BAB 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PERHATIAN!!!
Sebelum membaca, jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah, dan memberi komentar pada setiap bagian yang menurut kalian deep. Sekalian, bagikan cerita ini di IG story dan tag instagram saya @yudiiipratama
Syukron waa jazakumullah khairan.


[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

"Terkadang apa yang terlihat dari satu sisi, belum tentu sesuai dengan apa yang ada pada sisi lain. Mata dan hati harus benar-benar terbuka, bukan hanya sebatas berintuisi yang berakhir pada ego sendiri."

Langit sudah begitu memerah, matahari tenggelam setelah tadi cahayanya terpantul di balik danau kampus dan kini hanya sisa-sisa redupnya saja yang menyinari sebagian wilayah bumi khatulistiwa. Para pengunjung satu per satu meninggalkan danau kampus dengan keadaan terpaksa; jikalau saja ada lampu penerang sepanjang tepi danau, sudah pasti mereka akan lebih lama berleha-leha tak ingat waktu. Bahkan suara azan panggilan salat pun dari masjid biru tak akan dihiraukannya.

Belum lama Rifly selesai mengangkat telepon, ia mendapatkan sebuah pesan dari seseorang yang tidak diketahui nomornya dari nomor yang sama untuk menunggunya di tepian danau sebelum masuk salat magrib. Perasaannya tidak tentu saat itu, beberapa kali Rifly menelepon balik dan mengirimi pesan kepada perempuan di balik telepon tadi tak ada jawaban. Instruksinya hanya ingin menemui Rifly di tepian danau depan masjid.

Urusannya dengan Aldi selesai, Bagus juga sudah balik lebih awal beberapa menit lalu, dan Rifly mengikuti perintah dari pesan tersebut; menunggu di tepian danau seorang diri. Hatinya sangat berharap bahwa itu adalah Inayah yang sudah kembali dari Istanbul dan ingin segera menemuinya. Wajah Rifly penuh dengan bahagia oleh karena sebentar lagi rindunya terbalaskan.

Pikirnya, begitu pandai Inayah memberi Rifly sebuah kejutan dengan tidak menghubunginya selama hampir setahun, kemudian Inayah kembali untuk menjumpainya secara langsung di tempat yang belum pernah ia ketahui, menghubunginya memakai nomor baru karena nomor luar negeri pasti tidak akan berfungsi. Setelah beberapa kali Rifly meyakinkan diri, menutup mata dan berpikir. Kali ini ia benar-benar yakin bahwa itu adalah Inaya, suaranya begitu jelas di telinga hingga membuat dirinya tercengang dan mana mungkin Rifly melupakan suara kecil nan indah seorang Inayah?

Sudah lima belas menit berlalu, beberapa menit lagi azan akan berkumandang. Namun perempuan yang katanya adalah Inayah itu belum juga menampakkan diri. Rifly mencoba menghubunginya kembali, saat berdering, langsung diangat oleh perempuan itu.

"Assalamualaikum, maaf, ini saya sudah di depan masjid. Kamu di mana?" jawab seorang perempuan dari balik telepon.

Rifly yang berdiri di depan tepi danau tersenyum semringah. Lagi-lagi ia tak menjawab, suara itu terus memutar-mutar di kepalanya. Suara yang teramat dirindukan, kini akan hadir empunya suara tersebut di hadapannya. "Akhirnya, kamu kembali menepati janji," guman Rifly yang kemudian memutar badan dan melempar pandangan ke arah masjid, mencari-cari di mana gerangan perempuan itu berada.

Perasaan Rifly merekah bahagia, bagaimana setelah ia bertatap langsung dengan Inayah? Mungkin ia sudah akan memeluknya seperti dahulu. Rifly tidak bisa lagi menahan diri, ia melompat naik ke atas tiang besi pada parkiran yang datarannya lebih tinggi dari tepian danau untuk segera menghampiri sahabat dari masa lalu.

Perempuan itu berdiri tepat di beranda masjid yang sangat luas, di bawah salah satu lampu penerang halaman depan yang belum juga menyala padahal hari sudah semakin gelap. Sedangkan Rifly perlu berlari kecil untuk bisa menjumpainya segera. Penglihatan Rifly tidak begitu jelas oleh karena langit yang semakin gelap. Matanya samar-samar tertuju pada perempuan yang hanya berdiri seorang diri di sana dengan memakai pakaian tertutup syar'i, dan Rifly terfokus pada jilbab yang dikenakan perempuan itu. Ia tahu suatu saat Inayah akan menutup mahkotanya-rambut-dengan jilbab, dan akhirnya itu terjadi sekarang di depan matanya.

"Inayah!" teriak Rifly kegirangan.

Posisi perempuan itu tinggal beberapa langkah lagi dari Rifly, dan sesaat sebelum ia membalikkan badan, lampu yang berada di atasnya tiba-tiba menyala dengan terang. Membuat pandangannya dan Rifly menyilaukan hingga menutup mata mereka masing-masing.

Tidak berlangsung lama, perempuan itu sudah berbalik badan dan kembali membuka mata. Ia sekarang berhadapan dengan Rifly yang masih menunduk menyesuaikan pandangannya akibat cahaya lampu yang tiba-tiba menyala begitu terang.

"Maaf tadi saya nggak sempat angkat sebelumnya karena lagi ada kajian," ucap perempuan itu meminta maaf pada Rifly.

Rifly yang masih menunduk senyam-senyum. Seraya mengangkat kepala, ia berkata, "Nggak apa-apa, kok, Inayah." Kemudian matanya segera dibuka dan menatap perempuan yang ada di hadapannya.

"Inayah?" sahutnya seperti kebingungan.

Sontak Rifly tertegun, jantungnya seperti tersentak oleh karena fakta yang harus ia terima kalau perempuan yang ada di hadapannya bukanlah Inayah.

"Maaf, saya bukan Inayah. Nama saya Khansa Aqila. Teman kelas kamu di Hukum Konstitusi."

Hati Rifly seketika kembali tertutup, tubuhnya lemas. Kalau bisa sekarang juga terjatuh melutut pada bumi. Dirinya terlalu menggebu-gebu. Ingin marah, tetapi pada siapa? Pada perempuan bernama Khansa yang tidak tahu apa-apa? Rifly membisu seribu bahasa.

"Sebelumnya saya minta maaf telah lancang mengambil kontak kamu di grup WA kelas tanpa seizin kamu. Itu juga karena ada yang penting."

Begitu jelas suara perempuan itu menyerupai suara Inayah di pendengaran Rifly. Hanya saja wajahnya tidak mirip. Inayah memiliki lesung pipi dengan wajah tirus dan hidungnya mancung, sedangkan perempuan ini tanpa lesung pipi tapi terlihat tirus dan berhidung lebih mancung sedikit. Kecantikan Inayah sebelas dua belas dengan perempuan yang ada di hadapan Rifly, wajah keduanya tak ada kemiripan sama sekali tapi berada pada porsi ciri-ciri cantik dari lahir. Namun tetap saja, Inayah yang kecantikannya paling sempurna di mata Rifly. Tak ada yang bisa menyayinginya katanya.

"Dan maaf juga sudah membuatmu menunggu begitu lama."

Rifly mendengkus sebal, tak mengindahkan Khansa, dan lagi-lagi ia baru mendengar nama dan melihat orang itu. "Dari tadi kamu minta maaf terus! Ada apa sebenarnya?" tanya Rifly ketus.

Khansa tersenyum menganggukkan kepala sembari mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya lalu disodorkan dengan segera pada Rifly. "Ini ada yang menitip formulir pendaftaran organisasi rohis fakultas," kata Khansa.

Rifly langsung menarik kertas tersebut dari tangan Khansa seperti orang yang memendam amarah.

"Itu dari Hilal, teman kelas kita di Hukum Konstitusi. Dia tadi mau menberikannya langsung ke kamu, tapi tidak sempat ketemu katanya. Dan kebetulan tadi saya sekelas, dan kebetulan juga saya penanggung jawab untuk para pendaftar perempuan muslimah di kelas tersebut. Saya pikir bisa dititipkan ke saya lalu diberikan langsung ke senior muslimahnya. Tapi ternyata tidak bisa karena beda proses pengambilan dan pengembalian formulir antara muslim dan muslimahnya, dan baiknnya harus ke kamu langsung biar tidak tercecer juga," lanjut Khansa menjelaskan.

Rifly mengernyitkan alis. "Terus kenapa harus saya? Dia kan bisa mengembalikan formulirnya ke penanggung jawab kelas kamu? Apa bedanya coba?" Wajah dan tutur kata Rifly berubah tidak ramah.

"Lagi-lagi saya minta maaf, di kelas tersebut tidak ada muslim yang mendaftarkan diri selain muslimah, dan Hilal pun sudah terlanjur mengambil formulir dari kamu sebagai pendaftar di kelas Hukum Konstitusi."

Kembali Rifly mendengkus. "Ya kalau Hilal juga sama dari kelas kamu, berarti pendaftarnya cowok ada! Kamu terlalu banyak alasan. Ya, tinggal bilang aja sih, kamu mau ketemu dengan saya seperti cewek-cewek ganjen lainnya di fakultas. Daripada terlalu banyak alasan dan bertele-tele seperti itu. Kamu pikir saya peduli?"

Kata-kata sarkas keluar dari mulut Rifly. Sadar atau tidak dengan perkataannya, ia akan melukai hati perempuan yang ada di hadapannya. Ia berhasil membuat Khansa terdiam.

"Astagfirullah," ucap Khansa lirih dengan mata yang sedikit melotot.

Rifly seperti orang yang kehilangan kesadaran yang tak lagi mementingkan perasaan perempuan, serupa perasaannya tertutup hanya karena satu perkara hati saja; yaitu hati yang sepenuhnya sudah tertuju pada Inayah. Jadi bagaiman pun kondisi perempuan yang meghanpirinya, mau salah astau benar, ia tidak akan peduli.

"Kamu boleh marah sesukamu, silakan. Tapi satu hal yang saya tidak terima. Kamu tidak berhak atas penghinaan kepada saya, menyama-nyamankan saya dengan perempuan lain dengan sebutan ganjen! Saya masih memiliki hati nurani untuk menolong saudara semuslim saya karena hari ini terakhir mengembalikan formulir pendaftaran. Lalu karena saya mengenal kamu sebagai orang yang diberikan amanah, dan begitu juga Hilal menitipkan amanah ke saya, maka saya jalankan sebagaiman mestinya."

Rifky tersenyum hambar. "Maaf, tapi saya tidak mengenal kamu. Kalau urusan kita sudah selesai, silakan kamu pergi. Terima kasih karena sudah membantu teman semuslimmu."

"Kamu belum mencabut perkataanmu tentang saya sebagai perempuan ganjen! Itu masih masalah menurut saya. Setidaknya kamu minta maaf atas prasangka burukmu itu ke saya!" pekik Khansa berkeras hati menyuruh Rifly meminta maaf padanya.

Rifly berdecak sambil menggelengkan kepala. "Kamu terlalu polos."

Kemudian Rifly pergi meninggalkan Khansa begitu saja tanpa rasa bersalah. Tidak ada ucapan permintaan maaf atau pun mengindahkan pandangannya itu pada Khansa, dan Khansa sendiri hanya bisa menepuk dada dan berusaha menahan amarah.

Ada apa sebenarnya dengan laki-laki dingin itu? Hatinya begitu keras bagaikan batu. Khansa bertanya-tanya dalam diri.

***

To be continued....

Gimana menurut kalian bab ini?
Waktu dan tempat sangat dipersilakan untuk berkomentar!!!
Jangan sungkan untuk membantu saya merevisi naskah ini dengan menemukan typo dan kesalahan penulisan lainnya.

Selamat ngebubu-READ, sebentar lagi buka puasa.
Cukup hidupmu yang pahit, tapi buka puasamu harus disajikan dengan segala sesuatu yang manis-manis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro