30. Press Release

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Notes:

Lembaga POH = Pusat Orang Hilang

Sat Reskrim = Satuan Reserse Kriminal

Unit Jatanras = Unit Kejahatan dan kekerasan

Dalam press release nama korban dan pelaku tidak dipublikasikan.

Kapolresta Barelang = identitas tidak diketahui

Ketidaktahuan Dimas soal pangkat Samsuri saat ini, membuat saya tetap mempertahankan panggilan Letnan dalam scene-nya

"Bunda kemari untuk melihatmu. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bunda Elizar sembari memperhatikan wajah Dimas yang kelihatan lelah.

Dimas mengangguk singkat sembari mengatakan "iya" sebagai jawaban. Dia menarik sebuah kursi lipat di dekat dispenser, kemudian segera membawanya beserta Bunda Elizar duduk di dekatnya.

Bunda Elizar mengamati sekilas meja Dimas yang tampak berantakan dan dipenuhi oleh tempelan sticky notes di mana-mana. Berbal-bal dokumen lama ditumpuk menjadi satu bersama map yang menggunung di depan komputer. Puluhan pulpen jatuh berhamburan dari dalam tempatnya yang miring. Coretan penanda pada kalender duduk pun juga tak luput dari perhatian wanita paruh baya itu. Merasa barang-barangnya begitu penuh, Dimas pun buru-buru membereskannya. Untuk sementara tumpukan dokumen tersebut dia titipkan ke meja Aryan.

"Apa kamu sudah makan?" Bunda Elizar kembali bertanya. Tanpa menunggu jawaban dari Dimas, dengan cekatan Bunda Elizar mulai membongkar rantang makanan yang sejak tadi dibawanya ke atas meja.

Bunda Elizar menyuguhkan berbagai macam masakan rumah ke hadapannya. Mendadak Dimas pun jadi merasa lapar, mengingat sejak pagi dia hanya mengganjal perutnya dengan roti dan sekotak susu.

Jakunnya naik turun menelan ludah berkali-kali. Kalau sudah dihadapkan pada udang sambal balado, rasanya Dimas tidak bisa menahan dirinya untuk tidak meneteskan air liur. Bunda Elizar tahu benar kalau Dimas sangat menyukai makanan laut. Dia juga membawakan cumi goreng tepung untuknya. Selain itu, ada telur orak-arik, juga sop kentang dan brokoli.

"Kenapa bawa banyak sekali. Memangnya Dimas serakus ini?" gerutunya, lalu menambahkan, sekalian saja buka warung di kantor polisi.

Bunda Elizar hanya menanggapinya dengan senyum. Wanita paruh baya itu hendak menyendokkan nasi di atas piring kertas, tetapi Dimas terpaksa menolaknya lantaran masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.

"Dimas akan makan cuminya saja," ucapnya kemudian, sembari mencomot cumi goreng tepung di dalam rantang.

Meski memang agak alot, perpaduan rempah dan bumbu membuat makanan tersebut jadi terasa gurih dan renyah. Bentuknya bulat seperti cincin, membuat Dimas dapat leluasa mencolok cumi goreng tepung tersebut dengan dua jarinya sekaligus. Tiba-tiba Dimas jadi rindu suasana rumah yang tidak pernah sepi dari teriakan Mika. Kalau Bunda Elizar memasak makanan ini, Mika pasti akan ribut karena Dimas makan lebih banyak dari siapapun. Agus Sinar pasti akan menegurnya, sebab Dimas tidak mau mengalah pada seorang anak kecil. Lalu, Bunda Elizar akan membagi porsi miliknya pada Mika. Sementara Eja hanya melihat saja karena dia memang alergi seafood.

Betapa Dimas baru menyadarinya, bahwa selama ini dia jarang sekali pulang ke rumah. Akibat lebih sering mendapat jadwal tugas malam, Dimas terpaksa menginap. Lalu, ketika pagi menjelang, Dimas kerap merasakan lelah begitu menderanya, sampai-sampai dia pun terlalu malas untuk bangkit dan memilih tidur sepanjang hari di dalam ruang jaga malam sampai shift berikutnya tiba. Apalagi jika ada kasus-kasus sulit yang memaksanya untuk tetap tinggal di kantor. Dua puluh empat jam penuh berada di kantor polisi, membuat Dimas sampai dijuluki hantu penunggu ruang jaga malam. Ruangan itu bahkan disulapnya sesuka hati seperti kamar sendiri.

Dimas sempat dikerubungi perasaan aneh ketika matanya berhasil menangkap basah Bunda Elizar yang terus-menerus menatapnya. Risih sekaligus ... miris. Sebab, orang yang tak pernah diharapkannya justru menjadi orang yang paling memperhatikannya.

"Bunda punya sesuatu buat kamu," kata Bunda Elizar tiba-tiba. Dia merogoh sesuatu di dalam tas tangannya, kemudian menyodorkan sebuah kotak beludru berwarna merah pada Dimas, seraya membisikkan ucapan "selamat ulang tahun".

Bunda Elizar tersenyum lembut ke arahnya, sementara Dimas membalasnya dengan tatapan bingung. Seingatnya, hari ulang tahunnya sudah lewat; Desember tahun lalu.

"Kamu jarang sekali pulang, jadi Bunda tidak punya kesempatan untuk memberikannya. Juga, akhir-akhir ini, masalah Eja ... cukup menyita pikiran Bunda."

Dengusan Dimas terdengar sesaat kemudian. Rasa-rasanya, kian kemari, merayakan ulang tahun tidaklah begitu penting. Namun begitu, Dimas tetap menghargai pemberian Bunda Elizar. Perlahan dibukanya kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah peluit berwarna silver yang diberi rantai kalung. Tidak ada yang istimewa dari benda itu, selain bunyi biji besinya yang bergemerincing ketika Dimas menggoyangnya.

Agaknya Dimas pernah melihat peluit tersebut sebelumnya—sepertinya—dalam kilasan mimpinya tadi pagi. Suara melengking panjang, pendek, kemudian panjang lagi, seolah kembali berputar dalam kepalanya—yang seketika itu pula mengingatkannya pada Eja.

"Tapi Bunda bisa lega sekarang, karena Eja sudah dirawat di panti rehabilitasi."

Ucapan Bunda Elizar menarik Dimas dari lamunannya. Sebelumnya dia tidak sempat menanyakan ke mana Agus Sinar membawa Eja. Bunda Elizar bilang, tempat rehabilitasinya ada di daerah Pulau Galang.

"Kenapa harus sejauh itu?" Ekspresi Dimas menunjukkan keterkejutannya. Mengingat Pulang Galang berada di timur Pulau Batam, jarak menuju ke pulau itu cukup jauh—sekitar 60 kilometer. Untuk bisa sampai ke sana, harus melewati Jembatan Barelang yang panjangnya tidak kira-kira. Selain itu, transportasi menuju Pulau Galang sangatlah minim. Namun, tampaknya Bunda Elizar sama sekali tidak keberatan soal itu. Kelihatannya dia memang begitu mempercayai Agus Sinar.

"Papa pasti mencarikan tempat yang bagus untuk Eja."

Dimas lantas memutar bola matanya jengah, bersikap masa bodoh.

Perhatiannya pun teralihkan pada suara detak jam dinding. Jarum panjang kini mulai bergerak menjauhi angka enam. Terpaksa, Dimas segera meminta Bunda Elizar meninggalkan ruangan Divisi Pembunuhan, sebab masih banyak sekali laporan yang harus segera dia rampungkan.

Dalam perjalanan menuju pintu keluar, Bunda Elizar sempat melirik pada kaca linimasa. Informasi yang tak sengaja dibacanya membuat langkah wanita paruh baya itu sontak terhenti. Dia kesulitan memindai aksara lantaran kaca linimasa dibalik ke sisi lain. Akan tetapi, tulisan di dalamnya—yang sejauh ini mampu dia cerna—telah menarik rasa penasarannya untuk lebih mendekat. Matanya kian menyipit tajam tatkala mendapati sederet tulisan yang telah diberi lingkar merah. Tanpa sadar tangan Bunda Elizar pun bergerak menyentuh papan kaca tersebut, hendak membaliknya. Namun, di sebelahnya, Dimas berkeras menahan gerakan kaca, mencegah upaya Bunda Elizar, agar tidak sampai membaca informasi penting dalam penyelidikan mereka.

Sempat terjadi adu kekuatan sebelum akhirnya Bunda Elizar menyerah pada usahanya.

"Tahun 2002. Desa Batu Bedimbar." Dimas sempat mendengarnya menggumamkan sesuatu. "Kalau tidak salah, pernah terjadi banjir di daerah itu ... sekitar ... bulan Februari ... yang mengakibatkan jembatan penghubung di dua desa terputus."

"Apa?" Dimas tampak sangat terkesiap. Ditatapnya wanita paruh baya itu dalam-dalam. "Apa Bunda yakin?" tanyanya sekali lagi.

"Iya," Secepat kilat Bunda Elizar menyahut. Perhatiannya masih terpancang pada kaca linimasa. Tidak mungkin dia melupakan hal sepenting itu. Sebab, dari sanalah nama Eja diambil.

___________________

Siang itu, bertempat di halaman Gedung II Mapolresta Barelang, beserta jajaran Sat Reskrim, Kapolresta Barelang melakukan press release di hadapan seluruh awak media.

Kapolresta Barelang menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada para anggota keluarga korban yang tewas dalam kasus pembunuhan berantai di Desa Batu Bedimbar.

"... dan pada kesempatan ini, kami, pihak kepolisian, akan merilis informasi ...."

Sementara perwira dengan lambang tiga melati emas di pundaknya itu berbicara, kamera terus menyorot wajah-wajah para penyidik yang bediri di sisi kanan-kirinya. Selang semenit kemudian, kamera pun berpindah pada barang bukti terkait yang telah disusun sedemikian rupa di atas meja panjang oleh para penyidik yang bertugas.

"Kerja sama yang dilakukan oleh jajaran Sat Reskrim Polresta Barelang, bersama Subdivisi III Pembunuhan, dan Unit II Jatanras, akhirnya berhasil mengungkap kasus pembunuhan berantai ini. Kemudian, untuk penjelasan selengkapnya, akan kami serahkan pada penyidik yang menanggung jawabi kasus ini," terang Kapolresta Barelang, sembari menggiring mic ke hadapan Dimas di sebelah kananya.

Dimas dapat merasakan tepukan tangan perwira berpangkat Komisaris Besar itu di punggungnya, seolah saat ini semua beban dan citra Polresta Barelang dia titipkan di atas pundak Dimas.

Sembari membuka map berisi data-data para korban, Dimas menelan ludah gugup. Tenggorokannya terasa kering dan dia butuh minum saat ini. Jantungnya berdentam tidak keruan, seakan hendak meledakkan dirinya di dalam rongga. Kasus pembunuhan berantai ini memang cukup menyita perhatian publik, dikarenakan apa yang tersisa dari tubuh para korban berupa tulang-belulang saja. Segenap lapisan masyarakat mulai mempertanyakan berkas kasus orang hilang yang selama ini masuk dalam pangkalan data POH, yang seolah tidak pernah ditangani secara serius. Belakangan pula banyak desas-desus tidak menyenangkan bermunculan di berbagai media sosial; yang sebagiannya membahas tentang ketidakbecusan Kepolisian Batam dalam menangani kasus, sementara sebagian lagi mempertanyakan kegunaan Lembaga POH sebagai institusi pendukung kepolisian. Jadi, bagaimana cara Dimas bersikap di hadapan media, akan sangat menentukan bagaimana penilaian masyarakat terhadap kinerja mereka.

Dimas melonggarkan ikatan dasinya, kemudian menghela napas panjang. Belum apa-apa, retina matanya sudah diserang oleh rentetan bilts kamera, membuat rasa gugupnya pun mendadak naik ke ubun-ubun.

Suara dari dalam mic sempat berdenging sebelum diambil alih olehnya kemudian.

"Kerangka SA, alias JO, alias JJ ditemukan pertama kali pada 10 Januari 2021, di Dusun II Desa Batu Bedimbar, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau." katanya kemudian.

"Selama masa penyelidikan berlangsung," lanjutnya. "Pihak kepolisian memutuskan untuk memperluas area penggalian, dan berhasil menemukan ... tiga kerangka lainnya yang juga terkubur di halaman rumah tersebut."

Lembar selanjutnya pun dibalik oleh Dimas.

"Para korban, yaitu; LS (23) warga Desa Patas Asih; DS (24) merupakan seorang pendatang dari Lampung, kemudian; SS (27) warga Desa Sei Besitang. Ketiganya dilaporkan menghilang oleh keluarga korban pada bulan Juni 2002. Dan, ditemukan dalam keadaan telah menjadi tulang-belulang; terbungkus kain panjang berwarna hitam, yang kemudian diikat hingga menyerupai pocong."

Dibantu oleh Evan, Aryan mengangkat tiga plastik barang bukti berisi kain hitam beserta tali yang mengikatnya ke hadapan para pemburu berita di depan mereka. Bunyi kamera yang ditekan berkali-kali pun mengudara. Bak predator yang kelaparan, para kameramen berebut mengabadikan objek tersebut ke dalam gambar. Sementara para jurnalis masih menyiagakan ponsel dan mini voice recorder mereka ke arah Dimas, merekam setiap kata demi kata yang meluncur dari mulut Inspektur itu.

Selama jeda berlangsung, Dimas berusaha menetralkan detak jantungnya. Kemudian, saat dirasa situasi kembali kondusif, dia pun melanjutkan, "Selama masa penyelidikan itu pula, kami mendapati adanya kesalahan dalam alur penyelidikan yang terjadi di masa lampau."

Mulut para jurnalis mulai meribut ketika mendengar pernyataan yang cukup mengejutkan tersebut. Namun, dengan segera, Dimas menimpali. Dia tidak ingin memberi kesempatan pada mereka untuk menyela pembicaraanya saat ini. Lagipula, sesi tanya jawab belum dibuka.

"Tepatnya, pada Februari 2002, pembunuhan dengan modus serupa rupanya juga pernah terjadi di Batam. Korban berinisial SS, jasadnya dibuang di daerah padang ilalang Kilometer 13. Dari berkas kasus serta bukti-bukti yang kami temukan, diketahui nama SS tertulis dalam buku milik pelaku. Jadi, dari sana, dapat kami simpulkan bahwa SS merupakan korban pertama kasus pembunuhan berantai ini."

Kali ini, bukti nomor 21 pun diangkat, berupa buku kecil dengan sampul berwarna hitam yang berhasil Dimas dan Aryan temukan waktu itu di dalam sebuah lemari tersembunyi. Juga, bukti lain, yakni; sebuah gelang besi polos milik korban LS, yang sebelumnya telah dikonfirmasi oleh keluarga korban sewaktu menjalani interogasi bergilir.

"Pelaku adalah WH—"

Detik itu juga kalimat Dimas seakan tertelan di kerongkongan—tepat sewaktu atensinya berpindah ke arah barang bukti yang digelar di meja Jatanras. Jauh di sisi kirinya, dia melihat jurnal milik Letnan Samsuri berada di antara barang-barang tersebut. Padahal, Dimas kira dia sudah mengembalikannya pada Disza, tetapi sepertinya orang-orang Jatanras mengambilnya kembali untuk kepentingan barang bukti di pengadilan.

Atmosfer pun tiba-tiba memberat, diselingi suara kasak-kusuk dari mereka-mereka yang penasaran.

Bram terpaksa mengalihkan perhatian dengan membahas kasus penyerangan Disza Anszani yang menjadi titik balik pengungkapan kasus ini. Berkat penyelidikan yang Bram dan anak buahnya lakukan, benang merah yang selama ini meliliti kasus pembunuhan berantai tersebut pun akhirnya dapat ditarik. Bersama Subdivisi III Pembunuhan, mereka berhasil membekuk pelaku penyerangan—terhadap Disza Anszani—di apartemen kekasihnya.

"... RA, yang merupakan anak kandung pelaku pembunuhan berantai ini, diringkus pada 16 Januari 2021. Uang hasil penjualan lahan beserta rumah tersebut, RA gunakan untuk membeli properti di kawasan elit Nagoya, dengan menggunakan nama kekasihnya, juga sebuah kapal yang ...."

Selama Bram memberi klarifikasi, Dimas akhirnya mampu menguasai dirinya dari bayang-bayang Letnan Samsuri. Bermenit-menit setelahnya, agenda penyampaian pengungkapan kasus pembunuhan berantai itu pun Bram kembalikan pada Dimas. Akan tetapi, meski Dimas telah siap bersama mic dalam genggaman tangannya, kalimat berikutnya terasa begitu pahit untuk dia ucapkan. Teruntuk mereka, para keluarga korban, yang berdiri di barisan paling belakang. Wajah-wajah yang telah sejak lama menunggu dalam harap-harap cemas, wajah-wajah yang selama ini mendamba keadilan untuk orang-orang terkasih mereka, kini harus dipupuskan oleh statement tak bertanggung jawab dari depan panggung.

"Saat ini pelaku ... tidak lagi bisa diadili, lantaran ... sudah meninggal delapan belas tahun silam."

Aryan benar, batin Dimas. Tidak ada yang bisa mempertanggungjawabkan kematian para korban, sekalipun kebenaran sudah sejengkal jaraknya dari mereka.

Kematian Wahyam menyisakan banyak sekali tanda tanya.

Padahal, mereka telah begitu dekat, tetapi rupanya keadilan tak bisa serta-merta merangkul mereka.

"Penyebab kematiannya adalah pendarahan di otak akibat benturan keras. Pada Agustus 2002 pelaku sempat mengalami sebuah kecelakaan yang membuatnya koma sampai tiga bulan lamanya. Dan, pada November 2002 Wahyam pun dinyatakan meninggal dunia."

Penjelasan Dimas berhenti sampai di sana, dibarengi dengan ditutupnya map berisi serifikat kematian Wahyam, yang sontak saja membuat Aryan mengerutkan kening dalam-dalam. Dialah yang mengawasi Dimas saat melakukan interogasi bersama Dodi, adik kandung pelaku. Merasa heran, mengapa Dimas tidak membeberkan perihal kebenaran di balik kecelakaan tersebut?

Kapolresta Barelang berserta seluruh anggotanya serempak membungkuk di hadapan semua orang yang turut hadir dalam press release siang itu. Sayangnya, sebanyak apapun mereka meminta maaf, air mata yang bercucuran di pipi para keluarga korban tidak akan bisa terhapus dengan mudahnya.

Samar-samar Dimas mendengar suara isak tangis menyelinap di antara kilatan blits kamera yang menghujani mereka. Juga, bisikan Aryan, mampu dia kenali di tengah-tengah kegaduhan awak media.

"Inspektur, kenapa Anda tidak mengatakan yang sebenarnya?"

Segera Dimas menoleh padanya. "Biarkan Wahyam membusuk bersama kematiannya," desisnya, tepat di wajah Briptu itu.

"Tapi ...."

Kata-kata Aryan setelahnya tak lagi Dimas pedulikan.

Dimas tahu dia telah mencurangi kematian Wahyam. Dia bias—tidak dapat dipungkiri, sebab dalang di balik kecelakaan tersebut adalah Letnan Samsuri. Dimas tidak mungkin membiarkan reputasinya sebagai penyidik terdahulu tercoreng.

Lagipula, Wahyam pantas mendapatkannya.

Kalau saja sampai saat ini Wahyam masih hidup, demi misi gilanya itu, Wahyam—mungkin—sudah akan membunuh lebih banyak wanita lagi.

Dimas dapat memahaminya; keputusasaan yang dirasakan Letnan Samsuri—akibat tidak adanya bukti yang merujuk pada pelaku.

Jika Dimas berada di posisi Letnan Samsuri, dia pasti akan ... melakukan hal yang sama. Membunuh Wahyam dengan sangat keji sebagaimana Wahyam membunuh para korbannya.

Penyelidikan ini sudah cukup sampai di sini. Tidak perlu diperpanjang lagi.

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro