22 | Sepotong Memoar (BAGIAN KHUSUS!)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jung Wooseok berdiri bersama perasaan tidak tenang di pelataran SeO. Sesekali kepalanya memanjang demi melongok lebih jauh ke depan, padahal tidak dengan seperti itu pun jalan raya terlihat jelas. Menunggu Eunkwang sama mencemaskannya jika memikirkan masa depan akan membangun keluarga sama siapa, pasangan bakal sering marah-marah atau tidak jika seandainya pemasukan uang minim, dan... nah, itu dia!

Mata Wooseok mengawasi Tucson yang berbelok arah sini, dan parkir di samping halaman. Ia masih berdiri di posisi sama, menanti Eunkwang yang akan turun dari mobil. Bukan ingin meminta bayaran bekerja hari ini, toh mereka-pegawai SeO dibayar per minggu. Wooseok menunggu Eunkwang murni karena khawatir, kakaknya itu buru-buru pergi tanpa bilang mau ke mana. Yah, bukan pula Wooseok menjadi proaktif, tapi biasanya Eunkwang kalau mau pergi tidak 'setergesa' tadi sore.

"Wooseok-ah?" Berjalan arah laki-laki muda yang punya bibir berbentuk M sempurna, Eunkwang menyapa dengan nada bingung. "Kok belum pulang? Kau bisa menutup pintu saja, biar aku yang kunci."

"Bagaimana bisa aku pulang dan tidak mengetahui apa alasan Hyung pergi tiba-tiba? Mengapa? Hyung ke mana?"

Eunkwang menarik napas panjang, dikeluarkan segera sambil menepuk punggung Wooseok. "Mau kopi?"

Sofa panjang yang biasa digunakan tamu SeO kalau menunggu giliran, kini ditempati Eunkwang dan Wooseok, mereka sama-sama memegang kaleng kopi yang masih penuh dan dingin. Eunkwang segera mengambilnya dari kulkas mini dalam ruangan pribadi ketika Wooseok menyetujui tawarannya.

"Wooseok-ah, mengapa banyak manusia yang harus bergantung pada penilaian orang lain?"

Yang ditanya menoleh, mendapati tatapan lurus tidak bersemangat Eunkwang. Di cermin depan sana, Eunkwang melihat bayangan diri sendiri.

"Mungkin karena... orang bisa melihat diri kita. Dengan mudah menilai kita. Dari luar."

"Lalu bagaimana, jika kita hanya ingin bergantung pada penilaian diri kita saja? Apakah egois?"

"Semua manusia perlu egois sesekali, Hyung. Lagipula, cuma orang-orang yang tidak percaya diri jika terus bergantung sama penilaian orang."

"Jadi tidak salah, 'kan... kalau aku menjadi diriku? Tetap menjadi diriku, tapi juga tetap mencintai Kim Sangeum?"

Jung Wooseok sampai tidak jadi menyeruput kopinya, Eunkwang bahkan kaget sama satu nama yang terucap dari mulut sendiri.

"Geurae, sekarang saatnya aku menjadi adik sungguhanmu. Ceritakan apa yang mengganggumu sekarang. Soal cinta? Boleh. Aku memang bukan ahli, tapi siapa tahu saja Hyung bisa merasa lebih baik jika bercerita. Orang bilang sih seperti itu."

"Bahkan mendengarmu berkata begitu saja sudah membuatku nyaman." Eunkwang mengakui itu, dan Wooseok segera mengambil posisi duduk nyaman sekaligus menghadap lelaki berekspresi kacau. Siap mendengarkan.

"Kau tahu, pertama kali Sangeum datang ke hadapanku, aku sudah bisa melihat betapa dia begitu percaya diri. Lalu saat aku lebih dalam lagi mengenalnya, aku semakin tahu kalau Sangeum mampu menerima diri sendiri apa adanya, aku semakin menyukai sosok itu. Walau sesekali dia bisa merasa minder, Sangeum tetap teguh sama pemikirannya, kalau semua manusia unik dengan cara mereka sendiri.

"Aku suka sama seluruh pemikirannya, seluruh pandangannya, tapi... mengapa dia tidak suka jika aku berbuat baik? Maksudku, aku tidak ingin egois kalau hanya memikirkan diri sendiri, makanya aku juga memikirkan orang lain, lalu aku mulai melihat diriku egois ketika Sangeum merasa terabaikan olehku. Dia tidak bisa balik menyukai diriku apa adanya."

"Apa Hyung sudah mengartikan sikap Sangeum nuna dengan benar?" Wooseok tidak sembarang memulai untuk bicara, ia punya firasat kalau ini giliran ia melontar kata. "Mungkin saja maknanya berbeda sama yang Hyung pikirkan. Nuna kepingin kalau kebaikan Hyung ada batasnya, jadi Eunkwang Hyung tetap bisa menghargai diri dan juga hal pribadi. Lalu soal Sangeum nuna balik menyukai diri Hyung apa adanya... itu cuma Sangeum nuna yang tahu. Menurutku, kalau Sangeum nuna tidak suka Hyung apa adanya, apakah mungkin hubungan kalian bisa berjalan lama seperti sekarang? Aku bahkan menyaksikan Sangeum nuna yang merengek kepada Hyung beberapa tahun lalu."

Sengatan yang terasa akibat kata-kata Wooseok hampir meruntuhkan pertahanan Eunkwang. Dia tidak bisa leluasa bernapas, terasa sempit sekali.

"Manusia memang boleh egois, Hyung. Manusia juga cuma bisa menilai diri kita dari luar, tapi bagiku Sangeum nuna yang sudah berbagi seluruhnya sama Hyung tidak menilai seperti orang-orang yang kita temui selewat. Ini cuma masalah memahami."

"Wooseok... apakah kau punya kekasih?"

Anak itu lantas menekuk wajah, matanya menyorot judes arah Eunkwang. Padahal Eunkwang tahu sendiri ia termasuk kaum jomlo.

"Habis kau... mengapa pikiranmu bisa seterbuka itu?" Eunkwang yang tahu telah membuat Wooseok kesal segera memberi alasan atas singgung kekasih tadi. "Atau drama? Kau menonton drama apa?"

"Cukup Hyung, aku jadi mual." Wooseok meluangkan waktu sejenak untuk meminum kopi yang sudah kehilangan sedikit demi sedikit sensasi dingin. "Terpenting ya Hyung, hubungan itu tidak bisa dibawa mengalir begitu saja. Mesti ada yang diperjuangkan. Bukan cuma orangnya, tapi juga cara pembangunan hubungannya untuk menjadi lebih kuat jika dihantam badai sewaktu-waktu."

Setuju.

Eunkwang sedikit menyungging senyum, ikut meminum kopinya setelah dibuka.

Mungkin Sangeum ragu kalau ia satu-satunya. Maka Eunkwang akan membuat Sangeum percaya kalau tidak pernah ada yang lain melalui tindakan. Bukan cuma kata-kata. Toh, kenyataannya memang cuma Sangeum yang menjadi ratu di hati Seo Eunkwang.

Tak ada yang lain.

✳✳✳

"Konon, umur tujuh tahun masa emas anak masih berlangsung, dan membentuk kepribadian."

Soo Hyun menanggapi dengan kebisuan, kendati matanya tak pernah lepas mengarah adiknya yang berbaring di atas hospital bed.

"Di umur itu, ayah meninggalkanku untuk tinggal bersamamu dan ibu. Menurutmu, bagaimana kepribadianku setelah dewasa ini?" Topeng ceria natural tertampak, seolah-olah apa yang Sangeum bahas tidak berdampak pada pedihnya rasa. "Tadinya kalian berdua terlihat asing, tapi justru sekarang ayah yang terlihat begitu asing di mataku setelah aku bertemu dengannya lagi. Menurutmu pula, seberapa banyak aku mirip ayah? Aku sudah tidak ingat bagaimana wajah ibu kandungku, karena sudah terbiasa bersama ibu kita. Sosok ibu yang Kakak bersedia bagi bersamaku."

Wajah Soo Hyun kaku, ia tidak bisa berekspresi lebih untuk menggambarkan betapa ia syok mendengar seluruh lantunan kalimat Sangeum.

Tidak mengherankan jika Sangeum mengingat momen saat ditinggal. Namun, Soo Hyun tidak pernah tahu bahwa Sangeum juga ingat bahwa A Rum hanya berperan sebagai ibu sambung bagi Sangeum. Soo Hyun pikir, itu sudah terlalu lama, seharusnya Sangeum sudah lupa. Tetapi bukankah momen ditinggal saling berhubungan juga dengan ibu kandung Sangeum? Ya ampun, Soo Hyun melewati detail itu.

"Ayah bejat banget ya, Kak? Ibu diselingkuhi, sampai sekarang bahkan ibu tidak dicerai secara resmi, tapi ibu mau mengurusku walau tahu aku anak selingkuhan suaminya. Bukankah ibu keterlaluan? Keterlaluan baik hati."

"Sangeum, cukup." Soo Hyun menarik beberapa helai rambut Sangeum yang sudah menjadi satu sehingga gadis itu mengaduh, dan menatap nyalang sang kakak. "Bisa tidak, tidak perlu mengungkit masa lalu?"

"Katakan kepadaku, bagaimana?" Kepala sudah menoleh sang kakak sejak rambutnya ditarik sembarang. "Bagaimana cara aku tidak lagi mengungkit masa lalu? Ibu selalu menunggu ayah kembali, tapi saat terakhirnya kembali ayah, dia malah membawaku ke hadapan kalian. Ibu patah, tapi tetap menunggu ayah lagi. Memasak terus-menerus, tidak bergaul sama orang lain kecuali bibi Cha. Katakan bagaimana caranya aku bisa lupa?!"

"Kakak menyayangimu, ibu menyayangimu. Bahkan sejak kau tinggal bersama kami, ibu lebih memerhatikanmu, dan berkata aku sudah harus bisa mandiri." Soo Hyun memandang Sangeum dengan penuh luka. Keringat terasa membanjiri bagian dada Soo Hyun ketika napasnya memburu tak keruan. "Ibu tidak lagi menyuapiku, ibu selalu menyiapkan baju untukmu setiap pagi, tapi aku harus menyiapkan baju seragamku sendiri. Dari seluruh kasih sayang itu, apa tidak bisa kau membalasnya dengan tidak mengungkit hal menyedihkan? Kau juga kesakitan, seharusnya kau ingat."

"Dibanding mirip ayah, kau lebih mirip diriku. Karena aku juga ikut membantu ibu mengurusmu, menanamkan hal-hal baik. Tidak termasuk emosimu yang sering meledak dan galak. Wajahmu? Wajahmu tidak mirip siapa-siapa, lebih mirip kue bolu. Mengembang begitu," lanjut Soo Hyun, emosi negatif masih bergejolak di dalam dirinya.

"KAKAK JAHAT!" Sangeum yang sudah dongkol menangis, ganti posisi membelakangi Soo Hyun.

"Kau juga jahat. Kau suka mengungkit masa lalu di depan ibu, kau jahat pada dirimu sendiri karena menumbuhkan kebencian kepada ayah. Seharusnya kau tidak boleh lagi tersiksa karena masa-masa yang buruk!" Bernada keras, meski tidak sekeras Sangeum, Soo Hyun berhasil melampiaskan apa yang ia rasa.

Menatap punggung yang terbalut baju pasien, Sangeum tidak bergerak atau menanggapi, tapi Soo Hyun tahu adiknya masih menangis. Kemudian gambaran luas saat ia duduk bersama Kim Sanghyun kemarin terbayang.

"Bukan hal baru, aku sudah tahu kalau manajer Ryu dekat sama Ayah." Alih-alih menyatakan rindu, atau mungkin berkata benci kepada Sanghyun, Soo Hyun justru mengemukakan topik seputar Tae Jin yang menemui mereka tadi.

"Saat seleksi manajer pertama kali, aku sendiri yang mengecek data manajer Ryu. Dia menulis nama Ayah sebagai wali. Kupikir, nama Kim Sanghyun banyak, tapi setelah menemukan tatapan hormat Tae Jin kepada Ayah, juga cerita-cerita masa lalunya, aku benar-benar yakin soal perasaanku kalau walinya memang Ayah."

"Lucu, 'kan? Ayah bertanggung jawab atas hidup Tae Jin, tapi Ayah mengabaikan kewajiban atas dirimu dan Sangeum."

Soo Hyun senyum kecil, sedikit mendesis, entah untuk perkataan Sanghyun atau diri sendiri. Bola matanya tersorot ke depan, tidak benar-benar memerhatikan suster atau dokter yang berlalu lalang dengan ekspresi wajah beragam.

"Kau... tidak benci Ayah? Terakhir kali bertemu, Ayah bahkan tidak menyapamu."

"Setidaknya aku pernah mengenal Ayah." Soo Hyun menyahut pelan. "Aku sudah terlalu tua jika membenci Ayah atau menyangkal adanya masa itu. Masa lalu memang tidak bisa diperbaiki, tapi masa depan selalu dalam genggaman kita. Ayah, kau bisa menjadi lebih baik di masa sekarang."

"Soo Hyun-ah...." Menatap si sulung yang mulai menaruh perhatian kepadanya, Sanghyun merasa ada sorot ketulusan dan kasih sayang di sana.

"Ayah tahu aku selalu memaafkan Ayah, 'kan?"

"Tapi tidak dengan adikmu. Ayah sudah menemuinya, dia tidak sepertimu saat ini."

Soo Hyun mencoba menahan air yang hendak menerobos keluar, mengedipkan beberapa kali kelopak mata sambil membuyarkan fokus tidak menatap Sanghyun. Mungkin ia juga tidak harus seperti ini, tapi mau bagaimana, Soo Hyun tahu kalau membenci atau mengutuk Sanghyun sekarang pun tidak ada gunanya.

"Ayah tahu tidak, apa yang paling tidak bisa aku dan Sangeum lepaskan dari fakta bahwa kami anak seorang Kim Sanghyun?"

Tiada jawab. Sanghyun hanya menatap tepi wajah Soo Hyun yang tengah berjuang untuk tidak melepas tangis.

"Ayah mewariskan darah seni kepada kami." Memandang Sanghyun lagi, kaca-kaca di kedua netra sana terlalu rapuh hingga pecah juga. Soo Hyun membiarkan air-air itu membasahi kedua pipi. Rasanya amat deras.

"Lihat, aku suka memainkan peran, dan Sangeum pengarang fiksi yang baik. Itu tidak bisa dihilangkan dari kami, sampai kapan pun. Maka kami juga tidak pernah bisa menolak kalau penggubah lagu yang mampu menyentuh para pendengarnya adalah ayah kami. Sangeum cuma butuh waktu menerima segalanya. Ayah bisa pegang omonganku, Sangeum bisa memaafkan Ayah seperti aku."

Lantas bayangan itu beringsut pudar. Soo Hyun jadi mengantuk sebab ruangan sudah lama sepi. Sepertinya Sangeum tertidur sesudah menangis, tapi Soo Hyun masih betah menatap punggung adiknya.

"Sangeum-ah, pernah mendengar lagu ciptaan ayah? Lagunya boleh jadi terdengar romantis dan mulus, tapi kisah cintanya tidak semulus lagu yang dibuat." Soo Hyun tertawa pelan, sendirian dalam kesunyian dan berperan sebagai kritikus dadakan.

Kedua tangannya kemudian menurunkan safety rail guna dirinya bisa menyandarkan kepala di tepi ranjang. Sebelum itu, bola mata Soo Hyun terangkat, memandang bagaimana kelamnya malam dari balik jendela di depan Sangeum.

"Sama sepertimu dan aku. Sebenarnya, aku tidak setangguh peran yang kumainkan. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, kau juga tidak sepandai karaktermu menyelesaikan masalah. Apalagi masalah yang kita hadapi di dunia nyata belum tentu menemukan solusi. Iya, 'kan?" Bahkan tiap cerita yang berakhir dalam satu karya film atau sastra, itu bukan berarti akhir dari perjalanan hidup seluruh karakter fiksi di dalamnya.

Soo Hyun terlelap juga usai bermonolog sekaligus menghentikan bising pemikirannya. Ia membawa harap yang tidak pernah terputus bahwa esok bisa lebih baik dari hari ini. Harapan umum memang, tapi selalu menjadi jembatan dambaan.

SELESAI. . END.

S I L V E R S T A R
서 은광 ✳ 김 상음
°°°
Present by: Ilestavan
Kimmie_Tan published, Bogor, 08 Agst 21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro