33. Berita Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Berapa umurnya saat ini?" tanya Komisaris sembari meletakkan kembali gelas tingginya ke atas meja.

Agus Sinar melirik sekilas. Matanya kemudian beralih menatap langit-langit. Lampu gantung di atas kepala tampak bersinar redup, kekuningan, membuat suasana restoran jadi terkesan hangat. Kari ayam yang dipesannya, sejak tadi belum dia sentuh sama sekali. Sedetik kemudian benaknya dipenuhi oleh kilasan wajah Eja. Apakah di pusat rehabilitasi Eja makan dengan teratur? Apakah Eja tidur dengan nyenyak? Agus Sinar sangat mengkhawatirkannya.

"Em ..., sepertinya ... delapan belas tahun ...?" Agus Sinar menggaruk pelipisnya, sedikit ragu. Dia ingat kapan Eja lahir, tetapi dia tidak begitu yakin pada hasil hitung cepat yang dia lakukan di luar kepala.

Jawaban yang Agus Sinar lontarkan lantas membuat tawa Komisaris meledak. Mereka sempat menjadi pusat perhatian para pengunjung restoran yang merasa penasaran. Komisaris kemudian mengerling ke arah Mika yang duduk persis di sebelah Agus Sinar. Anak itu makan dengan lahapnya. Kuah sop dalam mangkuknya sampai belepotan ke mana-mana.

Agus sinar tertawa canggung. Dia kira pertanyaan tadi ditujukan untuk Eja, rupanya Komisaris sedang membicarakan Mika. Agus Sinar pun segera meralat ucapannya, "Lima tahun."

"Dia sangat mirip, ya, dengan Mbak Elizar."

Tanpa sepengetahuan Agus Sinar, Mika menjulurkan lidahnya pada Komisaris. Saat dia menyengir lebar, gigi ompongnya kelihatan dua di depan. Rambut lurus, iris mata cokelat terang, bahkan sampai tahi lalat di dagunya, semuanya memang milik Elizar.

"Kurasa, iya," sahut Agus Sinar sembari mengelusi rambut Mika dengan sayang. "Padahal aku membuatnya dengan susah payah agar mirip denganku, tapi gen Elizar lebih mendominasi."

Komisaris kembali tertawa. Selera humor Agus Sinar tidak pernah berubah sejak dulu. "Kau memang ditakdirkan kalah pada perempuan, akui saja."

Agus Sinar baru akan membuka mulut, tetapi buru-buru dia urungkan. Mika makin menjadi-jadi di kursinya. Anak itu berulang kali mengejek Komisaris dengan sebutan "Kakek Gendut". Agus Sinar terpaksa menegurnya.

"Mika, tidak boleh bersikap seperti itu!" Dalam hati dia menyalahkan Dimas. Pasti Dimaslah yang telah mengajari Mika hal-hal seperti ini. Yang tidak baik, semuanya datang dari Dimas. Eja sampai tertekan juga akibat ulah Dimas.

"Berita daring di situs Warta Satu itu, kau, kan, yang menulisnya?"

Meski sempat terlonjak kaget, Agus Sinar akhirnya bersedia mengangguk juga. Reaksinya tidak berjeda, segera dibalas senyum singkat oleh Komisaris. Apa boleh buat. Sejak awal Agus Sinar memang tidak berniat berkelit, jika ditanyai.

"Berita itu, seharusnya sudah sejak dulu kutulis," ungkapnya kemudian. "Sayang, karena kurangnya bukti, aku tidak bisa melakukannya. Aku menyesal, karena tidak mempercayai ucapan Samsuri saat itu."

"Apa maksudmu?" Komisaris mengernyit bingung. Agaknya dia tidak mengerti arah pembicaraan Agus Sinar. "Mengapa tiba-tiba kau membawa nama Letnan Samsuri? Apakah kasus pembunuhan berantai di Desa Batu Bedimbar itu, berhubungan dengan menghilangnya Letnan Samsuri?" kejar Komisaris dengan kedua mata berkaca-kaca. Pembicaraan seputar kasus menghilangnya Samsuri selalu menjadi topik yang sangat sensitif untuknya. Samsuri adalah senior yang sangat dihormatinya. Sosok orang yang selalu membimbingnya, baik sewaktu bertugas di lapangan, maupun saat melakukan penyelidikan.

Sampai saat ini bayangan Letnan Samsuri masih kerap menghantuinya. "Bocah teropong", begitulah Samsuri dulu sering memanggilnya. Julukan itu bahkan masih melekat hingga sekarang, sebab ke mana pun Komisaris pergi, teropong yang dulu sering dia bawa, tidak pernah luput disimpannya dalam saku.

Samsuri pasti tidak akan percaya ini. Jika dia tahu, bocah teropong yang sering dijahilinya dulu, kini telah menjadi seorang Komisaris yang mengepalai sebuah Kepolisian Resor Kota, dia mungkin akan terkena serangan jantung.

"Tidak," jawab Agus Sinar. "Kasus itu tidak ada kaitannya sama sekali. Lagi pun, kejadiannya sekitar empat tahun sebelum Samsuri menghilang."

Agus Sinar menerawang jauh. Sebuah ingatan, yang tak mungkin dia lupakan, berkelebat cepat di matanya seperti air. Kenangan itu sangat membekas, sangat berarti baginya.

"Di rumah sakit. Tepat saat Eja lahir. Samsuri memberitahuku tentang kasus pembunuhan berantai itu. Aku melihatnya merenung di depan ruang bayi saat itu. Samsuri sangat merisaukannya. Dia memintaku menulis sebuah berita, tapi aku menolaknya mentah-mentah, sebab informasi mengenai kasus tersebut masih belum jelas."

"Empat tahun sebelum Letnan Samsuri menghilang, berarti sekitar tahun 2002, ya. Kudengar, Letnan Samsuri memang berulang kali mengajukan surat pengunduran diri saat itu, tetapi tidak pernah diproses oleh Komandan."

"Dia pasti merasa sangat gagal karena tidak bisa menangkap pelakunya."

Kedua pria paruh baya itu lalu sama-sama terdiam. Hanya Mika yang tampak sibuk mengemuti tulang iga dalam genggamannya.

"Kau adalah rekan kerjanya. Apakah kebetulan kau ... tahu masalah apa yang kira-kira Samsuri hadapi, sampai-sampai dia ...." Menghilang secara misterius? Anehnya, jasad—tidak—kerangka tubuh Samsuri belum juga ditemukan hingga sekarang. Dia lenyap seperti asap. Tidak ada jejak. Mustahil.

"Dahlan!" seru Komisaris, penuh antusias. "Kau ingat Dahlan?"

"Dahlan?" Agus Sinar mengulang dengan kening terlipat, bingung. Tentu saja, dia ingat, tetapi apa hubungannya Dahlan dengan ini semua? "Bukankah dia bertugas di Kepolisian Bintan sekarang?"

Komisaris lantas menggeleng. "Dahlan memutuskan pensiun dini dari karirnya di kepolisian. Baru-baru ini, kudengar, dia direkrut oleh Lembaga Pusat Orang Hilang untuk menggantikan posisi pimpinan di kantor wilayah Kepulauan Riau sebelumnya."

Agus Sinar tampak terkesiap. Dia tidak tahu soal ini.

"Dahlan sempat berpapasan dengan Letnan Samsuri di parkiran sewaktu hendak menjenguk Dimas di rumah sakit waktu itu. Dia bilang Letnan Samsuri terlihat terburu-buru, seperti hendak pergi ke suatu tempat," kenang Komisaris. "Letnan Samsuri tidak sedang menangani kasus seingatku, tapi dia, ya, Dahlan bilang, wajah Letnan Samsuri terlihat sangat tegang—entah sebab apa, setelah itu ... kau tahu apa yang terjadi."

Samsuri tidak pernah kembali lagi. Dua hari setelahnya, mobil Samsuri ditemukan terparkir sembarang di area wisata Jembatan Barelang. Polisi menduga Samsuri bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke dalam Sungai Barelang, tetapi itu jelas tidak mungkin. Samsuri bukanlah jenis orang seperti itu. Dia tidak mungkin melakukannya.

"Jadi, orang yang terakhir kali melihat Samsuri adalah Dahlan, ya," gumam Agus Sinar setengah melamun. Dia hendak meraih gelas di dekat piring makannya, tetapi tanpa sengaja Agus Sinar justru menyenggolnya.

Gelas itu jatuh mengenai lengan Mika sebelum terjun ke lantai. Suara pecahannya terdengar gaduh, bersamaan dengan Mika yang menangis keras. Agus Sinar sampai kebingungan dibuatnya. Diusapnya lengan Mika yang basah dengan serbet. Tidak ada luka sama sekali, tapi tangisnya tak kunjung berhenti.

Komisaris bangkit dari kursinya, bersiap mengulurkan tangan. Namun, dering ponsel dalam saku jaketnya keburu menyela. Dia melihat sekilas ID pemanggil pada layar sebelum mengangkat panggilan tersebut. Seseorang di seberang line melaporkan padanya dengan suara putus-putus. Komisaris menyimak. Terjadi tabrakan beruntun, katanya, di Simpang BRI Raya.

"Orang-orang kita sudah turun ke TKP? Apa? Lalu, di mana mereka sekarang?" Sesekali Komisari melirik pada Agus Sinar yang masih sibuk menenangkan Mika. Dia mendesah panjang. Sambungan berakhir tak lama kemudian.

"Gus, kurasa kau harus segera ke rumah sakit." Raut panik di wajah Komisaris tak bisa ditutup-tutupi lagi. Mendadak Agus Sinar merasakan firasat buruk.

"Ada apa?"

"Barusan aku mendapat laporan dari anak buahku. Dimas dan Mbak Elizar, mereka mengalami kecelakaan."

_______________

Agus Sinar sudah mendengar kronologi kejadiannya dari polisi yang bertugas; sesuai dengan keterangan yang Dimas berikan.

Saat itu, begitu Press Release selesai dilaksanakan, Dimas berencana membawa Elizar pulang ke rumah. Namun, Elizar menolak lantaran dia telah berjanji akan bertemu Agus Sinar di Restoran Garuda usai mengunjungi Dimas.

Dimas lalu menawarkan diri untuk mengantar Elizar ke restoran tersebut. Letaknya tidak begitu jauh dari kantor. Sekitar sepuluh menit jika berkendara dengan mobilnya.

"Tidak ada salahnya," kata Elizar pada saat itu. Jarang sekali dia mendapat kesempatan ngobrol berdua bersama Dimas. Elizar pun menyambut niat baik Dimas dengan sebuah anggukan di kepala.

"Dimas, menurutmu, em, bagaimana kalau Bunda mulai berbisnis? Jamur tiram. Bunda ingin membudidayakan jamur tiram—"

"Untuk apa? Papa sudah punya banyak uang. Bunda bisa berfoya-foya, membeli tas mahal, dan tidur-tiduran di rumah. Daripada membuang-buang waktu, lebih baik Bunda urus Mika dengan benar. Jangan sampai dia jadi seperti Eja."

Dimas berbicara cukup pelan sebenarnya—menggerutu tidak jelas lebih tepatnya, tetapi Elizar bisa mendengarnya. Dimas membaca ekspresi di wajah Elizar. Dia tampak tersinggung. Elizar seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi dia lakukan. Bibirnya terkatup rapat. Tampaknya dia tidak ingin berdebat. Memang, sebagai orang tua, sudah pasti salahnya Eja bisa sampai seperti itu. Elizar hanya mendesah kemudian. Dimas melirik sesekali. Perasaan tidak enak mendadak memenuhi dadanya. Saat jalanan di depan tampak lengang, Dimas melirik lagi. Dilihatnya kedua alis mata Elizar bertaut, keningnya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Seketika Dimas pun ikut terenyak di kursinya. Sepertinya Elizar juga menyadari—ada sesuatu yang bersuara di dalam laci dashbor mobilnya.

Dimas panik bukan main sewaktu mendapati tangan Elizar perlahan bergerak menggeratak laci dashbor.

Sontak, Dimas berteriak keras, "Apa yang Bunda lakukan?!"

"Bunda mendengar suara berisik di dalam sini." Elizar menunjuk laci dashbor dengan kerlingan matanya. "Seperti suara ... radio komunikasi ...," katanya menebak-nebak.

Dimas berusaha mencegah tindakan Elizar, tetapi jari-jari Elizar menyusup lebih cepat pada celah laci. Dia membukanya. Beberapa benda yang menyumpal asal di dalam laci dashbor pun ikut mencuat keluar. Dimas menepuk keningnya. Astaga, dia malu sekali. Bungkusan kond*m sekali pakai yang ada di dalam sana, sialan, terlihat oleh Elizar.

"I-itu ...," Dimas terbata-bata dibuatnya.

Namun, Elizar tidak tampak terganggu sama sekali. Dia justru sibuk merengungi HT tua yang kini sudah berpindah ke tangannya. HT itu ... mirip dengan HT yang selalu dibawa-bawa oleh Samsuri.

Kedua tangan Elizar seketika bergetar hebat. "Tidak mungkin," lirihnya kecut. Manik matanya menjelajah, kemudian diperiksanya benda berbentuk persegi panjang tersebut dari dekat. Warnanya hitam, terdapat banyak tombol tanpa penanda di bagian depan. Layar buram. Keempat sudutnya tampak lecet. Lalu pada ujung antena .... Elizar tidak sempat memastikan. Dengan cepat Dimas merebut paksa benda itu darinya.

"Dimas!"

Elizar berusaha mengambilnya kembali. Dia perlu memastikan sesuatu. Jika HT tua itu benar milik Samsuri, seharusnya terdapat bekas patahan pada ujung antena. Dulu, Eja pernah jahil menggigitinya.

Elizar menggapai-gapai lengan Dimas dengan panik. Dimas yang kebingungan menghadapi sikap Elizar pun kehilangan kendali. Mobil oleng seketika. Dimas keluar dari jalur. Sebuah sedan tiba-tiba muncul dari arah depan, menyerempet sisi mobilnya hingga spion terpental kuat ke aspal.

Dimas buru-buru membelokkan kemudi, berniat menepi, tetapi sebuah benturan keras lagi-lagi menyambutnya tanpa aba-aba. Mereka dihantam mobil lain yang hendak memotong jalur dari sisi kiri. Dimas tidak sempat menghindar. Dia merasakan benturan lagi. Kali ini berasal dari belakang, lebih keras dari sebelumnya.

Teriakan Elizar makin histeris.

Entah berapa banyak benturan beruntun yang mengentak kesadaran Dimas dan Elizar pada saat itu. Mobil baru benar-benar berhenti ketika mentok di tiang lampu rambu-rambu lalu lintas.

Dimas keluar dari dalam mobil dengan terhuyung-huyung. Keningnya berdarah-darah akibat terbentur roda kemudi. Dia menilik sekitar. Kemacetan di sepanjang Simpang BRI Raya rupanya berbuntut panjang. Bemper belakang dan kap depan mobil-mobil yang saling berhadap-hadapan penyok, mengeluarkan asap yang mendesis-desis. Tidak ada celah untuk Dimas menyebrang.

Dimas terpaksa melompati bagian belakang mobilnya. Dia sempat terjatuh ketika mendarat. Tersaruk-saruk, didekatinya Elizar yang masih berada di kursi penumpang. Airbag yang mengembang membuat Elizar tetap aman. Namun, sayang, Dimas kurang cepat menggapai pintu mobil. Tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang secara tiba-tiba.

"Bahaya!" Sebuah teriakan memperingatinya, disusul bunyi klakson panjang yang mendengingkan telinga.

Dimas ketakutan setengah mati. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, mobil beserta Elizar di dalamnya, tertabrak oleh moncong truk dari arah lain.

_____________________

Dimas membuka mata. Begitu pintu di ruang rawat inapnya terbuka, dia melihat Eja tengah mengintip malu-malu, dengan jari-jari mencengkram kusen pintu. Dia masih sangat kecil. Empat atau lima tahun, mungkin?

Terdengar suara dua orang yang sedang bercakap-cakap di luar, entah apa yang mereka bicarakan, tidak jelas. Agus Sinar masuk tak lama kemudian, disusul anggukan kepala Elizar yang muncul di balik dinding. Elizar tidak ikut masuk, dia hanya menunggu, bersama Eja. Ditariknya Eja ke dalam pelukan. Elizar menunduk kemudian. Dia menciumi rambut Eja sampai anak itu tertawa geli karenanya.

"Dimas, Mama ... Mama sudah tiada," beri tahu Agus Sinar sembari mengelus puncak kepalanya.

Dimas berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Kedua matanya lalu terpejam lagi dan dia memimpikan kenangan yang sama berulang-ulang.

Dimas tersentak bangun ketika pintu ruangan tiba-tiba dibuka dengan sangat kuat. Agus Sinar muncul dengan wajah merah padam, kentara sekali sedang menahan amarah. Dia berderap cepat ke arah Dimas. Dengan gerakan terpatah-patah, tangannya membetulkan letak kacamata di pangkal hidung. Agus Sinar berdecak keras. Tanpa sengaja matanya menyambar sebuah HT di atas meja. Usahanya untuk tidak sampai meledak di hadapan Dimas pun berakhir sia-sia. "Jadi, karena HT ini—" benda aneh itu dia acungkan di depan wajah Dimas. "—kau bersikap seenaknya pada Bunda Elizar?!"

Dimas menelan ludah gugup.

HT itu kemudian dibanting Agus Sinar dengan sekuat tenaga. Layarnya sampai retak. Serpihannya berhamburan ke lantai.

Dimas terpancing untuk balas berteriak, tetapi dia terlalu lelah dengan ini semua. Kepalanya berdenyut hebat. Efek obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya membuat pandangannya berputar-putar seperti orang mabuk.

Dimas hanya memandangi HT tersebut dengan tatapan nanar.

Terlalu jauh untuk diraihnya.

Kalau benda itu sampai rusak, bagaimana cara Dimas berkomunikasi dengan Letnan Samsuri?

Agus Sinar tidak tahu betapa berharganya benda itu. Letnan Samsuri bisa saja mati sewaktu-waktu. Empat tahun lagi bisa jadi besok, atau dua hari setelah esok berakhir.

Sejak dulu Dimas tidak pernah suka barang-barangnya digeledah oleh orang lain.

"Dimas sudah bilang 'jangan', tapi Bunda Elizar ...." Kalimatnya terhenti di sana. Dimas menangis terisak. Lelehan air matanya mengalir melalui sudut mata. Di saat seperti ini tidak mungkin dia menyalahkan Elizar. Elizar kritis, sementara Dimas hanya mengalami gegar otak ringan di kepalanya.

Agus Sinar mendesah. "Sudahlah," ucapnya pelan seraya berbalik.

Agus Sinar memilih hengkang begitu saja dari dalam ruangan. Ada secuil perasaan sakit yang Dimas pendam lagi di hatinya. Agus Sinar hanya peduli pada Elizar, sedikit pun tidak berniat mempertanyakan keadaan Dimas.

Dimas mengikuti sosoknya sampai ke ambang pintu. Tahu-tahu Raihana sudah berdiri di sana, menyaksikannya menangis dengan mulut ternganga lebar. Memalukan. Dimas buru-buru membuang muka.

"Kau ... menangis?" tegur Raihana sambil melangkah masuk. Dia membawa sebuah tas besar di tangannya. "Sesuatu yang sangat jarang kau lakukan. Di mana harga dirimu yang mahal itu?" kelakar Raihana seenaknya. Usai meletakkan barang bawaannya di sofa, Raihana segera memungut HT beserta kepingannya dari lantai. Dia menarik sebuah kursi, kemudian duduk di sebelah Dimas. "Dengan HT ini ... kau bilang kau bisa mengubah masa lalu, kan?" Raihana menahan tawa. Diperiksanya benda itu dengan cermat. "Sepertinya kerusakannya tidak begitu parah."

"Kenapa kau bisa sampai kemari?" Dimas membelokkan topik pembicaraan.

"Papamu menelpoku tadi dan memintaku untuk menjagamu. Dia mungkin akan sibuk mengurus Bunda Elizar, jadi urusanmu dia serahkan padaku."

Dimas sudah menduga. Setiap kali dia bermasalah, orang pertama yang akan Agus Sinar hubungi pastilah Raihana.

Raihana bukan sekadar wanita asing yang dikenalnya di bar. Raihana adalah teman Dimas sejak masa kanak-kanak. Mereka sempat kehilangan kontak satu sama lain, tepatnya sejak Raihana memutuskan menikah. Saat pernikahannya kandas di tengah jalan, Raihana tiba-tiba datang pada Dimas seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dimas dipaksa menemaninya mengurus ini-itu di pengadilan agama, direpotkan dengan urusan hak asuh anak, sampai-sampai orang lain mengira Dimas-lah penyebab keretakan rumah tangga Raihana dan mantan suaminya. Kalau dipikir-pikir, kesialannya seperti kisah-kisah di televisi saja.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Rianda?”

“Ada apa ini?” Raihana tampak jengah. Dia memutar bola matanya. “Kenapa kelihatannya kau begitu peduli pada Rianda?”

Dimas berdecih. Dia tidak suka pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lain. Lagipula, percuma saja. Diberi tahu pun, Raihana hanya akan menertawainya.

“Dim,” panggil Raihana tiba-tiba. “Benarkah ... hanya karena HT ini, kau bertengkar dengan Bunda Elizar?” Raihana tersenyum licik dengan tatapan mengejek, layaknya seorang jawara yang tengah memamerkan medali emasnya di hadapan para musuh.

“Salahmu!" Dimas kesal melihatnya. "Kau yang menghadiahkan kond*m itu padaku dan menyimpannya seenak jidat di laci dashbor—”

“Hei!" Raihana mengibas rambut panjangnya. "Jangan salahkan aku. Kenapa tidak langsung kau buang saja waktu itu!”

“Ah, sakit,” keluh Dimas sambil memegangi kepalanya. Dalam hati dia menggumam, bagaimana mungkin ada seseorang yang menghadiahinya benda semacam itu di hari ulang tahunnya. Perempuan gila.

Raihana lantas meminta maaf karena sudah berteriak-teriak. Dia berpura-pura mengembus kepala Dimas, agar sakit di kepalanya segera menghilang.

"Terserahmu sajalah, Na," ujar Dimas sembari memejamkan mata. Terlalu banyak bicara rupanya melelahkan juga. "Aku ingin tidur sebentar."

Raihana menarik selimut sampai ke dada Dimas. Diam-diam dia memperhatikannya sambil tersenyum. "Kau terlihat jauh lebih baik kalau sedang diam seperti ini, kecuali perban di kepalamu, tentunya."

Suara Raihana mengambang. Dimas perlahan terlelap akibat reaksi obat. Lagi-lagi kenangan yang sama muncul dalam mimpinya. Kenangan lima belas tahun lalu. Kenangan yang berusaha dikuburnya selama ini. Dimas, Mama ... Mama sudah tiada, ucap Agus Sinar pada saat itu. Wajah Elizar dan Eja kemudian ikut mengemuka. Dimas ingin melihat lebih dalam, mengapa Bunda Elizar dan Eja, bisa ada di rumah sakit waktu itu. Mengapa? Untuk apa?

__________________

“Gus!” teriak Komisaris dari ujung koridor. Dia berjalan mendekat bersama Mika yang celingukan memerhatikan orang-orang berlalu lalang.

Agus Sinar Sinar sedang melamun di bangku tunggu dekat ruang ICU, memikirkan banyak hal. Namanya dipanggil oleh Komisaris setidaknya empat kali, barulah dia akhirnya menolehkan kepala.

Tarikan tangan Mika pun kontan lepas dari genggaman Komisaris. Dia berlari ke pelukan Agus Sinar dengan wajah bingung. “Pa, Bunda mana? Eja juga—” Mika menggaruk pipinya sebentar. “—kok, enggak pulang-pulang ke rumah?”

Agus Sinar hanya mampu terdiam. Pertanyaan Mika rasanya berat sekali untuk dia jawab.

Mika mulai merengek dan menarik-narik tangan Agus Sinar. Dia bilang, dia rindu Eja. Hanya Eja teman bermainnya di rumah. Dia ingin pulang dan main robot-robotan bersama Eja. Dia juga menanyakan “kenapa Bunda enggak datang-datang dari tadi”

Komisaris lantas menaikkan sebelah alis tinggi-tinggi. “Eja tidak pulang-pulang?” Dia mengutip kata-kata Mika. “Memangnya ke mana dia?” tanya Komisaris penasaran. Dia menjatuhkan bokongnya tepat di sebelah Agus Sinar.

Agus Sinar tersenyum kecut menanggapinya. Masalah Eja tidak mungkin dia rahasiakan lagi dari Komisaris. Banyak sekali hal yang terjadi belakangan ini. Agus Sinar sampai bingung harus memulainya dari mana. Pelan-pelan dia menceritakan apa yang terjadi pada Eja. Semuanya. Raut penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Agus Sinar merasa sangat gagal. Dia tidak bisa menjaga orang-orang yang Samsuri titipkan padanya.

Komisaris mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Ya, Tuhan, serunya dalam hati. “Kau mengirimnya ke mana tadi, katamu?”

“Pusat Rehabilitasi Bersama. Di Pulau Galang.”

Komisaris mengernyit, tidak begitu yakin, tetapi sepertinya dia pernah mendengar tempat itu dari seseorang.

Bicara soal Eja, Agus Sinar tiba-tiba jadi teringat sesuatu. “Kau tahu, dulu, Eja lahir di rumah sakit ini.”

“Oh, ya?” sambut Komisaris antusias.

Agus Sinar mengangguk. Dia masih mengingatnya. 3 November 2002. Rumah Sakit Permata Bunda ....

__________________

Hello, Gess, saya kembali.

Di sini, apakah masih ada yang belom tau kalau Eja anaknya Samsuri?

Belum pernah aku sebut, sih, secara terang-terangan, tapi masa kalian gak sadar? Jelas banget kayaknya clue-nya. Maaf, ya, soalnya masih ada yang bertanya-tanya kemaren.

Maaf, melipir sebentar. Chapter ini saya sebut moment. Jangan bilang nggak penting, karena setiap cerita punya moment sendiri-sendiri. Saya rasa cerita Crime gak mesti ada adegan bunuh-bunuhan di tiap chapter-nya.

Hal yang paling susah selama nulis cerita ini, ya, ketika saya membawakan adegan Dimas dan keluarganya.

Saya nggak begitu familiar sama hal-hal kayak begitu.

Keluarga.

Apa, ya?

Rasanya terlalu jauh dari raihan tangan saya.

Rasanya itu seperti kayak kalian lagi duduk berhadap-hadapan di meja makan yang sama, tapi terasa begitu jauh satu sama lain.

Gaje.

Maaf, kalau ceritanya jadi rada aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro