Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu menatap nisan bertuliskan nama ibunya tanpa berkedip, tidak percaya orang yang telah melahirkannya sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan dia sebatang kara di dunia ini. Saat itu usianya tidak lebih dari lima belas tahun, dan kesedihan atas kepergian ayahnya dua tahun silam belum sirna. Kali ini, dia harus kembali menghadapi kematian satu-satunya keluarga yang dia miliki.

“Maafin, Leslie, Ma,” ucap gadis itu dengan bibir gemetar. Tetesan air mata luruh saat dia berkedip. Leslie menutup wajah dan terisak-isak, tidak tahu lagi harus bagaimana. Ibunya meninggal karena depresi berkepanjangan karena dikejar-kejar debt collector. Sudah dua hari ini dia menginap di sekolah, tidak berani pulang karena takut penagih itu masih berkeliaran di rumahnya.

“Leslie harus gimana, Ma? Nggak ada Mama, nggak ada Papa.”

Leslie berlutut di makam ibunya, memeluk erat nisan yang terbuat dari kayu dan menangis di sana. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya selain menangis. Meskipun dia tahu sebanyak apa pun air matanya, itu tidak akan mengembalikan ibunya. Apalagi ayahnya.

Rintikan air hujan tiba-tiba turun seolah ikut menangis menyaksikan kesedihan Leslie. Bukannya beranjak, gadis itu tidak peduli. Dia tetap memeluk nisan itu, tetap menangis.

Leslie mendongakkan kepala ketika tiba-tiba air hujan tidak lagi menyirami tubuhnya yang mulai gemetar kedinginan. Dilihatnya seorang pria dewasa memayunginya. Wajahnya ramah. Guratan-guratan halus mulai terlihat di sekitar mata pria itu. Usianya kira-kira sama dengan ayahnya. Ada seutas senyum yang ditampilkan pria itu. Tapi Leslie juga bisa merasakan kesedihan yang sepertinya coba disembunyikan olehnya.

“Hujan,” ujar pria itu. “Saya selalu suka hujan.” Matanya menatap rintik-rintik hujan dengan sendu.

Leslie hanya mengerjap-ngerjapkan matanya menatap pria itu dan mendengar kalimat yang dia anggap aneh itu. Menunggu lelaki itu mengucapkan sesuatu yang lebih bermakna baginya. Tatapan pria itu akhirnya turun, melihat Leslie yang terpaku padanya, lalu berpaling pada nisan yang dipeluk Leslie.

“Ini mama kamu?” tanya pria itu. Leslie mengangguk. Pria itu tersenyum.

“Anak saya juga sudah tidak punya mama lagi. Mamanya meninggal ketika melahirkan dia. Kamu beruntung bisa mengenal mamamu.”

Kata-kata itu di luar dugaan. Leslie tidak pernah berpikir sampai ke sana. Ketika ayahnya meninggal, dia berkubang dalam kesedihan. Begitu juga dengan ibunya, sibuk menyambung hidup mereka. Dan ketika ibunya juga harus pergi, Leslie hanya bisa meratapi nasib. Tidak pernah sedikit pun dia mensyukuri waktu yang Tuhan telah berikan padanya untuk mengenal kedua orang tuanya. Leslie jadi kasihan pada nasib anak pria itu yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.

“Papa juga sudah nggak ada,” ucap Leslie. Entah apa yang membuat dia mengatakan hal itu. Detik berikutnya, dia menyesali ucapannya. Pria ini orang asing, bisa saja berniat jahat. Mengapa dia bisa lupa pesan yang selalu dikatakan kedua orang tuanya? Apa karena sekarang mereka sudah tidak ada lagi bersamanya?

Wajah pria itu melembut, menatap Leslie dengan belas kasihan.

“Kamu tinggal di mana?” tanya pria itu. Leslie hanya menggeleng, membuang tatapannya dari Frans. Dia tidak boleh bicara apa-apa lagi tentang dirinya.

Seolah mengerti keengganan Leslie, pria itu membuka dompet, mengeluarkan selembar kartu nama, dan mengulurkannya pada gadis di depannya.

“Saya Frans Prasetya. Kalau kamu pernah denger Risa Department Store, saya pemiliknya.”

Leslie menatap mata pria itu lagi. Dia mencoba mencari tahu kebenaran dalam ekspresi wajah pria di hadapannya. Tentu saja dia tahu Risa Department Store. Dia beberapa kali berbelanja di sana. Apalagi ketika ayahnya masih ada. Semua keperluan sekolah Leslie selalu beli di sana. Leslie mengerjapkan matanya, berusaha memahami situasi bahwa orang yang berdiri di depannya adalah pemilik jaringan toko retail terbesar di Indonesia. Lelaki itu tersenyum, masih sama lembutnya dengan yang sebelumnya. Tangannya masih terulur pada Leslie.

“Saya bukan orang jahat. Dan kalau kamu nggak keberatan, saya ingin menolong kamu,” ucap Frans lagi.

Leslie menelan ludahnya. Berusaha mencari kata-kata yang perlu diucapkan. Dia membutuhkan pertolongan. Itu jelas sekali. Dia masih bersekolah, belum pernah mencari uang sendiri. Orang tuanya hanya meninggalkan utang. Jujur, Leslie sudah bingung bagaimana membayar uang sekolahnya bulan depan. Kini, dia dihadapkan dengan malaikat tanpa sayap yang ingin menolongnya. Dan orang ini lebih dari mampu secara finansial untuk membantunya. Leslie hanya mau tahu alasannya.

“Kenapa Om mau menolongku?” tanya Leslie. “Aku nggak kenal Om, dan Om nggak kenal aku. Mamaku meninggal karena terbelit utang. Orang sepenting Om pasti ingin menghindari masalah sepele seperti itu, kan?”

Frans menghela napas. Dia suka keberanian gadis kecil ini. Meski Frans tahu benar kondisi gadis itu tersudut, dia tidak mau menyerah begitu saja.

“Kamu mengingatkan saya pada mendiang istri saya. Kalian mirip,” jawab Frans jujur. Memang itu yang dirasakan ketika melihat gadis itu menangis di sebuah makam baru. Saat itu dia seolah melihat sosok Vanessa yang menangis sedih, seperti melihat Vanessa yang ditinggalkan olehnya. Sungguh saat itu, Frans merasa beruntung bahwa dia yang harus menanggung rasa kehilangan. Untuk pertama kalinya, dia merasa begitu. “Saya nggak bisa mengabaikan kamu. Biarkan saya membantu kamu.”

Leslie bisa melihat kepedihan dalam tatapan mata lelaki itu, seolah memohon padanya untuk ditenangkan. Tatapan Leslie terkunci pada kartu nama yang masih terulur padanya selama beberapa detik. Akhirnya tangan kanannya beranjak dari nisan ibunya, dan mengambil kartu nama itu.

“Namaku Leslie. Leslie Virananda,” ujar gadis itu, menerbitkan senyum lega di wajah Frans. “Terima kasih. Aku akan selalu ingat ini.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro