35. A Gift

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada suara-suara aneh yang Eja dengar malam itu. Matanya yang semula terpejam rapat pun sontak membeliak lebar. Eja mencari-cari. Dari arah lorong kamar. Ya. Suara itu seperti suara rantai yang diseret-seret. Ada derap langkah kaki juga yang didengarnya. Berasal dari dua orang. Yang satu ketukannya tegas berirama, sementara satu lagi menyusul lambat-lambat seperti dipaksa.

"Kau dengar itu?"

Yas baru berani berbicara ketika suara-suara itu menjauhi kamar mereka. Dia berbisik seperti setan sampai-sampai Eja terlonjak kaget dibuatnya. Refleks ditekannya pemicu pada bolpen yang sejak tadi Eja genggam erat-erat. Wajah Yas yang pucat pun tersorot cahaya biru, seperti terkena siraman air blau. Rupanya Yas tengah berbaring menghadap ke arahnya di ranjang seberang. Yas menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. Makin lama sinar biru itu makin menyakitiki matanya.

"Ja, matikan sentermu," ujarnya pelan.

Ini bukan senter, tapi bolpen. Eja ingin sekali menyuarakannya tetapi dia malas berbisik-bisik.

Begitu pemicu dia tekan lagi, kamar mereka pun kembali gelap gulita.

Yas berguling-guling di ranjangnya. Tampaknya dia tidak bisa tidur lagi.

Bermenit-menit setelahnya mereka terdiam. Suasana ini terlalu canggung untuk Yas. Dia tidak suka sepi. Yas bergumam, berusaha memilih topik yang tepat untuk dibicarakan. Game? Masalah kesehatan? Pemasok narkoba? Atau kegiatan sehari-hari? Eja terlalu pendiam, pikirnya. Yas tidak yakin apakah anak itu mau diajak bicara atau tidak.

"Siapa itu Nala?"

"Nala?" Eja terkesiap mendengar pertanyaan Yas. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yas menyebut nama Nala ke dalam topik pembicaraan mereka.

"Kulihat di ujung sentermu, ada tulisan nama itu."

"Oh,"

Hanya jawaban itu yang kemudian terlontar dari mulut Eja. Dia memang tidak suka berbagi masalah privasinya dengan sembarang orang.

Sebenarnya Eja juga tidak tahu. Waktu itu, bangun-bangun, dia sudah mendapati sebuah kotak berisi bolpen tersebut di atas nakas tempat tidurnya. Entah siapa yang menaruhnya, tetapi bolpen itu jelas pemberian Nala. Di dekat pengait tutupnya, tertulis jelas namanya di sana. Diukir dan dicat oleh sesuatu yang berwarna keemasan. Ukuran bolpen tersebut cukup gemuk dengan warna hitam yang lebih mendominasi. Eja tidak yakin, tetapi sepertinya ada banyak muatan yang dimasukkan ke bagian dalamnya—sayang, tidak bisa dibuka. Terdapat sebuah lampu pada bagian ujung kepalanya, yang bisa dihidup-matikan jika picunya ditekan. Ujung matanya runcing. Kelihatan baru, tetapi tidak berfungsi. Saat Eja mencoba menulis di atas kertas, tidak ada tinta yang keluar.

Eja juga menemukan sebuah kertas yang terselip di dalam kotak kemasan bolpen tersebut ketika membongkarnya. Namun, isinya kosong, tidak ada tulisan apapun. Nala memang aneh. Meskipun ragu pada awalnya, kotak beserta bolpen pemberian Nala, akhirnya Eja bawa juga ke pusat rehabilitasi. Untuk jaga-jaga, siapa tahu dia membutuhkannya nanti.

"Kau membawanya sepanjang hari. Orang yang memberi senter itu pasti sangat berharga, kan?"

Eja membalas ucapan Yas dengan kekehan. Kalau saja Yas tahu siapa Nala sebenarnya, Yas pasti akan menarik kembali kata-katanya.

Mereka saling berdiam-diaman lagi. Mendadak Yas merasa sangat gusar. Dia tidak ingin ditinggalkan.

"Eja, apa kau sudah tidur?" Yas menunggu dalam gelap, tetapi dia tidak mendengar jawaban. Hanya sunyi yang meriap. Bulu kudunya berdiri karena memikirkan hal yang tidak-tidak. "Eja?" panggilnya lagi.

"Yas, kau berisik sekali."

Yas menghela napas lega. "Aku tidak biasa tidur kalau lampunya dimatikan," akunya kemudian. "Empat bulan berada di pusat rehabilitasi, aku tidak pernah tidur nyenyak sekalipun." Yas berusaha mencari topik segar agar Eja tetap terjaga bersamanya. "Biasanya orang-orang akan keluar setelah enam bulan," katanya lagi.

"Enam bulan?" sahut Eja sembari menerawang. Itu berarti UN sudah akan selesai dilaksanakan. Dia akan melewatkan banyak kesempatan mengikuti ujian masuk universitas. Tidak ada jaminan Eja akan diterima lagi di lingkungannya begitu dia kembali. Eja ingin pindah sekolah saja. Dia akan mendiskusikannya bersama Agus Sinar dan Dimas. Mereka mungkin akan menyetujuinya.

"Aku rindu rumah. Aku rindu masakan Mama. Aku rindu adikku ...."

Yas mulai mengocehkan hal-hal yang membuat Eja jengah. Dia menyebut satu per satu nama keluarganya seolah sedang berkirim-kirim salam melalui siaran radio.

"Yas, kau tidak bisa diam, ya?!" Eja buru-buru menyelanya. Ocehan Yas tidak penting sama sekali.

"Tidak akan ada yang mendengar kita. Dua kamar di kanan dan kiri kosong. Banyak ruangan yang tidak terpakai di sini."

Eja mengerutkan kening. "Memangnya ada berapa orang yang menjalani perawatan di sini?" tanyanya penasaran. Tadi siang, saat sesi olahraga berlangsung di lapangan, Eja sempat menghitung. Tidak sampai dua puluh orang. Staf medis maupun non-medis yang bekerja di pusat rehabilitasi ini juga sepertinya tidak banyak.

"Sekitar delapan belas orang," jawab Yas setelah banyak jeda mengisi. "Tempat ini cukup besar, tapi sedikit sekali orang yang datang untuk direhab karena sangat jauh dari kota."

Merasa bosan, Eja memainkan picu pada bolpennya. Sinar biru hidup-mati di langit-langit kamar. Yas menyuruh Eja berhenti ketika lagi-lagi dia mendengar suara-suara dari lorong.

Seseorang berjalan mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Samar-samar cahaya temaram ikut merayap pada lantai. Dari celah bawah pintu Eja dan Yas bisa melihatnya.

Seseorang itu tampak mondar-mandir, sebelum kemudian berhenti di depan kamar mereka.

Hening. Suara-suara mendadak hilang seolah malam tak lagi memiliki kehidupan.

Yas turun dari ranjang saking penasarannya. Kaki-kaki besi tempat tidurnya bergoyang, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Eja menahan napas, takut kalau-kalau helaannya akan terdengar sampai keluar. Digenggamnya erat-erat bolpen di tangan hingga tanpa sadar jari-jarinya menekan sejumlah tombol. Untungnya, lampu biru yang biasa menyala tidak menampakkan sinar. Bulatan kecil yang berkedip-kedip di dekat nama 'Nala'-lah yang justru menggantikannya. Eja tidak lagi memikirkan apa fungsinya. Dia terlalu kalut saat ini.

Samar-samar Eja melihat bayangan Yas merangkak menuju kabinet di dekat pintu, lalu tahu-tahu Yas sudah menaikinya. Tidak ada jendela, tetapi terdapat tiga lubang ventilasi kecil di sana. Cahaya temaram yang berasal dari luar masuk lewat celah-celah dan meninggalkan jejak berkas pada dinding.

Yas mengeluarkan teropong dari dalam saku, bersiap membidik. Dia tidak melihat apapun pada awalnya. Lalu, dialihkannya teropong tersebut lebih ke kiri. Akhirnya Yas mendapatinya—seseorang tengah berdiri di depan pintu kamar mereka. Dia membawa lampu minyak di tangan kanan. Postur tubuhnya cukup tinggi. Sayang, wajahnya tidak kelihatan lantaran orang itu memakai jas hujan beserta penutup kepalanya. Hanya bentuk hidungnya yang terlihat jelas dari atas.

Lambat laun nyala api pada lampu minyak meredup hingga cahayanya tinggal setitik nadi. Yas masih menunggu. Tiba-tiba nyala api membesar seolah tuasnya sengaja diputar habis oleh orang itu.

"Bangsat!" Yas refleks mengumpat, lalu turun dengan panik. Nyaris saja dia terjengkang. Orang itu menatap ke arahnya tadi.

Yas merinding setengah mati, sementara di ranjangnya Eja tidak berani berkutik. Kengerian seperti menghantui mereka selama berjam-jam. Yas tersengal hebat. Eja menelan ludah gugup. Seseorang di balik pintu itu akhirnya berderap pergi setelah cukup lama berdiam diri. Namun, suasana tak kunjung membaik lantaran kegelapan justru mengikis habis keberanian mereka.

"Dia menjauh."

Rasanya baru kali ini Yas merasakan teror. Sebelum-sebelumnya tidak pernah ada kejadian semacam ini yang menimpanya. Buru-buru dia menghambur ke ranjang Eja, kemudian menyusup di balik selimut. Eja sempat menolak, tetapi Yas berkeras mempertahankan posisinya. Dia sangat ketakutan.

"Jangan bernapas di telingaku!" Eja mendorong wajah Yas yang tak berjarak dari telinganya. Setelah dirasanya deru napas Yas kembali tenang, Eja baru berani berani menanyakan, "Yas, siapa yang kaulihat tadi?"

Tiga detik, terlalu cepat bagi Yas menyimpulkan. Tetapi wajah dan senyum itutampak mengerikan, sepertinya orang itu ... adalah Dokter Lazuardi. Dia menggenggam kapak di tangan kirinya. Entahlah. "Aku tidak yakin."

Yas tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Hujan turun tak lama kemudian. Kilat dan guntur tak berhenti bersahutan sampai pagi menjelang. Sejak malam itu, Yas dan Eja selalu bergantian terjaga. Suara-suara yang terdengar pada malam hari, kerap menjadi momok menakutkan bagi mereka.

__________________

"Tiga orang korban mengalami luka berat, sementara tujuh orang lainnya luka ringan. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu, Inspektur," ujar Kamal memberi tahu. Dia sedang menginterogasi Dimas di ruangannya. Mereka duduk berhadap-hadapan. Karena tersangka dalam kasus kecelakaan ini merupakan seorang anggota polisi, kasusnya tidak tangani oleh penyidik Laka Lantas, melainkan dilimpahkan ke Divisi Internal begitu olah TKP selesai dilakukan. Hukuman yang akan dijatuhkan pun, mereka yang menentukan, sesuai dengan pasal-pasal tindak pidana yang dilanggar serta peraturan yang berlaku, tentunya.

Setelah cukup lama menjeda, akhirnya Kamal pun kembali melanjutkan, "Untuk sementara kau akan dibekukan dari jabatanmu sebagai penyidik."

Dimas mengangguk gamang. Mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin membantah. Kata-kata Kamal, Dimas catat baik-baik dalam kepala. Dimas tidak diizinkan menyelidiki sebuah kasus selama penyelidikan terhadap dirinya masih berlangsung. Dimas mungkin akan mendapat diskors nantinya. Lencana, semua kartu akses, berikut revolvernya telah disita dan disimpan di dalam brankas milik Komisaris. Namun, meskipun begitu, setidaknya Dimas bisa bernapas lega. Tidak ada korban jiwa, kata Kamal.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Begitu Kamal mempersilakan, Mari masuk tak lama kemudian. Dia membawa sejumlah map berwarna kuning di tangannya, yang kemudian diserahkannya pada Kamal.

Dimas bisa merasakan, meski hanya lewat ekor mata. Mari sempat melirik ke arahnya, sebelum kemudian keluar dari dalam ruangan. Tatapannya aneh. Dimas mendadak gusar, apakah dia akan ditahan di penjara setelah ini?

Sementara Kamal sibuk dengan tumpukan map itu, mata Dimas mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Ruang Kadiv Internal cukup besar juga rupanya, selain itu bersih dan rapi. Sofa untuk menjamu tamu ditata dengan apik di dekat pintu masuk, merapat pada dinding. Sofa tersebut kelihatannya terbuat dari bahan kulit berkualitas mahal: berwarna cokelat tua, tebal, dan mengkilap. Di sudut ruangan berdiri sebuah lemari kaca, dispenser diletakkan di sebelahnya. Kemudian, terdapat sebuah pintu lain di dekatnya—diapit oleh dua buah guci raksasa—yang mengarah entah kemana. Mungkin ruangan penyimpanan berada di baliknya atau bisa jadi ruang arsip. Berkas milik Letnan Samsuri mungkin saja disimpan di dalam sana, pikir Dimas.

"Korbannya tidak sedikit, Inspektur." Kamal berkata lagi, memaksa atensi Dimas berpindah ke arahnya. "Denda yang harus dibayar juga pastinya tidak akan sedikit. Kemungkinan bisa sampai satu milyar. Perkembangan selanjutnya akan segera kita kabari."

Akan mengabari, kalimat itu biasanya menandakan berakhirnya sebuah pertemuan. Akan ada jabat tangan setelahnya. Dimas merasa interogasinya sudah selesai, tetapi Kamal tidak kunjung menyuruhnya keluar.

Kamal sengaja menahan Dimas berlama-lama untuk menanyainya tentang beberapa hal. Dia melempar tiga lembar foto ke atas meja tanpa berkata apa-apa. Tangan Dimas lantas bergerak mengambil salah satunya. Potret di dalamnya membuat dada Dimas langsung berdenyut sakit. Hatinya serasa mencelus. 17 Desember 2020. Sekitar satu bulan yang lalu. Foto-foto itu diambil saat Dimas sedang berada di tempat pemusnahan barang bukti. Ternyata ada seseorang yang diam-diam memotonya saat itu. Siapa kira-kira?

Seolah mengerti dengan apa yang Dimas risaukan, Kamal segera menjawab pertanyaannya. Dia bilang, "Foto-foto itu diambil oleh salah seorang penyidikku. Ada seekor tikus, rupanya, di kepolisian ini yang hobi mengorek-ngorek tempat sampah."

Dimas mendengus keras. "Tikus". Mendadak dia jadi kesal dibuatnya. Tidak seharusnya Kamal menyindir Dimas di depan wajahnya seperti ini. Dimas tidak akan keberatan jika Kamal langsung ke inti permasalahan. Sialan. Di saat seperti ini pun Dimas masih mementingkan harga dirinya.

"Apa yang kaupungut di sana waktu itu?"

Pertanyaan kamal membuat Dimas berpikir keras. Di tempat penuh jelaga itulah Dimas menemukan sebuah HT tua. HT tua yang kemudian membawanya pada Letnan Samsuri. Tidak. Dia tidak mungkin mengatakannya. Kamal mungkin akan meminta Dimas menyerahkan HT itu jika dia berkata jujur. HT itu tidak bisa jatuh ke tangan orang lain. Dimas harus tetap terhubung dengan Letnan Samsuri agar dia bisa menyelamatkannya. Meski kemungkinan HT itu masih berfungsi hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, Dimas tidak bisa membiarkan Kamal memilikinya.

"Tidak ada," jawab Dimas kemudian. Rahangnya mengeras. Kamal memandangnya dengan tatapan memicing.

"Kudengar kau sedang menyelidiki seseorang bernama Syahbana Samsuri."

Dimas sontak terentak di kursinya. Nama Letnan Samsuri tiba-tiba saja disebut ke tengah pembicaraan. "Apa Anda mengenalnya?" tanya Dimas penasaran.

Kamal tidak segera menjawab. Dia justru berjalan mendekat ke lemari kaca. Dimas perhatikan terdapat beberapa foto berpigura kayu yang disusun di dalamnya. Kamal membuka lemari kaca tersebut, kemudian mengambil salah satunya. Dibongkarnya pigura itu kemudian. Dia mengeluarkan sebuah foto, bukan foto keluarga yang semula dipajang di balik kaca tebal, tetapi foto lain—yang selama ini disembunyikannya di sana. Kamal memandanginya dengan tatapan sendu. Dimas merasa sangat penasaran, tetapi Kamal tak membiarkannya melihat.

"Tentu saja." Kamal kembali ke kursinya. "Samsuri dulunya adalah rekanku saat aku ditugaskan di Divisi Pidum. Dia menghilang secara tiba-tiba pada suatu hari. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Sampai sekarang."

Dimas sudah tahu fakta itu dari cerita yang dia dengar melalui Agus Sinar-secara tidak langsung. Sudah sejak lama, Agus Sinar mencari-cari keberadaan Letnan Samsuri. Sayang, Dimas belum sempat menanyakan bagaimana kronologi kejadiannya pada Agus Sinar. Mereka bertengkar di rumah sakit kemarin. Dimas belum ingin menemuinya dalam waktu dekat. Lagi pun, tampaknya Agus Sinar akan sangat sibuk mengurusi Elizar.

Dimas tidak menyangka, ada seseorang yang ternyata begitu dekat dengannya di Polresta Barelang yang juga mengenal Letnan Samsuri. Kamal baru disertijab. Jadi, tidak mungkin Dimas bisa menduga kalau Kamal tahu perihal kematian Letnan Samsuri.

Kamal mengeluarkan selembar kertas print out dari dalam laci meja kerjanya. Kertas itu dibubuhi stempel "sangat rahasia" di tengah-tengahnya. Dimas meraihnya tanpa pikir panjang. Nama. Tanggal lahir. Riwayat pendidikan. Karir dan pencapaiannya di kepolisian. Profil lengkap milik Letnan Samsuri, semua tertera dalam selembar kertas tersebut.

Terdapat sebuah foto berukuran 4x6 di sudut kanan atas. Jadi, seperti inilah wajah Letnan Samsuri, batin Dimas. Walaupun terlihat kabur, Dimas berusaha merekam potretnya dalam ingatan. Letnan Samsuri memiliki bentuk wajah bulat. Pipinya berisi. Rambutnya semrawut. Matanya kelihatan sayu dan tidak simetris. Mungkin dia baru bangun tidur saat foto tersebut diambil.

Dimas bertanya-tanya apakah mereka pernah bertemu di suatu tempat. Letnan Samsuri dan Agus Sinar saling mengenal. Jadi, tidak menutup kemungkinan Dimas pernah bertemu dengannya.

"Samsuri adalah orang yang baik. Banyak berita yang beredar di kalangan polisi kalau dia bunuh diri, sebagian lagi menduga dia dibunuh," ungkap Kamal tanpa diminta. "Setelah beberapa tahun terlewat, kasusnya tidak kunjung menemui titik terang. Jadi, terpaksa ditutup pada waktu itu."

"Saya dengar Letnan Samsuri-lah yang menyelamatkan saya saat saya diculik," sesal Dimas.

Kamal kembali terkenang. Dia lantas mengiyakan. "Samsuri sempat menjengukmu di rumah sakit."

"Menjenguk?" Dimas terkesiap. Tidak mungkin, bantahnya cepat. Dimas telah meraba-raba ingatannya, tetapi dia sama sekali tidak mengenali wajah Letnan Samsuri. Dia hanya mengingat Elizar dan Eja, juga Agus Sinar yang tampak bersedih saat di rumah sakit. Dimas memimpikan kenangan itu berulang-ulang.

Barangkali memang-Samsuri menjenguk sewaktu Dimas tertidur. Sebelum-sebelum itu, mungkin saja Dimas pernah melihatnya, tapi dia tidak ingat.

"Salah seorang saksi mengatakan pada kami, mobil Samsuri sempat terlihat berkeliaran di daerah Waduk ATB. Entah apa yang dilakukannya di sana. Dia sedang tidak ada kasus. Dua hari kemudian tahu-tahu mobilnya ditemukan di sekitaran area Jembatan Barelang I. Jauh sekali. Kalaupun benar Samsuri bunuh diri, tidak masuk akal jika dia berkendara sampai sejauh itu. Seseorang pasti membunuhnya, dan merekayasa semua ini. Sayangnya, tidak ada bukti."

Waduk ATB. Dimas mencatat infromasi itu.

Dimas setuju dengan pendapat Kamal. Waduk ATB menjadi pilihan yang lebih masuk akal. Kenapa Letnan Samsuri sampai harus repot-repot berkendara sampai ke perbatasan hanya untuk mengakhiri hidupnya? Seperti kata Kamal, ada pihak ketiga yang mendalangi ini semua. Letnan Samsuri bisa saja dibunuh.

Rasa penasaran Dimas belum surut. Dia menyinggung soal barang bukti di TKP. Beberapa benda memang tertinggal di dalam mobil Letnan Samsuri, tetapi Kamal bilang tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk. Sebuah HT. Buku. Bungkus rokok. Sepasang sepatu. Serta sebuah jaket. "Semua barang bukti untuk kasus Samsuri sudah dimusnahkan," katanya. "Tetapi ada satu barang yang hilang. Ponsel Samsuri tidak ditemukan dalam mobilnya."

"Ponsel?"

"Ya. Merk Nokia. Mungkin Samsuri yang membawanya."

Mungkin.

Entah sudah berapa banyak kata mungkin yang Dimas dengar dari Kamal. Tidak jelas. Penyelidikan kasus Letnan Samsuri seolah hanya berdasar asumsi saja.

Dimas kira tadinya, akan sangat sulit mendapatkan informasi tentang Letnan Samsuri, tetapi ternyata tidak. Kamal, seseorang yang menjabat sebagai Kepala Divisi Internal itu sendiri, justru dengan sukarela mau membeberkannya.

"Masih banyak yang ingin saya tanyakan. Apa Anda tidak keberatan menjawabnya?"

"Kenapa, tidak?" ujar Kamal spontan. Dia menggenggam dagunya. "Secara tidak langsung, bisa dibilang Samsuri itu ... bagian dari keluargamu. Jadi, tidak ada masalah."

"Keluarga? Apa maksud Anda, Pak?" Dimas sama sekali tidak mengerti.

"Jadi, Agus Sinar tidak pernah memberitahumu?" Dahi Kamal terlipat banyak. Diperhatikannya Dimas dengan saksama. Wajahnya terlihat sangat kebingungan. "Pantas saja, diam-diam kau juga menyelidiki keluarga Samsuri," katanya lagi. "Padahal, kan, mereka sangat dekat denganmu—hanya saja tidak sedekat urat nadimu." Kamal mengangguk-angguk. Tatapan Dimas berubah getir saat Kamal mengucapkan dua nama itu; "Ya. Elizar dan Eja."

Dimas tercekat. Rasanya dia seperti baru saja dihempas dari atas gedung pencakar langit. Kalimat itu, Dimas juga pernah mendengarnya dari Santini. "Coba tanya hatimu sesekali. Dia (anak Lentan itu) sangat dekat, tapi tidak sedekat urat nadimu."

Bagaimana mungkin Dimas tidak menyadarinya. Bunda Elizar dan Eja ternyata .... Dimas mengusap wajahnya berulang kali. Mereka lebih dekat dari apapun yang bisa diraihnya, tapi Dimas memilih menutup mata. Mendadak dia teringat pada Bunda Elizar yang sedang terbaring di rumah sakit dan Eja yang saat ini ada di pusat rehabilitasi. Mereka adalah orang-orang yang sangat berharga bagi Letnan Samsuri, tetapi Dimas, selama ini dia tidak pernah memperlakukan mereka dengan baik. Dimas menunduk tak percaya. Air matanya jatuh terlalu cepat, sampai-sampai Dimas merasa tidak perlu lagi menghapusnya.

"Apa kau tidak dekat dengan mereka?" tanya Kamal yang bingung melihatnya. Dia memeriksa berkas-berkas pendukung milik Dimas di atas meja. "Ah, kalian hidup terpisah selama bertahun-tahun ternyata," seru Kamal kemudian.

Riwayat pendidikan dan Pelatihan yang pernah ditempuhnya tercantum di sana. Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Kepolisian, Dimas ditugaskan di Polrestabes Semarang. Dia mengambil gelar sarjana hukumnya di Undip, mengikuti berbagai macam pelatihan kejuruan serta pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi Reserse Kriminal, lalu dipindahtugaskan ke Polresta Barelang.

"Kau ...."

Suara Kamal selanjutnya mengambang. Dimas sangat terpukul karena informasi ini. Dia tidak berbicara lagi setelahnya. Bayangan Elizar dan Eja menolak keluar dari dalam kepalanya.

___________________

Ruangan Divisi Pembunuhan terlihat sepi. Tidak ada siapa pun di dalam saat Dimas melangkah masuk. Sudah hampir pukul setengah satu. Sekarang jam makan siang, memang, tapi tidak biasanya ruangan dibiarkan kosong seperti ini.

Dimas menghampiri meja kerjanya. Hadiah pemberian Bunda Elizar masih disimpannya rapi di dalam laci. Dimas mampir hanya untuk mengambilnya, juga barang-barang lain miliknya yang mungkin saja tertinggal.

Peluit berwarna silver itu Dimas keluarkan dari dalam kotaknya. Dimas menggenggamnya erat sampai biji besi di dalamnya bersuara. Lagi-lagi air matanya jatuh tak tertahankan. Dimas menyekanya dengan kasar. Dia begitu marah, mengapa Tuhan sangat senang menghadirkan penyesalan belakangan.

Dimas tidak ingin berlama-lama. Disandangnya tas ransel di pundak, lalu dia melangkah keluar dari dalam meja kerjanya yang bersekat. Namun, baru saja menjejaki lantai beberapa kali, langkahnya langsung terhenti di dekat meja Aryan. Sudut matanya menangkap sesuatu yang bersinar keemasan. Dimas sontak melirik. Dilihatnya dompet KTA penyidik milik Aryan tergeletak di antara tumpukan map yang terbuka.

Spontan, terbesit sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang mungkin akan sangat berisiko.

Aryan adalah seorang Bintara Khusus. Dia pasti memiliki kartu akses ke ruang penyimpanan barang bukti. Jurnal milik Letnan Samsuri kemungkinan masih disimpan di ruangan tersebut karena kasus Disza Anszani belum naik ke pengadilan. Dimas yakin, pasti ada petunjuk lain di sana. Dimas terlalu sibuk mengurus kasus penemuan kerangka di Desa Batu Bedimbar. Jurnal Letnan Samsuri tidak sempat dibacanya habis waktu itu.

Alarm mengirimkan sinyal tanda bahaya ke otak, tetapi Dimas sama sekali tidak peduli. Dia berpindah cepat ke meja Aryan. Dipilahnya kartu-kartu yang terselip di dalam dompet tersebut: ID card, KTP, dan berbagai kartu akses lainnya.

Dimas menarik salah satunya. Tidak ada siapa pun yang melihat. Dimas buru-buru keluar dari dalam ruangan kemudian.

Manik matanya sibuk membaca situasi. Untungnya koridor lantai tiga tidak begitu ramai siang itu. Dimas berjalan tenang menuju ruangan Divisi Tahti. Letaknya tidak begitu jauh. Tepat di belokan koridor sebelum tangga menuju lantai empat.

Dimas tidak menyapa petugas yang berjaga di meja informasi.

Skrining kartu akses di pintu masuk dilakukannya dengan cepat. Dimas hanya perlu menempelkannya. Kartu Aryan akan terbaca. Lalu selesai.

Dimas langsung menghambur masuk begitu pintu besi terbuka setelahnya. Ruangan cukup pengap dan berbau apak. Dimas berputar-putar. Sialnya, ada begitu banyak dus yang dijajar di lemari penyimpanan. Pada bagian depannya hanya dilabeli nomor laporan kasus. Tidak mungkin Dimas membongkarnya satu-satu. Dia tidak punya banyak waktu.

Dimas mencoba mengingat-ngingat. Saat press release berlangsung Dimas sempat melihat Jurnal Letnan Samsuri ikut digelar di meja barang bukti. Jurnal tersebut dimasukkan ke dalam plastik transparan yang pada bagian depannya diberi label nomor laporan kasus. Sayangnya, Dimas tidak memerhatikan digit angkanya. Jurnal itu diletakkan terlalu jauh dari jangkauan matanya.

Kepalanya yang masih diperban mendadak berdenyut sakit. Dimas bersandar sebentar pada dinding.
Dia sempat kelimpungan, tetapi refleksnya bekerja cepat saat menyadari pintu besi berbunyi membuka. Dimas mengintip dari sela-sela lemari penyimpanan. Dia melihat Bram tengah berdiri di ambang pintu bersama rekannya. Mereka masuk tak lama kemudian sembari membawa dus di masing-masing tangan.

"Belakangan banyak sekali kasus penyerangan terhadap orang tak dikenal yang masuk."

Bram dan rekannya sedang membicarakan sesuatu. Disimaknya baik-baik percakapan kedua orang itu.

"Ya. Orang-orang mulai gila sepertinya."

"Gadis itu sangat syok saat diinterogasi. Kasihan."

Kening Dimas berkerut dalam. Gadis yang mereka maksud mungkin saja Disza Anszani. Bram-lah yang bertanggung jawab atas kasusnya. Usai meletakkan dus-dus tersebut di lemari paling sudut, Bram dan rekannya lalu pergi-masih sambil bercakap-cakap.

Dimas mengendap keluar dari tempat persembunyiannya. Didekatinya dus yang Bram tinggalkan tadi di lemari sudut. Pada label depannya tertera "Nomor: LP/790/I/2021/KEPRI/Polresta Barelang", menandakan kasusnya baru dilaporkan pada bulan Januari 2021. Dimas mengeluarkan dus tersebut, kemudian mengaduk-ngaduk isinya. Barang-barang milik Disza Anszani yang sebelumnya pernah Dimas lihat di TKP didapatinya di dalam sana.

Dimas menelan ludah gugup. Jurnal milik Letnan Samsuri kini berada di tangannya. Tanpa pikir panjang, dijejalkannya jurnal itu ke dalam ransel. Dimas benar-benar nekat. Dia telah mencuri barang bukti. Akan ada harga yang harus dia bayar nantinya. Pasti.

Sesegera mungkin Dimas berderap meninggalkan ruang tersebut. Langkahnya agak tergesa-gesa. Petugas di meja informasi sampai mengernyit heran dibuatnya. Dimas sempat mengedip ke arah petugas itu sebelum kemudian keluar dari dalam ruangan Divisi Tahti.

___________________

KTA penyidik : Kartu Tanda Anggota penyidik

Divisi Tahti : Divisi Tahanan dan Barang Bukti

Please, drop your comment bellow if you find any information errors.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro