. Biasanya Paman. Pasti Leni yang nyuruh ya. Huuh dasar. Padahal kan nggak apapa. Lagian kamu panggil Paman sejak dari kecil. Karena kamu nggak punya 'Om' atau pun 'Paman' sungguhan,kamu kalo panggil papanya Doni jadi seenaknya sendiri."

"Oh, maaf. Tapi Mama nggak paksa Laila kok. Tadi Mama bilang 'Om', jadi kebawa deh. Hehe~" 'Maaf' jadi sedikit menetralisir kesalah pahaman.

"Oh gitu. OK kita udah sampai." Kami sampai. Setelah memarkirkan mobil di baseman, aku dan Tante Mary belanja beberapa barang yang memang dibutuhkan Doni saat study tour. Jadi si Doni emang nggak suka belanja atau nggak suka bawain barang belanjaan. By the way, berat juga nih tas-tasnya.

Setelah belanja, Tante mengajakku makan malam di salah satu restaurant yang kebetulan nggak terlalu jauh dari pusat perbelanjaan yang tadi kami kunjungi. Kami pesan makanan dan minuman. Dan selama itu pula, sampai makanan kami habis kami masih saja ngerumpi. Emang agak nggak nyaman, tapi aku sudah biasa. Jadi aku ya menanggapinya biasa.

Waktunya pulang. Sudah hampir jam tujuh. Karena kata Tante Paman pulangnya sekitar jam 6, Tante ngajak aku jalan-jalan dulu. Hanya sekedar muter-muter sekitar kota. Tujuan utamaku hanya pamit. Jadi aku nggak akan lama-lama. Sampai di rumah, Paman dan Doni sudah stand by di depan TV. Acara kesukaan Paman yang tayang. Jadi Doni hanya sekedar menemani sambil baca buku.

"Sore semua! Mama pulang!" Sapa Tante pada semua.

"Oh Mama udah pulang. Lama amat. Kirain pulangnya besok." Sambut Doni meledek.

"Kamu ini. Diajak belanja malah kabur. Untung ada Laila. Dia langsung mau diajak. Nurut,nggak kaya kamu." Langsung mau? Aku bahkan tadi belum sempat menyelesaikan bicaraku.

"Oh gitu."

Barang bawaan kami sudah di taruh. Tentu saja dengan sedikit bantuan Paman dan Doni. To the point, aku langsung utarakan apa maksud kedatanganku. Dan sudah bisa ditebak reaksi mereka. Sungguh. Ini seperti keluargaku yang sesungguhnya. Menyenangkan.

"Jadi besok ya."

"I-iya Paman. Kami besok berangkat."

"Hmm, kalo gitu semangat ya, Laila, Doni."

"Iya Pa." Jawab Doni cepat.

"Eh Doni. Kamu ke mana aja?" Tanya Tante sedikit sinis pada Doni.

"Bukannya bantuin Mama malah kabur." Lanjut Tante.

"Aku nggak kabur kok. Aku udah ini sama Laila." Deg- Mengingat kejadian tadi, saat Doni akan pergi, dia mencium keningku. Apa dia nggak canggung. Aku bahkan baru inget.

"Iya sih. Tapi itu namanya nggak bertanggung jawab." Tanggung jawab? Apa maksudnya? Dia hanya mencium keningku, sungguh. Tak lebih.

"Yaah, kan berat Ma." Berat? Tanggung jawabnya berat? Tapi kami tak melakukan apapun, sungguh. Hanya sekedar menempelkan bibir dan kening. Itu saja.

"Lalu kau tak kasihan pada Mama atau Laila?" Kasihan? Kaum wanita? Tak kasihan pada kaum wanita? Tapi kami tak lakukan hal yang berlebihan. Sungguh.

"Maaf Ma. Aku..." Eh, Doni jadi menunduk sedalam itu. Pasti dia menyesal.

"Sudah-sudah. Jangan ribut terus. Ada tamu. Malu dong." Lerai Paman.

"Ah iya. Aku sampai lupa. Maaf ya Laila. Kamu harus sampai ikut campur. Maaf sudah merepotkanmu. Dan terimakasih sudah banyakmembantu."

"Ah tidak. Aku tak banyak membantu." Apa Doni baik-baik saja?

"Oh iya. Karena besok hari spesial, gimana kalo kalian berangkat bareng? Biar Papa yang nganter."

"Apa? Berangkat bareng? Dianter? Yany bener aja Pa." Jawab Doni panik. Sepertinya dia sudah ada janji dengan Mona. Makanya nggak mau dianter.

"Loh, emang kenapa. Bukannya biasanya kamu seneng kalo dianter? Apalagi bareng Laila."

"Itu kan dulu Pa. Lagian aku udah gede. Aku bisa berangkat sendiri." Alasannya, terlalu tajam. Dulu? Itu artinya aku hanya masa lalunya.

"Haha~ Jadi anak Papa udah gede toh?" Ledek Paman.

"Ya iyalah Pa. Masa iya mau kecil aja." Doni kembali tersenyum. Jadi aku ikut-ikutan aja. Lagi-lagi senyuman palsu. Entah kenapa aku jadi sering sekali menggunakannya.

Di kamar, aku sungguh tak bisa tidur. Perkiraan kejadiannya benar. Tapi perkiraan sebabnya salah. Aku kira aku takkan bisa tidur karena keningku dicium Doni. Tapi ternyata aku nggak bisa tidur gara-gara rencana bisa berangkat sekolah bareng Doni lagi gagal. Sial. Selalu saja begitu. Lama-lama aku tak bisa tersenyum dengan tulus lagi selamanya. Tapi, siapa yang peduli. Itu nggak penting.

Air mata mengalir begitu saja. Tanpa kusadari. Hingga aku tertidur pulas, kantong bantal itu basah karenaku. Besoknya, aku berangkat diantar Mama. Sampai depan gerbang sekolah. Setelah Mama pergi, tak lama kemudian aku lihat sebuah mobil sport warna merah berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. Dan yang keluar adalah, Doni dan Mona. Sudah kuduga. Doni pasti akan diantar Mona. Manja benget sih. Fuuh~ Lupakan. Aku harus fokus temukan Shinta di antara makhluk-makhluk sibuk ini. Karena aku tak mau menjadi satu-satunya yang tak punya teman ngobrol selama perjalanan.
~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro