9. Kronologi Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"... kabur dari seseorang dan memilih bersembunyi di bawah sini," Fred memotong ucapan Agam.

"Kalau saja itu benar ...."

Aku harap akan ada seseorang yang menolongnya, agar anak itu bisa tetap hidup dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu ....

Agam tahu dia hanya bisa berandai-andai. Dia tersenyum sekilas pada Fred, sebelum pergi mendahuluinya naik ke atas.

Aaa ...!

Dimas refleks menegakkan tubuh ketika mendengar jerit ketakutan seorang anak kecil dari ruang sebelah.

Jeritan itu melengking keras meski selanjutnya dikalahkan oleh suara gemuruh petir yang menyambar-nyambar.

Gelap gulita akibat pemadaman listrik mendadak, tak lantas membuat Dimas berdiam diri. Dengan perasaan was-was, Dimas melangkah menuju ruang sebelah untuk memeriksa keadaan. Seakan sudah hapal dengan seluruh tata letak perabotan di rumah tua itu, Dimas menapakkan kakinya pada lantai kayu yang berderit dengan pasti. Keningnya terlipat tatkala mencoba membaui sekitar. Meski samar, indera penciumannya mampu menangkap bau darah dari ruangan tersebut. Dimas mematung, lalu menarik napas dalam-dalam. Bau anyir darah itu pun terasa semakin menusuk hidungnya.

Petir menyalak hebat meninggalkan guratan mirip akar pohon di langit malam, menyisakan kilatan cahaya yang menyerobok masuk lewat jendela rumah. Cahayanya menerangi sebagian ruangan dalam waktu sepersekian detik. Kedua mata Dimas kontan terpentang lebar. Sebuah pemandangan mengerikan sempat tertangkap olehnya sebelum gelap kembali mencekam. Dia melihat tiga tubuh manusia menggelepar di atas lantai dengan mulut yang mengeluarkan darah dan buih bergemeletupan. Kedua kakinya sempat tersaruk ke belakang. Bak potongan film yang sengaja dihidup-matikan berulang-ulang, darah yang menggenang perlahan bergerak maju, menjilat lantai kayu rumah hingga akhirnya sampai ke tempat boots hitamnya berpijak.

Sesaat kilat kembali menyilaukan, pemandangan tubuh-tubuh manusia yang tergeletak mengenaskan di bawah meja makan pun terlihat semakin jelas.

"Tidak! Apa yang terjadi?!" teriak Dimas sekuat mungkin. Kilat cahaya bak lampu disko yang berkedap-kedip kembali menyorot ketiga jasad itu. Tubuh mereka kini sudah tak bergerak lagi. Mereka tewas dengan kedua mata membelalak lebar, seolah tengah menagih penjelasan pada sang penjemput ajal, 'mengapa kami harus mati dengan cara seperti ini?'

"Di mana kau, bocah sialan?!"

Kali ini Dimas kembali dikagetkan oleh teriakan seseorang. Namun suaranya terdengar lebih berat dari suara yang dia dengar sebelum ini.

Dalam kegelapan instingnya bekerja dua kali lipat. Dimas merasakan hawa kehadiran seseorang yang seakan begitu dekat, dekat sekali, hingga tak ada lagi jarak yang memisahkannya dari orang itu. Deru napasnya bahkan sampai menyapu permukaan wajah Dimas. Kilat yang kembali menyelak, membuat Dimas dapat menerka situasi. Sosok yang berdiri tepat di depannya itu membentuk siluet laki-laki. Melewati Dimas begitu saja, seakan kehadiran perwira berpangkat Inspektur Polisis Satu itu tak berarti apa-apa—ibarat sosok tak kasat mata.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Dimas bertanya-tanya. "Kenapa dia tidak bisa melihatku?"

"Jadi, kau ingin bermain petak umpet, ya?" Siluet itu berjalan masuk ke dapur.

Dari arah lain, samar-samar Dimas bisa melihat sosok anak kecil tengah berderap ke arahnya. Dimas sempat dibuat limbung saat bocah kecil itu menembus dirinya. Sembari membekap mulut erat-erat, anak kecil tersebut berlari menuju ruang keluarga.

Dimas mengikutinya sampai ke ruangan tersebut.

Dilihatnya anak kecil itu tampak kebingungan. Isak tangis ketakutan berulang kali keluar dari bibir kecilnya. Dimas hanya bisa menonton gerak-gerik bocah itu dengan perasan was-was. Bocah kecil itu buru-buru masuk ke dalam celah sudut ruangan yang tampak kosong, mencari tempat persembunyian baru. Duduk meringkuk di antara guci dan lemari bufet tinggi saat menyadari suara langkah kaki siluet misterius berderap menuju ke ruang keluarga. Sebentar kemudian siluet misterius itu keluar lagi sebab merasa apa yang dicarinya tidak ada di mana pun.

"Ssstttttttt ...." Dimas menyuruhnya diam. "Jangan menangis." Namun, sarannya itu tak mampu didengar oleh sang bocah.

Sial. Apa yang terjadi di sini? Bocah itu tak bisa melihatnya. Bahkan, sewaktu Dimas hendak menarik tangan sang bocah keluar dari tempat sempit itu, hanya udara kosong yang mampu digapainya.

Detak jam dinding membuat pikiran Dimas terfokus pada satu titik: pada sebuah kalender—yang menggantung tepat di dekat jam tersebut-saat ini menunjukkan waktu yang mundur terlalu jauh dari masa di mana Dimas hidup.

Januari 2000.

Ini tidak mungkin. Tahun 2000?

Keningnya mengernyit semakin bingung. Apa mungkin ini semua hanya mimpi?

Dimas mendesis jengkel. Tidak ada waktu untuk menerka-nerka saat ini. Tap. Tap. Tap. Suara langkah yang menghentak itu lagi-lagi kian mendekat. Dimas harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan bocah malang itu dari siluet pembunuh yang sedang mengincar nyawanya, bagaimana pun caranya. Dimas bepikir keras. Dilihatnya sebuah kelereng dalam mangkuk antik di atas bufet. Dia berusaha meraihnya, berdoa semoga saja benda tersebut bisa tergapai olehnya.

"Berhasil!"

Tanpa perlu berpikir lagi Dimas melemparnya ke lantai dua, hingga bunyi kelontangan yang terdengar nyaring menarik perhatian siluet misterius tadi. Dilihatnya siluet laki-laki itu melengos pergi menuju lantai atas, seiring derap langkah kakinya yang terdengar semakin menjauhi area ruang keluarga.

Tawa mengerikan siluet laki-laki itu mendadak seakan memenuhi seisi ruangan. "Baik. Aku akan menghitung mundur dari angka lima puluh," ujarnya kemudian. "Bersiaplah menerima hukumanmu jika kau sampai tertangkap."

Dasar sinting! Dia benar-benar menghitung mundur. Dimas harus segera menyelamatkan anak kecil ini, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Anak kecil itu tidak bisa melihatnya sama sekali, lalu apa yang harus dia lakukan?

Saat Dimas berlutut di depannya, lagi-lagi kehadirannya terabaikan begitu saja, seolah Dimas memang jelmaan makhluk tak kasat mata. Lalu, Dimas harus bagaimana agar bisa menyelamatkan bocah ini?

Tiba-tiba Dimas tersentak. Teringat akan sesuatu saat bola matanya bergulir menatap bagian tengah ruang keluarga.

Ruang bawah tanah itu ... ada di dalam sana ....

"Cepat masuklah!" teriak Dimas begitu pintu ruang bawah tanah berhasil terangkat olehnya dengan susah payah.

Lubang ruang bawah tanah telah menganga lebar, tetapi bocah kecil itu masih bergeming di tempat persembunyiannya, merasa kebingungan, lantaran di matanya entah bagaimana pintu ruang bawah tanah itu bisa terbuka dengan sendirinya.

"Sial!" maki Dimas geram. "Kau harus masuk sebelum dia datang!" mohon Dimas frustasi.

Seolah mengerti akan maksud Dimas, bocah tersebut pun berlari ke arahnya, kemudian masuk ke dalam ruang bawah tanah. Lalu pada detik berikutnya—

Blam!

—Ruang bawah tanah itu tertutup rapat-rapat.

Hah!

Dimas terlonjak bangun dari tidurnya.

Dia mengerang kecil. Posisi kepalanya yang semula bertumpu pada meja mengakibatkan batang lehernya terasa sakit saat dia berusaha menegakkan tubuh. Matanya kemudian bergulir ke pintu masuk. Bergerak gelisah mencari-cari sebuah kalender sekali sobek—yang digantung di dekat rak berisi tumpukan map.

28 Desember 2020.

Mimpi.

"Apa barusan itu memang hanya mimpi?" terka Dimas ragu. Jika memang benar demikian, mengapa rasanya seolah begitu nyata? Kedua telapak tangannya yang membuka kelihatan memerah. Bahkan, rasa sakit akibat berusaha setengah mati mengangkat pintu ruang bawah tanah yang begitu berat itu masih terasa hingga kini.

Tepat pukul 09.00 malam, alaram di ponsel Dimas berbunyi nyaring.

Begitu Dimas mematikannya, detak jam di dinding menjadi satu-satunya suara yang meningkahi kesunyian.

Sembari memegangi kepala yang masih terasa sakit, Dimas mengedar pandangan ke seluruh ruangan. Dilihatnya komputer-komputer tua milik anggota Divisi Pembunuhan terdiam di balik masing-masing kubikel. Benar—Dimas ada di kantor saat ini. Gambaran tentang rumah tua yang dilihatnya itu berarti memang hanya rekayasa mimpi belaka. Ketika manik matanya kemudian bergerak ke sudut ruangan, Dimas mendapati Aryan yang tengah tertidur pulas di atas sofa butut—dengan selimut birunya yang melorot jatuh hingga ke lantai.

Dimas kembali memusatkan perhatian pada tumpukan lembar hasil print out di atas meja kerjanya. Diraihnya sebuah map dengan label "23-D" yang terletak di antara barisan file berkas perkara dalam penyimpanan folder. Kemudian, dibukanya perlahan map tersebut, yang di dalamnya telah tertera detail informasi kasus penemuan kerangka seorang anak kecil di Karang Sari. Pada bagian depan, terjepit sebuah potongan foto yang pernah ditemukannya di TKP waktu itu--menampilkan wajah dua orang bocah kecil berpotongan rambut batok yang sedang tersenyum riang sembari memamerkan deretan gigi susu mereka.

Mendadak Dimas pun tengiang akan mimpinya barusan. Ditatapnya salah satu wajah bocah kecil dalam foto tersebut, kemudian diusap-usapnya berulang kali.

"Akulah yang memaksanya masuk ke dalam ruang bawah tanah itu ...," lirih Dimas kecut.

Persis seperti di mimpinya, potongan-potongan kejadian itu pun kembali berputar dalam kepala.

Seandainya saja ... seandainya saja ada sebuah keajaiban ....

Kening Dimas lantas terkernyit heran ketika mendengar suara berisik dari HT.

"Lapor ...," samar, suara bariton seorang pria pun menyusul kemudian.

Dimas buru-buru membuka laci meja kerjanya, tempat di mana suara tersebut berasal. Didapatinya sebuah HT tua tengah menyala-nyala, menunjukkan sinyal masuk dari operator lain.

"Letnan Samsuri?" sambut Dimas kemudian. "Letnan—"

"Ya, saya di sini!"

"Di mana Anda sekarang?!"

Rasa frustrasi benar-benar menekan kewarasannya saat ini. Dimas seakan tidak peduli lagi bagaimana bisa hubungan transmisi lintas waktu tersebut bisa terjadi. Sempat terpikirkan olehnya, jika Letnan Samsuri memang hidup di tahun 2000 dan sedang menyelidiki kasus bunuh diri itu, maka satu-satunya harapan yang dia miliki mungkin hanyalah Lentan Samsuru. Di masa di mana Letnan Samsuri hidup, Letnan Samsuri pasti memiliki kuasa lebih ketimbang dirinya untuk bisa menyelamatkan bocah kecil yang terkurung di ruang bawah tanah itu.

"Kasusnya akan ditutup," ujar Letnan Samsuri. "Kami tidak menemukan banyak petunjuk di sini."

"Apa?!" seru Dimas kaget. "Tidak—Letnan Samsuri," katanya kemudian. "Anda benar, Letnan. Kasus itu memang kasus pembunuhan!" teriak Dimas dengan lantangnya.

Dimas jelas melihat sosok lelaki misterius di dalam rumah tua itu. Bak seorang pembunuh berdarah dingin yang terus mengejar mangsa kecilnya.

"Benarkah?" suara Letnan Samsuri terdengar tidak yakin.

Dimas tetap mengangguk, meski dia tahu benar Letnan Samsuri tidak akan mungkin bisa melihatnya. "Di TKP ... terdapat sebuah ruang bawah tanah tersembunyi dan ada seorang anak kecil yang terkurung di dalam sana! Kumohon selamatkan anak itu, Letnan!"

_____________

Notes:

Inspektur Polisi Satu = IPTU

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro