50. Titik Akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Depari terkejut saat mendapati Dimas tiba-tiba melesat dari sisinya. Dia pergi begitu saja, membawa rasa panik yang menyertainya, menelusuri hutan itu seorang diri, dan enggan memedulikan Depari yang trus berteriak nyalang di belakang punggungnya.

Sepanjang perjalanan itu, Dimas bertanya-tanya, apakah dia bisa segera menemukan keberadaan Eja? Sebab, kendati dia tengah berlari kencang, Dimas merasa seakan-akan dirinya tidak sedang berdiri di atas kenyataan. Dia seperti terseret ke dalam arus kenangan. Dan bayang-bayang itu, jejak dalam lini memorinya, tampak begitu jelas seolah dia baru mengalaminya kemarin. Kenangan itu membawa serta wajah Samsuri menyeruak dalam benak. Dan Dimas tak bisa berhenti meyakini, bahwa baru kemarin lalu rasanya dia berbincang dengan pria itu. Baru kemarin lalu mereka saling berkeluh kesah. Namun, kini Dimas harus kehilangan sesuatu yang sejatinya tidak pernah dia miliki dalam hidup. Sesuatu yang tidak pernah direngkuhnya. Dan Dimas tidak menyangka, luka yang Samsuri tinggalkan untuknya, akan menyisakan ruang sebesar ini di hatinya.

Perlahan-lahan jalan setapak yang menuntunnya tidak lagi tampak di depan mata. Tertutupi oleh rapatnya belukar yang tumbuh tak kalah subur di sekitar tempat itu. Perjalanan Dimas pun menjadi sedikit terhambat. Pohon-pohon yang dia lewati terlihat sama dan sekarang Dimas yakin dirinya menemui jalan buntu. Di depannya adalah jurang yang sangat dalam. Dimas tidak mungkin nekat melompatinya, demi mencapai daratan seberang.

Sebelum memutuskan berbelok ke arah barat, Dimas mengedar pandang ke penjuru tempat itu. Instingnya kini telah kembali bekerja, setelah lenyap butiran air mata yang tadinya membayang di pelupuk mata. Dengan cermat Dimas kemudian mengamati jejak kaki yang tampak di antara rerumputan dan tanah basah. Jejak itu terlihat masih baru. Dan Dimas yakin ukurannya sebesar kaki seorang remaja.

"Sepertinya Eja melewati jalur ini dengan bertelanjang kaki." Dimas berkata sembari menggenggam erat ujung dagunya. Sementara itu di tempat lain, ketika Dimas mencari-cari lebih jauh, dia menemukan satu lagi jejak di tanah—kali ini jejak sepatu—yang terlihat lebih besar, seukuran kaki orang dewasa.

Dimas tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan menimbang-nimbang terlalu lama di tempat itu. Dengan sigap dia pun mengikuti jejak kaki tersebut, berikut seluruh petunjuk yang tertinggal di patahan ranting belukar. 

Seluruh petunjuk itu setidaknya memberi Dimas sedikit harapan untuk dapat melacak keberadaan Eja. Dia menempuh perjalanan selama hampir sepuluh menit, kemudian perlahan-lahan berhenti melangkah. Tak jauh dari sana, dia menjumpai dua buah papan penanda. Satu berada di sisi kiri, sementara yang lain terlihat melalui sudut kanan matanya.

Saat itu, Dimas mulai mengerti bahwa Haszni Yusuf agaknya sengaja meninggalkan benda itu di tempat-tempat tertentu, untuk menandai sejumlah lokasi di mana objek penelitiannya berada. Hutan ini sangat luas. Haszni Yusuf jelas akan kebingungan jika dia tidak mengantisipasinya dengan cara itu.

Selagi mengedar pandang, Dimas pun kembali bergerak maju, menuju papan penanda terdekat, dengan perasaan luar biasa waswas. Benda itu jadi semacam pengganti nisan, yang dibuat dengan bentuk ala kadarnya. Ketika berhadapan dengannya dan memperhatikannya dengan cermat, kedua mata Dimas spontan terbelalak. Benaknya tiba-tiba saja diserang oleh kata-kata yang Depari ucapkan beberapa waktu lalu. 0086. Angka itu ditulis di sana, menggunakan semacam cat piloks, walau sudah tidak begitu kentara warna yang mendasarinya.

Dimas memegang erat papan itu hingga membekas jejak debu di atas telapak tangannya. Tanpa sadar dia menggumam, menggeleng frustrasi, dan melakukan apa pun yang dia bisa untuk menangkal suara Depari yang terus berkejaran dalam kepalanya. 

Dimas merasa seperti sedang menghadapi mimpi buruk yang tidak berkesudahan ketika  menggulir tatapan ke ujung sepatunya. Sebentuk kerangka jemari manusia mengemuka di sana, terlihat di antara padatnya tanah yang menenggelamkannya. Kata-kata Depari lantas menjadi pemicu dan lagi-lagi menyadarkan Dimas akan situasi yang tengah dihadapinya. Dia harus melakukan sesuatu. Seperti menggali lebih dalam. Hingga terlihat jelas kerangka tubuh manusia yang identitasnya Depari sebut-sebut sebagai Samsuri itu.

Kerangka itu dibalut pakaian berupa kaus yang warnanya tidak lagi bisa dikenali. Di dalam salah satu kantung celananya, ketika Dimas mencoba meraba-raba, dia menemukan sebuah benda yang telah berkarat pada bagian permukaannya. Sebuah kalung berantai patah. Terdapat foto lawas di dalamnya. Dan ada wajah-wajah yang sangat Dimas kenali di dalam sana; Eja yang sedang tersenyum manis, juga Bunda Elizar yang tampak masih begitu muda. Sementara di sisi mereka, berdiri seorang pria yang wajahnya tampak membayang. Potret jadul itu seperti terkena bekas percikan air sehingga sebagian besar gambarnya terlihat memburam dan sulit dicermati.

Penemuan kalung berantai itu membuat Dimas mulai meyakini bahwa identitas kerangka yang dia temukan tersebut adalah benar Letnan Samsuri. Apa yang Dimas saksikan merupakan sebuah kenyataan pahit yang harus ditelannya dengan susah payah. Letnan Samsuri tidak mendapat tempat peristirahatan yang layak. Dia bertanya-tanya akan apa yang membuat Letnan Samsuri pantas mendapatkan ini semua. Di matanya, Letnan Samsuri adalah pria yang baik. Tidak seharusnya dia mati dengan cara seperti ini. 

Membayangkan itu semua, membuat air mata Dimas jatuh bercucuran di wajah. Lambat laun dia berhenti menggali tanah di sekitar kerangka itu. Saat diperiksanya dengan lebih teliti, Dimas mendapati fakta bahwa kerangka itu ternyata tidak memiliki bagian tengkorak kepala. Dimas berupaya mencari-cari di sekitar rerumputan. Akan tetapi, dia justru menemukan jejak perkelahian di dekat situ. Tanah di sekitarnya terlihat berantakan. Di antaranya terdapat jejak yang cukup panjang, kelihatannya seperti jejak seseorang yang diseret-seret. Dimas tidak begitu yakin akan dugaannya. Namun, dia mengira, barangkali Eja sempat diserang oleh pria gila bernama Haszni Yusuf itu di tempat ini.

Lantas, di mana mereka sekarang?

Dimas tampak kebingungan. Pada akhirnya dia terpaksa meninggalkan kerangka tubuh Samsuri di tempat itu. Eja adalah hal yang harus dia prioritaskan sekarang. Kendati pencarian ini belum membawa Eja kepadanya, Dimas tidak ingin kehilangan harapan begitu saja.

________________________

Dimas yakin dirinya tidak salah dengar. 

Sejak beberapa saat yang lalu, dia mendengar suara-suara yang terus menganggunya, yaitu gelak tawa seorang pria yang menggema di penjuru mata angin.

Dimas memaksa indra pendengarannya bekerja lebih keras. Suara itu sesekali hilang. Lalu timbul lagi. Dan kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Seolah-olah ia hanya berjarak sekian meter jauhnya

Berjalan lurus dengan langkah ringan, Dimas berupaya agar derap langkah kakinya tidak menimbulkan suara saat menginjak dedaunan kering. Dia lalu membungkuk dan mengintip di balik belukar yang tumbuh setinggi pinggang. Menilik situasi di sekitarnya. Hingga kemudian, gurat cemas di wajahnya berganti dengan senyum lebar, dan perasaan cemas yang sedari tadi mengepung dadanya hilang begitu dia berhasil menemukan sosok Eja di balik sebuah batang pohon yang rebah di atas tanah.

Dimas hendak berteriak memanggilnya. Namun, dari arah lain Haszni Yusuf tiba-tiba muncul dan membuat dia terpaksa harus mengatupkan rahang. Pria itu lagi-lagi tertawa. Berbicara dengan sangat keras dan mengancam akan membunuh Eja jika dia sampai menemukan keberadaannya.

"Kau akan bernasib sama seperti ayahmu. Tidak akan ada seorang pun yang akan menemukanmu di tempat ini."

Dimas mengepalkan kedua tangannya. Pria tua itu benar-benar segila seperti yang apa Depari katakan. Tatapannya liar dan penuh oleh hasrat membunuh. Dimas harus segera mencari cara untuk mengalihkan perhatian pria itu. Beberapa langkah lagi, Haszni Yusuf akan mencapai tempat persembunyian. Dimas tidak bisa membiarkannya.

Dengan cepat Dimas melepas pengait arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Benda itu cukup berat untuk dia lemparkan sejauh mungkin hingga menghantam keras sebuah pohon. Upaya yang Dimas lakukan itu pun berhasil membuat Haszni Yusuf menjauh dari lokasi persembunyian Eja untuk sementara  waktu. Pria itu dengan cepat berlari menuju sumber suara dan kesempatan emas itu pun tidak Dimas sia-siakan begitu saja.

Dimas mendekat sekerat demi sekerat. Eja yang menyadari itu pun menoleh dengan cepat, merasa terancam oleh bahaya yang kian mendekatinya.

Wajah kuyu itu menatap Dimas dengan penuh ketakutan dan rasa putus asa. Eja tidak tahu siapa yang datang, sebab wajah Dimas tertutup oleh bayang-bayang cahaya. Dia sempat memberontak ketika Dimas berjongkok di depannya, namun Dimas menekapnya dengan erat.

"Eja ... Eja!" Dimas berbisik tajam. Dan suara itu terdengar tidak asing baginya. Saat kemudian bayang-bayang senja menyingkir, Eja baru menemukan figur wajah Dimas seutuhnya. Tatapannya terlihat berbeda. Tidak pernah Eja temukan pada Dimas yang biasanya. Tatapan dari seseorang yang begitu letih mencemaskannya. Dan ada banyak titik air mata di dalam sana.

Eja seperti sedang bermimpi saat ini. Tidak pernah terlintas sekali pun dalam benaknya, bahwa Dimas akan datang menyusulnya ke tempat ini. Rasa takut yang sejak tadi membayang-bayanginya pun dengan cepat menguap karena Eja tidak lagi merasa sendiri. Dia masih memiliki kesempatan. Dimas bersamanya, meremas jemarinya. Genggaman itu terasa kuat dan bisa dipercaya. 

"Eja, ini Abang. Kamu ... baik-baik aja kan?"

Eja bergeming. Dimas menunggunya mengatakan sesuatu, tetap Eja tetap berdiam diri. Kendati anak lekaki itu terlihat lebih tenang dari sebelumnya, Dimas tetap harus menyakinkan  bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa Dimas tidak akan meninggalkannya. Di tengah itu semua Eja tersenyum. Merasa begitu asing melihat Dimas memperlakukannya dengan cara seperti itu. Dia menghela napas, dan membiarkan Dimas menyapu jejak tanah di sekitar pipinya. Manik matanya yang berair lalu turun, dan dalam waktu yang hampir seketika, Dimas mengikuti arah pandang Eja yang hendak menunjukkan sesuatu kepadanya.

"Ayah ...." Dimas mengernyit ketika mendengar Eja melirihkan kata itu. Dia mengedik pada sesuatu di atas pangkuannya, spontan membuat Dimas tercekat sesaat melihatnya. Sekarang, Dimas telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang sejak tadi menganggu pikirannya: mengapa bagian tengkorak kepala jasad Letnan Samsuri tidak berada di tempatnya? Ternyata tengkorak itu ada pada Eja. Dimas tidak percaya Eja akan membawanya berlari sampai sejauh ini. Dan dia menunjukkannya kepada Dimas seolah itu bukan masalah besar.

Di saat perhatian Dimas sedang teralihkan kepada Eja sepenuhnya, Haszni Yusuf tiba-tiba saja datang tanpa membawa pertanda. Bahkan, suara langkah kakinya tidak terdengar oleh mereka.

Ejalah yang pertama kali menyadari kehadiran pria tua itu. Namun, dia seperti kehilangan keberaniannya untuk bersuara saat mengetahui Haszni Yusuf menggenggam sepucuk pistol di tangannya. Pria itu membidik punggung Dimas tanpa rasa gentar sedikit pun. Eja berusaha menguncang tubuh Dimas untuk memperingatkan. Namun, sayang refleks Dimas kalah cepat dari Haszni Yusuf. Pria tua itu menembakkan peluru kosong. Membuat Dimas sangat terkejut akan detusnya terdengar begitu mengerikan.

"Rupaya ada tikus lain yang sedang tersesat di hutan ini," pria itu berujar sarkas. Ini adalah pertama kalinya Dimas mendengar suara pria itu dari jarak dekat. Dan dia merinding dibuatnya.

Matanya memandang tajam pada Haszni Yusuf yang sedang tersenyum culas, lalu balas berkata, "Aku ... pasti akan membuatmu membusuk di penjara!"

"Apa? Kau bilang apa tadi?" Haszni Yusuf bertanya demikian. Namun Dimas yakin pria itu hanya sedang berlagak tuli. Pada detik berikutnya, pria tua itu tidak segan-segan menyuarakan gelak tawa dengan begitu kencang. Dia mendelik, lalu menyumpah ke arah Dimas dan Eja. "Justru kalian berdualah yang akan kubuat berakhir di neraka!"

"Dasar orang gila ...!" Dimas mendesis geram, merasa begitu muak mendengar segala omong kosong dan tingkah menyebalkan pria tua itu. Akan tetapi, dalam situasi seperti ini, Dimas berusaha agar tetap tenang dan sebisa mungkin tidak memancing emosi pria itu terlalu jauh.

Kendati Haszni Yusuf adalah seorang pria tua yang telah kehilangan masa kejayaannya, Dimas tetap harus berhati-hati dalam menghadapinya. Pertarungan ini tidak seimbang. Haszni Yusuf bersenjatakan pistol berpeluru aktif, sedangkan Dimas, dia tidak memiliki apa pun untuk melindungi diri.

Dimas bertanya-tanya, sejak kapan Haszni Yusuf membawa benda mematikan semacam itu bersamanya? Sepanjang yang Dimas ingat, sejak memasuki hutan ini untuk mencari-cari keberadaan Eja, dia sama sekali belum mendengar suara tembakan.

Mungkin selama ini Haszni Yusuf menyimpannya agar dapat menggunakan benda itu di saat yang tepat. Itu artinya dia tidak punya banyak peluru cadangan di dalam magasin. Dimas menduga-duga, sembari melirik pada Eja yang sedang bersiap melempar sebongkah batu seukuran telapak tangan di sisinya.

Dimas spontan tercengang mendapati itu. "Eja, apa yang kamu lakukan? Orang gila itu akan semakin marah dan bisa saja menembak kita!" dia memperingatkan. Namun, Eja sama sekali tidak mendengarnya. Ayunan tangannya terlambat Dimas hentikan. Batu itu melayang dengan cepat, mengenai hidung Haszni Yusuf, hingga meninggalkan luka berdarah-darah di sana.

Terang saja, Haszni Yusuf mengumpat, "Kurang ajar!" Menjadi berang karenanya. Moncong pistol yang semula mengarah pada Dimas pun kini dialihkannya kepada Eja, menyasar tepat ke bagian keningnya yang tampak dibanjiri oleh keringat. "Tadi kau melempar tanah ke wajahku, dan sekarang ... batu? Seharusnya kau diam saja di tempat mu, agar aku bisa membuatmu mati dengan tenang."

Secara perlahan, jemari pria tua itu berpindah dan mulai menekan pemicu. Dimas tidak bisa memungkiri bahwa dirinya merasa terintimidasi oleh gerakan kecil yang pria itu buat. Peluru pertama kosong. Bagaimana selanjutnya? Bergerak sedikit saja, mereka mungkin akan segera tamat di tangan Haszni Yusuf. Detik itu juga.

Berpikir untuk kabur bukanlah pilihan yang terbaik. Kematian seolah tinggal sehasta dekatnya dari mereka. Dengan sigap Dimas menarik Eja ke sisinya. Dan tepat pada detik-detik itu, muncul suara tembakan yang terdengar lebih keras dari sebelumnya, disusul oleh jerit kesakitan yang tak tertahankan. Membuat wajah hutan dan suasana menjadi kian mencekam.

Dimas tidak merasakan apa-apa. Dan suara itu, tidak datang dari sisinya. Eja sendiri dalam keadaan baik-baik saja saat Dimas memberanikan diri membuka mata.

Di ujung sana, Dimas mendapati Depari berdiri dengan gagah sembari mengangkat senjata apinya. Sementara Haszni berlutut dengan luka tembak di betis kanannya. Ekspresi di wajah pria tua itu tidak terbaca. Dalam posisi seperti itu pun, Haszni Yusuf belum bersedia menyerah begitu saja. Tubuh Dimas terpental saat menerima satu terjangan peluru di dada kirinya. Haszni Yusuf tertawa saat mengetahui dirinya masih bisa menembak walaupun timah panas yang keluar dari dalam mulut pistolnya berakhir meleset dari sasaran utama.

Haszni Yusuf berharap peluru terakhirnya dapat mengenai Eja. Namun, Depari tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dengan tegas, Depari memberikan perintah tembak di tempat kepada para personil kepolisian yang membentuk barisan di kanan kirinya. Serentetan proyektil lemudian terlepas dari senjata laras panjang milik para personil kepolisian. Dan Dimas menyaksikannya--dengan kesadaran yang berangsung menghilang--saat tubuh Haszni Yusuf menerima seluruh tembakan itu tanpa perlawanan. 

Tubuh pria itu jauh menyungkur tanah. Haszni Yusuf tewas dengan banyak peluru menembus dadanya.

Menit berikutnya Dimas tidak lagi mendengar suara-suara mengerikan itu meledak di sekitarnya. Hanya isak tangis Eja yang kemudian memenuhi lorong telinganya. Dimas berharap dirinya dapat mengatakan sesuatu pada Eja, namun pikirannya terhalang oleh rasa sakit tak tertahankan yang dia derita. 

Eja mendekapnya dengan sangat erat sembari menekan luka di dada kirinya. Berharap Dimas tidak kehilangan kesadaran. Akan tetapi, kegelapan itu menarik Dimas lebih cepat. Eja gagal mempertahankan Dimas untuk tetap terjaga bersamanya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro