5. Apakah Menguasai Bahasa Siren Bisa Dimasukkan ke Dalam CV?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, halo! (/^▽^)/
Terima kasih karena masih mengikuti cerita ini. Jangan lupa untuk menekan tombol vote.

Selamat membaca (。◝‿◜。)

***

Elio.

Bahasa yang digunakan untuk pertanyaannya, sama sekali tidak terdaftar dalam otakku. Anehnya, aku paham.

"Apa-apaan!" Pekikku sambil menekan kedua telinga. Paham bahasa ikan bukan kemampuan yang bisa kumasukkan dalam CV. Jadi, tidak. Terima kasih, ambil kembali. "Apa yang kamu lakukan padaku? Kita di mana?"

Dia bergumam sebentar. "Pertama, aku mengutukmu. Kedua, kita di ... suatu tempat dalam ingatanku, kurasa."

"Dikutuk?" Bahuku melemas . Aku pernah membaca beberapa skenario kenapa seseorang dikutuk. Pertama, karena menghina orang lain. Kedua, tidak gemar berbagi harta. Ketiga, karena terlalu tampan atau cantik. Keempat, durhaka pada orang tua. Kelima, mengkhianati janji. Aku tidak kelimanya. "Kenapa mengutukku?"

Siren ini mengangkat bahu. "Karena kamu lagi sial saja," jawabnya enteng, seolah sedang menjawab satu tambah satu. "Bukan kamu juga tidak masalah. Tapi, kebetulan, malam itu kamu yang ada di pantai."

Aku menatapnya jeri. "Ke-kenapa? Beri penjelasan lain! Kamu pikir aku bisa terima jawaban 'kamu lagi sial' itu?" Napasku menggebu-gebu, kenyataan bahwa gadis di depanku menjawab semua kerumitan malam ini semudah membalik telapak tangan membuat darahku mendidih.

"Karena aku membutuhkanmu," katanya pelan. Kalau ini adegan dalam novel romantis, pasti bagus sekali. Namun, tidak! Aku sedang dikutuk atas hal yang entah apa. "Aku membutuhkan seseorang untuk mendapatkan wujud manusiaku kembali."

"Apa?" Aku mengernyit. "Wujud manusiamu kembali? Bukannya kamu siren." Masih teringat jelas kalimat pertama yang dia katakan ketika separuh tubuhku bersisik, kulitku jadi kebiruan, dan tanganku berselaput. Juga rasa kesal karena harus ngesot hingga kamar. Sekarang dia mau bilang, kalau dia manusia?

"Aku bersungguh-sungguh." Suaranya terdengar pasrah. "Untuk jadi manusia, aku harus mengubah manusia menjadi siren. Jadi aku dapat wujud manusia, manusia itu dapat wujud siren."

"Pertukaran macam apa itu?" Suaraku melengking, campuran antara jijik dan tidak percaya. "Apa kamu gila? Jadi kamu mengubahku supaya dapat wujud manusia, begitu?"

"Harusnya begitu."

"Harusnya begitu? Maksudnya bagaimana?" Aku mengernyit. "Aku jadi siren, kamu manusia. Bukankah sudah terjadi?"

Dia menggeleng. "Kamu masih manusia dan aku masih siren. Buktinya, kamu punya kaki dan aku ... kamu lihat sendiri, kan?"

Aku mengerang dan berjongkok. Membiarkan kegelapan dunia aneh ini melingkupi dan dinginnya angin yang bertiup menerbangkan rambutku. Semua ini terlalu sulit untuk dipahami, terlalu tiba-tiba, dan terlalu aneh. Rasanya sama seperti seseorang memukul wajahku dengan keras sampai aku pingan dan aku harus menerimanya karena sedang sial? Bullshit.

"Aku minta maaf." Napas hangatnya menerpa keningku. Dia ikut berjongkok. "Tapi, itu harus kulakukan. Aku tidak ingin jadi siren selamanya." Ada luka dalam matanya, bisa kulihat itu.

Aku membuang napas. Rasanya terlalu egois karena terus-menerus menilai semua kejadian ini dalam sudut pandangku saja. Dia, gadis ini, hidup dalam lautan luas dingin yang menyimpan jutaan misteri, entah sudah selama apa. Maka ketika ada kesempatan untuk kembali merasakan udara di darat dan hangatnya sinar mentari, ia tanpa ragu mengambilnya. Aku tidak menjamin akan melewatkan kesempatan yang sama, jika berada di posisinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanyaku, sambil bersila. Pegal jongkok.

Agaknya dia sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. Setelah ikut duduk dengan posisi kedua kaki di sebelah kanan, ia menjawab, "Ini kutukan dari Dewa Laut. Seorang manusia akan menjadi siren jika mendengar nyanyian siren dan siren yang mengutuk akan kembali menjadi manusia."

"Dewa Laut?"

"Dia yang menjaga lautan. satu-satunya sosok yang mengenali seluruh perairan di dunia ini, yang bisa menjinakkan segala monster, mendatangkan badai, menaikkan air tsunami, dan menenggelamkan seluruh daratan atas perintahnya."

"Wow." Mendengar penjabaran seperti itu, mengubah manusia jadi setengah ikan pasti perkara seujung kuku. "Kenapa dia ... membuat kutukan itu?"

"Aku lupa. Saat mendapatkan wujud manusia, secara perlahan aku akan melupakan memori sewaktu menjadi siren. Maaf."

"Jangan meminta maaf. Aku juga sering pikun."

"Apa itu pikun?"

"Kamu enggak tahu?"

Dia menggeleng. "Memoriku saat masih manusia menghilang sewaktu menjadi siren. Karena itulah, aku tidak memahami apa yang kamu katakan. Aku lupa bahasa manusia. Seiring berjalannya waktu—jika aku manusia—aku akan dapatkan kembali ingatan-ingatan itu."

"Tunggu." Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar penjelasan tadi. "Jadi, aku pun akan lupa pada hidupku sebagai manusia."

Rautnya berubah tidak enak. Dengan sangat pelan, dia mengangguk. "Tapi, kurasa ... proses hilangnya akan sangat lambat. Karena kamu, enggak sepenuhnya menjadi siren."

Itu agak melegakan. "Jadi maksudmu, aku separuh siren dan kamu separuh manusia."

"Bisa dikatakan demikian." Dia mengangguk setuju. "Dan, demi Dewa Laut, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Harusnya tidak seperti ini."

Ya, harusnya tidak begini. Harusnya aku manusia dan kamu ... kuharap, tidak pernah bertemu denganku.

"Aku tidak mengerti, kenapa kutukannya hanya bekerja setengah. Kita sama-sama tidak sempurna," keluhnya.

"Aku tidak ingin jadi siren," kataku. "Kamu juga enggak mau, kan?"

Dia mengangguk.

"Kalau begitu, kita bekerjasama untuk menemukan jalan keluar. Ajari aku cara bertahan sebagai makhluk setengah ikan, akan kuajarkan kamu caranya menjadi manusia. Deal? Ini pertukaran yang lebih bagus daripada buatan Dewa Laut itu, kan?" Aku mengulurkan tangan. Walau tidak yakin dengan bagaimana cara menemukan jawabannya. Setidaknya aku ada teman.

Dia menerima tanganku dengan senyum cantik. "Terima kasih."

Lalu dunia kembali normal.

Sewaktu kami kembali dari dunia antah berantah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Setelah memberinya pakaian, aku mandi, membuat sarapan, kemudian mengunci pintu agar dia tidak ke mana-mana. Kuberi dia buku-buku kamus dan novel-novel karyaku di laptop sebagai teman latihan mengingat, selagi aku pergi. Hari pertama sekolah, selama bukan bencana alam. Aku akan tetap pergi.

Mentari sedang panas-panasnya saat aku berjalan pulang. Hari ini terasa aneh, aku tidak henti-hentinya merasa haus. Sudah selusin botol mineral kuhabiskan.

Dari jendela kelas baruku, bisa kulihat pantai semalam. Kecil di kejauhan. Lalu, setiap kali melamun, godaan untuk menceburkan diri atau sekadar membasahi tubuh terbayang-bayang. Kuyakin ini efek menjadi setengah siren. Entah berapa kali aku izin ke kamar mandi untuk membasuh wajah, guru-guru dan murid-murid lain mungkin berpikir, anak ini punya masalah kandung kemih.

Terlepas dari intrepetasi buruk yang mungkin kuterima, aku bisa menyimpulkan bahwa, selagi yang basah bukan kaki atau seluruh tubuh, semuanya akan baik-baik saja.

Rumahku beberapa meter lagi. Sengit matahari menusuk mata, kulit, dan kepala. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seolah kakiku dirantai. Kediamanku masih belum terlihat, tapi tubuhku jatuh menghantam tanah, pandanganku mengabur, dan semuanya menggelap.

Halo ୧ʕ•̀ᴥ•́ʔ୨
Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? ʅฺ(・ω・。)ʃฺ??

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di bab berikutnya (•̀ᴗ•́)و ̑̑

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro