Bab 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan harinya, Frans menelepon lagi. Dia mengajak Leslie ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu. Dengan ringan, Leslie mengiakan.

"Hanna, aku harus pergi," pamit Leslie. Yohanna menyunggingkan senyum jail pada sahabatnya.

"Udah lama banget aku nggak denger itu. Dan yang paling ajaib, kamu ngomongnya dengan muka semringah," goda Yohanna. "Biar kutebak. Igna sudah pulang?"

Leslie tertawa pelan, lalu menggeleng. "Om Frans minta ditemani mencari barang."

Yohanna membulatkan bibirnya. "Padahal kemarin kamu kan ke rumahnya. Kenapa nggak bilang dari kemarin saja?"

"Mungkin baru kepikiran hari ini," jawab Leslie. "Sudah ya, aku duluan."

"Hm." Yohanna mengangguk. "Salam untuk Om Frans ya."

"Nanti kusampaikan. Kabari kalau kamu butuh bantuan soal tulisanmu," pesan Leslie.

"Jangan khawatir. Aku pasti akan melakukannya!"

Leslie melambai dan meninggalkan Yohanna. Dia pergi ke pelataran parkir untuk menunggu Frans yang katanya sudah hampir sampai.

Lima menit kemudian, Leslie sudah duduk dengan nyaman di samping Frans.

"Kita mau ke mana, Om?" tanya Leslie.

"Lusa saya berangkat ke Singapura. Dan keesokan harinya Igna ulang tahun, saya masih akan di sana. Saya ingin membelikan hadiah untuknya. Nanti saya titip sama kamu," ucap Frans.

"Oh... Igna ulang tahun...," gumam Leslie.

"Iya, dan besok dia pulang. Kamu nggak mungkin bisa menemani saya mencari hadiah kalau ada Igna, kan?"

Leslie tertawa pelan lalu mengangguk setuju.

Mereka menghabiskan waktu dua jam untuk mencari hadiah. Setelah itu mereka makan malam dan akhirnya Frans mengantar pulang.

Sesampainya di indekos, Frans mengulurkan paperbag berlogo merek jam tangan terkenal pada Leslie. Mereka berhasil mendapatkan sebuah jam tangan yang sangat bagus untuk Igna. Leslie bertaruh dalam hati Igna pasti menyukai pemberian itu. Dia sendiri membeli sebuah kemeja berwarna hijau pucat, yang mengingatkannya pada aroma mint yang selalu tercium saat bersama Igna.

"Oh, ya, saya hampir lupa." Frans merogoh kantong dan mengeluarkan dompetnya. Dia memberikan beberapa lembar ratus ribuan pada Leslie. "Untuk kuenya."

"Nggak usah, Om. Uang bulanan dari Om masih ada, kok. Aku pakai itu aja," tolak Leslie. Frans malah menjejalkan uang itu ke tangan Leslie.

"Sisa uang itu kamu simpan saja, untuk keperluan kamu. Ini uang untuk beli kue ulang tahun Igna," desak Frans.

"Hm, baik, Om. Terima kasih."

"Saya pulang dulu ya. Kamu istirahat," pamit Frans.

"Iya, Om. Hati-hati di jalan ya, Om, Pak Rudi."

***

Hari masih pagi, tapi beberapa notifikasi langsung masuk ke ponsel Leslie begitu dia menghidupkan benda itu. Beberapa di antaranya adalah dari Frans yang mengajak untuk menjemput Igna di bandara. Tentu saja, ide itu tidak mungkin ditolak oleh Leslie. Meskipun tidak berani mengakui, tapi dia tahu kalau dia merindukan sosok Igna.

Rasanya benar-benar berbeda daripada pertama kali mempersiapkan diri menemui Igna di bandara. Kali ini Leslie sangat percaya diri saat dia memilih pakaian untuk dikenakan.

Dia yakin pakaian bukan masalah. Igna pasti suka melihatnya datang, tidak peduli apa yang dipakainya. Hati gadis itu mengembang dua kali lipat dengan rasa bahagia akan bertemu dengan Igna. Jika dia tidak tahu malu, mungkin dia tidak akan segan-segan memberikan Igna sebuah pelukan hangat. Namun, dia tahu diri. Memeluk Igna di tempat umum dan di depan Frans akan membuat mukanya semerah kepiting rebus. Misalnya Igna yang lebih dulu melakukannya, Leslie tentu tidak keberatan membalas.

Sekitar kurang dari satu jam, Frans sudah sampai di depan indekos Leslie. Segera, gadis itu keluar menemui Frans.

Lelaki itu tersenyum melihat penampilan Leslie. Aura bahagia gadis itu benar-benar terpancar.

"Kamu nggak kasih tahu Igna kalau kita akan jemput, kan?" tanya Frans.

"Enggak, Om. Kan katanya kejutan buat Igna," jawab Leslie.

"Ya, benar. Terima kasih, Leslie."

***

Sesampainya di bandara, tidak hanya Igna yang mendapat kejutan. Frans dan Leslie juga mendapat porsi mereka.

Leslie hanya bisa terpaku di tempat sementara Frans mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Mata Igna membulat, wajahnya berubah pucat.

"Hai, Om Frans! Hai, Leslie! Lama nggak bertemu, ya!" Suara seorang perempuan memecahkan suasana ganjil. Igna bersusah payah melepaskan lengan si gadis yang melingkar di tangan kirinya. Karin.

"Aku dengar dari Igna bahwa kondisi Om sekarang sudah jauh membaik pasca operasi. Syukurlah!" Karin tampaknya tidak peduli pada kebungkaman lawan bicaranya. Frans hanya menatap Karin datar. Dalam benaknya berkecamuk banyak hal sehingga sepintas membuatnya ingin tak sadarkan diri.

Karin menoleh pada Leslie. "Kamu juga terlihat baik, Leslie. Aku senang melihatnya. Maaf, ya, aku belakangan ini terlalu sibuk. Jadi, kita nggak bisa catch up lagi." Meskipun kata-kata itu sangat ramah, Leslie merasakan ada nada kemenangan dalam suara Karin. Leslie tidak membalas. Lidahnya kaku. Maka gadis itu hanya menundukkan kepala.

"Lebih baik kamu memanggil sopirmu, Karin. Saya akan pulang sekarang." Igna akhirnya membuka suara. Matanya tak lepas dari sosok Leslie yang menunduk di sebelah Frans. Betapa inginnya dia membawa gadis itu ke dalam pelukannya dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Oke. I'll see you around, Igna." Karin berjinjit dan mengecup pipi Igna dengan bunyi yang dibuat-buat supaya Leslie--yang menolak melihat--bisa mendengarnya. "Senang menghabiskan waktu bersama kamu."

"Aku duluan, ya, Om, Leslie!" pamit Karin ceria. Dia menyeret kopernya menjauh sambil mendongakkan kepala, menyatakan kemenangannya.

Tanpa menggubris reaksi Igna yang ingin bicara, Frans mengambil ponsel dan menyuruh Rudi segera mendekat ke area penjemputan. Igna paham dia belum boleh bicara.

Ketiganya menunggu Rudi dalam diam. Begitu mobil sang ayah mendekat, Igna mendahului Leslie untuk membuka pintu mobil dan mempersilakan gadis itu masuk. Tidak ada gumaman balasan seperti biasa. Hal ini menjalarkan sesuatu yang teramat tidak nyaman di hati Igna.

Lelaki itu lantas membuka bagasi dan menaikkan kopernya dibantu oleh Rudi. Lalu, Igna naik dan duduk di bangku belakang bersama Leslie.

"Langsung pulang saja, Rud!" perintah Frans. Sopir pribadi itu mengangguk dan langsung menjalankan perintah. Atmosfer di mobil sangat tidak nyaman.

Keluar dari area bandara, keheningan masih menguasai mereka. Lagu yang mengalun dari radio menjadi latar menyedihkan karena tak berteman.

Igna menggerogoh kantong celana dan mengeluarkan ponsel. Dia menulis pesan untuk Leslie.

Satu detik kemudian, ponsel gadis di sebelahnya bergetar lembut di dalam tas kecil. Leslie merasakan getarannya. Sejenak dia ragu. Dia melihat Igna sedang memegang ponsel dan mengetik sesuatu. Bisa saja Igna mengirimkan pesan padanya. Untuk saat ini, dia hanya ingin sendiri. Berada satu ruangan sempit bersama Igna dan kondisi mental yang tidak baik membuat Leslie takut pertahanannya akan luruh begitu dia membuka ponsel. Diliriknya Frans juga sedang memegang ponsel, juga sibuk mengetik sesuatu. Leslie akhirnya menyemangati diri untuk meraih ponsel dan mengecek. Bisa jadi Frans-lah yang mengirimkan pesan untuknya.

Dugaan pertamanya benar. Igna yang mengirim pesan.

Igna: Saya merindukan kamu. Saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya bisa jelaskan semuanya, tidak seperti yang kamu lihat.

Leslie langsung menelungkupkan ponsel di atas tas. Dia bersusah payah menahan air matanya supaya tidak jatuh. Sesak di dadanya tidak tertahankan.

"O-om?" Sontak Frans menoleh ke bangku belakang. Leslie menelan ludah. Difokuskannya tatapan pada Frans dan mengabaikan sengatan pandangan Igna padanya. "A-aku ada perlu. Boleh aku turun di mal di depan itu?"

Frans tidak punya pilihan lain. Leslie terlihat amat kecewa, suaranya bergetar. Lelaki itu bisa melihat selaput bening menggenang dua kali melapisi bola mata indahnya.

"Baiklah." Frans mengabulkan permintaannya.

"Pa!" Igna menyatakan protes tapi tidak ada yang berniat menggubrik protes itu.

"Turunkan Leslie di depan ya!" titah Frans pada Rudi.

"Baik, Pak." Rudi menyalakan lampu sign untuk meminta jalan menepi.

Begitu mobil berhenti dengan sempurna dan kunci terbuka, Leslie langsung keluar tanpa pamit. Sesaat Igna punya dorongan yang sangat kuat untuk juga keluar dan menyusul gadis itu.

"Jangan lakukan apa pun." Suara Frans terdengar dingin. Igna menarik tangannya dari pegangan pintu dan membiarkan mobil membawanya menjauh dari Leslie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro