56. Kejutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Samsuri tengah berada di depan sebuah bangunan indekos, menghadap persis ke kamar Firas yang tampak tertutup rapat pintu dan jendela depannya. Sekejap menengadah, Samsuri mendapati bahwa bangunan itu terlihat sama sebagaimana dia melihatnya terakhir kali. Cat dindingnya berwarna hijau pandan, dan tampak olehnya sebuah papan penanda bertuliskan nama "Dira indekos" tersemat di atas jalan masuk menuju lorong koridor.

Dua ekor tikus barangkali berukuran sebesar kepalan tangan manusia tampak melintas di dekat situ. Di balik pagar bangunan yang mengarah ke bagian belakang, hewan pengerat itu kemudian menghilang, meninggalkan suara gemericik langkah kaki yang menyatu bersama suara aliran air di dalam gorong-gorong.

Setelah puas matanya menjelajahi area tersebut, Samsuri beralih menuju sisi yang lainnya. Indra penciumannya kali ini bekerja. Mencium bau got yang begitu kuat ketika dia menoleh ke sisi barat. Bau busuk turut menyeruak, berasal dari tumpukan sampah yang dimuat sembarang ke dalam tong hingga sebagian isinya tumpah ke jalan-jalan.

Seluruh pemandangan itu tidak memberinya apapun selain tatapan tidak nyaman dan kernyitan aneh di dahi. Samsuri menilai suasana di dalam area indekos tersebut tampak biasa. Hanya ramai pada waktu menjelang sore hari. Saat ini, tidak banyak ditemuinya penghuni indekos berkeliaran di pelataran maupun selasar bagunan bertingkat itu. Lantas Samsuri pun memutuskan untuk segera beranjak dari sana. Dia berjalan mendekati pos penjaga, mengunjungi Hamdani—pria penjaga indekos yang pernah ditemuinya bersama Agus Sinar tempo hari—dan mengajaknya berbincang-bincang.

Hamdani menyuguhinya secangkir kopi, namun Samsuri merasa enggan menikmatinya dalam situasi seperti ini.

Sungguh Samsuri tidak mengharapkan adanya kabar buruk. Namun, apa yang dia dengar dari Hamdani kemudian membawanya pada jalanan yang semakin terjal. Jalan yang barangkali akan terasa sulit untuk ditempuhnya.

Pria paruh baya itu berkata bahwa Firas tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Tanpa kabar, tanpa penjelasan, dia seolah pergi begitu saja, meninggalkan sebagian barang-barangnya yang tersisa di dalam kamar yangtelah ia huni selama tiga tahun lamanya

"Sejak kapan kalau saya boleh tau?" Samsuri bertanya lebih jauh mengenai ucapan Hamdani barusan, berharap dia dapat menemukan kejelasan.

Pria itu tampak berpikir keras, lalu menjawab, "Mungkin ... sejak terakhir bapak kemari itu. Dia belum pulang sampai sekarang."

"Begitu, ya?" Hamdani mengangguk gamang. Samsuri lantas menuliskan informasi tersebut ke dalam jurnalnya. "Saya sempat menghubungi Firas waktu itu," beritahu Samsuri begitu terbesit dalam pikirannya tentang kejadian tempo hari, sementara Hamdani menunggu dengan riak wajah ingin tahu. "Firas bilang dia ingin mengunjungi ibunya yang sedang sakit di kampung."

Garis-garis di kening Hamdani tampak semakin dalam dan nyata. Reaksi pria itu menimbulkan perasaan was-was dalam hati Samsuri hingga tidak sabar dia mengutarakannya. "Kenapa pak? Apa ada yang salah?"

"Setahu saya sih ibunya Firas sudah tidak ada. Maksud saya, sudah meninggal dunia ...."

Spontan saja kedua mata Samsuri melebar mendengar itu. Penjelasan Hamdani sungguh tak terduga. Dan sekarang, Samsuri merasa seakan sedang terjebak dalam satu gagasan yang mulai menari-nari di kepalanya: "Firas telah berbohong. Apakah dia sengaja melakukan itu untuk memberiku sebuah petunjuk?"

Pembicaraan itu terjeda cukup lama. Ada sesuatu yang terlewatkan begitu saja oleh Samsuri. Samsuri telah bersikap abai. Terang saja dia tergemap dan marah terhadap dirinya sendiri lantaran tidak sedikitpun peduli ketika Agus Sinar merisaukan hal ini kemarin lalu.

Kemana saja aku selama ini? Hatinya menjeritkan kalimat itu. Menyesal sedalam-dalamnya.

Seharusnya aku segera menyadarinya.

"Apa mungkin Firas terlibat masalah di tempat kuliahnya?"

"Entahlah, Pak." Hamdani menggeleng, sorot mata pria itu begitu dalam, sementara sinar matanya mengemukakan kejujuran. "Yang saya ingat ... dia pergi dengan terburu-buru hari itu. Ada seseorang yang menjemputnya. Seorang pria. Dia menunggu di dekat situ," tunjuk Hamdani ke arah tiang listrik di seberang jalan.

Dengan penuh harap Samsuri turut memandangi tempat itu, seolah masih akan tertinggal jejak Firas di sana. Samsuri bersedia berlama-lama mengamatinya demi menemukan jejak apapun itu yang dapat membantunya selangkah lebih dekat dengan misteri keberadaan Firas. Kemudian lambat laun sorot matanya berubah keruh. Dan dalam bayangannya mengemuka punggung letih seorang pemuda, ia berjalan menuju sesosok pria yang wajahnya tidak tergambarkan dalam visualisasi apapun. Samsuri hendak mengikuti bayang-bayang itu. Namun, tiba-tiba saja sekelebat wajah Danu menyusup dalam pikirannya dan membuat dia tersentak bangun dari gambaran tidak nyata itu.

Seketika Samsuri kembali berbalik menghadap Hamdani. "Apa mungkin pria ini yang Bapak maksud?" kejarnya usai menarik selembar foto dari dalam jurnal penyelidikannya.

Potret wajah Danu dia acungkan begitu dekat hingga Hamdani refleks tersaruk mundur saking kagetnya. Pria itu tampak berpikir, meraba-raba sesuatu di dalam ingatannya sejenak.

"Benar, dia orangnya, Pak."

Respons pria itu membisukan suara di sekitar Samsuri. Hingga begitu jelas dia mendengar detak jantungnya berdentam-dentam akibat diserang prasangka buruk. Jawaban Hamdani telah membawa Samsuri pada titik di mana dia benar-benar mengkhawatirkan eksistensi Firas. Menghilangnya Firas jelas sekali berhubungan dengan kasus penculikan Dimas. Samsuri merasa dirinya semakin dekat, benang merah itu sedikit demi sedikit mulai terurai. Namun, dia tidak berani menerka-nerka bagaimana nasib Firas saat ini. Apa yang terjadi pada Firas bisa jadi lebih buruk dan mengerikan, mengingat bagaimana kondisi Dimas akibat tragedi penculikan itu.

Berkaca dari pengalaman itu, Samsuri bergegas membawa dirinya pergi dari hadapan Hamdani, ia berbelok di persimpangan jalan utama, menuju ke tempat di mana ia meninggalkan mobilnya sebelumnya. Trotoar dan area pertokoan tampak surut dari keramaian. Betapa sunyi dan gersangnya kawasan itu. Samsuri baru menyadarinya ketika memandang berkeliling hingga ke sudut-sudut bangunan tak berpenghuni.

Samsuri mendapati mobilnya terparkir tidak jauh dari bangunan itu. Begitu ia menjatuhkan diri balik roda kemudi, Samsuri segera meraih telepon selularnya dan menghubungi Ayis yang saat ini sedang berada di markas kepolisian, bermaksud memintanya menginterogasi Danu sekali lagi.

Kali ini tentang Firas. Samsuri yakin, pemuda itu akan membawa mereka pada rahasia besar di balik kasus ini. Mencari keberadaan Firas adalah prioritas utama bagi mereka. Untuk itu, mereka harus membuat Danu mengakui kejahatannya, dengan segala cara.

Samsuri menghela napas. Menunggu panggilan teleponnya tersambung ke markas. Riak wajahnya yang semula tenang, mendadak berubah waspada ketika menyadari ada sesuatu yang tidak biasa.

Dia mencium bau mint, terhidu cukup dekat dan kuat. Namun, bukan berasal dari parfum maupun pengharum di ruang mobilnya.

Bulir keringat di pelipisnya merambat turun saat menyaksikan sekelebat bayangan bergerak-gerak di dalam spion tengah depan mobilnya.

Ada seseorang di kabin penumpang belakang.

Samsuri hendak menoleh untuk memastikan, namun penyerangnya bertindak lebih cepat, dan dengan lihai menancapkan sesuatu ke lehernya.

Dalam upanya membebaskan diri, tatapan mata Samsuri tertuju pada sosok di dalam spion mobilnya. "Dahlan ...!" dia tercengang sewaktu menemukan seraut wajah seorang pria yang sangat dikenalnya tepatri di sana.

Dengan tarikan kasar, Dahlan merebut ponsel di tangan Samsuri. Panggilan itu lantas ditutupnya begitu saja ketika durasi panggilan baru mencapai 1 detik.

"Samsuri, kau benar-benar sial. Seandainya kau tidak ikut campur, kau pasti tidak akan berakhir seperti ini."

Dahlan tersenyum kaku. Kata-kata itu adalah pesan terakhir yang Samsuri dengar sebelum kesadarannya lenyap. Sekujur tubuhnya mati rasa, begitu lelah bertarung melawan ketidakberdayaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro