06 | Seluk-beluk SeO

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Larang orang lain merendahkanmu, karena kau berhak, pantas, menerima diri sendiri terlepas apa pun kekurangan dan kelebihanmu. Selalu dirimu sendiri yang pertama kali."


SeO resmi buka tiga puluh bulan setelah Eunkwang lulus kuliah. Menyandang sarjana tata rias, Eunkwang tidak langsung berkecimpung di bidang yang disuka. Lebih dulu bekerja serabutan, sana sini, mengumpul uang, setelahnya membeli bangunan satu lantai guna memulai usaha. Itu pun mesti tertunda sebab Eunkwang harus mencicil perkakas salon, alat mekap lengkap, sampai yang terkecil seperti spons untuk alas bedak.

Terus terang, Eunkwang tidak terlahir di tengah keluarga kaya, tapi cukup mendapat aspek kasih sayang, dibesarkan dalam rumah sederhana nan nyaman. Eunkwang juga tidak bisa terus-menerus bergantung kepada orang tua meski ayah atau ibunya tidak pernah keberatan membantu anak semata wayang mereka. Dia bahkan membuktikan kemandirian melalui SeO.

Kala Eunkwang berjuang untuk membangun usaha salon sendiri, Sangeum ada di sana. Di sisi Eunkwang menuju impian walau keadaan paling sulit datang tanpa izin. Terkadang, jika Sangeum kukuh tidak mau pulang sebab menemani Eunkwang di SeO yang masih sepi, Eunkwang membujuknya halus kalau Sangeum mesti giat belajar agar cepat lepas dari perguruan tinggi, menjadi penulis naskah drama yang selama ini Sangeum mau.

Satu bulan, dua bulan, sampai lima bulan berlalu, SeO baru mampu memasuki sepuluh pelanggan. Namun, yang namanya Eunkwang, buku prinsipnya tidak pernah tertulis kata menyerah.

Setengah tahun berjalan, ada seorang anak SHS yang melamar bekerja di SeO, padahal Eunkwang tidak sedang mencari pegawai. Terlebih, dia masih bisa menangani pelanggan sendiri. SeO belum banyak pengunjung di tiap harinya secara rutin.

"Tolong, Hyung. Mm? Aku yakin, salonmu bakal dikenal banyak kalangan, bahkan selebritas atau pejabat? Kau pasti akan membutuhkanku." Remaja itu bukan cuma memohon dari kalimatnya, kedua tangan juga turut menyatu. "Aku perlu uang. Berapa pun yang kau beri, akan aku terima. Jika kau tidak ada pelanggan, aku tidak akan meminta bayaranku, ya?"

Walau omongan remaja laki-laki ini terdengar konyol di beberapa hal, tapi benar. Empat belas bulan setelahnya, SeO meraih kesuksesan. Pengunjung ramai, bahkan SeO pernah kedatangan aktris papan atas teman Kang Seulgi. Eunkwang juga diminta untuk menjadi penata rias penyanyi yang akan mengadakan konser. Pundi-pundi hasil kerja keras pun terisi penuh, cukup untuk memperluas bangunan hingga ke samping.

Belakangan, Lim Ju Hwan bergabung sebagai beautician, dan selanjutnya Eun Ju Han yang pandai di hairstylist menjadi rekan kerja Jung Wooseok, remaja yang semakin tumbuh dewasa. Tidak ada sistem senioritas, mereka bekerja rukun. Di antara mereka bertiga, Ju Hwan lebih tua, dan Eunkwang sering salah panggil Ju Hwan, menjadi Ju Han, pun sebaliknya untuk Ju Hwan. Makanya, Eunkwang menyederhanakan panggilan menjadi Hwan, dan Han.

Mereka bekerja dari Senin sampai Jumat, sisa harinya Eunkwang yang bekerja sendiri. Ini sudah ada sejak Wooseok menjadi pegawai SeO. Awalnya karena ia anak sekolah, mesti memerhatikan pelajaran, makanya jadwal liburnya Sabtu dan Minggu. Namun karena kebiasaan, walau Wooseok sudah lulus, Eunkwang tetap tidak mengganti aturan itu. Otomatis, berlaku pula untuk kedua pegawai yang baru bergabung.

Berbagai warna datang memenuhi SeO, meski tidak melulu warna cerah. Semisal Wooseok yang tidak mengevaluasi lebih dulu kondisi kuku pelanggan, sehingga terjadi ketidakcocokan saat menggunakan produk cat kuku. Tetapi seluruh kesalahan menjadikan Wooseok tidak melakukan hal serupa. Pekerjaan yang sudah dilakukan dengan baik harus dipertahankan, lalu memperbaiki apa yang salah, dan semakin meningkatkan kerja baik. Begitu, yang Eunkwang ajarkan.

Pergantian tahun 2017, secara perdana SeO mengeluarkan seragam khusus pegawai, berwarna oranye cerah, topi hitam, celana senada dengan topi, dan pin bertulis SeO menawan menggunakan fon giodasi. Di waktu itu, Eunkwang sempat memberi saran kepada Jung Wooseok untuk mencari pekerjaan lain.

Bukan mau mengusir, tidak pula berhubungan tentang kinerja Wooseok. Walau tidak punya pengalaman di bidang kecantikan, tapi Wooseok mampu menangani pelanggan secara autodidak, lalu menjadi nail technician andalan SeO, belajar dari semua kesalahannya. Eunkwang bangga dengan pencapaian anak itu, jujur saja. Demikian, Eunkwang ingin Wooseok melebarkan sayap, terbang lebih tinggi lagi dari sekadar di salon SeO.

"Aku sudah betah di sini seratus ribu persen, bisa jadi aku akan bekerja untukmu sampai napasku tersisa satu helaan."

Memang, Jung Wooseok bicara tidak pernah disaring; bisa berlebihan, bisa pula konyol. Kendati ia hidup sendiri tanpa kedua orang tua atau saudara, tidak seharusnya berkata begitu. Terlalu sembarang.

"Tapi kau juga butuh pengalaman bekerja yang lain. Ah, bukankah kau mau kuliah jurusan hukum?"

Wooseok menggeleng. "Tidak jadi."

"Mengapa?" Raut Eunkwang mulai berubah cemas. Mereka hanya berdua di SeO, Eunkwang sengaja menciptakan kesan santai sepanjang mengobrol dengannya. Mereka sudah mengenal cukup lama. "Karena biaya? Tidak, kau jangan pikirkan itu, aku bisa menanggung. Kau bilang, aku kakakmu, aku akan membantu adikku, hm?"

"Bukan, Hyung. Bagaimana ya menjelaskannya, aku hanya takut tidak bisa memegang tanggung jawab. Banyak hukum yang mempermainkan kehidupan orang lain, aku tidak mau terjebak dalam situasi itu. Mungkin aku bukan orang yang buruk, dan bisa saja aku bersumpah untuk tidak menindas orang lemah dengan kekuasaan, tapi manusia cenderung mengikuti pengaruh. Lebih baik begini saja, biasa, tapi luar biasa istimewa."

Eunkwang tertawa atas kalimat panjang Wooseok. Entah bagaimana, Eunkwang ikut menyetujui pendapat bocah di hadapannya. Wooseok bukan pengecut karena tidak mau mencoba hal baru, tapi ia tahu kapasitasnya soal tanggung jawab.

"Oppaaaa!"

"Astaga," gumam Eunkwang, kemudian beranjak dari kursi salon dan merentangkan tangan, menyambut perempuan yang baru saja menerobos masuk SeO. "Ya ampun, Sinarkuuuu. Mengapa, mengapa? Bagaimana harimu?"

Sangeum hanya terus menyembunyikan wajah dalam dada Eunkwang usai menelusuk ke pelukan, tidak menjawab, tidak pula terdengar merengek seperti tadi.

"Ya! Apa kau anak kecil? Eunkwang Hyung akan bosan dengan tingkah lakumu yang manja." Wooseok berkata tanpa beban sambil berdiri, dan langsung mendapati Sangeum yang menjauhkan wajahnya, menatap Wooseok sedih.

"Kalau begitu, aku akan bersamanya hingga dia bosan."

Wooseok mencebik. Walau tahu Kim Sangeum kekasih sang atasan, tapi tetap saja Wooseok tidak pernah menjaga kalimat atau sikapnya terhadap Sangeum. Ia lebih banyak bertindak sebagai adik Eunkwang yang tidak suka kakaknya disusahkan, apalagi memiliki beban perasaan cuma karena perempuan.

"Daripada menjadi orang ketiga, lebih baik kau pulang." Sangeum kembali menumpukan wajah pada dada Eunkwang sejalan punggungnya ditahan oleh laki-laki itu.

Pasti terjadi sesuatu pada Kim Sangeum, Eunkwang yakin.

"Akan ada banyak alasan untuk Eunkwang Hyung memutuskanmu sewaktu-waktu. Dua dari banyak, manja, dan kasar."

"DIAM EISHHH!"

Eunkwang meringis sambil memejamkan mata, kemudian merapatkan belah bibir sebagai isyarat pada Wooseok untuk tidak mengusik harimau lapar.

"Aku pulang dulu, Hyung. Hati-hati, kau bisa digigit oleh perempuan ganas." Wooseok berbalik usai paham kata tidak bersuara dari Eunkwang. Ia mengambil langkah arah ruang ganti pegawai di sisi kanan bangunan.

"Jangan lupa makan, Wooseok-ah!"

Seruan Eunkwang hanya dibalas singkat Wooseok yang mengiyakan, terdengar samar dari sini.

Menunduk, Eunkwang sengaja mengeratkan pelukannya, dagu bertumpu pada puncak kepala. Aroma asam keringat menguar, mengalahkan wangi vanili dari sampo kegemaran Sangeum. Seharian gadis ini di luaran, sekali lagi Eunkwang yakin.

Tubuh Sangeum mulai berguncang, kemudian terdengar isak halus yang mampu membuat hati Eunkwang tepotong tipis-tipis. Masalahnya, dia tidak mampu membalut keperihan Sangeum dari sekadar memberi pelukan hangat.

"Eum...." Lirih, Eunkwang memanggil untuk segera Sangeum berbicara agar perasaan lega, tidak baik terus dipendam walau sudah jatuh air mata.

"Jangan tanya apa pun. Aku merindukan Oppa. Aku hanya merindukan Oppa, makanya aku menangis." Kalimat Sangeum teredam karena berbicara masih dalam posisi menyembunyikan muka, tapi Eunkwang cukup memahami apa kalimat yang terlontar.

"Aku juga merindukanmu." Eunkwang membalas, dan Sangeum mulai berhenti bersembunyi. Ia mendongak, memandang Eunkwang lekat.

"Aku pikir Oppa tidak merindukanku. Dua hari Oppa tidak mengirim pesan atau menerima teleponku. Menjengkelkan."

Eunkwang balas memandang Sangeum, lembut sorotnya. Mereka masih saling melingkarkan tangan, memeluk satu sama lain.

"Bagaimana dengan dirimu merasa?" Eunkwang serius bertanya. "Jika tadi menurut pikiranmu, bagaimana menurut perasaanmu? Biasanya juga kau mengedepankan perasaan, mengapa sekarang tidak kau gunakan juga perasaanmu?"

Tanggapan Sangeum hanya bola mata yang menurun. Eunkwang tersenyum ringan sejenak. "Aku merindukanmu, Sangeum. Aku merindukanmu sampai rasanya telah kehilangan sebagian cahaya matahari yang selalu menyinariku. Apa itu tidak cukup?"

"Berlebihan." Sangeum melepaskan diri dari kungkungan tangan Eunkwang, lantas memukul dada laki-laki itu.

"Meskipun kau melarang aku bertanya, tapi aku tetap akan bertanya. Ada apa? Kau menangis bukan serta-merta merindukanku, 'kan?"

"Naskahku ditolak, produser bilang kalau jalan ceritaku tidak masuk akal. Pertama kali, beliau berkata isi naskahku tidak seperti cerita yang sedang digandrungi. Padahal mereka sudah memberiku kesempatan, tapi aku masih saja tidak bisa menulis cerita yang membuat mereka puas. Mengapa aku... aku payah sekali ya, Oppa?" Dari terbata-bata, Sangeum kembali memecahkan tangis.

Sementara Eunkwang, menyaksikan Sangeum rapuh terlalu mencekik baginya. Maka dipeluk lagi tubuh itu agar tidak tambah hancur berkeping. "Seseorang tidak pernah bisa memuaskan orang lainnya Sangeum, termasuk dirimu. Kau sudah melakukan yang terbaik pasti. Maafkan aku ya, aku tidak menerima teleponmu, pasti kau mengalami hari-hari sulit."

Sangeum semakin keras menangis, memenuhi sudut-sudut SeO. Ia tidak pernah bisa tahan oleh rasa sedih, apalagi penolakan yang diterima. Tidak ada yang suka ditolak, dalam hal apa pun.

"Hei, sebelum kau ingin membuat orang lain puas, bukankah kau mesti mengutamakan kepuasan dirimu? Dan seandainya kau punya kekuatan bisa memuaskan semua orang, lama-kelamaan kau juga akan lelah. Jadi cara terbaik adalah membuat dirimu puas sebelum orang lain, dan kau tidak akan peduli akan puas tidaknya mereka. Menerima atau tidak, ya terserah, terpenting pula kau telah berusaha.

"Mungkin kau ditolak di tempat itu, tapi coba di tempat lain. Atau, mengapa tidak mengirimkan naskahmu yang mereka bilang tidak masuk akal itu ke penerbit? Walau tidak menjadi penulis drama, tapi kau masih bisa menjadi pengarang sukses. Novelis, mungkin? Aku yakin, karena aku percaya Kim Sangeum."

"Oppa." Sangeum masih menangis, intensitasnya belum juga menurun. "Mengapa Oppa membuatku ingin terus menangisss...."

"Kau tersentuh, 'kan?" Eunkwang sengaja tertawa untuk meredakan suasana sedih. "Tidak apa-apa, Sangeum. Kau bisa tetap bersinar di tempat lain, jangan hanya terpaut pada satu tempat, ya?"

.
.
.

Bersambung....

C/A: Aku backkk! Back, back, back, uhuu! Eh, ini bulan Februari lho, bulannya ide Silverstar lahir, hahaha. Udah setahun ide mencuat, tapi ceritanya setengah jalan aja beyum, hihi. Semoga masih ada yang menunggu yaaww~

Bogor, 22 Februari 2021
Kimmie_Tan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro