7. Motivasiku Ingin Menjadi Manusia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo! Halo! 🐤
Jangan lupa tekan tombol vote. Selamat membaca (๑•̀ㅂ•́)و✧

***

Matthea.

"Kalau kamu tidak segera melupakan Daratan, kamu bakal tenggelam," kataku. Masih memegangi siren pemula yang mengejek gaya jalanku, tetapi sekarang malah tenggelam di lautan dangkal. "Kamu akan baik-baik saja. Jangan pikirkan Daratan, kamu ada di Laut. Serahkan semuanya pada Laut."

Dia membuka mata, menatapku dengan sepasang mata hitam yang menyipit dan pipi kembung.

Peganganku pada lengannya mengencang. "Elio," kataku. "Pasrah, lupakan Daratan dan percayakan padaku."

Manusia dalam air, sama seperti siren di darat. Telinga penuh dan seakan ingin meledak, dada sesak dan panas, kerongkongan terbakar, kepala seperti akan pecah, dan bernafsu untuk menarik napas. Namun, tidak bisa.

Elio menurut. Gelembung udara bergerak pelan di depan mulutnya dan menghilang. Tubuh Elio melemas, karena terlalu lama menahan napas. Aku menyangga badannya dengan bahu. "Kamu enggak apa-apa?"

Dia mengangguk. "Rasa sakitnya hilang."

"Sudah kubilang, 'kan?" Aku tersenyum. Dia terlihat keheranan, mungkin bertanya-tanya kemapa tadi sempat takut. Laut membersamai. Manusia ataupun siren, satu hal yang perlu dilakukan, adalah percaya dan melupakan daratan.

"Aku merasa dingin, ringan, dan bebas." Elio tersenyum, baru kali ini kulihat. "Aku sempat takut sekali tadi."

Senyumnya bagus.

"Sekarang, kamu harus berenang sendiri." Aku melepasnya dan bergerak mundur dengan cepat, jauh dari jangkauan tangannya. Elio menjerit kaget, lagi-lagi dia berpikiran jelek sambil berseru, "Aku tenggelam! Aku tenggelam!" Padahal kami sudah di dalam air. Tubuhnya mengambang dan ia terdiam.

"Aku baik-baik saja!"

"Gerakkan ekormu seperti ini." Kuberi dia contoh dengan berenang mendekat, kemudian memutari tubuhnya, dan bersalto dua kali. Aku melihat cara Elio berenang dan tergelak. "Tanganmu itu untuk apa?"

"Supaya tubuhku maju?" katanya. Masih secara bergantian menggerakkan kedua tangan dari depan ke belakang. Sementara ekornya mengepak-ngepak air dengan canggung.

"Itu gaya manusia berenang, ya? Aneh." Aku mendekat. "Lambat juga. Seperti kura-kura hamil."

"Sombong!"

"Jangan lakukan gerakan tangan aneh itu. Memalukan. Cukup ekormu saja, ke atas dan bawah. Nanti tubuhmu bergerak sendiri."

Setelah mempraktikannya beberapa kali. Elio sudah cukup bisa. Kami pun berenang beriringan. Laut menyisir rambut ikalnya dan bergulung-gulung di belakang, sementara kami melaju cepat ke bawah, terus ke bawah, seperti pelikan yang menukik untuk menangkap mangsa. Kami terus melaju, berdampingan. Cahaya bulan tidak sanggup menembus gelapnya laut, tetapi permukaan air yang memantulkan cahaya perak masih terlihat di bawah sini. Aku menunjuk ke atas.

"Kita dari sana," kataku. "Kaum siren menyebutnya sebagai perbatasan."

"Permukaan air itu?"

Aku mengangguk.

"Kelihatannya jauh." Nada suara Elio seperti tidak percaya. "Kita bisa kembali, 'kan?"

"Tentu saja," jawabku terlalu cepat.

Elio menatapku bingung bercampur curiga. "Kenapa?"

Kutatap permukaan pasir putih di bawah. Walau kondisi sekeliling gelap, tetapi mata siren dapat beradaptasi dengan baik. Kami bisa membedakan warna, mengetahui ikan-ikan atau makhluk lain di depan, dan melihat sejelas siang hari. "Aku hanya merasa ... takut tadi."

"Kenapa takut?" Manusia ini bertanya ragu.

"Sama sepertimu yang takut tenggelam. Aku juga takut kekeringan. Manusia tenggelam di lautan, siren tenggelam di daratan. Sakitnya luar biasa, saat kami melewati perbatasan. Sekadar muncul di permukaan saja, rasanya begitu perih. Aku mengerti perasaanmu tadi. Sepertimu yang harus melupakan darat, aku juga harus melupakan laut."

"Bukannya kamu manusia?"

Aku mengangguk. "Benar. Tapi, itu sudah lama sekali. Semua hal tentang manusia kulupakan sejak menjadi siren. Satu-satunya memori yang ada hanyalah intruksi untuk mengubah manusia menjadi siren dengan Lagu Kutukan." Aku menjeda sebentar sambil mendongak, menatap gemerlap cahaya bulan layaknya puluhan koin perak terapung-apung. "Untuk mengubah manusia, maka kami harus ke permukaan. Melewati perbatasan. Itu menyakitkan sekali, tidak peduli berapa kali dicoba. Meskipun kami berusaha melupakan laut, rasanya sulit untuk mengeyahkan pikiran itu. Kalau kamu panik, pasti yang terpikir adalah hal-hal yang membuatmu aman. Sulit untuk menyingkirkan pikiran itu."

"Karena itulah, kami tidak bisa mengubah manusia seenaknya. Kesempatan yang kami miliki mungkin hanya sekali selamanya. Tidak semudah itu. Beberapa siren bahkan sudah urung dan memutuskan hidup mengarungi laut."

Hening selama beberapa saat. Hanya ada suara dari ikan-ikan kecil yang bergerak melewati kami sesekali.

"Maaf. Kalau memang menyakitkan. Terus kenapa tetap ingin jadi manusia?"

Pertanyaan Elio tidak langsung kujawab. Ada sesak seperti kekurangan napas saat mendengarnya, seolah dadaku baru saja dipukul. "Aku hanya penasaran, apakah ketika aku hilang ada seseorang atau mungkin orang-orang yang mencariku? Atau aku hilang terlalu lama, sampai-sampai mereka lupa."

"Mungkin dulu aku bersekolah, punya banyak teman, dan hobi sepertimu. Membaca semua karya tulis yang kamu sebut novel itu, membuatku mendambakan hidup normal dan merasa bahwa semua rasa sakit malam itu, terasa ... layak untuk diperjuangkan." Aku berhenti berenang dan mengusap mata. Mataku terasa perih. Aneh, tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Ternyata, setelah aku berusaha untuk mematahkan kutukan ini. Keadaannya menjadi lebih sulit untuk kita berdua." Suaraku kecil, aku tidak yakin Elio mendengarnya. Aku bahkan tidak tahu, kalau bisa mengeluarkan suara seperti itu. Seperti tercekik oleh kalimatku sendiri. Mengatakannya membuat mataku semakin perih.

"Kamu nangis?" Elio berenang di depanku, suaranya terdengar khawatir dan berat. "Maaf."

"Lupakan saja." Aku berenang melewatinya. "Kita akan cari cara untuk bebas, bukan?"

"Pasti." Elio berujar mantap dan aku tersenyum. "Kalau kamu enggak ada tadi, mungkin aku sudah tenggelam."

Aku mengangguk. "Sebenarnya para siren ingin menyelamatkan manusia-manusia yang jatuh dari benda besar yang mengapung-apung."

Elio mengerutkan kening. "Maksudmu kapal?"

"Iya, itu! Tapi, sepertimu. Orang-orang itu tidak bisa melupakan Daratan dan akhirnya tenggelam. Kemudian ada yang bilang bahwa suara-suara kami menyebabkan kapal-kapal mereka hancur dan menenggelamkan awak. Padahal, kami hanya berusaha membantu."

"Tahu dari mana?"

"Buku di rumah kamu."

"Oh, buku dongeng, ya?"

Aku mengangguk-angguk, tidak yakin dengan jenis bukunya. Cuma, ya, itulah. "Kadang juga ada benda langit seperti burung yang mendadak menghantam air. Suaranya keras, disusul dengan bunga panas. Kami berusaha menyelamatkan, tetapi gagal. Beberapa hari setelahnya, banyak manusia yang datang ke daerah lautan itu. Mereka di atas kapal, ada juga manusia-manusia yang membawa udara di punggung mereka. Menyelam seperti ikan. Kami biasanya mulai menghindar jika ada orang-orang itu."

Elio merinding. "Pesawat jatuh, kebakaran, penyelam."

Entah istilah apa yang diucapkan Elio barusan. Aku lupa artinya. Tak jauh dari kami, sebentuk bayangan tampak. Bayangan yang kukenal seumur hidup. Rahang lebar yang terbuka, badan panjang dan besar. Sirip. Ekor.

"Elio, lihat! Hiu!"

Elio mendongak. Hiu itu mengambang di atas kami dengan mulut menganga lebar, menunggu sesuatu ... atau seseorang.

Sebenarnya aku mau mempertemukan Elio dengan siren lain itu di bab ini. Cuma udah maksimal jumlah kata/bab o( ̄ヘ ̄o#) ya, udah. Tunggu saja bab berikutnya, ya. Terima kasih 🐤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro