13. Jangan Kuatir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kabar dari Letnan Samsuri tak pernah terdengar lagi. Berhari-hari sudah Dimas menunggu. Esoknya juga sama, dia masih menunggu. Esoknya lagi, esoknya lagi, bahkan esok berikutnya. Sayang, HT tua yang kini selalu dia jadikan pegangan ke mana-mana tak kunjung bersuara. Dimas sama sekali tidak bisa menebak apa yang terjadi di masa lalu. Apakah pelakunya berhasil ditangkap ataukah tidak sama sekali?

Begitu pun dengan Letnan Samsuri. Dia juga masih menunggu HT di atas meja kerjanya menyala. Pria itu tercenung meratapi benda tersebut. Pikirannya berkelana, sementara mulut dan hidungnya terus menyembulkan asap dari rokok yang sedari tadi dihisapnya. Soal perkataan inspektur muda itu, dia tidak tahu apa dia harus percaya atau tidak.

Inspektur itu berasal dari masa depan, katanya dalam hati. Letnan Samsuri berdecih. Dia pasti sudah tidak waras sampai-sampai dia tidak bisa berhenti memikirkannya.

Letnan Samsuri memang tidak tahu soal Polda Kepulauan Riau atau Polresta Barelang. Namun, tentang pemisahan POLRI dari ABRI yang dikatakan Inspektur itu memang bukan sekadar isu belaka. Itu semua memang benar. Rencana program kemandirian Polri dicanangkan oleh Presiden BJ Habibi di tahun 1998. Tepat pada tanggal 1 April 1999, momen penting itu pun dilaksanakan. Polri memang bukan lagi bagian dari ABRI. Namun, praktik militerisme dalam tubuh kepolisian masih sulit dihapuskan hingga sekarang ini. Proses pemisahan yang dilakukan ini diharapkan mampu menjadi titik awal menuju Polri yang professional dan mandiri. Spanduk-spanduknya bahkan masih bertebaran di ibu kota.

Letnan Samsuri mendesah. Dia hendak menyulut sebatang rokok lagi, tetapi rokok kretek dalam kemasan yang dibelinya pagi tadi ternyata sudah habis. Di sebelahnya Ayis terus mengoceh, sementara rekan-rekan lainnya tak berhenti berkelakar. Akan tetapi, di telinga Letnan itu, suara mereka terdengar samar dan terasa sangat jauh. Letnan Samsuri sama sekali tak bisa mendengar mereka. Yang terus terngiang dalam kepalanya hanya ucapan inspektur muda bernama Dimas Armedy Chan itu.

Di masanya, Inspektur Dimas Armedy Chan tengah menyelidiki kasus kerangka manusia—yang ditemukan di dalam ruang bawah tanah rumah tersebut. Korbannya merupakan seorang anak kecil yang diperkirakan berusia lima sampai enam tahun. Letnan Samsuri menduga, sebab itulah Inspektur Dimas bisa tahu mengapa ada seorang anak kecil yang terkurung di sana.

Apakah menyelamatkan anak itu merupakan tindakan yang benar, Letnan?

Letnan Samsuri menggeleng. Mengusir bayang-bayang inspektur itu dari pikirannya. Dia tidak boleh goyah sedikit pun. Anak itu selamat setelah cukup lama terkurung, merupakan sebuah keajaiban yang tak disangka-sangka oleh pihak kepolisian.

Inspektur Dimas bilang dia hidup di tahun 2020. Tentu saja tahun 2000 adalah masa lalu baginya, namun bagi Letnan Samsuri masa lalu adalah masa sekarang—masa di mana dia hidup.

Letnan Samsuri mengambil sebuah jurnal penyelidikan yang dia simpan dalam laci meja kerja. Dia tidak tahu bagaimana menghubungi inspektur itu, sebab hingga detik ini dia tidak juga menerima transmisi dari HT-nya. Jadi, Letnan Samsuti memutuskan untuk menulis sebuah surat, meski dia sendiri tidak tahu apakah pesan yang ditulisnya ini akan sampai pada inspektur itu di masa depan.

Sabtu, 15 Januari 2000

Inspektur, berkat Anda akhirnya kami berhasil menangkap pelaku pembunuhan satu keluarga di Karang Sari. Anak itu selamat juga berkat informasi yang Anda berikan.

Semua akan kembali normal, saya janji. Anak itu sekarang berada di tempat penampungan Lembaga Perlindungan Anak. Dia akan dididik di sana. Anda tidak perlu kuatir, saya akan datang menjenguknya sesekali nanti.

Apa yang sudah kita lakukan ini tidaklah salah, Inspektur. Anda tidak perlu merisaukan apapun. Masa lalu bagi Anda adalah masa sekarang bagi saya. Jika memang ada korban yang selamat, kita sebagai polisi, sebagai pengayom masyarakat, tentu saja tidak boleh sampai mengabaikan hal sepenting itu. Semua memang sudah menjadi tugas kita. Tidak ada yang salah dengan itu. Kita melakukan hal yang benar.

Tertanda,

Lettu Syahbana Samsuri.

Letnan Samsuri berjalan terburu-buru di sepanjang koridor rumah sakit pangkalan militer. Kedatangannya langsung disambut oleh Suster Yati yang sudah menunggu di depan ruang rawat inap. Suster Yati mengabarkan kalau anak itu sudah sadar, tapi dia belum mau bicara sampai saat ini.

Letnan Samsuri mengangguk paham, "Dia pasti sangat trauma."

Pria itu mengucapkan banyak terima kasih pada suster yang bersedia direpotkan untuk menjaga Rianda Bumi. Kemudian, masuk ke dalam, setelah sebelumnya berpesan pada Suster Yati untuk tidak membeberkan apapun soal anak itu ke kubu militer. Media bahkan tidak diizinkan tahu mengenai hal ini; bahwa Rianda Bumi adalah korban selamat dalam tragedi mengerikan itu. Hanya pihak kepolisian yang mengetahui tentang kebenaran tersebut. Kasus di Karang Sari pun segera dinaikkan statusnya. Kasus tersebut bukan lagi kasus bunuh diri, jelas sekali ini merupakan kasus pembunuhan.

Senyum kikuk di wajah Rianda Bumi terbit begitu Letnan Samsuri berjalan mendekati ranjangnya. Belum pernah sekali pun dia berurusan dengan seorang anak kecil saat sesi interogasi. Letnan Samsuri berusaha untuk terlihat bersahabat di depan anak itu. Dia ingin membuat bocah laki-laki itu merasa nyaman bersamanya. Sebab, Rianda Bumi adalah prioritas untuk pihak kepolisian saat ini.

Letnan Samsuri mengambil tempat di bibir ranjang. Seketika kegiatan bocah lucu yang sedang mencoreti buku gambar pun terhenti. Rianda mendongak menatapnya dengan raut penuh kebingungan. Kening bocah itu terlipat saat tangan besar Letnan Samsuri berusaha menggapainya.

"Hei, Nak, Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?"

Bocah itu mengangguk.

Letnan Samsuri sempat terkesiap. Dia tidak mengira reaksi Rianda Bumi padanya akan sehangat ini. Tanpa diminta anak itu langsung menyambut uluran tangannya. Letnan Samsuri menggenggamnya semakin erat. Tangan mungil itu terasa sangat hangat dan dipenuhi banyak sekali harapan hidup, tidak seperti saat terakhir kali dia memegangnya.

"Apa yang sedang kau gambar?" tanya Letnan itu kemudian.

Rianda Bumi tampak ragu, namun dia tetap menunjukkan hasil karyanya pada pria berwajah bulat itu.

Senyum Letnan Samsuri pun mengembang begitu dia melihatnya. Bocah itu menggambar orang-orangan yang saling bergandeng tangan.

"Letnan Badut dan Ian?"

Rianda Bumi tersenyum manis. Dia mengangguk dengan penuh semangat. Letnan Samsuri berpura-pura merengut. Rasa-rasanya bentuk perutnya tidak sebesar itu sampai dia harus dijuluki Letnan Badut.

Rianda Bumi membuka lembar selanjutnya. Seketika kening Letnan Samsuri berkerut samar. Di sana tampak gambar empat orang-orangan. Rianda Bumi menamai setiap objek yang digambarnya sebagai; Ayah, Ibu, Adek, dan Kakak.

Dia pasti sangat merindukan keluarganya, batinnya kecut. Apakah anak sekecil ini bisa memahami arti sebuah kehilangan? Lalu, lagi-lagi ucapan Inspektur itu terngiang dalam kepalanya, dia sangat menderita.

Suara ketukan dari pintu depan menginterupsi keduanya. Letnan Samsuri segera menoleh. Tak lama kemudian Kapten Mahler masuk ke dalam, serta-merta Letnan Samsuri pun berdiri menyambut kedatangannya. Kapten itu memberi isyarat padanya untuk mendekat. Tampaknya Kapten Mahler ingin membicarakan sesuatu yang amat serius dengan Letnannya.

"Ada apa, Kapten?"

"Balasan dari telegram sudah kita terima. Secepatnya anak itu akan kita pindahkan ke Lembaga PA."

"Apa?" protes Letnan Samsuri. "Tapi, bagaimana dengan interogasinya, Kapten?"

"Kita serahkan saja pada mereka. Dia masih anak-anak, Samsuri. Pusat akan mengirimkan bantuan untuk melakukan interogasi khusus padanya."

Bola mata Letnan Samsuri bergulir menatap Rianda Bumi. "Terlalu lama. Bisa-bisa kita kehilangan jejak pelaku."

"Kita tidak bisa menahan anak itu di sini (rumah sakit militer) lama-lama, Samsuri," ucap Kapten Mahler kemudian. "Pusat sudah setuju untuk tidak me-release berita korban selamat itu saja sudah syukur."

Padahal berita baik ini sangat bagus untuk dijadikan bukti kebecusan Polri yang baru dipisahkan dari TNI.

Sebenarnya hal itu adalah permintaan khusus dari Letnan Samsuri. Menurutnya, merahasiakan identitas anak itu merupakan strategi yang bagus, satu-satunya yang bisa terpikirkan olehnya.

"Kapten, usahakan jangan sampai Rianda Bumi terekspos ke publik," katanya waktu itu.

Tidak ada barang berharga yang hilang dari rumah tersebut. Dugaannya kasus ini sejak awal memang tidak dilatarbelakangi kasus pencurian yang berakhir pada pembunuhan, apalagi bunuh diri.

Pelaku hanya mengincar nyawa seluruh anggota keluarga itu. Jika memang benar demikian, Letnan Samsuri yakin pelakunya pasti akan kembali ke TKP.

Untuk mengelabui pelaku, mereka telah menarik banyak prajurit dari Karang Sari agar tidak terlihat mencolok. Namun, tetap ada beberapa orang yang berjaga di sekitar tempat itu untuk melaporkan keadaan. Mengetahui hanya tiga orang yang berhasil dibunuhnya, si pelaku pasti kelimpungan.

Pelaku pasti masih mencari keberadaan Rianda Bumi. Saat pelaku tahu bahwa kepolisian juga tidak bisa menemukan Rianda Bumi, ada kemungkinan pelaku akan kembali ke rumah tersebut untuk memastikan sekali lagi mengenai keberadaan Rianda Bumi. Mengingat Karang Sari sangat jauh dari perkotaan, dalam pikirannya terdoktrin; tidak mungkin anak berusia enam tahun bisa pergi dari tempat itu tanpa pertolongan dari orang lain.

"Pelakunya pasti sedang bersiap di depan radio. Dia pasti membaca koran dan terus memantau perkembangan kasus ini."

Kapten Mahler memutuskan keluar dari dalam ruang rawat inap. Letnan Samsuri mengikutinya sampai di koridor depan. Kapten Mahler merasa tidak enak membicarakan tragedi pembunuhan itu di depan korban sendiri. Di sini mereka bebas berbicara. Pemandangan yang terbingkai di balik jendela tak lebih indah dari pikiran kedua pria itu. Mendung bergulung-gulung. Hujan mungkin akan turun lagi nanti. Dari sana Letnan Samsuri bisa melihat aktivitas para anggota TNI yang berlalu lalang, juga banyaknya mobil-mobil yang keluar-masuk ke kawasan rumah sakit pangkalan militer.

"Apa menurutmu pembunuhnya bisa kita tangkap?"

"Tentu saja bisa, Kapten," jawab Letnan Samsuri cepat. "Kita tidak boleh menyerah. Jangan sampai kasus ini menjadi kasus dingin di masa depan."

"Apa maksudmu dengan 'kasus dingin'?"

Letnan Samsuri terdiam. Dia tidak bisa menjelaskan situasi rumit yang dihadapinya pada Kapten itu.

Kapten Mahler pun tidak ingin ambil pusing. Dia sedikit melongo ke bawah saat dilihatnya sebuah mobil jenis Timor berwarna hitam metalic masuk ke pekarangan rumah sakit. "Itu mobil jemputannya. Ayo, kita harus bawa Rianda turun secepatnya. Tentara-tentara itu tidak boleh tahu soal ini."

Letnan Samsuri pun bergegas masuk ke dalam. Rianda Bumi tidak banyak protes saat tangannya ditarik paksa olehnya. Letnan Samsuri menggendongnya di dada, seperti seorang ayah yang tengah menggendong buah hatinya. Sementara Kapten Mahler berbelok ke bagian administrasi untuk mengurusi biaya pengobatan dan rawat inap anak itu, Letnan Samsuri berjalan keluar dengan terburu-buru. Dia berusaha untuk tetap tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Namun, begitu tiba di depan, Rianda Bumi justru tidak mau melepas rengkuhannya—terlebih ketika Letnan Samsuri hendak memasukannya ke dalam mobil. Bocah itu memberontak. Buku gambar yang sedari tadi dibawanya bahkan sampai jatuh ke tanah. Cukup merepotkan, karena raungan anak itu lama-kelamaan terdengar makin keras.

"Ian gak mau ...!" katanya dengan suara serak.

Hati Letnan Samsuri serasa ikut diremas melihat air mata Rianda Bumi mengalir deras di pipi. Setengah berjongkok, Letnan Samsuri memungut buku gambar itu untuknya. Namun, Rianda Bumi malah kembali membuangnya hingga buku itu terhempas menyedihkan di atas tanah.

"Ian takut, Letnan Badut—" ucapan Rianda Bumi terpotong oleh isak tangisnya sendiri. Napasnya tersendat-sendat sampai dia kesulitan berbicara.

"Ian, jangan nangis, hm?" bujuk Letnan Samsuri seraya mengusap-usap pipi gembilnya. "Semua akan baik-baik saja. Letnan Badut akan menangkap orang jahat itu, jadi Ian tidak perlu takut lagi nanti. Ya?" senyum Letnan Samsuri. Jari-jarinya kini menari di puncak kepala anak itu.

Rianda Bumi mengangguk paham. Kemudian, sisa-sisa tangisnya dia hapus dengan punggung tangan. Meski begitu, Rianda Bumi tetap tidak mau melepas Letnan Samsuri dari cengkraman jari-jari mungil. Tepat saat Letnan Samsuri hendak memberinya sebuah pelukan, Kapten Mahler datang dan langsung merebut anak itu darinya.

Kapten Mahler membawa paksa Rianda bersamanya menaiki mobil. Pintu lalu ditutup rapat. Selama mesin dihidupkan, pandangan Letnan Samsuri tak lepas dari sosok bocah malang itu. Apa semua memang akan baik-baik saja seperti yang dikatakannya barusan? Terkadang Letnan Samsuri tidak mengerti, mengapa orang dewasa mudah sekali mengucapkan hal-hal yang belum pasti pada seorang anak kecil.

Mobil kemudian bergerak menjauh. Letnan Samsuri masih mematung seraya menatap kepergian mereka. Sekarang, seluruh urusan di Karang Sari sepenuhnya diserahkan di pundak Letnan itu.

Letnan Samsuri berlutut. Dipungutnya buku gambar milik Rianda Bumi yang tergeletak di bawah kakinya. Cahaya dalam kedua manik matanya lantas bertumpu pada gambar di lembar terakhir—yang sepertinya belum benar-benar diselesaikan oleh Rianda Bumi. Juga, pada sebuah tulisan yang terdapat di dalamnya: sayang semua.

__________________

Rianda Bumi adalah anak angkat yang dipungut dari sebuah panti asuhan di daerah Batu Aji. Rianda Bumi rupanya memiliki seorang kembaran—yaitu, adiknya yang bernama Bianda. Menurut cerita sang pemilik panti, mereka berdua ditemukan di dalam sebuah keranjang bambu berserta sebuah surat dan sehelai selimut tipis. Dalam surat itu tertulis, Rianda lahir di detik-detik pergantian tahun, sementara sang adik, Bianda, lahir tepat setelah pergantian tahun.

Rianda dan adiknya tumbuh besar bersama di panti asuhan tersebut. Lalu, pada suatu hari pasangan suami-istri itu pun datang ke panti asuhan dengan membawa kabar baik. Mereka merupakan salah satu donatur panti di asuhan tersebut. Pasangan suami-istri tersebut mengaku bahwa mereka sudah lama memperhatikan Rianda Bumi dan sangat ingin mengadopsinya. Sebab menurut mereka, Rianda Bumi adalah anak yang riang, manis, dan sangat penurut. Namun sayang, Rianda Bumi menolak kesempatan emas itu. Dia bilang, dia tidak ingin punya keluarga baru. Dia tidak ingin dipisahkan dari saudara kembarnya. Dan, entah bagaimana hati pasangan suami-istri itu akhirnya tergerak. Mereka pun setuju untuk memungut keduanya. Dan, di hari itu juga Rianda dan Bianda dibawa pulang ke rumah mewah mereka dengan mobil hitam mengkilap yang juga tak kalah mewahnya.

Kalimat Ayis berhenti di sana. Hubungan pemilik panti dan keluarga itu mendadak terputus, sebab mereka tiba-tiba memutuskan pindah ke Karang Sari. Kabar mengenai Rianda dan Bianda pun tak pernah sampai ke telinga mereka lagi. Tidak ada yang menyangka kejadian mengerikan semacam ini akan terjadi pada kedua anak malang itu. Pada akhirnya kematianlah yang harus memisahkan Rianda Bumi dari adiknya.

"Sayang Semua"

Sepanjang Ayis bercerita, Letnan Samsuri masih memandangi buku gambar milik Rianda.

"Persis seperti judul lagu anak-anak, Letnan." kata Ayis tiba-tiba.

Mata elang Letnan Samsuri pun serta-merta menyambarnya. "Apa katamu?"

Prajurit itu sedikit tergagap mendapati reaksi berlebihan dari sang Letnan. "Maksud saya tulisan di buku gambar itu," jelasnya agak terbata-bata.

Letnan Samsuri terkesiap, seolah baru tersadar dari tidur panjangnya.

Benar.

"Sayang Semua"

Adalah sebuah judul lagu anak-anak yang sudah terkenal sejak tahun '50-an. Maknanya sangat dalam, yakni tentang kasih sayang dalam suatu keluarga.

"Yis, coba kau nyanyikan lagunya."

"Apa?" Sepertinya Ayis salah dengar barusan. Namun, melihat Letnan Samsuri bergeming di tempatnya dan tidak menampakkan wajah bergurau, artinya dia memang sedang serius. Ayis pun terpaksa bersenandung dengan suara baritonnya yang malah membawa kesan menyeramkan dalam lagu itu.

Satu satu aku sayang ibu

Dua-dua juga sayang ayah

Tiga-tiga sayang adik kakak

Satu dua tiga sayang semuanya

"Apa kalian bisa menangkap maksudnya?" tanya Letnan Samsuri pada dua orang prajuritnya yang tengah bersiaga.

Ayis sontak menggeleng kebingunan. Sementara prajurit lain yang sedang sibuk dengan teropong hanya diam tidak mengerti.

"Itu artinya anggota keluarga tersebut berjumlah lima orang," jawab Letnan Samsuri kemudian.

"Lima orang?" ucap Ayis tidak percaya.

"Benar. Ayah, Ibu, Bianda, lalu Rianda yang menyanyikannya, dan satu lagi—"

"—kakak," potong prajurit yang sedang memegang teropong.

Rianda Bumi tidak membahasakan 'Kakak' untuk dirinya. Melainkan memang untuk kakaknya yang entah siapa itu. Akibat kurangnya bukti, kehadirannya tidak pernah disadari oleh mereka. Namun, petunjuk kecil yang seolah tanpa sengaja ditinggalkan Rianda sedikit banyak mampu memberi celah bagi mereka untuk menanam benih kecurigaan.

Tidak ada barang yang dicuri. Mereka juga mencoret motif dendam dalam lembar penyelidikan, mengingat keluarga itu baru pindah ke Karang Sari.

"Apa mungkin dia pelakunya, Letnan?"

Namun begitu, Letnan Samsuri tidak berani menjawab pertanyaan prajuritnya. Meski masuk akal, semua masih berupa dugaanya saja.

Hinga tiba-tiba ...

"Lapor, jarak dua meter ... seseorang terlihat mendekati TKP."

... HT di genggaman tangan Ayis bersuara.

Sontak saja Letnan Samsuri segera bersiap di tempatnya. Dia memberi perintah pada Ayis untuk mengecilkan volume HT.

Akhirnya seseorang yang mereka nanti-nanti muncul juga tepat di depan mata.

Sosok tinggi menjulang itu berjalan santai mendekati TKP. Mengenakan jas hujan tebal berwarna gelap yang seolah siap melindunginya dari titik-titik hujan.

Rintik air yang jatuh dari langit tak menghalangi fokus Letnan Samsuri dan para prajuritnya. Semua orang telah diperintahkan untuk bersiap di posisi masing-masing. Rumah itu sudah dikepung. Dua orang berjaga di semak-semak depan, dua orang lain berada di pekarangan belakang, sementara dua sisanya berjaga di sisi sebaliknya.

Gerakan semborono yang Ayis buat, mengakibatkan dedaunan tempat persembunyian mereka ikut bergerak-gerak.

Merasa sedang diawasi, sosok berjas hujan itu pun segera memeriksa keadaan. Letnan Samsuri menunggu kesempatan ini dengan tenang, dan dalam sepersekian detik ingatannya mampu merekam wajah orang itu.

"Dia seorang laki-laki, Letnan." Lapor sang prajurit. Teropongnya menyorot sosok berjas hujan itu dari jarak dekat. Lelaki berjas hujan itu terlihat siap memutar kenop pintu.

"Bagaimana selanjutnya, Letnan?" suara di seberang HT kembali menginterupsi.

Anak itu sepertinya masih di bawah umur, batin Letnan Samsuri. Kemudian, tangannya dengan segera merebut HT dalam genggaman Ayis. "Tunggu apalagi? Selesaikan ini secepatnya!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro