2. Rumah (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa? Pembunuhan?"

Letnan Samsuri mengangguk, "Ya," jawabnya mantab.

Pria berusia tiga puluhan itu berdiri di ambang pintu TKP. Tampak olehnya meja makan yang porak-poranda dengan sisa makanan yang sudah menjamur dan kering. Bola matanya kemudian bergulir meneliti ruangan yang tidak terlalu besar itu. Perabot kayu tersusun rapih di tempatnya masing-masing. Ada banyak guci mahal yang menjadi penghias di sudut ruangan. Dinding krem-nya dihiasi beberapa lukisan abstrak dan juga patung dari kepala rusa yang diawetkan.

Tidak ada satu pun foto keluarga yang terpajang, seru Lentan Samsuri dalam hati.

Sejak dia masuk ke ruang tamu sampai ruang keluarga, tidak ada satu pun figura berisi foto keluarga yang dilihatnya. Letnan Samsuri tidak bisa memastikan berapa total jumlah anggota keluarga yang menghuni rumah tersebut. Tetapi di sini, setidaknya dia melihat ada tiga jasad manusia—yang telah memasuki tahap pembusukan—tergeletak dengan tubuh membengkak di atas lantai rumah yang terbuat dari kayu. Adalah jasad sepasang suami istri dan jasad seorang bocah laki-laki—yang diperkirakan masih berusia lima tahun. Di sekitaran kolong meja makan, jejak darah tampak telah mengerak di lantai. Letnan Samsuri memalingkan wajah. Dia merasa tidak sanggup. Selain bau busuk yang menguar cukup menyengat, kondisi ketiga jasad itu juga sangat memprihatikan. Mengenaskan. Bagian mulut jasad-jasad tersebut separuh keroak akibat dimakan belatung. Sungguh, pemandangan yang sangat mengerikan.

"Kamu itu jangan main-main, Dimas!"

"Sungguh, Kapten! Saya tidak berbohong!" tekan Dimas untuk ke sekian kalinya. Dia mengejar Kaptennya, Rahman Depari, sampai di mulut lobi. Wajah Kapten Rahman Depari yang memang sudah keriput seketika semakin berkerut dalam dibuatnya. Dia kesal setengah mati.

"Ini pembunuhan satu keluarga, Kapten!"

"Omong kosong apa itu?!" balasnya keras.

Seketika semua mata langsung menyambar dua sosok pria yang tengah beradu mulut di pintu masuk itu. Teriakan keduanya rupanya menarik perhatian orang-orang yang tengah berjaga di Sentra Pelayanan dan Pengaduan. AKP Rahman Depari dan anak buahnya, IPTU Dimas Armedy Chan, tampaknya sedang bersitegang. Kejadian semacam ini sebenarnya sudah sangat sering terjadi. Mereka memang ibarat dua sisi koin yang saling berlawanan, selalu berbeda pendapat, namun tetap dituntut untuk menjadi pribadi yang professional, saling bahu-membahu demi menumpas kejahatan.

"Kapten!" suara Dimas terdengar memohon. Rasanya dia nyaris gila saat melihat kapten itu berpaling darinya.

Kapten Depari meninggalkan Dimas yang cengo di pintu masuk. "Jen!" panggilnya pada salah seorang petugas bagian Call Center. "Apa ada laporan masuk dari daerah Karang Sari?"

Wanita bertubuh gempal bernama Jeni itu refleks menggeleng tegas. "Tidak ada, Pak!"

"Kau dengar itu, Dimas?!" Kapten Depari melotot. Dia meminta penjelasan. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja infomasi. Dia heran, mengapa Dimas begitu ngotot sejak tadi.

"Tidak ada? Yang benar kamu, Jen?!" Dimas jadi jengkel sendiri. Dia mulai kebingungan. "Ini tidak mungkin," katanya frustasi. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Tidak ada laporan sama sekali, katanya?

Apa mereka pikir Dimas sudah gila membual soal pembunuhan di saat seperti ini?

Ditatapnya satu per satu orang yang berdiri di balik meja call center. Wajah mereka malah tampak lebih kebingungan lagi, melihat Dimas yang sudah seperti orang kesetanan.

Benarkah tidak ada laporan dari darerah Karang Sari?

Ini pasti lelucon.

Jelas-jelas Dimas mendengar seseorang melapor lewat HT yang dipungutnya di depan tempat pemusnahan barang bukti tadi. Orang itu mengabarkan bahwa telah terjadi pembunuhan satu keluarga di daerah Karang Sari. Dimas tidak mungkin salah dengar. Dia bahkan masih menggenggam HT tadi meski kini sudah dalam keadaan mati. Dimas mendesis-desis jengkel, tidak habis pikir.

"Bagaimana bis—"

Kringggggg!!

Dering telepon kantor dari meja Jeni menyentak semua orang yang terlibat dalam percekcokan di lobi utama tersebut. Mereka semua kontan terdiam, kecuali Dimas. Seringainya mendadak mengembang.

"Itu ...! Itu pasti telepon dari daerah Karang Sari!" katanya pada semua orang.

Kapten Depari mendengus. "Kau sudah seperti cenayang saja!" kesalnya. Dia langsung menyambar Jeni kemudian, sebab dilihatnya wanita bertubuh gempal itu tak kunjung mengangkat telepon yang menjerit-jerit bising di atas mejanya. "Apalagi yang kamu tunggu, Jeni?! Itu telepon kenapa tidak diangkat? Mau makan gaji buta kamu?"

Jeni tersentak kaget. Tatapan semua orang beralih padanya berkat semburan dari Kapten Depari. Dengan takut-takut, dia mengangkat gagang telepon. "Halo, Polresta Barelang. Ada yang bisa dibantu?"

Hening.

Kapten Depari menaikkan sebelah alisnya saat melihat ekspresi ketakutan di wajah Jeni. Jeni menatap Kapten Depari dan Dimas bergantian. Sesaat kemudian, dia menutup telepon tersebut.

"Barusan Polsek Sei Beduk menelpon, Pak."

"Dari mana?"

"Dari Karang Sari."

"Kan! Apa saya bilang, Kapten!" sorak Dimas yang langsung dihadiahi tangan melayang dari kaptennya.

Sial! Maki Dimas dalam hati. Kenapa dia malah dapat pukulan?

Kapten Depari melangkah keluar sembari memeriksa ponselnya.
Beberapa pesan masuk secara beruntun, meminta dia dan anggotanya datang ke TKP di daerah Karang Sari. Segera kemudian Dimas mengikuti langkah kapten itu menuju mobil patroli yang terparkir di lahan depan.

Dimas menghidupkan mesin, lalu memacu mobil patroli keluar dari wilayah Polresta Barelang. Sesaat kemudian mereka telah memasuki jalan besar.

Depari awalnya tidak percaya saat Dimas ngotot memberitahukan bahwa telah terjadi pembunuhan satu keluarga di daerah Karang Sari. Tidak ada laporan yang masuk lewat HT atau ponselnya. Pihak Call Center juga memberitahukan demikian. Dari mana Dimas tahu? Kenapa hanya anak itu yang mendapat laporan? Omong kosong Dimas dianggapnya angin lalu. Namun, entah bagaimana kini ucapan Dimas malah jadi kenyataan. Depari baru mendapat laporan selepas dua puluh menit lebih mereka cekcok.

Saat ini Depari dan Dimas sedang bergerak menuju TKP. Depari melirik Dimas yang sedang fokus mengemudi. Wajahnya terlihat semringah. Tentu saja, Dimas sempat dibuat malu di hadapan para anggota Satuan Shabara yang berjaga tadi, tapi kini anak itu berhasil membungkam mulut Depari. Dimas pasti sedang tertawa senang dalam hatinya. Depari hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak buahnya itu. Dia tidak mengerti kenapa Dimas begitu senang mendengar berita pembunuhan.

"Apa dia ini masih manusia?!" senggak Kapten Depari dalam hati. Selama perjalan dia terus menghela napas, tidak habis pikir.

Mereka hampir sampai. Gapura selamat datang tertangkap di antara pepohonan rindang yang tumbuh menjulang. Mereka disambut kegelapan yang amat sangat pekat. Rembulan dan gemintang di langit tak ada rimbanya, seolah memang enggan untuk bersinar di tempat ini. Hanya ada kegelapan, yang seolah tiada akhir.

Depari pernah mendengar cerita serupa soal kasus pembunuhan satu keluarga yang pernah terjadi di daerah ini. Tragedi itu terjadi sekitar tahun 2000. Semenjak tragedi mengerikan itu Karang Sari mulai ditinggalkan. Menjelma menjadi daerah pelosok yang amat sepi penduduk. Wilayah ini kebanyakan diisi lahan kosong yang sudah lama terbiar. Banyak ilalang yang tumbuh subur. Rumah-rumah yang dibangun di daerah ini masih bisa dihitung dengan jari. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh juga, jika diperkirakan mungkin sekitar delapan kilometer jauhnya. Beberapa rumah tampak tidak dipasangi lampu, seolah memang sudah tidak berpenghuni lagi.

"Ya, ya, kami hanpir sampai." Depari berbicara memalui ponselnya. Dia memberi instruksi pada Dimas untuk menepi di bahu jalan, di mana sudah terparkir banyak mobil patroli di sana.

Kapten Depari langsung turun untuk melihat situasi. Usai berjalan kaki, beberapa meter di depan, sebuah rumah tua bercat krem pudar tampak berdiri kokoh di depannya. Jika dilihat dari struktur dan kondisi bangunannya yang menghitam di sana-sini, rumah ini sepertinya sudah sangat tua. Depari menelisik sekitar, kemudian matanya mendapati Kapolsek Sei Beduk beserta jajarannya tengah berdiri di depan rumah tua itu.

"Bagaimana situasinya?" tanya Kapten Depari.

Kapolsek Sei Beduk berdecak. "Aman, Komandan. Hmm ... tempat ini sepi, jadi saya rasa penemuan kerangka ini belum terendus media."

Dimas yang baru saja ikut bergabung seketika melebarkan matanya. "Apa? Penemuan kerangka?"

Hati Depari seakan ikut mencelus mendengarnya. Jadi, bukan pembunuhan satu keluarga seperti yang Dimas katakan, pikirnya.

"Ya," jawab Kapolsek Sei Beduk spontan. "Penemuan kerangka yang diduga kerangka manusia."

"Tidak mungkin!" teriak Dimas geram bukan main. Apa-apaan ini?! Bukan pembunuhan satu keluarga melainkan penemuan kerangka? Bagaimana bisa informasi yang dia dapat melalui HT tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Dimas harus memastikan dengan kedua mata kepalanya sendiri. Dengan cepat, dia pun menyerobot masuk, tidak peduli pada teriakan membahana yang dilontarkan sang Kapten di belakangnya.

"Dimas!" bentak Kapten Depari yang hampir tersungkur akibat ulahnya. "Dasar anak itu!"

Segera Dimas menghambur ke dalam rumah tua itu. Suara pintu yang menjeblak terbuka mengagetkan sepasang suami istri dan seorang bocah laki-laki yang sedang duduk di ruang tamu. Dimas sempat berhenti sejenak, menatap ketiga orang itu yang kelihatannya memang baik-baik saja. Kemudian, Dimas mengitari rumah yang sangat luas itu. Dari mulai ruang tengah, dapur, hingga ruang makan. Tidak ada jejak darah, maupun barang-barang berserakan bak kapal pecah.

Sebenarnya apa yang terjadi di sini?!

Kebingungan seakan menyergap dirinya dalam ruang hampa. Kepala Dimas terasa sakit dan berputar-putar. Lama-kelamaan dia pun limbung lantaran tak kuasa menahan sakit yang menyerang secara tiba-tiba. Akibatnya, guci-guci besar nan mahal yang dia jadikan tumpuan jatuh, pecah di bawah kakinya. Dimas memegangi kepalanya yang berdenyut hebat, tubuhnya kemudian roboh ke lantai. Dia melihat banyak pasang kaki mendekat ke arahnya, sebelum matanya benar-benar tertutup rapat.

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro