54. Kehilangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kendati tengah berada dalam suasana hati yang begitu kacau, Samsuri hadir dalam prosesi tanya jawab bersama tersangka siang itu. Dari balik kaca pembatas dua arah yang memisahkan, dia mencermati bagaimana Danu Ariswara, si tersangka berperilaku selama proses interogasi dilakukan.

Pria kurus itu terlihat seperti seseorang yang telah kehilangan akal. Barangkali efek obat-obatan terlaranglah yang telah membuatnya demikian. Dia tidak mau mengatakan sesuatu pun kepada para penyidik saat ditanyai. Ayis di dalam sana tampak frustrasi menghadapinya. Dia mengusap wajah berulang kali, mengajukan berbagai pertanyaan dengan nada tinggi, menggebrak meja, memaki, akan tetapi Danu begitu teguh pada pendiriannya. Dia bungkam. Otak kosongnya berkelana.  Bergerilya bola matanya, seperti orang linglung. Lalu sesaat kemudian tiba-tiba saja sekujur tubuhnya mengalami tremor panjang, memaksa Ayis membiarkan sesi interogasi itu terjeda selama beberapa waktu.

Samsuri mengambil kesempatan itu untuk mendekati Danu secara langsung. Mereka duduk saling berhadapan, Samsuri menatapnya dalam sampai-sampai Danu menjadi jengah karenanya.

Ekspresi wajah pria itu tampak lebih tenang sekarang. Dia tidak lagi mengalami tremor dan terlihat cukup waras untuk diajak berbicara. Dalam suara rendah Samsuri pun bertanya, "Sebenarnya siapa dia ... seseorang yang sedang coba kau lindungi?"

Danu mendebas. Pembicaraan tersebut hanya berlangsung sepihak lantaran Danu masih enggan berkomentar. Di tengah keheningan yang semakin menyesakkan, Samsuri memajukan tubuhnya, kemudian menulis serangkaian huruf di atas meja. Danu menyaksikan itu. Gerakan tangan Samsuri membentuk nama Adam, saudara kembar Danu. Sebentar kemudian Samsuri kembali membuka mulut, "Otak di balik kasus penculikan ini, apakah saudara kembarmu? Apakah dia orangnya?"

Pertanyaan itu segera saja dibalas oleh Danu. Dia mendelik tajam dan berdecih keras. Samsuri tidak mengira dirinya akan mendapat respons demikian. Namun, karenanya, dia dapat menilai bahwa hubungan persaudaraan di antara keduanya sangatlah buruk. Agaknya Danu dan Adam tidak pernah menjalin komunikasi lagi selama ini. Samsuri ingin mengungkit lebih jauh tentang hal tersebut, namun Danu enggan membahas perkara Adam.

"Lalu apa motif di balik tindakanmu menculik korban? Uang?"

Danu membuang muka, "Tidak ada motif apa pun," jawabnya malas.

"Tidak ada motif?" Samsuri mengulang pernyataan Danu, tampak setengah tidak percaya mendengarnya. "Jadi, maksudmu, kebetulan saja kau ingin menculik seseorang hari itu? Dan kau memilih korbanmu secara acak?" Wajahnya kian memerah tatkala mendapati Danu berkeras menutup bibirnya rapat-rapat. 

Samsuri menghela napas panjang, mencoba menahan diri dari keinginan untuk segera menghabisi pria gila itu. Namun, rasa kesal yang telanjur menumpuk di dadanya enggan meninggalkan ruang di dalam sana. Dia merasa begitu penuh. Emosinya telah mencapai titik didih dan tidak lagi dapat dibendungnya. 

Detik kemudian Danu harus rela wajah tirusnya memar akibat kepalan tangan Samsuri. Dia melayangkan tinju dengan membabi buta, sembari berteriak kalap di depan wajah Danu, "Katakan siapa orang itu?! Bajingan kau—"

Ayis membuka paksa pintu ruang interogasi.  Wajah paniknya muncul di ambang pintu. Beserta ketiga orang anak buahnya, dia bergegas  masuk ke dalamruangan tersebut. Tubuh Samsuri dikekang erat demi melerai perkelahian itu. Namun, gerakannya yang semakin beringas mengakibatkan Danu terempas ke sudut ruangan. Tubuhnya jatuh menyungkur lantai usai menghantam keras sisi meja.

Seisi ruangan menjadi ricuh dan tidak terkendali. Samsuri ditarik paksa keluar. Namun, tepat pada saat itu, Danu tiba-tiba saja berseru, membuat wajah-wajah marah para polisi itu bergerak menghadapnya.

"Bagaimana jika orang yang memberiku perintah, adalah orang yang sudah mati. Apa kalian semua akan percaya pada kata-kataku, huh?"

Samsuri sendiri menoleh hanya untuk menemukan Danu yang sedang tersenyum miring di kursi pesakitannya. Ucapan Danu jelas tidak dapat dia percaya. Sebab pria itu seperti sedang mengejeknya.

"Apa kau bercanda?" Ayis lekas mengadang ketika Samsuri bermaksud kembali mendekati Danu.

Terengah-terngah, Danu hendak menyahut, namun telepon selular di dalam saku pakaian Samsuri mendadak berbunyi, membuat pria itu urung seketika.

Usai melirik nama pemanggil di dalam layar, Samsuri menekan tombol terima. Riak wajahnya mendadak berubah, tidak ada lagi amarah mengeras di kedua rahangnya. Ayis menyaksikan rekan seperjuangannya itu tenggelam dalam sambungan telepon selularnya. Posisi mereka berdiri cukup dekat sehingga begitu jelas telinganya menangkap deru napas Samsuri yang berangsur lambat dan sesak.

Panggilan itu rupanya membawa sekelumit kabar buruk yang tidak pernah dia sangka-sangka akan terjadi. Bahwa setelah masalah yang datang menimpa Dimas kemarin lalu, Agus Sinar kini harus kehilangan Lydia. Sungguh Samsuri sendiri belum sepenuhnya mempercayai ini. Dia tidak mampu berkata-kata kala mendengar rintihan pedih sahabat baiknya di ujung telepon.

Dengan langkah tersaruk Samsuri lantas berderap keluar dari ruang interogasi. Hal itu jelas memancing rasa keingintahuan Ayis untuk segera menyusulnya. 

"Apa yang terjadi, Pak?" Ayis mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali. Namun, Samsuri tidak memberinya penjelasan apa pun. Dia hanya menggeleng, sementara matanya tidak berhenti bergerilya, menatap Ayis dengan gelisah. Tenggorokannya terasa tersumbat oleh sesuatu hingga sulit baginya menjelaskan. Ayis baru tahu setelahnya, tentang apa yang sedang dialami Agus Sinar, ketika mendapat laporan dari seorang petugas olah TKP.

Keduanya pun segera meluncur. Mobil patroli yang membawa mereka melaju bebas di atas jalanan lengang, mendukung pergerakan mereka untuk dapat segera tiba di lokasi tujuan. Sepanjang perjalanan itu Samsuri lebih banyak melamun. Sementara Ayis mengemudikan mobil dengan perasaan duka yang menyertainya. 

Samsuri tersentak begitu Ayis menekan pedal rem. Mereka telah tiba. Namun, Samsuri  seolah lupa pada kenyataan bahwa mereka pernah menempuh perjalanan menuju kediaman Agus Sinar. Matanya memandang berkeliling dan mendapati rumah sederhana itu telah ramai dikepung warga. Samsuri lantas bergegas turun dari mobil patroli, menembus kerumunan orang-orang, kemudian berlari menyusuri ruang demi ruang hanya untuk menyaksikan jasad Lydia yang tergantung di tengah ruang kamar mandi. 

Di luar garis batas pita kuning, dia menemukan Agus Sinar sedang bersandar pada dinding. Punggungnya melengkung lesu. Sementara jejak air mata terlihat memenuhi sebagian wajah letihnya. 

Agus Sinar berdiri tegak saat seorang petugas olah TKP menghampirinya, berusaha menguatkan diri dari duka. Akan tetapi, ketika Samsuri mendekat dan memberi ia pelukan duka cita, dia tidak kuasa menahan kesedihan itu. Air matanya kembali terurai, dia terisak, meringis pedih seolah dadanya telah dicabik-cabik. Lalu dia berbisik, memohon pada Samsuri untuk menjaga Dimas selama ia menghadapi kesulitan ini. Dia sangat membutuhkan bantuan. Dan Samsuri tidak bisa menolaknya.

"Bagaimana caraku memberitahu Dimas tentang ini ...? Dia sedang dirawat di rumah sakit, dan Lydia ...."

Samsuri terdiam, membayangkan betapa hancur perasaan anak itu. Samsuri menyesalkan segalanya. Andai saja dia tahu semua hal akan datang dan berakhir dengan cara menyakitkan seperti ini, dia pasti akan berkeras meminta Agus Sinar tetap tinggal. Namun, kenyataannya terburuknya, dia tidak bisa mencegah hal ini terjadi.  Sungguh Samsuri sangat menyesal.

"Aku turut berduka. Kau jangan cemas. Dimas akan aman bersamaku." Samsuri tidak punya cara untuk memperbaiki segalanya. Dia hanya bisa menjanjikan hal itu pada Agus Sinar. 

___________________


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro