25. The Dog Named Hachiko

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siaran radio pada mobil patroli telah mengumumkan bahwa hari ini Batam dan sekitarnya akan diterpa hujan lebat disertai angin topan. Seakan tidak peduli, Letnan Samsuri tetap nekat berkendara. Dia menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Mobil patroli itu pun melaju dengan cepat di atas aspal, melewati banyak tiang penunjuk jalan serta mendung yang bergulung-gulung di atas langit, menuju Kilometer 13.

Sebagian jiwa Letnan itu seakan masih tertinggal di sana. Tepatnya, sejak dia tahu bahwa lokasi TKP pembuangan mayat Siti Sundari dan Mariana Pane cukup dekat dengan sebuah box telepon umum. Hal ini menguatkan dugaannya tentang sosok penelpon misterius waktu itu, yang baru-baru diketahuinya memang berasal dari Batam.

Tidak sampai satu jam kemudian, Letnan Samsuri tiba di sana. Dia menepikan mobil patroli di dekat halte tua di perempatan, lalu memilih untuk berjalan kaki setelahnya.

Angin menderu-deru hebat seolah hendak mencabut ilalang liar yang tumbuh di sepanjang Kilometer 13. Letnan itu, setengah berlari, bergerak menuju lokasi box telepon umum, sembari menahan rambutnya yang jadi semrawut akibat diterpa angin. Hujan rintik-rintik pun mulai turun membasahi bumi sesaat Letnan Samsuri tiba di depan box telepon umum. Dia merogoh sebuah koin dalam saku, kemudian mulai menelpon.

Senyum di wajah Letnan itu mengembang lebar ketika mendengar suara istrinya di balik sambungan telepon. Berulang kali Letnan Samsuri menggumamkan kata maaf. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Tanjung Pinang minggu ini, sebab penyelidikan terhadap kasus pembunuhan yang telah menewaskan dua wanita muda di Batam, belum selesai dilakukan.

"Sepertinya masih lama," kata Letnan Samsuri. "Kau baik-baik saja, kan, di sana? Bagaimana? Apa masih sering mual? Ngidam? Maaf, karena aku tidak bisa sering menemanimu."

Katanya, kalau permintaan orang yang sedang hamil tidak dipenuhi, anaknya bisa jadi tukang ileran. Letnan Samsuri terkekeh sendiri memikirkannya. Tiba-tiba dia khawatir soal itu.

Sesaat kemudian lenguhan terdengar dari seberang. Letnan Samsuri mendengarkan dengan sabar omelan yang keluar dari mulut istrinya, sembari menendangi papan peyangga box telepon umum dengan ujung sepatu. Istrinya jadi lebih cerewet pada masa kehamilan ini. Hati Letnan Samsuri pun serasa disentil rindu. Semua ini terlalu berat untuknya. Rasanya dia ingin segera menyelesaikan kasus ini dan cepat-cepat pulang ke rumah. Namun, di sisi lain, Letnan Samsuri merasa, tidak bisa abai pada sosok penelpon misterius itu begitu saja—mengenai siapa identitasnya dan dimana dia sekarang.

Meski Kapten Darwis menganggap Siti Sundari-lah sosok saksi yang dia ributkan selama ini, Letnan Samsuri tidak serta-merta menelan mentah-mentah omongan kapten itu. Menurutnya, kematian Siti Sundari bukanlah jenis pembunuhan spontan, melainkan terencana.

Jika memang Siti Sundari adalah saksi itu, pelaku tidak mungkin sempat lagi membungkus jasadnya menjadi sedemikian rapih hingga menyerupai pocong dengan kain hitam. Dalam keadaan panik akibat aksinya terpergok, setelah mencekik Siti Sundari sampai tewas, logikanya, pelaku akan meninggalkan jasadnya begitu saja, kemudian buru-buru kabur dari tempat ini. Selain itu, tubuh Siti Sundari ditemukan dengan jarak sekitar lima meter dari titik di mana drum berisi jasad Mariana Pane ditemukan. Terlalu mencolok, menurutnya. Sedangkan saksi sempat menelpon Letnan Samsuri saat itu. Jika memang pelaku menyeretnya sampai di titik TKP, mempertimbangkan berat badan Siti Sundari dan kondisi John Marcus yang mabuk, mungkin akan memakan waktu yang cukup lama untuk melakukannya. Hal ini pun cukup berisiko. Aksinya tersebut bisa saja menimbulkan semakin banyak kecurigaan oleh para pengguna jalan yang kemungkinan melewati tempat ini.

"Sehat terus, ya, Bunda, di sana. Untuk anak kita," pesan Letnan Samsuri, sebelum gagang telepon umum kembali dia letakkan pada tempatnya. Berlama-lama mengobrol, hanya akan membuat Letnan itu semakin merindukan istrinya.

Letnan Samsuri mengambil satu koin lagi dalam sakunya. Kali ini, jari telunjuknya memencet tombol-tombol angka untuk menghubungi Polres Kepulauan Riau, meminta mereka memeriksa apakah telepon umum yang dia gunakan untuk menelpon sekarang, digit angkanya sesuai dengan nomor yang digunakan saksi waktu itu. Hanya sebentar saja, setelahnya dia langsung menutup panggilan.

Hujan sudah semakin deras saja rupanya. Perlahan-lahan kabut bahkan mulai menyelimuti daerah ini. Begitu pun, Letnan Samsuri tetap memaksakan kakinya berjalan, menelusuri aspal berlubang yang membelah padang ilalang menjadi dua bagian. Jarak antara box telepon umum dan lokasi ditemukan mayat memang tidak begitu jauh. Mungkin kalau sambil berlari hanya akan memakan waktu sekitar lima sampai sepuluh menit.

Di bawah guyuran hujan yang tak kunjung mereda, Letnan Samsuri membayangkan bagaimana seseorang—yang mengaku menyaksikan adegan pembuangan jasad tersebut—berlari ketakukan di sepanjang jalan yang kini ditapakinya.

Saksi itu sempat menelpon.

Letnan Samsuri tampak menimbang-nimbang antara jalur kiri atau kanan.

Di sebelah kanannya merupakan arah menuju TKP, sementara di sebelah kiri, jalanan tampak agak menurun, terbentang menuju halte tua di perempatan—tempat dia memarkirkan mobil patroli.

Apa mungkin saksi naik bus setelah masuk ke box telepon umum?

Letnan Samsuri lantas menggeleng kuat, mencoret pendapatnya barusan. Waktu itu sekitar jam sebelas malam, di daerah ini bus tidak beroperasi sampai semalam itu. Namun, akan lebih tidak masuk akal lagi kalau saksi berlari ke arah TKP. Jadi, Letnan itu pun lebih memilih berjalan kembali menuju halte.

Letnan Samsuri kemudian menyisiri sisi-sisi jalanan dengan sangat teliti, sembari sesekali menyibak ilalang dan semak belukar. Beberapa menit kemudian langkah kakinya mendadak terhenti, masih di dekat lokasi box telepon umum—tatkala mendapati sebuah benda mirip papan nama berwarna cokelat gelap tengah mengambang-ngambang di air. Dengan dahi terlipat, tangannya terlujur meraih. Benda tipis itu mengambang di atas kubangan keruh lantaran terbuat dari kain flanel yang diisi material gabus.

"Hachiko"

Rajutan huruf di atas kain flanel tersebut dibacanya dengan raut bingung.

Bentuknya mirip seperti papan nama hewan peliharaan.

Anjing, kucing, kerbau, kuda, sapi?

Semua nama-nama binatang diabsennya dalam kepala. Kerbau, kuda, dan sapi tidak mungkin mengenakan tanda pengenal. Hanya orang gila yang memakaikan benda-benda semacam ini ke leher mereka. Bagaimana dengan kucing? Letnan Samsuri menggeleng, merasa tidak setuju. Ukuran dan panjang papan nama ini rasanya terlalu besar untuk seekor kucing.

"Sepertinya kalung ini milik seekor anjing," gumamnya seorang diri.

Mendadak kata-kata John Marcus pun muncul dalam kepalanya. Saat melakukan reka ulang kejadian, meski tidak begitu yakin, John Marcus memang sempat menyebutkan soal gonggongan anjing.

Letnan Samsuri pun kembali melangkahi jalanan. Bahkan, dia tidak segan-segan memasukkan tangannya ke dalam parit serta lubang aspal yang tergenang. Sedikit meringis menahan sakit saat jari-jarinya menyentuh banyak pecahan kaca yang mengendap dalam dasar airnya. Letnan Samsuri kemudian berdiri menantang padang ilalang dan semak belukar yang tampak bergulung-gulung ke sisi barat. Angin terus meribut di telinganya. Bola matanya lalu bergerak memindai seisi langit.

Pecahan kaca ini ..., pikirnya sembari menggenggam erat serpihan tersebut. Darah merembes dari telapak tangannya, yang kemudian luruh, dan terhempas jatuh di atas aspal, lalu menghilang bersama aliran air hujan menuju parit.

Hujan lebat mungkin telah menghapus semua jejak pada aspal. Namun, Letnan Samsuri yakin pada satu hal: di tempat ini, sepertinya pernah terjadi sebuah kecelakan.

_________________

"Kecelakaan?"

Letnan Samsuri mengangguk. Matanya menangkap kerutan di dahi lawan bicaranya. Usai memesan, dia pun segera mengambil tempat duduk di dekat pintu masuk warung, untuk memudahkannya mengorek informasi dari pemilik tempat ini.

"Apa baru-baru ini ada kecelakaan di sekitar Kilometer 13? Atau misalnya Ibu dengar suara yang berdebum keras, mungkin?"

Wanita dengan riasan menor itu makin mengernyit bingung. Tampak celingak-celinguk di balik lemari jualannya yang hanya dilapisi plastik bening dan sekat-sekat kayu. Orang-orang, yang kebetulan juga sedang berteduh di warung miliknya, tiba-tiba ikut masuk dalam pembicaraan. Menggumam dan saling melontarkan pandangan. Kemudian, wanita itu berjalan mendekat ke arah Letnan Samsuri, dengan sedikit melenggak-lenggokkan bokongnya, meletakkan secangkir kopi dan gorengan panas pesanannya di atas meja kayu. Ucapan terima kasih, Letnan itu lirihkan kemudian, yang langsung diangguki dengan senyum oleh Mbak Warsini—sapaan yang kerap dilontarkan pria-pria di sekitar sini.

Setelah cukup lama mengulur waktu, Mbak Warsini akhirnya menjawab pertanyaan Letnan Samsuri. "Walah, kurang tau, ya, Pak. Lah, kan, jauh juga dari warung saya," katanya, dengan logat jawa yang lumayan kental.

—tapi ... hanya warung ini yang Letnan itu dapati setelah melewati kawasan padang ilalang tadi. Karena lokasinya tepat di perbatasan, Letnan Samsuri pikir, dia bisa menemukan sesuatu jika membaur bersama para sopir yang tengah mengistirahatkan diri di tempat ini, sembari menunggu hujan reda dan bajunya kering. Ternyata pun sama saja. Letnan Samsuri tampak menimbang-nimbang ke arah jalan besar. Kalau berkendara sedikit ke depan, maka gapura selamat datang ke desa Bagun Hilir sudah bisa terlihat.

Mendengar nama Kilometer 13 disebut-sebut, tiba-tiba topik pembicaraan pun bergeser pada mayat dua wanita yang dibuang di tempat itu. Mbak Warsini beberapa kali bergidik ngeri, tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kematian yang merenggut nyawa wanita-wanita itu. Kematian memang selalu menjadi hal yang misterius, bisa datang kapan saja, di mana saja, dan pada siapa saja. Bagaimana kematian itu merenggut nyawa seseorang, hanya logika Sang Pemberi Kehidupan yang bisa menjawabnya. Yang Letnan Samsuri dengar dari mereka, jasad yang paling parah kondisinya adalah milik Mariana Pane, sementara milik Siti Sundari nyaris bersih jika bekas cekikan pada lehernya tidak terlihat. Tentu saja, sebab Mariana Pane memang sempat dipukuli sebelum dicekik hingga tewas oleh John Marcus.

Letnan Samsuri menyeruput kopinya sedikit demi sedikit. Efeknya memang tidak seperti nikotin, namun mampu menenggelamkan pikiran—dalam ruang kehampaan—di mana hanya ada dirinya sendiri dalam kekosongan itu. Semakin bayak truk-truk besar yang memaksa parkir di sepanjang badan jalan, semakin banyak pula yang datang ke warung ini. Lamunan Letnan itu pun terpaksa disentak keluar oleh kerasnya gogongan anjing yang menyalak dari depan. Mendadak suasana warung—yang tadinya penuh dan berisik—berubah hening.

Ekspresi wajah Mbak Warsini pun jadi ketat seketika. "Wadoh ... heran ini ...! Kenapa ... anjingnya gonggong terus kalau dibawa kemari. Bikin ribut di warung orang ...!" keluhnya panjang, yang segera lenyap begitu pria yang datang bersama anjing tersebut masuk ke warung.

Sadar dirinya jadi pusat perhatian, pria itu hanya menunggu di depan tenda saja, tidak jadi mencari tempat duduk, kemudian memesan gorengan dan tiga nasi campur untuk dibawa pulang. Sementara anjing tadi masih menyalak-nyalak, bahkan lebih kuat dari sebelumnya, entah karena lapar atau apa, yang jelas suaranya membuat resah orang-orang yang berada dalam tenda warung.

"Oh, Hachiko, Buk!" teriak seorang bocah kecil, yang lantas menghentak fokus Letnan Samsuri.

Mendadak, Letnan itu berdiri, hingga tubuhnya menjulang tinggi di dekat pintu masuk. Kepalanya menengok pojokan warung. Si bocah kecil tampak berlari riang menghampiri tenda depan. Rupanya, begitu didekati, anjing itu tidak menyalak lagi, malah terlihat berputar-putar dengan senang. Hidungnya sesekali mengendus-endus bau, seperti sedang memburu sesuatu. Letnan Samsuri mendapati bola matanya yang segelap dasar air laut, saat tatapan lelah anjing itu terpancang padanya.

Merasa khawatir pada nasib anaknya, lengan bocah kecil tadi pun langsung ditarik si Ibu menjauh. "Abang ...! Jangan deket-deket! Kamu mau digigit anjing itu?!"

"Hachiko, Buk!" tunjuk bocah itu dengan raut memelas. "Guguk Mbak yang pangkas rambut Abang!"

...guguk-mbak-yang-pangkas-rambut-abang? batin Letnan Samsuri tidak mengerti, sembari memerhatikan anjing besar jenis Siberian Husky berwarna hitam—nyaris kecoklatan—dan putih. Lidahnya terjulur keluar dengan napas ngos-ngosan. Bulu putih pada bagian dadanya tampak kotor dipenuhi lumpur, seperti tidak terawat.

Gonggongannya kembali terdengar saat pria yang membawanya tadi mengambil langkah meninggalkan warung. Pria itu sepertinya sangat terganggu dengan tingkah si anjing yang sibuk menempeli tubuhnya. Hampir setengah jalan menuju pasar hitam, anjing yang mirip sekali dengan serigala itu tiba-tiba saja berbalik ke arah warung. Berlari dengan sangat kencang, mengagetkan semua orang, terutama Letnan Samsuri yang berdiri persis di ambang pintu. Dia merasa tidak siap saat anjing itu mendadak menerjang tubuhnya. Menggigiti serta menggaruki jaketnya yang masih setengah kering. Sangking kagetnya, tanpa sadar refleks Letnan Samsuri bekerja lebih cepat, menghempas kuat anjing itu hingga mereka berdua jatuh tersungkur. Orang-orang langsung berkerumun, membantunya berdiri, sementara sebagian lagi memilih mengusir dan melempari anjing itu agar segera pergi dari tempat ini.

Masih dalam keterkejutakannya, Letnan Samsuri susah payah berdiri. Hendak berkata, tidak apa-apa, dia tidak sampai menggigitku, namun kerongkongannya terasa begitu tercekat, sampai-sampai dia sendiri tidak sanggup menyuarakannya.

Diraihnya sebuah benda yang sejak tadi dia simpan dalam saku jaket.
"Hachiko ...," lirih Letnan Samsuri, seraya memandangi tanda pengenal yang kini berada dalam genggaman tangannya.

Anjing itu sempat menyalak lagi. Lalu, dengan terpincang-pincang, segera berlari menjauh, mengejar pria yang ternyata sudah memacu mobil bak terbuka miliknya, meninggalkan warung serta anjing itu jauh di belakangnya.

______________

Foto credit:

https://www.flickr.com/photos/aresjonekson/6088860797

https://pixabay.com/en/siberian-husky-two-dog-pet-race-2040458/

Notes:

Gaeys, sepertinya generasi tahun lahir kita, belum pernah nyoba pake telepon umum, ya? Wkwk

Atau ada yang udah pernah?


Kurang lebih beginilah sosok Hachiko

.

Berhubung saya tidak tahu banyak tentang anjing—karena saya memang tidak punya anjing, dan apalagi saya bukan seekor anjing—bagaimana instingnya, tingkah lakunya, dan lain-lain, sebagian saya riset dari google dan sebagian lagi merupakan khayalan saya semata.

.

Btw saya mau mengucapkan banyak terima kasih ke kalian semua yang udah ngasih saran dan semangat untuk kegundahan saya kemarin.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro