11. Mencari Sebuah Kepastian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dimas menerobos masuk ke ruangan Kapten Depari. Dilihatnya pria berkumis tipis itu sedang duduk santai di atas kursi kebesarannya, sembari sesekali menghisap rokok batangan yang dijepitnya di antara ibu jari dan jari telunjuk. Asap mengepul berbentuk seperti cincin keluar dari dalam mulutnya begitu ia hembuskan keluar. Kapten Depari hampir terjengkang dari kursi sangking kagetnya. Sebab, begitu Kapten itu melirik pintu masuk, sosok Dimas yang tinggi menjulang tahu-tahu sudah berdiri di ambangnya. Seperti hantu saja, gerutu pria itu.

"Kalau mau masuk ketuk dulu!" marahnya. "Kamu ini kebiasaan."

"Kapten ...," panggil Dimas ragu-ragu.

Kapten Depari berdeham gusar. Segera dimatikannya nyala pada puntung rokok ke dalam asbak kaca, kemudian dia beralih menatap Dimas yang terlihat sangat serius sekarang. "Ada apa?"

Dimas menggeleng. "Tidak jadi,"

"Kamu ini ...!"

Melihat riak tenang di wajah Kapten Depari membuat Dimas jadi semakin yakin bahwa mereka memang sedang tidak diburu kasus apapun saat ini. Kapten Depari tidak akan bersikap sesantai ini kalau sedang ada kasus, terlebih lagi untuk kasus kerangka manusia. Dilihatnya meja kerja Kapten Depari pun tampak rapih, minus dari berlembar-lembar print out Laporan Polisi, maupun Berita Acara Pemeriksaan.

Apa artinya Letnan Samsuri memang benar-benar telah berhasil menyelamatkan anak itu?

Sehingga kasusnya tidak ada lagi di masa sekarang?

Masa sekarang berubah sebab masa lalu juga telah diubah. Ini semua terjadi karena hubungan transmisi itu ... karena HT tua itu.

Rasanya Dimas masih tidak percaya. Akan tetapi, kalau pun memang demikian, pada siapa kiranya Dimas harus mengonfirmasi soal kebenaran ini? Apakah anak itu memang selamat? Berbagai macam pertanyaan yang muncul di kepala Dimas hanya mampu dipendamnya seorang diri.

Dimas keluar dari dalam ruangan Kapten Depari tanpa mengucapkan apapun lagi. Kemudian, berjalan lurus menuju koridor belakang hingga sampailah dia ke pelataran parkir. Dimas segera masuk ke dalam mobilnya. Wajahnya tampak luar biasa kebingungan. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya dia tahu kemana dia harus pergi setelah ini.

_________________

Ruangan besar itu dipenuhi oleh barisan rak-rak tinggi menjulang, yang membuatnya seolah memiliki sekat-sekat pemisah pada tiap bagian. Bagai sebuah labirin, yang akan membawa serta para pengunjung tersesat di dalamnya--bersama tumpukan buku di ladang ilmu pengetahuan.

Pusat Arsip Nasional adalah tempat di mana buku-buku tua tersusun rapih pada masing-masing rak, pusat gudangnya informasi. Semua berkas yang disimpan kebanyakan masih dalam bentuk kertas asli bersejarah, bukan dalam sistem digital seperti yang ada di beberapa perpustakan di era milenial sekarang ini. Tempat itu sebenarnya sangat jarang Dimas kunjungi, namun akhir-akhir ini dia justru harus menapakkan kakinya ke sana, untuk menggali beberapa informasi dari masa lampau yang tentunya sulit sekali dijangkau oleh perkembangan teknologi.

Begitu tiba di lantai tiga, Dimas dapat mendengar siulan keluar dari mulut seseorang di kejauhan. Suara itu terdengar merdu meski tidak begitu kuat. Dimas tidak yakin dari mana suara tersebut berasal. Bagai sebuah petunjuk, lantunan lagu kanak-kanak yang dikonversikan menjadi siulan lembut itu lambat laun menuntunnya, hingga pada akhirnya mengantarkan Dimas pada sebuah rak yang letaknya berada di tempat paling pojok.

Dimas masuk ke dalam lorong di rak tersebut. Semua masih sama seperti waktu itu. Ada banyak sekali bahan bacaan: koran-koran lama, berita mancanegara, serta kumpulan majalah Tempo yang disusun rapih pada rak. Dimas juga melihat Disza Anszani--gadis yang membantunya mencari koran lama tempo hari--tampak sibuk dengan dunianya sendiri, menyesuaikan letak buku-buku serta majalah yang tampak tidak beraturan.

"Disza ...." Dimas memanggilnya.

Gadis itu pun menoleh padanya dengan kening berkerut. "Emm ... Ya ...?" Raut wajahnya tampak kebingungan. Dia berpikir keras, dari mana pria asing itu bisa tahu namanya?

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Dimas tersenyum kecut. Dia sempat merasa jantungnya berdetak kuat sepersekian detik tadi. Namun, pada detik itu juga Dimas seakan dipaksa tersadar dari sekelumit perasaan gilanya itu. Kenyataannya, bagi Disza ini adalah pertemuan pertama mereka, sementara untuk Dimas ini adalah pertemuan kedua mereka.

Dalam ingatan Disza saat ini, gadis itu pasti merasa belum pernah melihat Dimas, bukan? Ya, sebab realitanya kasus kerangka itu tidak pernah ada di masa sekarang. Jadi, tentu saja, apa yang sudah pernah terjadi pada saat dan setelah kerangka itu ditemukan hanyalah ilusi semata, yang tidak mungkin tinggal di kepala orang lain--Aryan, Kapten Depari, bahkan termasuk Disza Anzani.

Hanya Dimas seorang yang mengingatnya, bahwa mereka pernah bertemu sebelum ini. Menyadari hal tersebut, Dimas merasa ada sesuatu yang memeras hatinya. Ada sebuah rasa yang terselip di sana, namun Dimas memilih abai pada hal-hal semacam itu.

"Saya sedang mencari sebuah koran terbitan tahun 2000," beritahu Dimas kemudian.

"Oh!" Disza menggangguk paham. Kalau begitu, Bapak ada di tempat yang tepat."

Ucapan gadis itu dia balas dengan tatapan datar. Dimas berjalan dengan tenang mendekati gadis itu. Menjamah sisi rak yang pernah ditunjukkan Disza dulunya. Saat melirik lewat ekor matanya, dia mendapati Disza sedang berdiri tepat di sebelahnya. Gadis itu memperhatikan seluruh gerak-geriknya, seolah Dimas adalah seorang pencuri yang berniat membawa kabur seluruh gulungan koran terbitan lama dalam rak. Dimas langsung kepanasan. Perasaan semacam ini, dia juga pernah merasakannya. Punggungnya serasa terbakar oleh tatapan gadis itu. Dimas memang tidak pernah suka diawasi. Terlebih, jarak antara dirinya dan gadis itu terlampau dekat, sampai-sampai Dimas bisa mengira berapa tinggi badannya, bentuk hidungnya, bahkan tahi lalat yang ada di atas bibirnya. Rasanya Dimas ingin mendorong kepala gadis itu agar menjauh sebentar saja.

"Apa Bapak seorang polisi?" tanya Disza tiba-tiba.

Dimas tertawa garing. Rasanya dia juga sudah pernah mendengar pertanyaan itu dari mulut Disza.

"Bukan, saya ini seorang jurnalis," jawab Dimas sembari mengerling jenaka.

Disza terlihat tidak percaya. Dimas mengangkat bahu sekilas kemudian mencomot salah satu gulungan koran. Dia membaca headline berita dalam koran tersebut, lalu turut memeriksa berita pada kolom-kolom kecil di halaman selanjutnya. Dia sudah mendapatkan apa yang dia cari. Hanya saja, judul dan isi berita dalam koran yang pernah dibacanya dulu sama sekali tidak berubah. Isi berita itu pun sama.

Satu Keluarga Ditemukan Tewas Bunuh Diri Di Batam

...

(ditulis oleh ASC)

Dimas jadi kelimpungan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dunia ini?

________________

"Beri aku satu gelas martini, maka akan aku ge ... nggga ... m seluruh dunia ini ... hik ... dalam tanganku!"

Pria itu tak henti-hentinya mengoceh sejak tadi. Membuat seorang bartender yang melayaninya jadi serba kewalahan. Bergelas-gelas martini sudah dia berikan. Haruskah dia meracik satu gelas lagi seperti permintaan pelanggannya itu? Bartender itu meragu, tetapi mengingat pria itu adalah pelanggan tetap di bar tempatnya bekerja, sang bartender pun tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya.

"Hah ... ya, ampun! Yang benar saja!" Seorang wanita tiba-tiba datang menginterupsi. Dia meminta pada bartender yang baru dipekerjakannya itu untuk pergi memeriksa pelanggan lain. Dia sendiri yang akan mengurus pria berisik satu ini.

"Baik, Madam." Sang bartender mengangguk patuh, tetapi memang hidupnya sungguh sial. Baru saja bergerak beberapa langkah, dia langsung dikejutkan oleh teriakan pria itu lagi.

"Woi! Apa kau tidak dengar?! Kubilang satu gelas! Ya, satu gelas!" Pria itu kembali menuntut.

Wanita itu, Raihana, mengangguk ke arah sang bartender. Mengisyaratkan bahwa dia bisa menangani semuanya dengan baik, sebab dialah sang pemilik bar tersebut. Dia sudah sangat sering menjumpai pelanggan yang jenisnya seperti ini.

"Kau sudah menenggak enam gelas martini! Enam gelas, Dimas! Astaga!" decak wanita itu keheranan. "Lihat dirimu! Kau seperti orang yang baru dicampakkan saja." Wanita dengan rambut berombak itu bersedekap sembari menatap pria malang yang sudah setengah teler di hadapannya itu.

"Kau ini jangan ngibul!" Dimas kembali meracau. Matanya langsung menyipit. "Akh, sial ...." Entah bagaimana wajah gadis itu tiba-tiba terbayang olehnya. Dia berhalusinasi melihat Disza Anszani sedang duduk di sebelahnya.

Dimas tertawa keras. "Kau ...!" tunjuknya pada sosok Disza. Sementara Raihana mengernyit heran melihatnya sembari geleng-geleng kepala takjub.

"Siapa kau berani mencampakkanku?"

"Memang apa hebatnya kau?" Raihana tergelak sarkas. Sifat Dimas yang satu itu memang susah dihilangkan sejak dulu. Antara Sombong dan terlalu percaya diri, bedanya hanya tipis. "Ck ... ck ...."

"Kau tau, Na," katanya beralih ke arah wanita itu. "Harga diriku itu terlalu mahal. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membeli harga diriku! Ingat itu, Na!"

Dimas memukul meja bar berulang kali, mempertegas ucapannya. Sementara wanita itu, Raihana, sudah tidak peduli lagi dengan kelakuan pelanggan tetap sekaligus teman lamanya itu. Untung saja alunan musik DJ yang menghentak-hentak lantai dansa sedikit banyak mampu meredam teriakannya, kalau tidak mereka pasti sudah jadi pusat perhatian.

"Pulanglah ke rumah, Dim. Tidak bagus kalau mereka tau kau adalah seorang polisi. Suka mabuk-mabukkan lagi."

Dimas memijit batang hidungnya. Rumah! Rumah! "Aku tidak punya rumah, Na. Tempat itu sudah bukan rumahku lagi ...!"

Raihana hanya bisa menghela napas. Dia tidak mengerti kenapa Dimas selalu saja berkata seperti itu. "Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Kau saja yang tidak mau belajar menerima mereka. Sayangilah mereka seperti keluargamu sendiri, Dim."

Dimas melenguh hebat. Dia segera memprotes ucapan Raihana barusan. "Memangnya kau tau apa soal hidupku, Na?"

Raihana sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti biasa, Dimas akan bercerita soal sikap papanya yang terlalu lembek, adik-adiknya yang susah diatur, juga Bunda yang selalu bersikap sok peduli padanya.

"Ini sebabnya aku malas menikah lagi."

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Kurasa lebih baik menjadi seorang single parent saja sampai mati, daripada nantinya aku tidak diterima di keluarga baruku. Harusnya kau pikirkan bagaimana perasaan Bunda Elizar. Dari apa yang kutangkap, sepertinya dia sosok ibu yang baik."

"Lupakan saja." Dimas mendengus. Dia tidak ingin membahas tentang keluarganya lagi.

"Berikan ponselmu. Aku akan menelpon Briptu Aryan Halfin untuk segera menjemputmu. Kau sudah sangat kacau sekarang."

Dimas merogoh saku dalam jaketnya, mengambil sesuatu dari dalam sana.

"Apa ini?" Raihana melotot. "Aku bilang ponselmu!" Tapi benda yang diberi Dimas malah sebuah alat komunikasi tua yang biasa digunakan oleh kepolisian zaman penjajahan.

Dimas menepuk kepalanya. HT tua sialan itu, kenapa rasanya selalu ada di mana pun Dimas berada. Padahal dia yakin sudah mengembalikan HT tua itu ke dalam laci meja kerjanya tadi.

"Kemarikan! Benda itu adalah benda yang sangat berharga."

"Berharga, apanya?"

"Na, dengan HT tua itu aku bisa mengubah masa lalu."

"Kau benar-benar mabuk rupanya." Raihana berdecak kagum. Dibolak-baliknya HT tua itu dan diperhatikannya dengan cermat. "Benda ini bahkan tidak memiliki baterai."

"Benarkah?" Dimas langsung merebutnya dari tangan Raihana, kemudian memeriksa bagian belakang. Benar. HT tua itu memang tidak memiliki baterai sama sekali. Lalu, bagaimana transmisi yang menghubungkannya dengan Letnan Samsuri bisa terjadi?

"Berarti ini memang kekuatan magis," oceh Dimas seorang diri.

Raihana hanya bisa terngaga. Dimas sudah tidak waras, pikirnya.

_______________

Aryan datang dua puluh menit kemudian. Dia turun dari taksi setelah membayar ongkos. Red House milik Raihana sudah terlihat di depan mata. Dilihatnya Dimas keluar dari dalam bar tersebut, dibantu oleh dua orang penjaga. Setengah berlari, Aryan menyonsong tubuh Inspekturnya yang terhuyung-huyung begitu dilepas para penjaga. Kemudian, menuntunnya berjalan menuju mobil milik sang Inspektur yang diparkir begitu saja di bibir jalan.

"Anda mabuk lagi," keluh Aryan sembari merogoh saku Dimas untuk mencari kunci mobil.

Aryan membukakan pintu untuk Dimas, kemudian membantunya masuk ke dalam. Selalu saja Aryan yang bertugas menjemput Dimas kalau sudah begini. Seolah memang sudah jadi jadwal rutin baginya mengurusi Inspektur itu kalau sedang mabuk. Mungkin Aryan harus meminta gaji dari Dimas untuk pekerjaan tambahan ini.

"Yan, apa kau percaya kalau masa lalu itu bisa diubah?"

"Ha?" Aryan baru saja masuk ke dalam mobil saat Dimas menanyakan hal itu. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut sang Inspektur. "Mengubah masa lalu?" ulangnya memastikan.

Dimas mengangguk. Aryan sempat memasangkan sabuk pengaman untuk Dimas, sebelum mesin mobil dinyalakan.

"Apa yang akan kau lakukan, kalau seandainya kau bisa mengubah masa lalu?" tanya Dimas lagi.

Aryan terkekeh. "Mana ada manusia yang punya kekuatan semacam itu, Inspektur."

"Kubilang, kan, seandainya!" Dimas menggeram marah.

Aryan berusaha menimbang-nimbang perkataan Dimas. Jari telunjuknya mengetuk kemudi berulang kali. "Entahlah, Inspektur," jawab Briptu itu akhirnya. "Saya tidak punya orang yang ingin saya lindungi di masa lalu."

Dimas memutar bola mata. Bodohnya dia. Seharusnya dia memang tidak bertanya pada Aryan. Dia lupa kalau Aryan terlahir dengan wajah tampan juga pintar dalam menilai situasi, meski otaknya kadang agak lamban dalam memproses informasi. Briptu itu memiliki keluarga yang utuh serta hidup yang lurus-lurus saja, tidak banyak tingkah. Dimas yakin seratus persen, tidak ada sedikit pun penyesalan dalam hidup Briptu itu, meski esok ajal datang menjemput.

________________

Telepon kabel di ruangan itu berdering, tetapi tak kunjung diangkat oleh pemiliknya. Beberapa menit kemudian terdengar suara ketukan dari luar, disusul suara derit dari pintu kayu yang dibuka.

Agus Sinar Chan mendongak tatkala mendapati wajah sekertarisnya muncul di balik pintu.

"Maaf, Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda,," beri tahu sang sekertaris kemudian.

"Saya sedang tidak ingin diganggu."

Masih banyak berkas serta laporan yang harus diperiksanya; impor bahan bangunan seperti besi, dan alat-alat mekanik. Perusahaan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk itu. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar semakin merosot tajam dan hal ini tentu saja memberi pengaruh besar terhadap bisnis property yang dikelolanya. Apalagi penjualan property sedang lesu belakangan ini. Banyak konsumen yang memilih menunda membeli bangunan diakibatkan suku bunga yang ikut naik.

"Tapi masalahnya putra Anda yang ingin bertemu."

Kening Agus Sinar berkerut dalam. "Dimas?" Sekertarisnya langsung mengangguk. Tanpa sadar sebuah senyuman tersungging di wajah pria paruh baya itu "Baiklah. Suruh dia masuk."

Wajah Dimas muncul di ambang pintu, serta-merta Agus Sinar pun bangkit berdiri, menyambutnya. Dia tidak percaya ini. Untuk pertama kalinya Dimas datang menginjakkan kaki ke kantornya. Agus Sinar mempersilakan putranya duduk, tetapi Dimas justru memilih berdiri menghadap jendela besar di ruang kantornya. Agus Sinar pun lantas berderap menyusul Dimas.

Keduanya disuguhi pemandangan perairan Batam yang tampak tenang. Di sebelah barat, rumah tapak berjejer membentuk sebuah kawasan hunian yang terlihat seperti mainan dari kejauhan. Semua rumah tapak di kawasan dekat pelabuhan itu didirikan oleh perusahaan property milik Agus sinar.

"Pemandangan yang cukup bagus." Secara tidak langsung Dimas memuji kerja keras papanya.

"Kamu datang ke sini untuk membicarakan soal rehabilitasi Eja?"

"Eja?" Dimas hampir lupa soal itu. Dia mendesah, kemudian menjawab, "Sayangnya Dimas belum menemukan tempat yang cocok."

"Tidak perlu terburu-buru. Papa mau yang terbaik untuk dia."

"Kenapa?" tanya Dimas sedikit kesal. "Bisnis property sedang tidak bagus saat ini, tapi Papa rela membuang-buang uang untuk anak itu."

"Eja juga keluarga kita, Dimas. Kamu itu ...."

Dimas langsung memotong ucapan papanya. Dia lelah berdebat terus soal Eja. "Dimas datang kemari untuk menanyakan satu hal."

"Apa itu?

Dimas mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari saku celananya, kemudian segera menyodorkannya pada Agus Sinar. Ketika lipatan kertas itu dibuka, di dalamnya terdapat sebuah potongan berita hasil fotokopian sebuah koran, yang Dimas dapat dari Pusat Arsip Nasional kemarin.

"Ditulis oleh ASC. Papa yang menulis berita ini, kan?" tanya Dimas langsung ke pokok permasalahan.

Agus Sinar tidak menjawab. Dipandanginya tulisan dalam fotokopian tersebut sembari mengenang kembali peristiwa yang dia liput. Memori yang sudah lama tersimpan rapi pun seakan kembali menyeruak. Satu per satu potongan kejadian lambat laun mewujud. Kasus pembunuhan itu masih membekas dalam ingatannya.

"Sebenarnya ini bukan kasus bunuh diri."

"Melainkan kasus pembunuhan," sahut Dimas cepat.

Mata Agus Sinar seketika melebar.

Dimas tahu dugaannya benar.

"Benarkah, Pa, ada anak kecil yang selamat dalam peristiwa pembunuhan itu?"

Agus Sinar pun tercengang mendengarnya. "Dari mana kamu tahu soal semua itu, Dimas?"

____________

Notes:

Alasan kenapa Dimas mengatakan harga dirinya sangat mahal.

Selain karena dia berasal dari keluarga kaya raya, alasan lainnya yaitu karena budaya orang Padang itu sendiri. Biasanya laki-laki yang dipinang oleh perempuan. Jadi mahar itu diberikan ke pihak laki-laki oleh pihak perempuan. Yap. Tapi gak tau ini masih berlaku sampe sekarang atau nggak. Hehe.

Dan soal rehabilitasi Eja. Itu tetap berlanjut dan ingatan itu tetap tinggal. Karena sewaktu Eja ketahuan sakaw oleh Dimas, kasus kerangka itu belum ditemukan.

P.s. mohon dikoreksi kalau saya salah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro