04 || Keambiguan L

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

To be honest with you, I want to see you today

***

Eksotic Point Coffee mungkin tidak punya pelanggan tetap yang setiap hari datang hanya untuk menumpang internet gratis dan segelas kopi dari biji kopi pilihan. Namun, sejak Fay jatuh hati dengan pelarian barunya, Fay-lah pelanggan yang satu-satunya langsung dipanggil namanya bahkan ketika pintu kafe baru terbuka. Barista di kios kopi dengan nuansa hijau-kuning itu sudah hafal dengan jam datang dan pesanan perempuan yang sering menggelung rambutnya dengan karet gelang.

"Latte no sugar, Kak Fay?" sambut barista bernama Dodi yang sedang menjaga konter pemesanan.

"Ah, iya. Tambahin gula dikit, deh, Mas. Lagi mau yang manis-manis."

"Cocoklah sama kamu yang manis."

Tak perlu ditanya dari mana kalimat itu berasal, Fay mengenalnya tanpa sedikit pun melirikkan mata. "Mas, ini temennya dicariin pacar, deh. Biar nggak ngerayu customer terus."

Kalimat Fay hanya ditanggapi dengan tawa oleh Dodi.

"Kenapa? Mulai bosen sama gombalanku?"

Fay memutar badannya ke sebelah kiri. Tangan kanannya ia letakkan di meja konter. "Chandra," begitu Fay memutuskan untuk memanggil lelaki yang mengenalkan diri sebagai Lyon, "Bukan bosen. Ketebak aja gombalannya. Antimainstream dikit napa?"

Lelaki yang mengenakan jaket jeans dengan kaos putih di dalamnya tersenyum lebar. "Jauh-jauh aku ke sini, jangan bikin aku jauh dari hatimu jugalah, Fayza."

Oke. Fay menyesal mengatakan bahwa Chandra harus mencoba gombalan baru. Lelaki itu berhasil menyentil kelemahannya—dipanggil dengan nama depan yang lengkap—dengan suara rendah yang membuat jantungnya menari.

"Kamu nggak shift hari ini?" tanya Fay yang memilih untuk membuang muka dan tidak menanggapi gombalan barusan.

"Enggak. Kan, mau nemenin yang lagi melarikan diri."

"Cih. Oke, cukup gombalnya hari ini."

"Kenapa? Kamu mleyot? Menyublim? Klepek-klepek?"

Fay memukul lelaki itu dan bergegas jalan menuju lantai dua saat pesanan kopinya sudah jadi. Tentu saja, sebelum ia pergi, Dodi sedikit berbisik untuk hati-hati dengan Chandra. Perempuan berbaju biru dengan rok hitam itu hanya tersenyum tipis dan memutar bola matanya.

Chandra mengekori Fay ke lantai dua. Keduanya duduk di meja yang ada di pojok ruangan, tempat pertama kali mereka bertemu. Pagi itu, lantai dua sedikit ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan laptop masing-masing. Dari lima meja yang ada di lantai dua, tiga meja sudah terisi dengan kelompok kecil manusia yang menatap layar persegi.

"Kamu nggak beli apa-apa?" Lagi-lagi Fay yang memulai obrolan.

"Aku suka air bening." Chandra mengeluarkan botol minum dari tas selempangnya. "Sebening hatimu."

Fay mendengkus pelan. Dirinya mulai terbiasa dengan ucapan-ucapan nyeleneh dari lelaki bermata sipit di depannya itu. Ia malas bertanya lagi perihal alasan Chandra datang ke kafe bukan pada jadwal kerjanya. Sudah cukup hatinya menahan gombalan hari itu—yang berusaha dianggap tidak serius agar tidak semakin merasuk ke hati. Lantas, perempuan yang mengurai rambutnya itu mengeluarkan seperangkat alat kerja—laptop, mouse, dan headset—kemudian mengkucir ulang rambutnya dengan model ekor kuda.

"Kamu ngerjain apa, sih? Tiap hari hobi banget ke sini." Kini giliran Chandra yang buka suara sambil meminum air beningnya.

"Bikin online shop."

"Buat?"

"Ya, jualanlah." Mata Fay masih fokus pada layar dan jemarinya menari diatas tuts keyboard.

"Jual perasaan?"

"Iya, biar ada yang beli." Akhirnya perempuan berhidung kecil itu meladeni permainan rayuan dari Chandra. "Tapi, jangan kamu yang beli."

"Yah, baru mau ngomong."

"Dibilangin udah ketebak. Kamu sendiri belum jawab. Tumben ke sini pas nggak ada jadwal?"

Chandra memajukan posisi duduknya. Kini, ia menyangga wajahnya dengan kedua tangan. "Bukan tumben. Biasanya juga ke sini pas nggak lagi shift. Cuma itu juga pas kamu nggak ke sini."

"Jadi, ngapain?"

Tersebab Fay tidak kunjung mendapat jawaban lebih dari lima detik, akhirnya ia mengalihkan pandangan dari layar laptop ke lelaki di depannya. Namun, lelaki itu sedang menunduk dalam dan mengerjap-ngerjap beberapa kali.

"Kenapa, Chan? Kelilipan?"

Kerutan di kening terbentuk jelas saat lelaki itu menatap Fay. "Kamu ...."

Fay menghentikan kegiatannya. Ia memberikan atensi penuh pada Chandra yang mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan hanya menatapnya dengan mata yang membulat.

Chandra menarik napas panjang, lalu melirik arloji yang ada di tangan kanannya. Matanya kembali membelalak, lantas ia langsung menggendong tas selempang dan berlalu dari hadapan Fay.

"Chandra! Kamu mau ke mana?"

Fay berulang kali melihat ke tangga dan laptopnya. Mendadak ia bingung, haruskah ia melanjutkan kegiatan jualan online-nya, atau menyusul Chandra yang pergi tiba-tiba. Ia pun meninggalkan laptopnya, tetapi saat tiba di lantai satu, lelaki berambut klimis itu sudah hilang dari sana.

"Mas, Mas! Itu Chandra ke mana?" tanya Fay pada barista yang ada di konter kopi.

"Oh, katanya mau ke petshop. Ada wawancara kerja gitu."

Ah, benar. Beberapa hari lalu, lelaki itu bilang kalau sedang menjalani seleksi menjadi pet groomer atau perawat hewan peliharaan yang biasanya bertugas memandikan dan menjaga hewan di klinik.

"Di mana, ya, petshop-nya?"

Rekan barista Chandra pun memberitahukan tempat yang dituju oleh Chandra. Rasa penasaran Fay yang tak terbendung membuatnya memutuskan untuk mencoba menyusul lelaki itu. Barangkali setelah wawancara kerja selesai, ia bisa minta ditraktir makan siang sebagai bayaran sudah ditinggalkan tanpa pamit.

"Seburu-buru apa juga, harusnya pamit, dong. Dasar. Nggak ada sopan santun dalam hubungan sosial. Emang dasar jago gombal doang kamu, Chan!" gerutu Fay yang menunggu ojek online pesanannya datang.

Jarak antara Eksotic Point Coffee dengan klinik hewan tujuan tidak terlalu jauh. Kurang lebih 10 menit, Fay sudah sampai di depan klinik hewan itu.

Namun, saat akan melangkah masuk, Fay terdiam dan menggumam, "Bentar, masa aku dateng terus bilang mau ketemu calon pegawai yang lagi interviu? Kan, nggak lucu, ah."

Mau tidak mau, Fay harus berpura-pura membeli sesuatu di sana. Mungkin ia bisa membeli makanan kucing untuk diberikan ke kucing liar yang ada di kompleks rumahnya. Atau mungkin, sekadar tanya-tanya soal layanan yang diberikan di sana. Perempuan yang mengurai rambut sebahunya itu mengangguk mantap setelah menemukan sebuah skenario untuk bertemu Chandra.

Saat membuka pintu klinik hewan, Fay jelas bisa melihat Chandra yang sedang duduk di bangku plastik dekat sebuah ruangan. Bisa dipastikan, itu ruangan untuk wawancara.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?"

Salah seorang pegawai klinik hewan menghampiri Fay. Sepertinya, wajahnya terlihat bingung sehingga mengundang pegawai untuk menawarkan bantuan. Atau mungkin memang itu prosedur operasional standar di klinik hewan? Fay tidak tahu. Ini pertama kalinya datang ke klinik hewan.

"Oh, saya ...."

"Mas Luthfi Chandra?"

Telinga Fay sensitif mendengar nama Chandra disebut. Ia mengabaikan pegawai klinik hewan sejenak untuk memastikan indranya tidak salah mendengar.

"Iya, saya, Dok."

Benar. Itu Chandra yang Fay kenal dipanggil oleh dokter hewan yang keluar dari ruangan.

"Mari, ikut saya ke atas."

Netra Fay mengikuti pergerakan keduanya dengan kerutan di dahi yang mulai terbentuk. Ada yang aneh dari kalimat yang ia dengar tadi, tetapi apa?

"Kak?" tegur pegawai klinik hewan yang Fay abaikan.

"Oh, iya, maaf, Mbak. Tadi lagi inget-inget mau beli apa."

Sambil menjalankan skenario yang dibuat di depan klinik, otak Fay terus mengulang kejadian barusan. Tampaknya, otaknya harus berpikir keras untuk menemukan keanehan yang dirasakan saat mendengar percakapan Chandra dengan dokter hewan tadi.

Selesai melakukan transaksi—membeli satu pak makanan kucing paling murah—tiba-tiba, Fay terdiam di depan pintu.

"Tadi dokternya manggil 'Luthfi Chandra'. Tapi, bukannya kemarin katanya L dinamanya itu Lyon? Kok beda? Apa sengaja?"

Fay tidak bisa menjawab rasa penasarannya sendiri. Ia harus menanyakan hal ini langsung pada si empunya nama. Namun, saat ia akan duduk di bangku tunggu klinik, ponselnya berbunyi.

"Fay, pulang sekarang, ya. Ada tamu dari keluarga Papa."

Sungguh, kenapa ibunya harus menelepon dan menyuruh pulang di saat seperti ini?

Fay tidak mungkin menolak permintaan itu kalau ia tidak mau dijadikan bahan pembicaraan keluarga ayahnya. Bisa-bisa, ibunya pun menjadi sasaran gosip keluarga itu. Maka, dengan langkah gontai, perempuan dengan tas cokelat ini melangkah keluar klinik dengan otak yang terus memikirkan nama Chandra yang sebenarnya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro