23. It's Okay

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Ayo cepat selesaikan!” teriak seorang kapten polisi dengan lantangnya siang itu.

Seluruh prajurit yang bertugas pun balas menyerukan kesiapan mereka.

John Marcus lantas diseret oleh orang-orang berseragam itu di sepanjang ladang semak belukar yang banyak ditumbuhi ilalang. Luka membekas pada kedua tangannya yang terborgol tidaklah seberapa jika dibandingkan suasana hatinya saat ini. Meski enggan melakukan, dia tidak bisa menolak apalagi berontak. Langit di atas tampak mendung. Guruh sesekali terdengar menyela teriakan pemimpin pasukan. Mereka terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya—melakukan rekonstruksi kejadian pembuangan mayat dua wanita malang yang ditemukan tewas di tempat ini pekan lalu.

John Marcus merasakan semilir angin yang sama menampar wajahnya. Dia menutup mata sejenak. Dan, momen itu pun langsung berputar-putar di kepalanya. Tempat ini memang sangat familiar baginya. Dia nyaris bisa mengingat kembali kejadian malam itu. Kepingan ingatannya bergerak menyusun satu-satu sampai kemudian bermuara ke tempat ini, tepat saat dia melempar drum berisi jasad Mariana Pane di sana—di antara rimbunnya ilalang liar yang tengah melambai-lambai ke arahnya.

Jari telunjuk John Marcus tergerak mengacung menunjuk area tersebut. Lalu, bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, John Marcus kembali terseret-seret saat bajunya ditarik paksa mendekati lokasi tersebut.

“Setelah itu apa yang kau lakukan? Kau meninggalkan drumnya di sini? Iya?!”

John Marcus menangguk cepat. Dia menjelaskan bahwa sebelum ini dia telah memasukkan jasad Mariana Pane ke dalam sebuah drum minyak dan membawanya kemari dengan truk. Dia berjongkok saat diminta memperagakan aksi biadabnya malam itu. Alat peraga berupa drum dan boneka yang dibungkus kain hitam telah disiapkan. Diletakkan persis pada tempat yang telah dia tunjukkan tadi. Anehnya John Marcus sama sekali tidak ingat soal jasad wanita yang dibungkus oleh kain hitam itu. Dia merasa tidak pernah membunuhnya. Bahkan, identitas wanita itu saja dia sama sekali tidak tahu.

John Marcus telah berkali-kali menjelaskan saat dirinya interogasi, bahwa dia hanya membunuh Mariana Pane. Wanita bernama Siti Sundari itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Namun, keterangan yang dia berikan tersebut diragukan oleh pihak kepolisian, sebab pada malam pembunuhan terjadi, polisi mengetahui bahwa John Marcus sempat menenggak alkohol di sebuah kelab malam—berdasarkan kesaksian beberapa orang.

Polisi juga tidak lupa menanyai motifnya membunuh Mariana Pane. John Marcus sempat tersenyum miring sebelum mengatakan, "Mariana mengaku-ngaku hamil, padahal nyatanya dia berbohong padaku."

John Marcus yang merasa sangat geram pun langsung gelap mata. Dia menghabisi Mariana Pane dengan mencekiknya sekuat tenaga. Bunyi 'krak' terdengar dari tulang leher yang patah, lalu tahu-tahu Mariana Pane sudah terbujur kaku di hadapannya.

Apa yang dia lakukan ini merupakan bentuk pembalasan dendam. Mariana Pane telah membuat rumah tangganya hancur berantakan. Wanita itu memang pantas mendapatkannya.

Usai diperiksa selama berjam-jam, lama-kelamaan John Marcus pun merasa ragu pada dirinya sendiri. Bisa jadi, dia memang membunuh wanita itu. Para penyidik yang bertugas mengatakan, dia mungkin linglung dan lupa akibat pengaruh alkhohol. Mereka berhasil menekan John Marcus. Membuatnya percaya bahwa dia lupa membawa drum satu lagi untuk wanita tersebut hingga pada akhirnya dia hanya membiarkan jasad wanita itu tergeletak begitu saja di atas tanah lembek. Sungguh tidak masuk akal, namun John Marcus sendiri tidak bisa berkelit sebab dia tidak ingat dengan pasti bagaimana malam itu.

Reka ulang kejadian dilakukan dengan tergesa-gesa sebab langit kian lama kian menggelap. Warga sekitar dan juga para wartawan yang banyak berkumpul di Kilometer 13 menambah daftar kacauan yang terjadi siang itu. Tiba-tiba kerumunan di sekelilingnya terdengar semakin gaduh entah sebab apa. John Marcus memaksakan kedua matanya memicing ke depan. Dari kejauhan dia melihat seorang pria berpakaian sipil memaksa masuk menembus lautan manusia hingga ke garis depan. Pria itu berderap ke arahnya dengan langkah seribu. John Marcus refleks membuang muka saat menyadari pria itu sudah berdiri di depannya. Alih-alih meninju wajahnya, pria itu justru menyaut baju tahanan yang dikenakannya sekuat tenaga.

“Apa kau tidak melihat ada seorang saksi malam itu?!” teriak pria itu tepat di depan hidung John Marcus.

John Marcus tentu saja tersentak mendengarnya. Dia lantas menggeleng pada pria itu. Dia mencoba mengingat sekali lagi. Suasana terlalu gelap hingga dia kesulitan melihat, tetapi rasanya dia tidak melihat ada siapa pun di sana selain dirinya dan jasad-jasad wanita itu tentunya.

Dia bergumam sebentar. “Tidak ada," katanya dengan nada cukup meyakinkan. "Tapi, kalau tidak salah, aku sepertinya sempat mendengar suara gonggongan anjing yang cukup keras malam itu.”

“Anjing?” ulang pria itu dengan dahi berkerut dalam.

John Marcus mengangguk cepat. Karena takut ketahuan, malam itu dia buru-buru pergi meninggalkan tempat ini. Hanya itu saja yang bisa diingatnya, selebihnya dia mengaku lupa. Beberapa orang sempat melihat truk yang dikendarainya melaju ugal-ugalan keluar dari Kilometer 13 memberikan kesaksian saat dimintai keterangan. Polisi pun bergerak cepat melacak truk milik John Marcus. Tidak sampai dua puluh empat jam kemudian, John Marcus akhirnya berhasil diringkus di rumah kontrakannya.

"Samsuri!" Kapten Darwis buru-buru mendekat untuk melerai keduanya. Dia menarik Letnan Samsuri menjauh dari John Marcus.

Letnan Samsuri mengacak-acak rambutnya frustasi. Tidak peduli pada tatapan aneh orang-orang di sekelilingnya. Dengan kedua mata sembab, dia memohon. "Kapten ...."

Merasa dirinya benar-benar gila sekarang. Selama berhari-hari dia sudah mencari ke sana kemari, namun hasilnya tetap saja nihil. Dia merasa sangat kecewa dengan ini semua. Tidak ada satu pun orang yang mempercayainya di kesatuan. Padahal Letnan Samsuri sudah berkali-kali mengatakan, kemungkinan ada saksi yang melihat kejadiannya malam itu.

Letnan Samsuri juga telah menceritakan bahwa dia sempat mendapat telepon misterius waktu itu. Dia meminta pada Tim Intel di Polres Kepulauan Riau untuk melacak nomor panggilan yang diterimanya malam itu, dan benar saja, panggilan tersebut memang berasal dari sebuah nomor telepon dengan empat digit angka pertama (0778); yang jelas merupakan kode nomor telepon Batam, bukan milik wilayah Tanjung Pinang.

Kapten Darwis hanya bisa menggeleng melihat tingkah bahawannya. “Sudah cukup, Samsuri,” katanya berusaha menenangkan. “Kalau benar memang ada saksi yang melihat, dia pasti akan menghubungi kita lagi.”

“Tapi sampai sekarang kita tidak mendapat kabar apapun, Kapten,” potong Letnan Samsuri dengan wajah khawatir. Dia ingin berteriak, bagaimana kalau saksi itu ternyata ....

"Akh ...." Pada akhirnya Letnan Samsuri hanya mampu mendesah keras. Rasanya dia sungguh tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Melihat perangai John Marcus yang seolah tidak peduli pada nyawa orang lain, sepertinya dia tidak mungkin membiarkan saksi itu lolos hidup-hidup. Kapten Darwis menduga wanita yang terbungkus kain hitam itu adalah saksi yang dibicarakan Samsuri selama ini. John Marcus tidak ingat persis kejadian malam itu sebab dia berada dalam pengaruh alkhohol. Bisa saja, kan, dia membunuh wanita bernama Siti Sundari itu di tempat kejadian dengan motif untuk melenyapkan saksi.

Sayang, Letnan Samsuri tidak setuju dengan pendapat Kapten Darwis.

Seandainya saja ada petunjuk lain, batinnya kecewa.

Dan, lagi-lagi Letnan Samsuri hanya bisa mendesah.

Perlahan pria itu berjalan menjauhi kerumunan. Tangannya bergerak merogoh saku terdalam jaketnya. Hanya sebatang rokok yang bisa mengobati kegelisahannya saat ini. Sembari memainkan sebuah pemantik api yang nyalanya kadang hilang diembus angin, dipandanginya langit mendung di atas sana dengan perasaan nanar. Wajah Letnan itu terlihat sangat putus asa. Apakah ... jika dia berdoa dengan sungguh-sungguh, Tuhan mau mengantarkan rasa keputusasaannya ini pada Inspektur itu di masa depan? Letnan Samsuri lantas mendengus geli. Yang benar saja, batinnya pahit.

Ruangan Divisi Pembunuhan sedang sepi saat ini. Dengan ditemani secangkir kopi pahit di tangan kanan, Dimas membaca satu per satu berkas milik Rudi Ardian yang berserak di mejanya.

Rupanya dulu, Rudi Ardian pernah dirawat di Pusat Rehabilitasi Anak.

Tidak disangka-sangka, Rudi Ardian ternyata menyimpan banyak hal yang dia sendiri tidak ingin orang lain tahu. Namun kini, seluruh dunia yang berusaha dia tutupi rapat-rapat itu, ada dalam genggaman tangan Dimas.

Dia merupakan korban kelalaian orang tua.

Ayahnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil—kecelakaan tunggal tepatnya. Mobil yang dikendarai ayahnya tergelincir masuk ke dalam jurang kemudian meledak. Tragedi mengerikan yang merenggut Sang Ayah, membuat ibunya merasa sangat terpuruk. Karena tidak sanggup membesarkan anaknya seorang diri, ibunya memilih pergi meninggalkan Rudi di rumah itu. Selama berhari-hari Rudi Ardian terkurung dalam kamarnya yang sengaja dikunci oleh ibunya dari luar. Dia hampir mati kelaparan. Kondisinya terlihat sangat mengenaskan ketika dia ditemukan oleh warga sekitar di rumah itu.

Masa kecilnya, pernah dia habiskan, setidaknya dua tahun penuh di sana. Dia mendapat perawatan di Pusat Rehabilitasi Anak dengan seorang konselor yang bertanggung jawab menangani kasusnya.

Alasan mengapa album kenangan itu dia tinggalkan begitu saja di rumah lamanya adalah, mungkin, karena Rudi Ardian tidak ingin lagi mengingat mereka.

“Inspektur!”

Dimas nyaris melontarkan makian. Mendapati Aryan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu sembari berteriak keras padanya. “Rudi berhasil ditemukan!”

Mendengar informasi tersebut serta-merta Dimas pun bangkit berdiri. “Apa?”

Aryan mengangguk mantab. Wajahnya tampak berseri-seri. Senyumnya yang mengembang lebar, membuat Dimas mengira Briptu itu pasti sudah gila karenanya. Sayangnya Dimas ternyata salah sangka. Aryan senang bukan karena Rudi berhasil digelandang ke kantor polisi, melainkan karena ... Disza Anszani.

“Selain itu Disza Anszani juga sedang dalam perjalanan menuju kemari,” beritahunya lagi dengan senyum yang tak kunjung lenyap.

Dimas tercenung untuk beberapa saat sembari menatap Aryan. Dia merasa begitu lega mendengarnya, tetapi di sisi lain, dia merasa seperti ada sesuatu yang seakan .... Ah, Dimas sendiri bingung memilahnya. Perasaan apa yang dia rasakan ini? Senyum di wajah Aryan yang tampak kian menyebalkan membuat hatinya jadi panas entah sebab apa.

“Ada apa denganmu?” sentak Dimas seraya mengedik ke arah pintu keluar.

Dia berjalan lebih dulu menuju koridor. Sempat mendapati Aryan—lewat ekor matanya—tampak tertunduk malu sebelum Briptu itu mengekor di belakangnya.

"WAAA!!!"

Suara ribut-ribut yang terdengar dari koridor lantai dua memaksa kedua perwira polisi itu mempercepat langkah menuruni tangga. Dimas telah sampai lebih dulu di sana saat Aryan masih berada di tikungan koridor.

“Hoi!” teriak Dimas yang tidak habis pikir melihat pemandangan di depannya.

Rudi berteriak histeris sembari menunjuk-nunjuk Disza Anszani yang sedang terduduk di atas kursi roda. Nyaris saja lolos dari kungkungan Evan saat pria berkepala pelontos itu terus memberontak. Dengan mata membeliak lebar dia menuding Disza Anszani. “Kau ...!” katanya panik bukan main. “Kau kan sudah mati!”

Dimas yang mendengar jelas pernyataan Rudi barusan hanya bisa saling pandang dengan Evan. Dia langsung menyerbu Rudi Ardian ke dinding, memepetnya sekuat tenaga, agar Rudi Ardian tidak beradu pandang dengam Disza Anszani yang sudah pucat di atas kursinya. Kemudian, diteriakinya petugas polisi yang tampak terbodoh di sebelah Disza Anszani.

“Apa kau tidak tahu kalau keselamatan korban dan saksi itu sangat penting, hah?!” teriaknya, hampir berbarengan dengan usaha Aryan mengambil alih kursi roda milik Disza dari tangan petugas polisi itu.

Melihat Aryan dengan cepat menarik Disza Anszani ke dalam pelukannya, membuat Dimas sedikit terkesiap. Pemandangan tersebut semua orang ternganga—termasuk Evan dan Dimas. Berbeda dengan refleks Disza Anszani, yang sepertinya justru terlihat sangat nyaman berada dalam perlindungan Aryan.

Dugaan Dimas tampaknya memang tidak salah.

“Aryan ... sepertinya suka pada gadis itu.”

Saat Evan ikut menimpali dengan kalimatnya, Dimas hanya bisa bergeming di tempat. Ada sesuatu dalam hatinya yang seolah ikut terbakar, tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa-apa.

Semua akan baik-baik saja, tekannya berulang kali. Tidak masalah melihatnya seperti itu.

Tidak akan ada yang bisa membuat hatinya terdistorsi, termasuk gadis itu. Dimas tidak ingin memedulikan meski hatinya sibuk menjerit-jerit. Buru-buru diseretnya Rudi Ardian dengan kasar—meski pria itu masih saja berteriak histeris—menuju ruang interogasi di lantai tiga. Rudi adalah milik mereka, dan sementara, Disza Anszani akan menjadi milik orang Jatanras. Sebelum Dimas benar-benar menghilang di tikungan, ekor matanya mencuri sebentar, memastikan Aryan telah membawa Disza Anszani masuk ke dalam ruang interogasi--dengan tatapan yang sulit diartikan.

_____________

Notes:

So Lonely- sad and Emotional Song Instrumental by. Jurrivh //Waksss my lovee Jurrivh 🖤🖤

Btw, mungkin ini gak terlalu penting, tapi soal Pusat Orang Hilang, sebenarnya instansi tersebut cuma fiktif belaka. Entah kenapa saya mikirnya mesti ada sebuah instansi khusus yang menangani kasus-kasus orang hilang. Di mana saat ada laporan masuk di kepolisian akan diteruskan ke instansi tersebut. Data-data korban serta DNA keluarga yang melaporkan wajib disimpan di sana. Jadi, kalau suatu hari ditemukan mayat tak dikenal di suatu tempat yang tidak terduga-duga dan sulit diidentifikasi bisa langsung dicocokkan dengan berkas dan DNA di Pusat Orang Hilang. Wkwk ngayal banget.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro