[Case 2: Sex Interest (?)]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam menjelang  pergantian tahun ....

Berita baiknya, hari itu Dimas mendapat jatah cuti. Setelah apa yang terjadi belakangan, akhirnya dia pun memilih untuk pulang ke rumah. Namun, berita buruknya, dia justru mendapati rumah dalam keadaan tertutup rapat, dan sialnya lagi dia lupa membawa kunci cadangan.

"Halo?!"

Tidak ada seorang pun menyahut. Dimas mencoba mengintip ke dalam lewat jendela. Rumah benar-benar kosong melompong. Dia tidak melihat Mika yang biasanya heboh bermain robot-robotan di depan televisi ruang tamu.

"Hahh ... sial!" umpatnya kesal. Padahal Dimas hanya ingin segera tertidur di atas kasur empuknya, kemudian terbangun keesokan harinya dalam keadaan cerah.

Tak lama sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Papa mengabarkan kalau saat ini mereka semua sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Katanya ingin merayakan tahun baru di sana saja bersama Eja. Dimas diminta untuk segera menyusul, dan itu wajib. Perayaan malam pergantian tahun yang sudah seperti ritual bagi mereka, memang tidak boleh sampai dilewatkan. Mereka jarang sekali berkumpul. Biasanya Bunda Elizar akan memasak banyak makanan dan mereka akan melakukan ritual itu selepas Dimas pulang kerja. Sepertinya tahun ini akan berbeda sebab Eja masih dirawat inap di rumah sakit. Sebenarnya Dimas tidak terlalu ambil pusing. Menurutnya sendiri, perayaan semacam ini tidak ada faedahnya sama sekali. Namun, dia tetap harus pergi. Seberapa pun tidak sukanya dia pada keluarga baru itu, dia tetap harus menghormati papanya.

"Orang jadi bolak-balik, kan," gerutunya, lalu kembali masuk ke mobil.

_____________

"Pasien atas nama Raiza Arieh ada di bangsal VVIP lorong melati nomor 365."

Dimas mengangguk kemudian berlalu tanpa mengucapkan terima kasih. Dalam hati dia merasa dongkol. VVIP. Sudah seperti tuan besar saja anak itu.

Dia berjalan santai menuju lift sembari memperhatikan sekeliling. Rumah sakit ini cukup besar juga rupanya. Dimas yakin Papa pasti menyuap seisi rumah sakit ini agar hasil tes darah Eja tidak bocor keluar. Cintanya pada Bunda Elizar membuatnya sangat mudah dibodohi. Papa sanggup melakukan apa saja demi anak tidak tahu diri itu. Seisi dunia pun akan diberikannya kalau bisa.

"Masih sakit, hm?"

Gerakan tangan Dimas terhenti saat hendak digesernya pegangan pintu. Samar-samar dia mendengar suara seseorang dari dalam kamar inap Eja. Suaranya terdengar asing, sekilas juga terasa familiar. Siapa? batinnya penasaran.

"Aku bawa sesuatu buat kamu."

"Apa ini, Nal?"

"Gigi."

"Gigi?!"

Kemudian terdengar suara benda jatuh ke lantai.

"Kenapa kamu buang?!" tanya seseorang itu dengan penuh penekanan. Dari intonasi suaranya saja Dimas bisa menebak kalau dia sangat marah pada Eja.

"Nggak. Aku cuma kaget aja,"

Tiba-tiba orang itu terkekeh. "Kamu nggak pengen tau gigi siapa ini?"

"Ini milik Randi," ucap suara yang sama.

"Kamu gila apa?!"

Dimas refleks termundur ke belakang. Baru kali ini dia mendengar Eja berteriak nyalang. Teriakan itu langsung dibalas teriakan juga oleh lawan bicaranya. Dimas sampai kesulitan menerka apa yang sedang mereka ributkan di dalam sana.

"Kamu yang gila! Udah berapa kali aku—arghh!"

Pembicaraan mereka selanjutnya hanya samar-samar terdengar oleh Dimas. Entah apa yang terjadi di dalam sana. Dahinya mengernyit kian dalam. Sekali lagi, Dimas berusaha menajamkan telinga.

"Pokoknya Randi sudah kuhajar sampai mampus. Berani-beraninya dia. Aku tau kamu dapet heroin itu dari dia, kan? Gak ada yang boleh ngancurin masa depan kamu, Ja. Siapa pun itu, kalau dia berani macem-macem sama kamu, akan aku kejar dia, mau sampe ke ujung dunia sekali pun."

Kata-kata yang meluncur dari mulut orang itu terekam jelas dalam kepala Dimas. Jelas sekali, dia menujukkan ke-posesif-annya pada Eja. Kata-kata itu menunjukkan betapa dia sangat menyayangi Eja. Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Percakapan itu kian lama kian menjurus ke hal-hal yang sensitif. Rasanya Dimas ingin muntah di tempat.

Secepat kilat digesernya pintu kamar Eja. Dimas menganga sanking tidak percayanya. Gerakan orang itu perlahan mencium kening Eja dengan penuh sayang, membuat Dimas ingin melempar semua benda yang bisa dijangkaunya ke arah mereka.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Mendapati sosok Dimas berdiri di ambang Pintu, Eja refleks mendorong tubuh orang itu menjauh. Dia tergagap di atas ranjang. Berusaha menjelaskan apa yang terjadi, tetapi pada akhirnya tidak ada satupun kalimat yang bisa dia katakan. Dia sangat takut. Dari sana Dimas menatapnya dengan penuh kebencian.

Entah sejak kapan, Papa dan Bunda Elizar juga sudah ada di depan pintu. Buah-buahan dalam keranjang yang dibawa Bunda sampai jatuh ke lantai. Sorot matanya terlihat sangat kecewa. Dengan mata kepala sendiri, Bunda Elizar melihat bagaimana tangan orang itu menggenggam tangan putranya dengan sangat erat. Papa terpaksa menarik Mika ke dalam pelukannya. Pemandangan semacam ini jangan sampai dicerna oleh memori otak seorang anak kecil.

Astaga, rasanya Dimas benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Eja benar-benar ....

"Keterlaluan."

______________

"Dimas udah nggak ngerti lagi sama kelakuan anak ini, Pa," ucapnya pada Agus Sinar Chan malam itu.

Mereka semua berkumpul di ruang keluarga, kecuali Mika seorang. Bunda Elizar sudah menidurkannya di kamar. Pagi tadi mereka langsung membawa Eja pulang ke rumah. Insiden tak masuk akal yang terjadi kemarin malam di rumah sakit membuat Dimas hampir gila rasanya. Dia tidak segan-segan menunjuk wajah Eja di hadapan Bunda Elizar.

"Selain pecandu narkoba, rupanya dia juga homo? Gila apa?!"

Bunda Elizar langsung memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dia tidak sanggup mendengar kosakata itu. Homo. Ya, ampun. Bagaimana dia harus menghadapi kenyataan ini? Dia tidak tahu mengapa Eja bisa sampai seperti ini. Terlebih, dia tidak sanggup membayangkan bagaimana sikap Eja di luaran sana.

Sementara itu Eja hanya bisa tertunduk lesu di kursinya. Semua orang sedang mengadilinya sekarang. Bunda tidak terlihat berniat membelanya. Agus Sinar juga hanya diam saja saat Dimas memarahinya habis-habisan, seolah putusan hakim ketua memang dia limpahkan pada putranya itu.

"Besok-besok apa lagi yang akan dia lakukan? Bunuh orang?"

"Dimas! Jaga ucapan kamu!"

"Papa masih aja belain dia."

"Membunuh orang itu lain ceritanya!"

Agus Sinar mendesah keras. Rasanya percuma dia balik berteriak. Selamanya dia tidak akan bisa menang dari Dimas. Emosi anak itu telanjur meledak-ledak. Dimas membalas ucapan Agus Sinar dengan ribuan kalimat yang jauh lebih menyakitkan untuk Eja. Sungguh, membuat situasinya justru tambah runyam.

"Eja," Agus sinar kemudian beralih menatapnya. "Bener kamu sama Nala pacaran?" Dia benar-benar ingin tahu kebenarannya agar masalah ini dapat segera diluruskan. Namun, yang menjawab pertanyaannya barusan justru Dimas sendiri.

"Udah jelas-jelas dia kepergok ciuman sama cowok itu." Dimas bangkit dari duduknya dengan perasaan kecewa.

Buktinya sudah ada. Mereka juga melihatnya sendiri, tapi kenapa Agus Sinar terus saja membelanya? Seolah di matanya Eja memang tidak boleh bersalah.

"Kalau soal kecanduan narkoba masih bisa diusahakan dengan rehabilitasi, tapi kalau soal penyimpangan seksual, apa ada rumah sakit yang bisa menyembuhkan dia?"

"Dimas udah gak mau peduli lagi. Pusing! Urus saja sendiri anak emas Papa itu."

Dia kemudian naik ke kamarnya di lantai dua. Meninggalkan ketiga orang itu tanpa berniat menoleh sedikitpun.

_________________

"Pisahkan mereka,"

"Woi!"

"Astaga. Bantu pisahkan, cepat!"

"Ada apa ini?" tanya Aryan penasaran. Dia baru saja sampai di markas tadi saat mendengar suara ribut-ribut dari ruangan INAFIS. Beberapa orang Tamtama tampak sedang berkumpul di ambang pintu, membuat Aryan kesulitan melihat situasi yang ada di dalam sana.

"Suruh adikmu menjauh dari adikku!"

Teriakan Dimas kemudian masuk ke telinganya. Aryan menepuk jidat, sepertinya dia tahu siapa penyebab keributan ini. Dia pun segera membelah kemuruman orang-orang di depan pintu. Begitu masuk, didapatinya Fred tengah susah payah melerai Agam dari Dimas. Fred menarik Agam sekuat tenaga menjauhi Dimas yang hendak kembali menerjangnya. Serta-merta Aryan pun melakukan hal yang sama pada Inspekturnya.

"Adikku yang mana maksudmu?" tanya Agam kebingungan. Pagi-pagi sudah mendapat bogem mentah dari Dimas sungguh tidak mengenakkan. Apalagi, mereka jadi bahan tontonan sekarang. "Kau tahu sendiri aku tidak punya adik perempuan."

Dimas nyaris saja kembali melayangkan tinju. Dia terkekeh masam. "Justru karena kau tidak punya adik perempuan, makanya aku minta padamu, beritahu Nala untuk jauh-jauh dari Eja. Homo sialan," desisnya tepat di telinga Agam. Dimas belum selesai bicara saat Aryan menarik paksa tubuhnya keluar dari dalam ruang INAFIS.

Agam yang tidak terima dengan ucapaan Dimas segera mengejarnya sampai ke koridor. Sementara itu Fred kebingungan setengah mati. Telepon kantor di ujung sana tiba-tiba saja berdering menunggu untuk segera diangkat.

"Dim, jadi maksudmu mereka—"

"Iya!" potong Dimas secepat kilat, sembari berusaha meloloskan diri dari kungkungan Aryan. Aryan sendiri sampai kewalahan menghadapi Dimas. Inspektur itu terus saja memberontak.

Di mata semua orang Dimas mungkin terlihat seperti seorang kakak yang tidak menyetujui adik perempuannya berhubungan dengan adik laki-laki Agam. Lucu sekali. Kakak yang super over-protektif. Bisi-bisik para Tamtama itu tertangkap olehnya, namun Dimas tidak peduli sama sekali. Mereka tidak tahu-menahu, juga tidak perlu tahu.

Nala dan Eja. Tidak akan jadi masalah kalau salah satu di antara mereka adalah perempuan. Dimas sangat mengenal keluarga Agam, sebagaimana Agam mengenal keluarganya dengan baik. Kedua keluarga itu bukanlah berasal keluarga sembarangan. Ayah Dimas adalah seorang pebisnis yang banyak merajai tanah di Batam hingga ke seluruh wilayah Sumatera, sementara ayah Agam adalah orang yang sangat mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pendidikan. Banyak sekolah dan yayasan yang telah ayahnya dirikan. Kalau sudah begini, lain lagi urusannya. Kedekatan Nala dan Eja jelas tidak bisa ditolerir. Tidak ada agama atau hukum sekali pun yang membenarkan hal semacam itu. Mereka tidak boleh memiliki perasaan terhadap satu sama lain.

"Gam, barusan ada laporan masuk. Kita harus bersiap ke TKP." Fred tiba-tiba datang menginterupsi.

Pandangan mata Agam masih terpancang pada Dimas. Sulit baginya untuk percaya pada apa yang Dimas katakan soal Nala. Tidak mungkin adiknya seperti itu.

"Pembicaraan kita belum selesai." Agam menunjuk tepat di wajah Dimas, balik memperingatkan, kemudian dia berbalik menyusul rekan-rekannya.

__________________

Satu jam sejak kerangka manusia itu ditemukan, Tim INAFIS beserta bala bantuan dari tingkat Polres akhirnya tiba di tempat kejadian. Lokasinya ada di wilayah Batu Bedimbar, daerah yang lumayan dekat dengan pelabuhan. Karena masih dalam satuan wilayah kerja Sektor Sekupang, maka Kapolsek yang bersangkutanlah yang bertanggung jawab mengamankan tempat itu dari serbuan massa maupun wartawan.

Dimas turun dari dalam mobil patroli bersama Aryan. Siang itu cukup terik. Bau tidak sedap yang berasal dari gundukan sampah masyarakat di sekitar lokasi membumbung tinggi hingga ke langit. Dimas ingin meludah, tetapi ditahannya perasaan itu. Rasanya tidak etis kalau dia sampai ketahuan meludah di depan Kapolsek Sekupang.

Mereka berjabat tangan, kemudian berbasa-basi sebentar. Dimas menjelaskan bahwa Kapten Depari tidak bisa datang sebab harus menghadiri acara "Bijak Bermedia Sosial" yang diadakan oleh Humas Polresta Barelang.

"Bagaimana awal kejadiannya, Pak?"

"Begini," Kapolsek Sekupang mulai bercerita. Wajahnya tampak masih sangat muda. Mungkin usianya sekitaran dua puluh akhir sampai awal tiga puluhan.

"Pihak pengembang mengirim timnya untuk melakukan pembongkaran lahan di sini," jelas pria itu.

Dimas mengikuti arah pandangnya. Garis polisi telah dipasang melingkari sebuah lubang galian dekat gundukan sampah plastik lainnya. Tampak anak buah Kapolsek Sekupang telah berbaris menjaga sekitar lokasi tersebut. Mencegah para warga agar tidak berkerumun terlalu dekat dengan pinggiran lubang galian.

Mereka langsung memberi hormat dan mengangkat garis kuning untuk keduanya. Dimas melongo ke bawah. Dia langsung membuang muka saat matanya bersitatap dengan Agam. Darahnya masih mendidih mengingat kejadian di rumah sakit waktu itu. Nala. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada Eja? Dia mencium kening Eja tepat di hadapan Dimas. Tidak tahu malu. Tidak tahu aturan. Sialan. Entah siapa yang harusnya disalahkan di sini, tetapi yang jelas, kelakuan Eja memang makin tidak beres saja belakangan ini.

Anak itu. Dikasih hidup enak, tapi malah disia-siakan.

Lisannya memang berkata sudah tidak peduli lagi pada Eja. Namun begitu, Dimas tetap tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia marah, sangat marah, sampai-sampai dia tidak bisa tidur semalaman. Dia harus mencari cara untuk meluruskan apa yang tidak lurus di sini. Meskipun dia masih belum bisa berdamai dengan emosinya kalau sudah menyangkut adik tirinya itu, dia tetap harus mengusahakan segalanya untuk Eja.

"Semua berawal saat mereka hendak membongkar lahan ...."

Cerita terus berlanjut. Dimas mendengarkan sembari menggilir atensinya. Lubang itu ternyata belum digali terlalu dalam oleh alat berat yang dikirim pihak pengembang. Kapolsek Sekupang menjelaskan bahwa lahan ini terlalu lama terbiar, hingga masyarakat sekitar terbiasa membuang sampah di tempat ini. Sedikit demi sedikit lama-kelamaan menjadi bukit. Dimas mengangguk-angguk singkat. Gundukan sampah memang ada di mana-mana. Sampah rumah tangga, sampah plastik, kayu-kayu sisa, serta dedaunan kering, semua tercampur aduk tidak keruan. Dimas sampai harus memicingkan mata. Rumah kecil di ujung sana nyaris saja tak terlihat olehnya.

"Sampai menggunung begini ...," ucapnya lebih kepada diri sendiri. Kalau bukan karena tugas, Dimas tidak akan sudi menginjak tempat ini.

Usai bercakap-cakap dengan Kaplosek Sekupang, Dimas memutuskan mendatangi seorang supervisor yang bertugas memimpin pembongkaran lahan tersebut. Dia ingin mendengar kronologis kejadiannya secara langsung dari mulut pria itu.

"Sesuai jadwal, pagi tadi kami melakukan pembongkaran lahan di sini. Awalnya semua berjalan lancar. Truk pengangkut sudah bolak-balik keluar mengangkat sampah-sampah itu menuju TPA. Kemudian, saat saya menyuruh anak buah saya untuk mengorek bagian yang itu," kata Supervisor sembari menunjuk lubang galian tempat kerangka tersebut ditemukan. "Samar-samar saya melihat tulang-belulang. Langsung saja saya perintahkan anak buah saya untuk berhenti saat itu juga dan menelpon polisi."

"Apa rumah yang di sana itu juga akan dibongkar?"

Supervisor itu mengangguk, membenarkan pertanyaan Dimas barusan.

"Siapa pemilik tempat ini sebelumnya?"

_____________________

"Apa katamu? Kerangka manusia?"

"Benar, Pak. Olah TKP-nya sedang berlangsung saat ini. Pihak Polres mengirimkan putra Bapak untuk memimpin kasus ini," lapor sang informan di seberang.

Agus Sinar berdecak pelan sembari memegangi pelipisnya. Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa ada kerangka manusia di tempat itu? Uang milyaran rupiah sudah dia keluarkan hanya untuk membeli lahan tersebut dan sekarang dia harus berurusan dengan kepolisian? Membayangkannya saja sudah membuat kepala pria paruh baya itu berkedut hebat. Dia harus bersia-siap menghitung kerugiannya. Proyek pembangunan perumahan dengan konsep seribu kanal yang rencananya akan direalisasi tahun ini terpaksa dimundurkan dari jadwal yang sudah ditetapkan.

"Pantas saja, ahli waris yang kami temui tempo hari sangat keukeuh menolak menjual lahan tersebut."

"Lalu, bagaimana bisa tanah itu pindah ke tangan Bapak?"

Agus Sinar merasa enggan untuk menjawab. Dia merasa seperti sedang diinterogasi. Namun, dia tidak punya pilihan lain, selain membersihkan namanya dari pertanyaan bernada tuduhan yang dilontarkan sang informan.

"Kami menyodorkan banyak koper pada ahli waris itu. Negosiasinya cukup panjang dan memakan waktu. Kau tau, kan, semua manusia itu sama saja. Pada akhirnya orang itu tidak tahan juga kalau sudah disuguhi uang milyaran rupiah tepat di depan hidungnya."

Informan itu tertawa keras, padahal Agus Sinar tidak berniat membuat lelucon.

"Saya akan segera siapkan Staff Legal untuk mengatasi masalah ini. Untuk surat jual-belinya, kalau memang diperlukan, akan saya serahkan nanti ke pihak kepolisian."

Agus sinar hendak menutup panggilan tersebut. Dia mendengar suara ribut-ribut dari kamar Eja. Entah apa lagi yang terjadi pada anak itu. Namun, satu kalimat yang diucapkan oleh sang informan berhasil membuatnya mengurungkan niatan tersebut.

"Bagaimana dengan kesepakatan kita, Pak?"

"Kesepakatan?" ulang Agus Sinar tidak mengerti.

"Saya kira Bapak sedang mencari seseorang. Bapak memerintahkan saya untuk segera melapor kalau ada penemuan kerangka di Batam. Kami akan segera membawa kerangka itu ke RS Bhayangkara. Silakan kirim DNA-nya agar bisa kami cocokkan."

Dahi pria paruh baya itu langsung mengernyit bimbang. "Apa kalian sudah yakin kalau kerangka itu memang benar kerangka seorang laki-laki?" tanyanya sedikit gusar. Agus Sinar baru ingat kalau dia pernah membuat perjanjian seperti itu dengan informannya. Hanya saja ....

"Tidak bisa! Saya tidak bisa mengirimkan sampel DNA-nya saat ini!" tolaknya mentah-mentah, kemudian ditutupnya panggilan itu.

_________________

Saya bingung deh, Dimas ini sebenarnya sayang nggak sih sama Eja. Wkwk. Bagian ini kepanjangan udah 2000 words lebih jadi terpaksa saya potong. Saya juga mau infokan ke kalian Jadwal update kemungkinan seminggu sekali ya. Thank you all sudah mengikuti kisah ini. 😆

Bonusnya saya kasih gambar Tim INAFIS nih


Mereka ini dikenal sebagai pasukan berbaju orange. Mobil dan dan seragam mereka berwarna orange loh. Tapi kadang mereka juga pake baju biru bertuliskan turn back crime.

Jadi INAFIS itu singkatan dari Indonesia Automatic Finger Print Identification System atau Unit Identifikasi yang bertugas melakukan olah TKP. Nah, mereka ini biasanya yang paling lama tiba di TKP karena markas mereka hanya ada di tingkat Polres, untuk di Polsek saya kurang tahu, ada atau tidak. Kadang ada warga yang sering protes kan, lama banget sih olah TKP-nya, jenazah nggak diangkat-angkat, bla bla bla, jadi begitulah kira-kira sebabnya, apalagi kalau lokasi kejadiannnya ada dipelosok-pelosok.

Selain itu mereka juga disebut-sebut sebagai pahlawan dibalik layar. TKP adalah wilayah kekuasaan mereka. Mereka akan bergerak kalau sudah menerima laporan. Polisi berseragam lain biasanya bertugas menjaga TKP sampai mereka tiba. Jangan sampai TKP-nya rusak karena Keberhasilan suatu kasus kuncinya ada di TKP; ladang petunjuk itu sendiri. Nah, merekalah yang nantinya bertugas menangani dan mempelajari TKP tersebut.

Udah deh sekian. Wkwk. Lebih dan kurangnya saya mohon maaf.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro