5. Disza Anszani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jawaban dari pertanyaan yang terus mengganggunya belakangan ini akhirnya mulai tersusun rapih. Sedikit demi sedikit kebenaran itu mulai terkuak. Mereka sempat kesulitan menemukan identitas pemilik rumah sebelumnya. Berkasnya tumpang tindih, jelas Briptu Ayran. Dan, dari informasi sang Briptu pula lah Dimas tahu, alasan mengapa penghuni lama rumah tua itu tidak lagi memperbaharui kartu keluarga dan juga kartu tanda penduduk mereka. Keluarga yang menghuni rumah tua itu rupanya sudah tewas dalam insiden bunuh diri satu keluarga yang terjadi di Karang Sari pada tahun 2000 silam.

Jadi ternyata TKP-nya juga di rumah itu.

Dimas teringat perkataan papanya. Kasus tersebut memang sempat membuat gempar, hanya saja langsung padam begitu kasus pembunuhan satu keluarga, yang terjadi di tempat dan di tahun yang sama pula, meledak bagai lava yang menyembur dari gunung berapi.

Alhasil kasus itu ditutup tanpa tersangka, sebab bukti-bukti terkait mengarah ke kasus bunuh diri bukan pembunuhan.

Jika memang begitu keadaanya, lalu mengapa kerangka manusia itu bisa ada di dalam ruang bawah tanah?

Dimas berputar-putar mengelilingi rak-rak buku. Masih ada pertanyaan yang mengambang di otaknya dan dia butuh jawaban itu segera. Jika tidak, dia tidak akan bisa tidur.

Tangannya dengan gesit memilah-milah buku referensi di barisan rak A25. Menggapai buku di tempat tertinggi, kemudian berjongkok dan kembali menyaut beberapa buku dengan jari-jari panjangnya, hingga tanpa sadar buku yang sudah dikumpulkannya hampir memenuhi meja baca.

Dimas bingung harus memulai dari mana. Terlalu banyak buku di atas meja. Dia hanya punya waktu beberapa jam untuk menuntaskan bahan referensinya ini sebelum pergi ke TKP. Dimas merasa masih ada yang kurang dari tumpukan daftar bacaannya. Dia butuh sesuatu yang dapat menjawab rasa penasarannya, tapi apa kira-kira?

Dimas hendak menuju barisan rak lain saat tangan seseorang tiba-tiba menyentuh pundaknya. Sontak, dia berbalik dengan segera dan mendapati wajah seorang gadis muda tengah menatapnya dengan raut tidak suka. Dimas menaikkan sebelah alisnya, secara tak langsung meminta gadis itu menyingkirkan tangannya. Apa-apaan anak ini, gerutu Dimas kesal.

Gadis itu menarik tangannya kembali kemudian berkata, "Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Ha?" Dimas yang sempat bingung dengan pertanyaan gadis itu hanya bisa melongo heran.

"Sedari tadi saya lihat Bapak muter-muter terus nggak jelas. Ngambil buku banyak banget dari rak tapi nggak ada satupun yang dibaca."

"Oh," jawab Dimas. Diliriknya kartu tanda pengenal yang melingkari leher gadis itu. Disza Anzani. Alis Dimas kembali terangkat. Kartu tanda pengenal itu bukan milik petugas Arsip Nasional, tapi tepatnya kartu mahasiswa. Sepertinya gadis bernama Disza Anzani ini adalah seorang mahasiswa yang sedang magang di tempat ini. Tidak heran mengapa tiba-tiba gadis itu menawarinya bantuan. Gadis itu pasti kesal padanya, sebab Dimas telah membuat banyak kekacauan. Akibat ulah Dimas, gadis itu mungkin harus lembur untuk membereskan buku-buku—yang telah Dimas ambil—kembali ke tempatnya semula.

"Saya sedang mencari bahan bacaan untuk referensi sebuah kasus."

"Kalau begitu, ikut saya."

Dimas tidak banyak protes saat gadis itu berbicara dengan nada memerintah. Bagai seekor kerbau yang dicucuk hidungnya, Dimas mengikuti langkah gadis itu.

Disza membawanya menaiki tangga menuju lantai tiga. Tempat itu terlihat lebih sepi ketimbang lantai lainnya. Mereka melewati banyak sekali rak-rak yang berbaris rapih di sisi kiri dan kanan mereka. Bau khas dari buku-buku tua yang jarang dijamah amat sangat menyengat hidung, membuat Dimas bersin beberapa kali.

"Tempat ini memang jarang dikunjungi. Jadi, juga jarang dibersihkan," ucap Disza. Gadis itu kemudian berbelok ke sebuah rak yang areanya tampak lebih gelap dan tertutup. Tidak ada cahaya masuk sebab memang tidak ada jendela di sekitar rak itu.

Saat gadis itu menghidupkan saklar, mulut Dimas pun langsung dibuat ternganga olehnya. Seolah baru saja menemukan oasis di tengah gurun tandus, Dimas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ada banyak sekali koran-koran lama yang diarsip di rak tersebut, bahkan, salah satunya sengaja dipajang di dalam sebuah estalase kaca.

Ditatapnya headline koran dalam estalase, kemudian bibir tipisnya bergerak menyuarakan tulisan yang tercetak pada halaman pertama koran lawas tersebut. 1998: Presiden BJ Habibie resmikan jembatan dan jalan Trans-Barelang di Batam, Riau.

Jembatan yang diresmikan tersebut terdiri atas enam jembatan yang menghubungkan tujuh pulau di gugusan Kepulauan Riau. Jembatan yang lebih dikenal dengan nama "Barelang" oleh masyarakat ini diambil dari nama-nama pulau yang dihubungkan oleh jembatan tersebut; Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Setoko, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.

Pembangunan proyek berteknologi tinggi yang diprakarsai oleh BJ Habibi melibatkan ratusan insinyur Indonesia tanpa campur tangan dari tenaga ahli luar negeri. Dibangun untuk memperluas wilayah kerja Otorita Batam (OB) sebagai regulator daerah industri Pulau Batam. Pembangun jembatan Trans Barelang setidaknya telah menghabiskan dana anggaran Otorita Batam (OB) sebesar Rp 400 Miliar yang dibangun dalam masa enam tahun (1992 - 1998). Jembatan dengan total panjang 2.264 meter ini terdiri dari rangkaian enam jembatan yang masing-masing diberi nama raja yang pernah berkuasa pada zaman Kerajaan Melayu Riau pada abad 15-18 Masehi. Enam buah jembatan megah ini merupakan proyek vital sebagai penghubung jalur Trans Barelang yang membentang sepanjang 54 kilometer.

Dimas tersenyum sekilas menatap foto di halaman depan koran. Jembatan Barelang telah menjadi ikon kota Batam, bahkan telah populer sebagai landmark-nya Pulau Batam. Seperti halnya kota Jakarta yang identik dengan Monas, Padang dengan Jam Gadangnya, maka orang akan mengidentikkan kota Batam dengan Jembatan Barelang (Barelang Bridge).

Dimas terkesima terlalu lama hingga dia lupa gadis itu masih ada di dekatnya. Dia melirik lewat ekor mata dan mendapati Disza sedang sibuk membetulkan letak koran yang tampak tidak beraturan. Suasana jadi amat canggung saat Dimas merasa gadis itu mengikutinya menjelajahi rak. Gadis bernama Disza Anzani itu memperhatikan seluruh gerak-geriknya. Dimas langsung kepanasan. Punggungnya serasa terbakar oleh tatapan gadis itu. Dimas memang tidak pernah suka jika ada orang yang mengawasinya saat dia sedang bekerja.

Lama-lama Dimas merasa canggung dengan situasi ini. Dimas berdeham, hendak memulai pembicaraan. Namun, tanpa diduga malah Disza yang pertama kali bersuara.

"Apa Bapak seorang polisi?" terka Disza terdengar ragu-ragu. Dia tidak begitu yakin, sebab penampilan Dimas terlihat seperti seorang warga sipil, tapi buat apa warga sipil mencari referensi untuk sebuah kasus?

Dimas mengambil sebuah gulungan koran di dekatnya, kemudian menjawab. "Begitulah," katanya. Dibacanya headline Koran Analisa yang membahas seputar tsunami Aceh. Dimas lalu mengembalikannya ke tempat semula.

Disza tidak menyangka tebakannya benar. "Apa tidak ada ruang arsip di kantor polisi?" tanyanya heran.

Dimas tergelak mendengar pertanyaannya. "Tentu saja, ada." Dia lalu menimbang koran mana yang akan dijawilnya. Dia sempat merasakan gadis itu menatapnya bingung, seolah menanyakan, lalu kenapa Anda di sini?

"Sebenarnya saya sedang mencari sebuah kasus ... emm ... yang terjadi di tahun 2000."

Disza mengangguk, meski Dimas yakin gadis itu tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara nantinya.

"File-nya tidak ada di ruang arsip Polresta Barelang, karena saat itu yang menangani kasusnya adalah Kepolisian Wilayah Riau."

"Ooooh ...!" Disza baru ingat kalau Batam dulunya masih tergabung ke dalam wilayah Provisinsi Riau. Barulah, pada tahun 2002 Kepulauan Riau dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi baru ke-32 di Indonesia.

"Polda Kepulauan Riau baru dibentuk pada bulan Maret 2005. Berkasnya mungkin sudah entah di mana sekarang. Jadi, Pusat Arsip Nasional adalah pilihan terbaik saat ini."

Disza mengangguk-angguk mengerti. Dia ikut membantu Dimas mencari Koran terbitan tahun 2000.

"Kamu sendiri?" pertanyaan Dimas sontak membuat Disza menoleh padanya dengan kening berkerut. Gadis itu sepertinya tidak mengerti dengan pertanyaan Dimas.

"Mahasiswi mana?"

Disza tidak menjawab, hanya menunjukan Kartu Mahasiswanya yang tergantung di leher pada Dimas.

Disza Anzani
180900105
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

"Universitas Sumatera Utara?" Dimas tercengang. "Jauh-jauh dari Medan PKL-nya di sini (Pusat Arsip Nasional)? Saya pikir kamu mahasiwi Perpustakaan."

Disza mendengus, terdengar agak dongkol. Omongan Dimas barusan memang bisa disalahartikan sebagai sebuah hinaan ketimbang pujian.

"Kenapa tidak PKL di Harian Analisa atau Komisi Penyiaran ...?"

"Saya sudah menjatuhkan surat ke sana tapi ditolak saat sesi wawancara."

Kini giliran Dimas yang ber-oh ria. Pembicaraan berhenti saat Dimas menemukan apa yang dia cari. Sebuah Koran terbitan Graha Pena tahun 2000 sudah ada di tangannya. Matanya menelusuri headline dan kolom-kolom berita di halaman selanjutnya. Insiden bunuh diri satu keluarga itu terselip di antara kolom-kolom kecil berita paling pojok.

Satu Keluarga Ditemukan Tewas Bunuh Diri Di Batam

BatamKematian satu keluarga yang diduga bunuh diri di Dusun II Desa Karang Sari, Batam, hingga kini masih menjadi misteri.

Ketiga korban ditemukan tewas dengan kondisi tubuh yang sudah membusuk pada Selasa malam (2/1).

Aparat kepolisian masih terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap kasus itu. Polisi masih menunggu hasil laboratorium forensik.

Kepala Korps Reserse Kepolisian Wilayah Riau, Kolonel Mahler Sanusi, mengatakan, pengumpulan keterangan dilakukan dengan pemeriksaan saksi maupun pemeriksaan di lokasi kejadian.

Selain itu, aparat Polwil Riau pun masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium forensik dari Polwil Sumatera Utara terhadap barang bukti berupa cairan. Cairan itu diduga sebagai racun pestisida yang sebelumnya diamankan dari lokasi kejadian yang langsung dikirim ke labfor untuk diperiksa. Diketahui para korban sempat makan bersama sebelum melakukan aksi bunuh diri.

"Belum diketahui apa motifnya. Kami masih mendalami motif bunuh diri satu keluarga ini," terang Kolonel Mahler Sanusi.

Kolonel Mahler Sanusi menjelaskan Pihaknya masih berupaya mengungkap kasus ini ....

....

Beritanya hanya segini saja? Dimas mendesis jengkel.

Diambilnya gulungan koran lain, namun tidak ada satu pun dari bacaan itu yang memuaskan rasa penasarannya.

Tiga orang tewas dengan kondisi tubuh yang sudah membusuk .... Diulanginya bagian kalimat itu, yang seolah menjelaskan bahwa anggota keluarga tersebut hanya berjumlah tiga orang saja. Lalu, kenapa bisa ada kerangka manusia di ruang bawah tanah itu?

Dimas memotret kolom berita tersebut dengan ponselnya. Dia akan memeriksanya lagi nanti. Briptu Aryan sepertinya telah menunggu di tempat parkir. Usai mengucapkan terima kasih pada Disza Anzani, Dimas buru-buru pergi dari tempat itu.

_____________

"Yan, apa kamu tidak merasa ada yang janggal dengan kasus ini?" tanya Dimas begitu dia masuk ke dalam mobil patroli. Dia mengenakan sabuk pengaman. Briptu Aryan kemudian menekan gas, keluar dari pelataran Gedung Arsip Nasional menuju pusat kota. Perjalanan ke Karang Sari akan sangat panjang. Kalau macet di perempatan, bisa-bisa mereka tiba saat matahari terbenam.

"Aneh bagaimana, Inspektur?"

Dimas menghela napas. Dia sendiri pun bingung menjelaskannya. "Kamu bilang pemilik rumah lama itu tidak pernah memperbaharui kartu keluarganya, kan?"

Briptu Aryan mengangguk.

"Barusan saya membaca sebuah koran terbitan lama. Di situ dibilang, kalau korban yang tewas ada tiga orang. Bagaimana kalau seandainya jumlah anggota keluarga itu ternyata lebih dari tiga orang?"

Briptu Arya tampak tercengang mendengar ucapannya barusan.

"Inspektur," katanya cemas bukan main. "Itu berarti, selama masa penyelidikan dulu, bisa saja anak itu luput dari perhatian penyidik."

Dimas memijat pelipisnya. Tiba-tiba otaknya ikut semrawut melihat kekacauan di Perempatan Kayu Besar. "Pertanyaannya, bagaimana bisa anak itu ada di bawah ruang bawah tanah?"

"Mungkinkah anak itu bersembunyi di sana selama bertahun-tahun hingga yang tinggal hanya kerangkanya saja saat dia temukan?" jawab Briptu Aryan kemudian.

Dimas langsung pusing mendengarnya. "Ngawur kamu!" senggaknya jengkel. Rasanya tidak masuk akal kalau anggota polisi yang menyelidiki kasus bunuh diri satu keluarga tersebut tidak melakukan penggeledahan terhadap seisi rumah tersebut dengan teliti. Akan tetapi, kalau memang benar demikian, itu berarti penyelidikan dan olah TKP nya tidak dilakukan dengan benar, sampai-sampai kejadian semacam ini pun bisa terjadi.

Dimas menghela napas. Selama lima belas menit mereka mendekam dalam diam sembari menunggu lampu rambu-rambu lalu lintas berubah warna. Satu per satu kendaraan akhirnya bisa bebas bergerak dan mulai merayapi perempatan. Dimas meminta Aryan menambah kecepatan agar mereka sampai lebih cepat.

Dimas merasa sangat lelah. Pada akhirnya dia jatuh tertidur meski hanya sebentar. Jalanan terjal dan penuh lubang membuatnya tersentak bangun. Dimas mendesis jengkel karena merasa tidak nyaman. Dalam hati dia terus menggerutukan tentang hal yang sebenarnya tidak perlu—soal nasib bokongnya, juga mobil patroli tua yang perlu diganti. Untung saja dia tidak memakai mobilnya tadi untuk tugas dinas ini. Bisa gila. Biaya perawatan dan ban mobilnya saja lebih mahal dari gaji bulanannya saat ini.

Matahari telah sepenuhnya menghilang dari garis horizon saat mereka memasuki daerah Karang Sari. Sesuai dugaan, mereka tiba di lokasi kejadian saat hari sudah gelap.

Dimas menatap arlojinya yang tengah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Dimas sama sekali tidak mendengar suara adzan berkumandang di daerah tersebut. Entah mengapa Dimas merasa hawa di tempat ini terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Mobil yang mereka kendarai seolah ditelan ke dalam kegelapan—kegelapan yang amat sangat panjang dan tak berujung. Rumah-rumah penduduk bahkan tak bisa ditangkap oleh mata.

"Sepertinya sedang ada pemadaman listrik, Yan."

Briptu Aryan ikut mengangguki. "Saya rasa juga begitu, Inspektur."

Aryan menyetir lurus hingga sampai ke batas Desa. Briptu itu telah hapal daerah ini. Dia sudah bolak-balik ke mari selama beberapa hari demi kasus kerangka manusia ini tentunya. Akhirnya mobil patroli yang mereka naiki berbelok ke pekarangan rumah yang saat ini dihuni oleh Haris dan keluarganya. Briptu Aryan menarik rem tangan kemudian mereka turun bersama.

Sepi. Rumah tua itu seperti tidak berpenghuni. Keadaan rumah yang gelap gulita jadi tampak seratus kali lebih menyeramkan. Padahal, sewaktu pertama kali datang ke mari, Dimas merasa rumah tua itu tidaklah seseram ini.

"Apa orang-orang kita sudah ditarik?" Dimas melirik sekilas, dilihatnya Aryan mengangguk.

Dimas kemudian memberi kode pada Aryan agar mengetuk pintu.

Tok ... tok ...

Pintu diketuk dengan tempo lambat. Selama beberapa menit mereka menunggu, namun tetap tidak ada tanda-tanda bilah pintu rumah itu akan terbuka.

Dimas berpikir mereka mungkin sudah pindah entah ke mana. Namun, Aryan langsung menyangkal pendapatnya, "Itu tidak mungkin, Inspektur. Kemarin pun saya datang ke sini mereka masih ada di rumah."

Dimas mengusulkan untuk mengitari rumah besar itu dan memeriksa keadaan sekitar. Aryan setuju. Dengan bermodalkan senter kecil, keduanya mulai bergerak terpisah.

"Hidupkan HT-mu, Yan," ucap Dimas pelan, sambil mengeluarkan HT-nya dari dalam saku jaket.

Briptu Aryan mengangguk lalu melakukan hal yang sama, tidak lama kemudian sosoknya telah menghilang di bagian sisi kiri rumah.

__________

Suara berisik yang tiba-tiba keluar dari HT membuat Dimas sempat terlonjak kaget. Digengggamnya benda itu erat-erat. "Ada apa, Yan?" sambutnya seketika. Napasnya terdengar memburu tidak keruan. Sisi lain rumah besar tersebut rupanya sangatlah gelap. Dimas melanjutkan langkahnya dengan sangat hati-hati sembari menunggu Aryan melapor masuk.

"Apa kamu menemukan sesuatu?" tanya Dimas lagi. Merasa jengkel sendiri, lantaran di seberang sana Aryan tak kunjung menjawab.

"Ya—"

"Lapor ...," potong suara berat di seberang.

Kening Dimas pun mengernyit seketika. Dia yakin sekali itu bukan suara Aryan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro